Tut ... Tut ... tiba-tiba ponsel Mas Elman berdering. Wajahnya berubah panik saat mendengar suara dari seberang. "Siapa Mas?""Dita ... " Mas Elman bangkit dari duduknya, kemudian buru-buru berjalan ke kamar, tak lama kemudian keluar, sambil memakai jaketnya. Wajahnya paniknya nampak makin menjadi. "Mas, mau kemana?" tanyaku bingung. "Dita kecelakaan, aku ke rumah sakit sekarang!" Tanpa menunggu jawabanku, Mas Elman berlalu. Tak lama kemudian terdengar suara mobilnya meninggalkan rumah. Aku mengerang kecewa, katanya nggak punya perasaan apa-apa, tapi mendengar Mbak Dita kecelakaan, paniknya luar biasa. Akhirnya aku memutuskan kembali ke kamar Zila, setelah mengunci pintu dan pagar. Meski tidak mengantuk, tetap kupaksa mata ini agar terpejam. Azan subuh membangunkan tidurku, gegas aku bangkit, untuk menjalani kewajibanku. Saat kulihat kamar Mas Elman, maksudku kamar kami berdua, kosong. Mas Elman tidak ada. Pun di tempat lain, tak kutemukan keberadaan suamiku itu. Mencoba berfik
"Kalian dari mana saja? Aku sampai panik, bangun-bangun kalian udah nggak ada," ucap Mas Elman menyambut kedatanganku. Ada sorot khawatir dalam tatapannya, tulus, tidak dibuat-buat. "Aku dari daycare, Papa." Zila yang menjawab, bukan aku. Mas Elman berjongkok, menyamai tinggi putrinya. "Dari daycare?" Gadis berambut kepang itu mengangguk antusias. "Seneng dong? Tadi di sana ketemu siapa?" tanya Mas Elman kemudian. "Tante Lianti, sama temen-temen Zila," jawab Zila, dengan gaya bicara khas anak kecil. Mas Elman memeluk dan mencium pipi Zila. "Zila, ke kamar dulu ya? Papa mau bicara sama bunda sebentar." Gadis itu mengangguk lalu berlari. "Kenapa nggak pamit dulu?" ucap Mas Elman lembut. "Kan kamu tidur, Mas. Aku nggak berani ganggu, kayaknya kamu capek banget," jawabku datar. "Ya kalau hanya untuk pamitan, kan nggak pa-pa Ra. Daripada aku kebingungan, mana telfonnu nggak bisa dihubungi lagi. Aku sampai mikir yang enggak-enggak tadi, takut kalau terjadi sesuatu sama kalian.""Tel
#Merengkuh_Hati_Suamiku 9Alunan ayat suci yang biasa dilantunkan sebelum azan mengusik tidurku, perasaan baru tidur sebentar, tiba-tiba saja sudah mau subuh. Perlahan kubuka mata, aku sedikit terkejut mendapati diri ini tidur dalam pelukan Mas Elman. Apalagi saat melihat tubuh polos kami di bawah selimut yang sama. Aku jadi tersenyum sendiri, mengingat aktivitas kami sebelum terlelap. Nggak nyangka, aku sudah menjadi istri sepenuhnya. Perlahan ku singkirkan tangan Mas Elman yang melingkar di perutku, bermaksud turun dari tempat tidur. Aku butuh membersihkan diri."Mau kemana? Masih pagi ini, tidur aja lagi," ucap Mas Elman dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Tanpa membuka mata. "Aku mau mandi, Mas. Sudah mau subuh." Bukannya melepaskan, Mas Elman justru semakin mempererat pelukannya. "Mas .... Lepas dong! Aku mau mandi, badanku rasanya lengket semua," rengekku manja. "Aku masih belum bisa move on, Sayang. Lagi yuk!" Duh, kenapa Mas Elman jadi mesum begini, padahal biasan
Waktu menunjukkan pukul setengah sembilan, saat Zila terlelap. Berarti sudah lebih dari satu jam, Mas Elman ngobrol dengan tamunya. Perlahan aku beringsut dari tempat tidur, bermaksud menyusul suamiku. Penasaran, obrolan apa yang membuat mereka berlama-lama di ruang tamu. "Terimakasih ya, El, kamu memang berhati baik. Coba kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa yang terjadi padaku malam itu." Tunggu, kok ada suara perempuan? Perasaan tadi Dito sendirian, mana suaranya familiar sekali di telingaku. Itu suara Mbak Dita. "Sama-sama, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan," balas Mas Elman. "Aku harap kamu mempertimbangkan tawaran ku, kalau kamu takut istrimu melarang, kamu diam aja nggak usah cerita. Toh kamu bisa melakukannya setelah pulang kerja." Duh, bikin penasaran aja. Apa sih maksud Mbak Dita ngomong kayak gitu? Jangan-jangan dia minta dinikahi Mas Elman, bisa jadi kan? Itu tidak boleh terjadi, aku harus menggagalkan rencana mereka. "Eh, ada Mbak Dita. Apa kabar, Mbak
