#PoV Raya
Keheningan malam kembali menghimpitku. Dada terasa begitu sesak dan jiwa meronta. Entah apa yang sedang terjadi, aku merasa sangat sedih untuk hal yang tak kumengerti. Semua begitu aneh membuatku sangat gelisah.
Sudah seminggu lebih badanku terasa meriang. Panas dan dingin datang bergantian rasanya sungguh tak karuan. Namun begitu, aku tetap beraktivitas seperti biasa. Mengaji, berangkat ke sekolah, dan menjalankan tugas sebagai keamanan pondok.
Aku berpikir mungkinkah semua ini ada hubungannya dengan mimpi-mimpiku. Aku merasa sesuatu terjadi pada Den Rayi. Ia berulang kali hadir dan mengganggu tidur malamku. Wajahnya murung dan tampak bersedih. Ia mengiba meminta tolong dan menyuruhku untuk segera pulang.
Den Rayi, tuan muda yang sangat baik. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan status yang melekat pada dirinya. Tidak pernah menjaga jarak denganku yang hanya seorang putri pelayan. Usia kami terpaut jauh, hal itulah
#Part_15 Pagi yang cerah menyapa pesantren Raya. Seperti tahun-tahun sebelumnya setelah ujian, para santriwati sibuk mempersiapkan lomba. Acara puncak menguji fisik, kekompakan, dan kemampuan bertaktik. Tak lama berselang peluit panjang pun dibunyikan, pertanda pertandingan akan segera dimulai. Seketika sorak-sorai para santriwati membahana menggelitik kaki Raya. Walau masih lemah, sekuat tenaga ia bangkit. Raya tak ingin melewatkan teman-teman sekamarnya berjuang meskipun tidak dapat ikut berpartisipasi. Gadis itu pun melangkah semakin cepat, mencari tempat duduk yang nyaman supaya bisa melihat pertandingan. Satu per satu kakak panitia memanggil nama para peserta. Tepuk tangan terdengar riuh mengiringi langkah kaki mereka. Kali ini Raya tak mau kalah, ia berteriak-teriak menyemangati teman sekamar. Hari itu memang telah ditunggunya sejak lama, kejuaraan untuk memperebutkan gelar sebagai kamar terbaik dan juga santriwati terkompak. Aisyah yang m
#Part_16 Menjelang Magrib, tamu yang hadir semakin berjubel. Keluarga Hanum sengaja mengundang seluruh warga desa dan juga dari warga desa lain untuk ikut serta merasakan kebahagian kedua mempelai. Rayi yang sangat kelelahan tetap memasang wajah semringah. Ia takingin mengecewakan ayah Hanum, Suryo. Tuan muda dan Hanum rela berdiri berjam-jam untuk menyalami para undangan. Sesaat kemudian suara Azan terdengar, menggema memecah keramaian pesta. Seketika ruangan yang sangat luas itu mendadak senyap. Para tamu terdiam, tenggelam dalam lantunan merdu sang bilal. Hal berbeda dirasakan Rayi, mendadak degup jantung kembali berdetak kencang. Ia merasa takut membayangkan yang akan terjadi setelah resepsi selesai. Dari tempat duduknya Mbok Yati melihat gelagat mencurigakan dari seseorang yang tiba-tiba berlari ke arah Hanum. Ia sama sekali tak memedulikan Rayi yang sedari tadi memperhatikan. Seorang wanita dalam balutan gaun malam dengan rambut dicat pirang
#Part_01“Mbok, makanan sudah siap belum? Kamar tidur? Kamar mandi juga, sudah disikat belum? Hari ini Den Rayi pulang lho!" suara nyonya rumah terdengar lantang memekikkan telinga.Pagi itu kediaman Anjani yang biasa sunyi berubah gaduh. Seluruh penghuni bersiap menyambut tuan muda. Putra tunggal yang diharapakan menjadi penerus keluarga. Ia biasanya pulang setahun sekali hanya pada saat Ramadan tiba. Waktu yang singkat inilah yang membuat ibunya ingin selalu memberikan yang terbaik untuknya.Akan tetapi, tahun ini berbeda. Rayi pulang karena telah menyelesaikan pendidikannya. Ia akan kembali untuk mengabdi dan berbakti pada ibu tercinta. Ndoro Anjani sangat senang akhirnya mereka bisa berkumpul bersama."Sampun, Ndoro," jawab mbok Yati setengah berteriak dari dapur. Ruangan yang luas membuatnya harus senan
