Share

Curahan Hati Raya

Bopo Rayi, Raden Candra meninggal dunia saat usianya menginjak remaja. Sejak saat itu ia seperti kehilangan arah. Tak ada lagi keceriaan dan lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Anjani sangat khawatir dengan keadaan itu. Ia takut Rayi depresi.

Atas saran keluarga besarnya, putra semata wayang itu pun dimasukkan ke pesantren. Ada banyak pertimbangan yang membuat Anjani rela melepas sang putra. Ia berharap hal itu akan memberikan manfaat untuk masa depan Rayi. Selain itu, di sana banyak teman sebaya dengannya sehingga perlahan ia dapat melupakan kesedihannya.

Tepukan lembut Rayi menyadarkan Anjani dari lamunan. Ia tersenyum tipis, lalu mengusap kepala sang putra. Sepuluh tahun sudah Rayi menimba ilmu dan kini ia kembali. Tak ada yang berubah, putranya masih seperti dulu. Sedikit manja dan usil.

"Le, mulai besok kamu yang ke pabrik, ya. Bu e capek, mau istirahat aja di rumah." Ndoro Anjani membuka pembicaraan. Ia berpikir sudah waktunya Rayi meneruskan kerajaan bisnis peninggalan kakek buyutnya. 

Keluarga Rayi memiliki perkebunan tebu dan teh yang sangat luas. Usaha itu dari generasi ke generasi selalu berkembang hingga mencapai puluhan hektar. Ratusan pekerja berdatangan setiap hari memetik dan mengangkut hasilnya kemudian dikirim ke kota untuk diolah. Namun, hal itu tak dapat dilakukan di saat musim hujan. Untuk menyiasatinya tercetuslah ide kakek Rayi membangun pabrik pengolahan tebu dan teh sendiri. 

"Bu e, Rayi belum siap. Selain itu masih ada urusan. Ijazah dan sertifikat pesantren juga belum keluar. Masih harus bolak-balik ke pondok." Rayi menatap lekat dan menggenggam erat tangan ibunya. 

"Hhhhmmmm ... gitu terus, ya sudahlah. Le, tapi kamu harus janji kalau udah rampung, cepet bantu Bu e." Anjani menarik napas dalam-dalam mendengar jawaban putra tercinta.

Wanita itu ingin sekali Rayi segera mengikuti jejaknya mewarisi yang sudah digariskan. Ia pun membalas genggaman tangan Rayi. Perlahan kepala mereka saling bertaut. Dari tempatnya, Raya dan Mabok Yati tersenyum puas melihat keakraban mereka berdua.

"Kalau makannya sudah, kamu cepat ke kamar, istirahat. Biar Raya yang bawain tasnya!" Anjani menepuk bahu Rayi dan beranjak dari tempat duduknya. Ia meninggalkan tuan muda yang masih makan.

Raya hendak mengambil tas Rayi, tetapi ditahan. Tuan muda itu ingin Raya menunggu sampai menyelesaikan makannya. Gadis itu tak banyak bicara, ia mengangguk pelan menyetujui permintaan sang majikan. Selesai makan, Raya segera mengemasi meja dan merapikan seperti semula. Kemudian ia mengikuti langkah kaki Rayi menuju kamar pribadinya.

"Ya udah, sampai sini aja. Maturnuwun." Rayi berhenti di depan kamar. Lagi-lagi Raya hanya mengangguk. Wajahnya kusut, tak nampak keceriaan di sana. Melihat itu, Rayi jadi penasaran dan memintanya untuk berbagi. 

"Kenapa? Dari tadi diem aja." tiba-tiba Rayi menarik tangan Raya. Gadis itu limbung dan hampir saja menimpa tuannya yang sudah duluan duduk di lantai.

Beruntung Rayi sigap, tangannya mencengkram kuat tubuh Raya. Gadis itu segera berdiri dan mengatur jaraknya. Ia merasa baru saja terkena aliran listrik bertegangan tinggi. 