Sejak malam kedatangan Mbak Dita dan adiknya, sikap Mas Elman berubah 180°, tak lagi hangat dan mesra, seperti saat hubungan kami membaik. Bahkan dia sering pulang malam dalam keadaan capek, kalau sudah begitu, dia akan langsung tidur setelah mandi. Ritual sarapan pagi pun, dia lewatkan begitu saja. Alasannya, pekerjaan sudah menunggu. Sesibuk itukah suamiku? Aku dan Zila terpaksa berangkat ke day care berdua, naik motor matic yang kubeli sebelum menikah. Rasanya hubunganku dengan Mas Elman lebih buruk daripada awal menikah dulu. Kalau dulu masih ada Eyang, dia masih bersikap mesra, meski hanya pura-pura. Tapi sekarang? Ingin sekali aku menjadi detective dadakan, menyelidiki kegiatan suamiku bila sedang di luaran. Namun apa daya, aku harus bekerja, dan masih harus mengurus Zila. Untuk menyewa orang membuntuti suamiku, aku tak tahu harus menyuruh siapa. Aku belum lama tinggal di kota ini, tak banyak kenalan. Hanya Riyanti teman dekatku, tapi gadis itu pun sama denganku, dia pendatang
Atas ide Riyanti, aku meretas WA Mas Elman. Meski terlihat polos, ternyata gadis itu lihai juga urusan sadap menyadap HP. "Nih! Kamu sudah memantau komunikasi suamimu," ucap gadis yang usianya lebih muda tiga tahun dariku itu, sambil menyerahkan ponsel. "Makasih ya?" Aku menerima ponsel itu, sambil men scrol riwayat chat suamiku. Nggak ada yang aneh, semuanya normal. Percakapan pun membahas seputar pekerjaan. "Aman aja, Ri. Nggak ada yang aneh," gumamku. "Mungkin chat lama sudah dihapus, sementara belum ada chat baru yang masuk. Biasanya orang selingkuh itu lihai, pinter nyari celah. Mereka sudah mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa membongkar kebejatan mereka." Aku mengangguk-angguk mendengar penjelasan Riyanti. Masa iya Mas Elman sudah se-ekspert itu? Perasaan dia orangnya kalem. Selama ini tidak ada gejala-gejala yang aneh, hanya sering pulang malam itu saja. "Kalau misalnya mereka pakai aplikasi lain gimana? Kan ada telegram, messenger, we chat, atau mungkin kak
Aku bisa saja melabrak mereka, menampar keduanya, melampiaskan semua amarah, melampiaskan kekecewaan atas penghianatan mereka. Tapi apa daya, nyatanya aku tak sanggup melihat mereka bersikap mesra, aku tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi berikutnya. Apakah mereka sekedar makan malam, atau berlanjut hingga ke ranjang. Kuputuskan untuk segera pulang, bagiku pertemuan ini sudah cukup membuktikan, bahwa selama ini Mas Elman membohongiku. Tak ada lagi kompromi, penghianatan tak bisa dimaafkan. Setengah mati aku berusaha menjadi istri dan ibu yang baik untuk anaknya, tapi mendapat balasan yang sangat menyakitkan. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis, meski awalnya sudah menduga, tapi melihat kenyataannya ternyata sakit luar biasa. Kenapa Mas Elman tidak jujur saja, kalau masih mencintai Mbak Dita. Kenapa dia memintaku membuatnya jatuh cinta, kalau nyatanya hati dia masih milik Mbak Dita. Rasanya tidak akan sesakit ini, kalau aku tidak terlanjur jatuh cinta. Hal yang palin
"Mas," ucapku ragu. "Mulai hari ini dan seterusnya, tolong kamu urus Zila. Aku mengundurkan diri jadi istrimu." Akhirnya kata-kata itu lolos dari bibirku. Rahang Mas Elman mengetat, matanya menatapku tajam. Jelas sekali terlihat dia tidak suka mendengar ucapanku.. "Maksudmu apa?" "Aku menyerah, Mas. Aku tidak sanggup lagi menjadi istrimu," ucapku pelan, bahkan nyaris tidak terdengar. Mas Elman menghembuskan nafas kasar, dia menatapku dalam-dalam. "Kenapa tiba-tiba? Pernikahan kita baik-baik saja. Aku merasa kita tidak ada masalah. Tolong jelaskan apa alasannya, apa ini ada hubungannya dengan pergimu semalam?" Aku mengangguk tanpa bersuara. "Memangnya kamu pergi kemana? Ketemu siapa?" cercanya."Jawabannya ada dikamu, Mas.""Maksudmu?""Kamu bisa jawab pertanyaanmu sendiri, Mas.""Nira, tolong jelaskan sejelas-jelasnya, nggak usah muter-muter. Kepalaku pusing, kamu pergi tanpa sepengetahuanku, dan tiba-tiba minta cerai. Kenapa aku yang harus menjelaskan." Nada suara Mas Elman terd