"Aduh El .... Kamu ngapain aja sih? Aku WA nggak dibalas, ditelfon nggak diangkat. Aku ke kantormu, katanya kamu ada perlu di luar. Untung lokasimu nyala, jadi aku bisa menemukan kamu di sini."
Aku dan Mas Elman saling tatap, bisa ku lihat suamiku ini merasa tidak nyaman dengan kehadiran Mbak Dita di antara kami. Tapi aku masih menunggu, bagaimana reaksi Mas Elman, apa yang akan dia katakan pada Mbak Dita? Mas Elman meletakkan sendok di atas piring, aktivitas menyuapi Zila dia hentikan. "Hm!" Mas Elman berdehem, lalu dia menatapku beberapa saat, seperti minta persetujuan. " Telfon sengaja aku silence. Lagi pengen quality time sama anak istri," jawab Mas Elman datar. Mbak Dita menghempaskan pantatnya di kursi sebelah Mas Elman, lalu berkata, "tapi nggak harus matiin HP juga, kan? Bukan acara penting, ini." Wajah Mbak Dita merengut, bibirnya mengerucut. Lagaknya sok manja, harusnya dia tahu sikapnya itu tidak pantas dilakukan oleh perempuan seumuran dia, apalagi pada suami orang.Tak tahan dengan sikap Mbak Dita, yang menurutku sok imut itu, aku pun angkat bicara. "Nggak penting, ya? Jelas nggak penting menurut Mbak Dita, karena Mbak Dita itu orang luar. Wajar dong kami ngumpul begini, namanya juga keluarga," sindirku, berharap Mbak Dita cukup peka. Aku berusaha bersikap tenang, dan tidak terbawa emosi. Meski dalam hati ingin memaki-maki wanita tak tahu diri ini. "Aku nggak ngomong sama kamu!" ketusnya, "El, kamu kok diam aja sih? Istrimu itu lho, nyebelin banget, sih." Mbak Dita merajuk manja. "Ta, tolong jaga sikapmu!" Mas Elman terlihat mulai jengkel, tapi nada suaranya masih pelan. "Kok kamu malah marah sama aku, sih?" protes Mbak Dita tak terima. "Aku nggak marah, Ta. Tapi kamu harus tahu tempat. Apa kamu nggak malu jadi tontonan orang?" Beberapa pengunjung memang terlihat mengalihkan pandangan ke arah kami. Dalam hati aku tertawa sinis, umur saja sudah tua, tapi kelakuan kayak balita. Padahal dia lulusan luar negeri, apa dia nggak bisa mikir pakai logika. Dilihat dari sisi manapun, sikapnya sangat tidak pantas, bermanja-manja pada pria beristri, di depan anak istrinya pula. "Kamu berubah El, nggak seperti dulu lagi. Semua ini pasti gara-gara dia, kan?" Mbak Dita menatapku penuh kebencian. Perempuan ini makin lama, makin ngelunjak, mentang-mentang aku diam, dia jadi makin kebablasan. Sepertinya dia harus ditegasi, biar tidak semakin kurang ajar. "Jelas Mas Elman berubah, Mbak. Dan memang harus berubah, karena dia sudah punya istri. Yang keterlaluan itu kamu! Apa diluar sana sudah tidak ada laki-laki singel yang menarik? Atau Mbak Dita sudah tidak laku? Sampai-sampai mengejar suami orang?" ejekku. Dari kemarin aku sudah menahan diri, menjaga sikap dan ucapan. Berusaha bersabar, berharap Mbak Dita punya sedikit merasa sungkan. Tapi sepertinya Mbak Dita bukan tipe orang yang