"Maaf, Den. Saya tidak sengaja. Tolong jangan duduk di sini. Nanti ndoro putri murka." Raya tertunduk wajahnya kembali merona. Antara malu dan takut berdekatan dengan tuan muda. Raya merasakan hal aneh yang ia sendiri tak mengetahui.

"Gak apa-apa. Bu e, 'kan gak tahu." jawab Rayi santai.

Raya pun memberanikan diri duduk di samping tuan muda. Mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan di tenggorokan. Rayi semakin penasaran, ia pun menghadap ke arah Raya dan merapatkan duduknya. 

"Itu, Den. Anu ... Saya mau ngelanjutin sekolah, tapi simbok gak sanggup biayanya. Saya mau sekolah di tempat Den Rayi yang ada sekolah dan ada ngajinya. Pokok e mau jadi kayak Den Rayi."

Berbagi dengan Rayi, sifat asli Raya kembali muncul. Cerewet dan gemesin. Rayi sedikit menggeser duduknya tatkala melihat Raya beberapa kali membasahi bibirnya yang merah. Ada degup yang tak biasa yang baru pertama kali ia rasakan.

"Ya udah, sana daftar. Nanti keburu tutup." Jawab Rayi. Matanya lekat menatap Raya. Gadis itu terdiam. Merasa Rayi tidak memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi.

"Simbok itu nggak punya uang, Den. Mahal! Ngerti ora son!"

Raya tampak lucu, saat bibir tipisnya mecucu. Dia juga tampak sangat kesal tuan muda masih tak memahami. Sontak Rayi jadi tertawa geli melihat Raya melotot padanya.

"Kata siapa mahal? Aku disitu nggak pernah bayar. Malah sering dapat duit, diajak jalan-jalan." Rayi menjelaskan sambil menahan tawa. Tak mau Raya tiba-tiba kabur saat diajak bicara. Seperti yang biasa ia lakukan.

Untuk kalangan bawah, sekolah Rayi memang terbilang mahal. Hanya keluarga berkecukupan yang mampu masuk dan bersekolah di sana. Rayi pemuda pintar dan berbakat. Selain akhlaknya yang sopan, dia juga ramah dan periang. Barbagai kejuaraan sering kali ia ikuti untuk mewakili pesantrennya.

"Beneran nggak bayar, Den? Kalau gitu, anterin Raya daftar, ya. Aku pasti akan belajar sungguh-sungguh supaya ndoro dan Den Rayi tidak kecewa." Raya memelas. Ditakupkan kedua tangan di depan dada. Memohon supaya Rayi bersedia mengantarkan mendaftar di pesantren tempatnya.

"Iya, aku coba hubungi bagian pendaftaran dulu masih buka apa nggak?" Rayi mengambil ponsel dari saku tasnya. Nampak ia memindai satu per satu nama-nama di kontak miliknya.

"Makasih banyak, Den. Aku mau kasih tahu simbok dulu." Tanpa sadar Raya merangkul tangan Rayi erat. Gadis itu sangat senang, harapannya melanjutkan sekolah bisa segera terwujud.

Rayi tak berani bergerak. Ada desir halus perlahan memenuhi relung hati. Dadanya bergemuruh, degup jantungnya pun berdetak terasa lebih cepat. Meski tertutup kerudung aroma wangi rambut Raya mengusik pikirannya. Jarak mereka sangat dekat, tuan muda itu menarik nafas dalam-dalam berusaha menguasai gejolak dalam diri.

"Ehem. Raya, tolong lepasin. Aku takut ada yang ..." Rayi tak melanjutkan ucapannya. Bibirnya mendadak terasa kelu.

Raya terperanjat. Segera ia melepaskan rangkulannya. Ia sangat menyesal karena terlalu senang hingga tanpa sadar melakukan hal itu. Tak mau terjadi kesalahan yang sama, ia pun meminta izin untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

Akhirnya Rayi bisa bernapas lega, biang kerusuhan di hati perlahan pergi menjauh. Ia terus memandangi punggung Raya sampai gadis itu benar-banar tak tetangkap netra elangnya. 

Di dalam kamar, Rayi senyum-senyum sendiri. Segala yang terjadi di depan kamarnya terekam jelas dalam ingatan. Mata, hidung, bibir gadis kecil itu tampak sangat sempurna. Berulang kali ia memegangi dadanya merasakan debaran yang kian bertalu.

Raya, gadis itu perlahan telah mencuri hati Rayi. Dalam hitungan detik, ia mampu meluluh lantakkan pertahanan putra tunggal Anjani. Don Juan yang selalu jadi idaman para gadis keluarga terpandang. Segera ia mengusap wajahnya dan mengucap istighfar. Semuanya yang terjadi di luar jangkauannya.

🌺🌺🌺🌺

Azan Magrib berkumandang. Segera Rayi menggelar sajadah hendak salat berjemaah di musalla keluarga. Tempat yang luas berada di samping rumah. Lepas jemaah; Rayi, Anjani, Mbok Yati dan Raya melaksanakan kegiatan rutinan yang biasa dilakukan saat tuan muda di rumah. Mereka membaca Al-Qur'an secara bergantian. Tak jarang Rayi selingi dengan membaca dziba' (ad-dziba i), manaqib, atau juga rotibul haddad.

Semua kegiatan Rayi yang mengatur. Para wanita hanya menurut apapun yang ia kehendaki. Mereka baru akan kembali ke kamar masing-masing setelah jemaah Isya’. Setelahnya sudah menjadi tugas Rayi saat para wanita masuk ke kamar, ia akan melipat karpet dan membersihkan mushalla.

"Raya, udah matur simbok belum kalau mau daftar sekolah?" tanya Rayi saat Raya menyiapkan makan malam. Gadis itu terdiam. Wajahnya murung membuat Rayi tak nyaman. Ia suka Raya yang cerewet dan manja.

"Belum, Den. Tapi Raya gak berani. Takut, nanti simbok jadi kepikiran." jawab Raya lemah sembari menyusun piring di meja. Entah mengapa Rayi merasa semua yang dilakukan gadis kecil itu menarik perhatiannya.

"Piye toh, katanya mau sekolah. Ijin saja nggak berani. Nanti kehidupan di pondok itu keras, Raya. Kamu sekolah, ya ngaji, bangun malam, belum yang lain-lain." Rayi berucap dengan nada menggurui. Raya dalam diam mendengarkan ucapan tuannya. Dia pun mendapat ide supaya pria tampan itu membujuk Anjani memintakan izin untuknya.

"Bantu ya, Den?” Raya mengerlingkan matanya, menggoda tuan muda. Rayi tak berkutik, ia salah tingkah di hadapan Raya. Selama ini belum pernah sekalipun ada yang berani menggodanya. 

"Asem." Rayi bergumam.

Lain Raya, ia terkekeh tuan muda jengkel padanya. Tampak Rayi menarik napas dalam-dalam sebelum mengiakan permintaan gadis bau kencur itu. Ia sungguh tak kuasa menolak. Niat Raya mulia. Hal yang jarang dilakukan para gadis di desanya. Sedikit sekali orang tua yang memikirkan pendidikan putrinya. 

"Em ... ya sudah, nanti aku bantu matur Bu e. Tapi bener ya, di sana kamu harus belajar sungguh-sungguh. Buat kami bangga." Rayi pun setuju.

Seketika senyum merekah indah di bibir tipis Raya. Tuan muda segera menghindar, saat tangan Raya refleks hendak merangkulnya.

"Maaf, Den. Saya terlalu gembira.” Raya tertunduk. Ia pun segera berlalu menjauh. Rayi bingung hanya bisa menepuk jidatnya. Ia merasa sudah sangat berlebihan pada Raya. Bukankah selama ini gadis itu sudah menganggap seperti kakaknya sendiri.

"Bu e … Raya suruh makan sini aja bareng kita. Ini masih cukup kok, nasi sama lawuhnya." pinta Rayi sambil menunjuk aneka hidangan di depannya. Anjani keberatan. Ia menolak dengan sangat halus. Selama ini belum pernah ada cerita majikan makan bersama dengan pelayan.

"Raya nanti, makannya sama Mbok Yati. Kasihan, 'kan, kalau mbok Yati makan sendirian." ucap Anjani memberi alasan. Ia pun segera mengalihkan topik pembicaraan. Berharap supaya putranya tidak terus meminta mengajak Raya makan bersama.

"Kamu kapan balik ke pondok? Cepet diurus ijazahnya." Ndoro bercakap di sela-sela makan. Rayi langsung menaruh telunjuknya di mulut. Ndoro Anjani terdiam. Ada rasa bangga dan malu dalam diri. Rayi terlihat sangat menikmati hidangan lezat olahan Raya dan ibunya.

Penghuni rumah itu bersiap menyambut Ramadan. Rayi dan Raya bertugas membersihkan sekeliling area rumah. Mereka bahu membahu menjangkau tiap sudut. Mbok Yati bertugas di dapur membersihkan seluruh perabot dan menyusun kembali ke tempatnya. Begitu juga dengan Anjani, ia memilih pakaian yang masih layak untuk dibagikan. Semua tampak antusias.

Hari-hari dilalui dengan bahagia. Berbuka dan sahur bersama. Rayi tak segan turun tangan membatu menyiapkan hidangan. Dirinya pun semakin dekat dengan Raya. Perlahan menyelami hati gadis itu walau tak berbalas. Ia menggap perhatian yang diberikan Rayi sekadar hubungan biasa antara kakak dan adik.

Ramadan karim berlalu sangat cepat. Menyisakan kenangan manis di hati Rayi. Tuan muda itu merasa Rayalah sosok gadis impian yang selama ini ia cari. Pintar, sedikit cerewet, periang, dan juga ayu rupawan. Tentu tidak mudah bagi mereka karena banyak perbedaan.

Tuan muda lebih dewasa dan juga keturunan dari keluarga berada. Ia harus lebih bersabar menunggu sampai gadis kecil itu meyelesaikan sekolah. Saat ini ia hanya menikmati semua proses, sampai pada waktunya berharap Raya akan tahu tentang perasaannya.

 "Bu e, kalau besok aku ke pondok gimana? Sekalian mau anterin Raya. Dia itu mau lanjutin sekolah MA di sana," bisik Rayi.

Anjani terbelalak mendengar ucapan putranya. Dia berpikir Rayi hanya bercanda.

“Le, kamu itu sadar apa nggak barusan ngomong apa? Di pondokmu itu mahal!” papar Anjani. Ia tak habis pikir yang telah dilakukan putranya.

Seketika Rayi meletekkan jari telunjuk di ujung bibir. Memohon Anjani memelankan suaranya. Anjani pun tampak semakin bingung dengan sikap putranya. 

"Bu e ... Raya ikut kita sudah sangat lama. Kita wajib memperhatikan pendidikannya. Tolong izinin dia sekolah. Selain itu, anaknya juga pinter, kok. Kalau nanti berprestasi, Bu e juga, kan yang bangga. Dijamin temen-temen arisan Bu e pasti tambah kagum dan hormat." Rayi mencoba meyakinkan Ibunda tercinta. Anjani bergeming, ia kekeh dengan pendiriannya.

Anjani hanya ingin Raya bersekolah di tempat yang tak jauh dari kediamannya. Setelah pulang gadis itu bisa segera membantu ibunya. Rayi tak mau kalah, ia memberi banyak contoh tentang hal-hal baik yang didapat Raya kalau bersekolah di pondoknya. Anjani serius berpikir. Akhirnya ibu Rayi itu mengiakan. 

"Alhamdulillah, matursuwun, Bu e." Rayi bangkit dan merangkul erat ibunya. Hatinya berbunga-bunga. Ia sangat bersyukur Raya dapat melanjutkan mimpinya. Bisa memberikan kebahagiaan pada orang tersayang rasanya sungguh luar biasa. Baru kali ini Rayi merasakannya. 

Restu ibunya sudah didapat, kini tidak ada lagi alasan Mbok Yati melarang Raya melanjutkan sekolah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status