Bopo Rayi, Raden Candra meninggal dunia saat usianya menginjak remaja. Sejak saat itu ia seperti kehilangan arah. Tak ada lagi keceriaan dan lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Anjani sangat khawatir dengan keadaan itu. Ia takut Rayi depresi. Atas saran keluarga besarnya, putra semata wayang itu pun dimasukkan ke pesantren. Ada banyak pertimbangan yang membuat Anjani rela melepas sang putra. Ia berharap hal itu akan memberikan manfaat untuk masa depan Rayi. Selain itu, di sana banyak teman sebaya dengannya sehingga perlahan ia dapat melupakan kesedihannya. Tepukan lembut Rayi menyadarkan Anjani dari lamunan. Ia tersenyum tipis, lalu mengusap kepala sang putra. Sepuluh tahun sudah Rayi menimba ilmu dan kini ia kembali. Tak ada yang berubah, putranya masih seperti dulu. Sedikit manja dan usil. "Le, mulai besok kamu yang ke pabrik, ya. Bu e capek, mau istirahat aja di rumah." Ndoro Anjani membuka pembicaraan. Ia berpikir sudah waktunya Rayi meneruskan ke
#Part_03 Raya sungguh berbahagia. Cita-citanya melanjutkan pendidikan di tempat impian akan segera tercapai. Rayi dan ndoro putri Anjani telah berhasil meyakinkan ibunya. "Nduk, nanti di sana jangan nakal ya. Bawa diri baik-baik. Belajar yang rajin. Jangan bikin malu Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati berlinang air mata menasehati putri bungsunya. Diusap lembut kepala Raya dengan penuh kasih sayang. "Iya, Mbok. Raya janji akan belajar sungguh-sungguh." Raya memeluk erat simboknya. Mereka seakan tak ingin berpisah. Mbok Yati memiliki tiga buah hati. Dua laki-laki dan satu perempuan. Ayah Raya meninggal saat dia masih dalam kandungan. Kehadiran Raya merupakan rizki terindah yang tak ternilai. Ia menjadi pelipur lara dalam kesedihan. Sejak saat itu semua kebutuhan mbok Yati dan ketiga anaknya menjadi tanggung ja
#Part_04 Alhamdulillah, ya, Allah!" rasa syukur terucap dari bibir Raya. Ia bersorak gembira, mendengar namanya disebutkan. Kini Ia akan belajar di pesantren Rayi bersama teman-teman yang berjumlah ratusan santri. Mereka pun bergegas menghambur ke luar menemui keluarganya. "Den, saya diterima! Saya diterima!" sorak Raya bersemangat. Raya segera berlari memeluk erat Rayi. Kemudian menyandarkan kepala di dada tuan muda. Tetes bulir bening mewarnai kelopak mata ungkapan rasa suka cita. Sungguh ia tak sadar apa yang telah dilakukannya. Gadis itu tenggelam dalam euphoria kebahagiaan. Entah apa yang dipikirkan Rayi, ia membalas pelukan Raya. Tangan kekarnya melingkar erat. Membenamkan semakin dalam dan mencium lembut kepala gadis kecil itu yang telah memberinya kebahagiaan. "Iya. Kamu memang pantas mend
#Part_05Aisyah mempersilakan Raya duduk. Lalu, ia menuangkan segelas air dan memberikan pada gadis itu. Adik Ustaz Soleh yang dipercaya sebagai keamanan asrama itu tersenyum tipis melihat tangan Raya gemetar saat menerima gelas. Raya terlihat ketakutan.Dalam ruangan dengan penerangan seadanya, kecantikan Raya masih jelas terpancar. Dipandangi dalam-dalam gadis yang baru beberapa jam masuk ke asrama itu dengan tatapan menyelidik. Tanya jawab ringan pun diajukan, Aisyah ingin mengenal pribadi Raya lebih dalam.Gadis yang belum genap berusia 16 tahun itu terkejut tatkala Aisyah menanyakan hubungannya dengan tuan muda Rayi, sampai-sampai pemuda tampan itu mencantumkan namanya sebagai wali yang boleh mengunjunginya. Masih dalam kebingungan Raya berterus terang. "Saya anak abdi ndalem di rumah Den Rayi, Ustazah. Ndoro Anjani majikan simbok saya."Mendengar kejujuran Raya, keadaan berbalik. Aisyah tampak terpaku, tak percaya. Namun begitu, adik S
#Part_06Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya."Le ... Alhamdulillah. Us