punya etika. Buktinya, bukannya sadar diri, dia malah semakin menjadi-jadi. "Kamu!" Mbak Dita bangun dari duduknya, dia menatapku tajam, tangannya terayun ke udara siap menamparku, tapi dengan cepat Mas Elman menangkisnya."Sebaiknya kamu pergi dari sini, Ta. Kamu nggak mau diseret satpam karena membuat keributan, kan?" ucap Mas Elman dingin. Aku tersenyum menang, sementara Mbak Dita menatapku tajam. "Kamu jangan seneng dulu, karena Elman membelamu. Dia hanya tidak ingin terjadi keributan. Ingat! Aku masih akan tetap memperjuangkan Elman!" ucap Mbak Dita sebelum meninggalkan area food court. "Omongan Dita nggak usah kamu masukin hati, dia hanya terbawa emosi saja," ucap Mas Elman setelah Mbak Dita pergi. "Gimana nggak kepikiran, Mas. Sejak pemakaman eyang, sudah kelihatan sekali dia ingin mendekatimu lagi. Apalagi sekarang dia terang-terangan mengakui, akan memperjuangkan kamu," jawabku sedikit kesal, mendengar ucapan Mas Elman, yang kesannya menganggap sepele sikap Mbak Dita, yang jelas-jelas melampui batas. "Ayo makan! Kamu lapar kan?" Ini yang tidak kusuka dari Mas Elman. Sikapnya selalu ambigu, tidak jelas apa maunya. Andai saja dia bisa bersikap tegas, tentu Mbak Dita tidak akan seberani itu. * * * * * * * * * * * * * * *Sepanjang perjalanan pulang, kami saling diam. Hanya celoteh Zila mengisi kebisuan di antara kami. Sampai rumah, Mas Elman membuktikan ucapannya membantuku membereskan belanjaan, dia bahkan tidak kembali ke kantor. "Kamu masih marah?" Kami sedang di kamar Zila sekarang. Aku yang sedang menidurkan Zila, pura-pura tidak mendengar ucapannya. "Aku harus apa? Biar kamu nggak marah lagi?" Dasar nggak peka, rutukku dalam hati. "Ra, jangan diam saja. Lebih baik kamu marah, biar aku tahu maumu apa? Kalau kamu diam terus, aku jadi bingung sendiri."Itu juga yang aku rasakan selama menjadi istrimu, Mas. Kamu lebih banyak diam, aku sampai tidak tahu harus bersikap seperti apa. "Ra!" Mas Elman menggoyang pelan kakiku. "Sstt! Jangan berisik, nanti Zila bangun," ucapku pelan. "Y, kalau gitu kamu ngomong, jangan diam aja.""Ini kan sudah ngomong, Mas.""Maksudku, kamu ngomong. Kenapa kamu diemin aku dari siang?" Mas Elman menyugar rambutnya kasar. "Kita ngomong di luar aja, kalau di sini, takutnya Zila keganggu," ucapku seraya bangun dari posisiku yang sedang rebahan. "Sekarang katakan, apa yang ingin Mas dengar dari aku?" Sekarang kami sudah di ruang TV, duduk bersisian. "Kenapa kamu diemin aku? Aku punya salah apa?" Apa hanya suamiku yang tidak peka, atau semua laki-laki memang tidak memiliki kepekaan terhadap wanita? "Oke, aku akan jujur. Dan aku harap, Mas juga jujur padaku." Aku menjeda ucapan, mencari kalimat yang tepat, agar Mas Elman paham maksudku. "Katakan, perasaan Mas yang sebenarnya pada Mbak Dita," tuntutku."Perasaan? Perasaan apa?" Ck, masih tidak mau jujur.
"Kalian pernah menjalin cinta, kan? Sebelum Mas Elman akhirnya menikahi Mbak Diana? Kalau menurut pandanganku, cinta itu masih ada di antara kalian." Aku berkata sambil menatapnya dalam-dalam, sementara Mas Elman membuang pandangan. "Jangan salah paham, Ra. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa sama Dita." Kali ini tatapan Mas Elman lurus ke depan. "Aku salah paham? Bukannya Mbak Dita sudah terang-terangan mengakuinya? Kenapa Mas Elman nggak mau jujur saja, sih? Kalau memang Mas Elman sudah tidak mencintai Mbak Dita, kenapa nggak terus terang saja, biar Mbak Dita nggak terus-terusan ngejar kamu. Kalau memang kalian masih cinta, aku ikhlas kok. Aku akan mundur!" Nada suaraku mulai meninggi. "Nggak seperti itu, Ra. Bukannya aku nggak bisa tegas sama Dita. Aku hanya kasihan sama dia?" Kupikir orang pendiam seperti Mas Elman, kalau bicara akan to the point, tapi nyatanya muter-muter juga. "Kasihan?" Mas Elman mengangguk. "Kasihan Dita, dia menjadi korban --- " ucapan Mas Elman menggantung. Seperti ada sesuatu yang berat, yang membuatnya sulit berkata. Bersambung ...Pov Elman. 15 tahun kemudian. "Pa, Zila berangkat kuliah dulu ya." Zila mencium takzim punggung tanganku, kemudian berlalu, meninggalkanku sendiri di atas kursi roda ini. Kutatap punggung anak gadisku hingga menghilang di balik pintu. Tak terasa lima belas tahun berlalu, gadis kecil yang dulu rambutnya selalu dikepang dua itu, kini telah dewasa. Dia tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan mandiri, pantang menyerah dan lebih dewasa dari umurnya. Dialah yang selama ini menjadi penyemangatku, menjadi penghiburku dan menjadi sumber kebahagiaanku. Entah apa yang terjadi, andai tak ada Zila? Zila juga yang memaksaku bangkit, dari keterpurukan. Memaksaku menghadapi kenyataan, bahwa hidup bukan hanya untuk diratapi tapi dijalani. "Papa nggak kasihan Zila? Kalau Papa gini terus, nanti sekolah Zila gimana?" ucap Zila yang kala itu baru berusia delapan tahun. Tepatnya tiga tahun pasca tragedi kecelakaan, yang merenggut semua mimpi dan harapankan. Saat itu adalah titik terendah dalam hidupku,
Aku buru-buru lari ke IGD begitu selesai bicara dengan petugas rumah sakit, sementara Mas Bagus mengurus administrasi, bertindak sebagai wakil keluarga. Mas Elman hanya punya saudara satu ayah, itupun tinggal di Kalimantan sana. Sementara keluarga yang di sini hanya sepupu jauh, dan hubungan mereka tidak terlalu dekat. Apalagi ini sudah malam, kalau menunggu mereka datang akan kelamaan. Terpaksalah aku dan Mas Bagus yang mengurus semuanya. "Bundaa .... !" Zila langsung menghambur ke pelukanku begitu aku berada di dekatnya. "Zila takut, hu .... " Tangisnya kembali pecah, begitu kusandarkan kepalanya di sela leherku. "Cup, cup, nggak pa-pa sayang, ada Bunda di sini," ucapku sambil mengelus lembut punggungnya. Malam ini seharusnya menjadi malam pertamaku dengan Mas Bagus, tapi kabar dari rumah sakit yang menyampaikan kalau mobil yang ditumpangi Mas Elman mengalahkan kecelakaan, membuat kami menunda malam indah kami. Aku dan Mas Bagus yang baru selesai bersih-bersih badan, akhirnya la
Pov Elman"Hai ....!" pekik kedua perempuan itu lalu saling cium pipi kanan kiri, kemudian berpelukan. Padahal selama saling mengenal, Dita dan Nira tidak pernah akur. Jangankan berpelukan, bicara saja seperlunya. Kenapa sekarang mereka seperti dua orang sahabat yang sudah lama tidak bertemu? "Ya Allah .... Kamu cantik banget, Ra. Selamat ya, semoga kalian berbahagia sampai kakek nenek," ucap Dita masih memeluk tubuh ramping Nira. "Makasih, Mbak. Mbak Dita juga cantik banget, aura bumil memang beda," Nira membalas pujian Dita. Basa-basi yang membosankan, saling puji padahal aslinya ingin memuji diri sendiri. Dasar perempuan. "Masa sih? Kamu bisa aja." Tuh kan? Pada dasarnya perempuan memang gila pujian. "Terimakasih lho, Mbak Dita mau datang kesini. Padahal jauh, mana lagi hamil lagi. Berapa bulan ini, Mbak?" Nira mengelus lembut perut buncit Dita. "Tujuh bulan, Ra. Kamu cepet isi ya?""Iya, Mbak. Langsung gas pokoknya." Aku tersenyum kecut mendengar kelakar Nira. Sok akrab b
Pov ElmanAku menatap nanar surat undangan, yang baru saja diserahkan oleh asisten rumah tanggaku. Alhamdulillah, akhirnya Nira berjodoh dengan dokter ganteng itu. Aku turut bahagia, semoga Bagus bisa menjadi suami yang baik dan setia untuk Nira. Tidak sepertiku, lelaki tak tahu diri yang hanya bisa menyakiti. Sejak bercerai, aku dan Nira putus komunikasi, tak ada yang mengikat kami, jadi tak ada alasan untukku bicara apapun. Tapi dengan Zila, dia masih telfonan. Pernah suatu hari Zila merengek memintaku mengantar ke rumah orang tua Nira, tapi aku menolak keras. Aku sudah tak punya muka untuk bertemu mereka, rasanya nggak nyaman saja, sudah bercerai tapi masih merepotkan. Sedangkan Zila bukan darah dagingnya. Lagipula aku ingin Zila terbiasa tanpa Nira. "Ini surat undangan dari siapa, Pa?" pertanyaan Zila yang datang tiba-tiba membuatku terlonjak kaget. "Eh, anak papa bikin kaget aja."Zila mengambil undangan yang masih berada di tanganku, dilihatnya dengan seksama kertas berwarna
Pov Elman. "Resign?" Aku menatap lembar kertas yang baru saja diserahkan oleh Edwin, sekretaris pribadiku. "Ada masalah apa?" tanyaku seraya meletakkan kertas itu di atas meja. "Tidak ada masalah apa-apa, Pak. Saya hanya ingin mencari pengalaman di luar?" jawab Edwin diplomatis. "Apa gaji yang diberikan kantor kurang?" tanyaku to the point. Posisi Edwin ini cukup strategis, dia bisa mendapat promosi kenaikan jabatan karena prestasi kerjanya. Gajinya juga tidak kecil, kenapa dia tiba-tiba ingin resign? "Tidak Pak, hanya ingin ganti suasana saja," jawabnya tanpa menjelaskan secara detail alasannya mengundurkan diri. Sebenarnya aku tidak bisa menahan karyawan yang ingin berhenti kerja, tapi Edwin ini spesial. Dia bisa diandalkan, saat aku sedang bermasalah dulu, dia yang meng-handle pekerjaanku. Kalau sekarang dia resign, siapa lagi yang bisa ku andalkan? Orang baru belum tentu bisa seperti Edwin, butuh pelatihan yang memakan waktu. Dan aku merasa aneh, tidak ada tanda apa-apa tiba
"Ini mau langsung pulang, atau mau kemana dulu?" tanya Bagus sesaat setelah mobil melaju meninggalkan area parkir LPK. Aku bergeming, malas menanggapi pria nggak peka di sebelahku ini. kelakuannya itu lho, bener-bener nyebelin. Habis bikin jengkel orang kok nggak merasa bersalah sama sekali. Kayak, udah selesai ya udah, nggak usah diperpanjang lagi. Padahal sebagai perempuan aku juga pengen dirayu atau dibujuk, agar aku merasa dicintai. Lha ini? Daripada jadi penyakit karena menyimpan masalah sendiri dalam hati, maka kuputuskan untuk bicara. Percuma ngasih kode, dia nggak bakal paham. "Mas!" Sejak resmi bertunangan, aku merubah panggilan, dari hanya nama jadi ada embel-embel Mas-nya. "Ya?" jawabnya tanpa menoleh padaku, dia masih fokus nyetir. "Kamu serius sama aku nggak, sih?" Akhirnya kukeluarkan pertanyaan yang sudah lama mengganjal di hati. "Ya serius, lah. Kalau serius mana mungkin aku bawa keluargaku untuk meminangmu. Kenapa tiba-tiba tanya begitu?" Bagus masih fokus den