Pagi ini banyak tamu yang hadir untuk mendoakan pernikahan kami, terutama teman-teman Abah sesama kiyai. Kami memang bertabur banyak doa, tetapi apakah itu mampu menembus hati suamiku?
Sesekali ujung netraku melirik ke arahnya. Tampak pria tampan dengan kemeja warna senada denganku itu begitu ramah menjamu tamu-tamu Abah, Gus Aaraf terlihat layaknya pengantin yang sangat bahagia."Nduk, kenapa? Kok lemes gitu? Kamu capek, ya?" tanya Umik yang cukup membuatku terhenyak."Iya, Mik. Kay ngerasa sedikit pusing, kayaknya efek mabuk perjalanan kemarin."Wanita paruh baya dengan balutan pakaian syar'i dan hijab lebar itu terkekeh, beliau menepuk bahuku, dan mengajakku ke dapur. Sampai di dapur, aku di minta duduk di bangku panjang yang langsung menghadap ke area belakang."Mau minum jamu? Di belakang dapur banyak tanaman sirih, baik untuk pengantin baru kayak kamu."Aku mengangguk dengan senyum paling manis. Umik Mertuaku melangkahkan kaki menuju halaman belakang melewati pintu jati, sedangkan aku masih duduk di bangku dapur ini. Tidak seberapa lama kemudian beliau sudah kembali dengan segenggam daun sirih."Selain bagus untuk menghilangkan bau badan, sirih juga bagus untuk kewanitaan, Nduk. Umik juga akan tambahkan rempah lain agar stamina kamu kuat.""Terima kasih, Mik.""Namanya pengantin baru sudah pasti capek, Nduk. Pasti Aaraf nggak kasih kamu istirahat, ya?" tanyanya dengan kekehan kecil.Sementara aku hanya bisa mengulum senyum. Ah, Umik ... andaikan beliau tahu kalau putranya bahkan belum menyentuhku. Kalau begitu, apakah jamu sirih itu akan berguna?"Assalamualaikum. Maaf, Umik. Abah memanggil njenengan," ucap seorang wanita yang datang dari ruang depan."Waalaikumsalam," sahutku dan Umik bersamaan."Ya sudah Umik mau mau ke depan dulu, tolong kamu teruskan membuat jamu untuk menantuku ini, ya, Mbak. Rempahnya diparut, lalu sirihnya di remas-remas saja. Setelah itu beri air dan diperas. Terakhir tambahkan madu, jangan pakai gula.""Baik, Umik," jawab wanita itu dengan menunduk, sehingga aku tidak dapat melihat wajahnya."Terima kasih, ya, Mbak. Kasihan kalau menantuku nggak minum jamu. Maklum, pengantin baru suka capek karena lagi semangat-semangatnya." Umik tergelak sembari memikul lembut pipiku.Beliau mendaratkan kecupan sayangnya pada keningku dan lantas beranjak dari dapur, menyisakan aku dan wanita cantik berbadan ramping dan baju kurung tersebut."Permisi, Ning," ucapnya seraya berjalan di sampingku menuju meja tempat Umik meracik jamunya tadi.Tunggu! Aku seperti familiar dengan wajahnya. Aku seperti pernah melihat wajah cantik itu, tetapi di mana? Gegas saja tubuhku bangkit dan melangkah mendekatinya."Kamu mbak ndalem di sini?""Benar, Ning. Bulan ini jadwal terakhir saya di ndalem, karena setelah itu saya sudah lulus.""Wah ... MasyaAllah. Aku ikut seneng dengernya, Mbak. Terus kamu mau mondok lagi atau gimana?""InsyaAllah saya tetap mondok, Mbak. Paman Bibi di rumah juga menyuruh demikian," ucapnya dengan terus memarut rempah-rempah."Paman Bibi?" tanyaku dengan suara lirih.Wanita di sebelahku itu mengangguk, "iya, Ning. Saya tinggal bersama Paman dan Bibi karena orang tua sudah meninggal saat saya masih kecil," jawabnya.Nadanya terdengar santai, tetapi mungkin saja hatinya masih menanggung luka kehilangan."Maaf, Mbak. Aku benar-benar minta maaf."Aku merasa tidak enak dengannya. Tidak seharusnya aku mengorek lukanya. Meskipun dia sudah ikhlas, tetap saja kehilangan orang tua adalah luka yang akan terus menganga."Tidak apa-apa, Ning," jawabnya dengan suara lembut.Sangat cocok dengan wajah manisnya yang begitu teduh dan adem. Perangainya juga sopan."Namamu siapa?""Nama saya Ayrani, Ning. Ayrani Swastika."Deg!'Ayrani?' batinku.Aku terdiam cukup lama memandang wajah itu dari samping. Pantas saja dia terasa tidak asing. Ternyata dialah yang aku lihat di ponsel suamimu.Darahku terasa berdesir saat melihatnya mengangsurkan gelas berisi jamu itu kepadaku, dengan perlahan aku meraihnya, dan lantas kembali ke bangku.Apa hubungannya dengan suamiku? Benarkah Ayrani yang ini? Kalau, iya, kenapa dia tampak biasa saja saat berbicara denganku? Apakah ada Ayrani lain? Ah, rasanya kepalaku hampir pecah merangkai puzzle ini!'Dia sangat tenang, berbeda denganku yang malah gugup. Dia juga terlihat berbeda, wajahnya manis dan bercahaya. Aku harus memastikan bahwa dia adalah Ayrani yang aku maksud,' batinku seraya bangkit dari bangku dan melangkah menuju ruang depan.Aku kembali bergabung dengan Umik dan para tamunya. Tidak seberapa lama kemudian Ayrani juga masuk ke ruangan ini dengan tangannya yang menenteng nampan berisi jajanan basah."Permisi, Bu Nyai," ucapnya yang di balas senyuman manis oleh Umik.Dia menata jajanan itu dengan rapi di hadapan para tamu. Wanita itu juga menata minuman, semuanya ia lakukan dengan tenang."Nduk Kay, Bibi nggak sabar rasanya pengen nimang cucu dari kamu," celetuk Bibi Rahma, adik dari Umik."Dik, jangan menggoda menantuku seperti itu. Kamu ini!"Bibi Rahma tergelak, sementara aku hanya mengulas senyum tipis. Sesekali ujung netraku melirik kepada Ayrani yang sudah hampir selesai menata minuman, wajahnya tampak memerah.'Kenapa dia? Apakah tidak nyaman mendengar ucapan Bibi Rahma? Atau mungkin cemburu?' batinku menebak."Astaghfirullah ...," gumamku sambil menggelengkan kepala.Bisa-bisanya aku menggunjing orang lain di saat seperti ini. Hatiku memang masih kotor."Kenapa, Nduk?""Eum ... Kay lupa belum sholat dhuhur, Mik," jawabku memberi alasan."Oh, begitu. Ya sudah kamu ke kamar dulu, suamimu tadi juga nyariin kamu, katanya mau diajak jamaah. Tapi Umik bilang kamu masih minum jamu di dapur, mungkin Aaraf masih nungguin di kamar. Maaf, ya, Nduk ... Umik lupa."Aku mengangguk dengan senyum mengembang, "tidak apa-apa, Mik. Kay pamit ke kamar dulu," ucapku yang juga menatap kepada Bibi Rahma.Aku bangkit bersama Ayrani yang hendak beranjak menuju dapur. Kami melangkah bersama, tetapi wanita itu di belakangku."Mbak, boleh tanya?" Aku menghentikan langkah dan lantas menoleh ke belakang."Ada apa, Ning?""Kok mata kamu merah. Ada apa?""Eum ... tadi saya setelah petikin cabai lupa cuci tangan dan nggak sengaja kucek mata, Ning.""Ya Allah, