Kanaya berkali-kali menarik napas panjang. Mempersiapkan batin sebelum memberanikan diri mengetuk pintu rumah. Akhirnya ia kembali ke sini. Ke rumah tempat ia lahir dan dibesarkan. Rumah sederhana namun sangat asri dengan pekarangan yang luas dan sejuk dipandang mata. Seorang pelukis seperti ayahnya memang menyukai suasana seperti di alam bebas. Oleh karena itu rumah mereka pun dibuat sangat sederhana dan menyatu pada alam. Baru saja berniat untuk mengetuk, pintu tiba-tiba saja terbuka. Kanaya dan ibunya yang sepertinya bermaksud untuk membuang sampah, sama-sama kaget.
"Astaghfirullahaladzim, Nay. Ibu sampai kaget. Kamu sudah lama sampai toh, Nak?" Gendis melebarkan daun pintu. Mempersilahkan putri semata wayangnya masuk ke dalam rumah.
"Baru saja kok, Bu. Belum juga lima menit. Ibu mau membuang sampah ya? Sini, biar Naya saja yang membuangnya." Kanaya mengambil alih plastik sampah dari tangan sang ibu. Berjalan keluar dan kembali
Kanaya mendekati meja lipat Venaya. Ia tau, gadis kecil itu pasti langsung down tatkala panitia perlombaan menetapkan tema lukisan. Ya, tema aku cinta ibu pasti membuat Venaya kebingungan. Ditinggalkan ibunya ke rahmatullah, begitu dilahirkan, gadis kecil itu pasti kehilangan ide karena tidak ada bayangan apapun di benaknya."Aya kenapa, sayang? Kok belum mulai menggambar? Lihat, teman-teman yang lain sudah mulai lho," pancing Kanaya halus. Wajah Venaya kian mendung. Bibirnya membentuk busur terbalik dengan ekspresi siap menangis sewaktu-waktu."Aya lupa dengan wajah mama Aya, Tante. 'Kan photo mama disimpan semua sama opa dan oma. Kata oma, papa suka sedih kalau melihat photo mama. Jadi sekarang Aya nggak bisa menggambar, Tante. Aya nggak punya ide," adu Venaya sedih.Benar 'kan tebakannya?"Kalau begitu, Aya gambar saja wajah Aya sendiri. Soalnya mama Aya itu 'kan mirip sekali
"Tidak Nay. Sudah cukup. Cukup Mas tau bahwa Mas telah salah menilaimu selama ini. Kamu tidak pantas Mas sesali sama sekali," desis Ghifari geram. Ia tiba-tiba memalingkan wajahnya pada Dina. "Maafkan Mas karena telah meragukan ucapmu selama ini, Dina. Sekarang Mas percaya bahwa Naya memang tidak pernah mencintai Mas. Ia bertahan hanya karena harta dan kedudukan, Mas. Perempuan seperti ini tidak akan pernah Mas pertahankan lagi. Semua hal yang berkaitan dengan dirinya, akan Mas hapus mulai dari hari ini!" rutuk Ghifari geram. Amarah dan rasa kecewa tergambar jelas di air muka keruhnya.Yang satu maling teriak maling. Yang satu lagi musuh dalam selimut. Mereka saling melengkapi satu sama lain. Pas!Kanaya memandang Dina dalam-dalam kala Ghifari mengatakan, bahwa dirinyalah yang menyatakan bahwa ia tidak pernah mencintai Ghifari. Wajah Dina berubah merah padam. Ular beludak itu segera memalingkan wajahnya. Dina tidak berani membalas
Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Tetapi Kanaya masih belum bisa memejamkan mata. Sedari pukul sebelas tadi ia hanya membolak-balik tubuhnya di atas kasur dengan gelisah. Benaknya terus saja mengulang kejadian sore tadi."Bagaimana, Nay? Kamu bersedia menerima lamaran Ibu dan Bapak untuk Haikal? Kalian berdua telah melakukan kesalahan. Apakah kalian tidak ingin memperbaiki kesalahan itu? Kasihan anak kalian nantinya, Nay."Kanaya mendesah bingung. Ia benar-benar tidak tau harus menjawab apa. Bagai makan buah simalakama. Apapun keputusan yang akan diambilnya, sama-sama beresiko dan sama-sama salah. Jika ia menolak, bisa dipastikan keluarga Albani akan merongrongnya tentang siapa ayah anaknya. Ujung-ujungnya adalah test DNA. Dan apabila terbukti kalau anaknya adalah seorang Albani, mereka pasti akan mengupayakan segala cara untuk merebut hak asuhnya. Kemungkinan besar keinginan mereka akan terwujud, meng
"Bu, boleh tidak Naya menanyakan hal-hal yang sifatnya pribadi pada Ibu?" tanya Kanaya hati-hati. Bukan apa-apa, sebentar lagi ke dua orang tua Haikal akan datang. Mereka akan kembali menanyakan kesediaannya untuk dilamar. Dan sebelum ia memberi jawaban final pada kedua orang tua Haikal, ia ingin menanyakan sesuatu pada ibunya. Dalam hal ini, ia ingin berbicara dalam konteks sebagai sesama wanita. Bukan sebagai ibu dan anak.Mendengar pertanyaan tidak biasanya putrinya, Gendis menutup kembali buku yang tadinya ingin ia baca. Ia tau, putrinya sedang ingin berbicara dari ke hati."Tentu saja boleh, Nay. Kamu boleh menanyakan apapun pada Ibu. Apapun," ucap Gendis lembut. Menegaskan kesediaannya. Kanaya mendekati ibunya di sofa. Merebahkan kepala pada bahu sang ibu. Seperti kebiasaannya di masa lalu. Mencium aroma segar bedak dingin dan jamu yang menguar dari tubuh ibunya, Kanaya merasa kembali ke masa lalu. Masa di mana ia hanya menc
Sudah seminggu lamanya Kanaya menikah dengan Haikal. Tetapi ia tidak merasakan adanya perubahan yang berarti. Mereka berdua menjalani kehidupan nyaris seperti dua orang asing yang kebetulan tinggal di rumah yang sama. Bayangkan saja. Mereka tidak tidur di kamar yang sama. Haikal mengatakan kalau mereka tidak perlu merubah kebiasaan masing-masing karena pernikahan ini hanyalah formalitas belaka. Walau di atas kertas mereka adalah suami istri, tapi dalam kehidupan yang sebenarnya, mereka adalah dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Jadi masing-masing pihak tidak boleh mencampuri urusan pribadi satu sama lain.Interaksi mereka setiap harinya sudah tertata. Pagi-pagi ia akan menyiapkan sarapan praktis sederhana, seperti roti isi, nasi goreng atau terkadang mie instan. Mereka akan sarapan bersama dalam diam. Setelahnya Haikal akan berangkat ke kantor. Kegiatannya berlanjut dengan berbelanja bahan makanan pada tukang sayur komplek, memasa
"Terima kasih karena telah membela saya Mas," Kanaya terharu. Ada dua hal yang sama sekali tidak ia duga-duga. Pertama, kehadiran Haikal di mall ini. Ke dua, kesediaan Haikal membelanya dari serangan Dina."Sudah menjadi tanggung jawab seorang suami untuk membela istrinya. Tidak ada hal yang perlu diterima kasihkan di sini," tukas Haikal dingin."Ya, apapun itu. Terima kasih, Mas. Mas sedang apa di sini?" Kanaya mencoba memulai percakapan basa basi. Tidak enak juga saling bersikap antipati di muka umum."Mau ke Starbuck*. Ada reuni kecil-kecilan dengan teman-teman SMA. Saya jalan dulu," tanpa menunggu jawabannya Haikal pun berlalu. Haikal bahkan tidak balas menanyakan apa keperluannya di mall ini.Sudahlah, Nay. Jangan mulai protes. Toh kamu sudah tau apa konsekuensi pernikahan di atas kertas ini. Fokus saja dengan dirimu sendiri.Langkah Kanaya kini mengarah ke
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Tidak terasa kandungan Kanaya telah memasuki bulan ke lima. Dulu, awal pertama sekali ia hamil, ia seperti tidak percaya kalau dirinya telah berbadan dua. Pernyataan dokter yang dulu menyatakan kalau ia mengalami gangguan ovulasi sehingga sulit untuk hamil, membuatnya selalu pesimis apabila mengalami keterlambatan menstruasi. Ia acap kali berpikir, paling keterlambatan ini hanyalah bagian dari gangguan ovulasi. Dan bukan karena ia hamil. Makanya pada saat dokter Rasyid menyatakan kalau ia benar-benar hamil, alam bawah sadarnya menolak percaya. Namun setelah kini kandungannya memasuki bulan ke lima atau trimester ke dua kehamilan, ia baru sungguh-sungguh percaya. Karena apa? Karena tubuhnya telah memperlihatkan ciri-ciri fisik yang khas. Perutnya kini mulai membulat dan pakaian-pakaian lamanya sudah banyak yang tidak muat lagi. Selain peruba
Kanaya panik. Ibu mertuanya baru saja menelepon dan mengabarkan akan tiba di rumahnya sekitar empat puluh lima menit lagi. Ibu mertuanya membawa Ika, salah seorang ART-nya untuk ditempatkan di rumahnya. Ibu mertuanya takut kalau ia kelelahan. Wajar saja, usia kandungannya kini sudah lumayan besar. Masuk akal kalau ibu mertuanya itu separuh memaksanya untuk menerima ART-nya. Selain itu ibu mertuanya juga meminta izin untuk menginap selama beberapa hari di rumah. Menurut ibu mertuanya, beliau ingin mengajari Ika bekerja sampai mahir dulu di sana, barulah ibu mertuanya itu kembali ke rumah. Selain itu ibu mertuanya mengatakan kalau ia kangen pada Haikal. Wajar saja, sebelum menikah Haikal memang tinggal serumah dengan kedua orang tuanya. Setelah menikah Haikal memilih untuk tinggal berdua dengannya di rumah ini. Wajar jika ibu mertuanya merindukan Haikal. Kanaya sama sekali tidak keberatan. Sejujurnya ia malah senang karena ada yang menemaninya di rumah.Yang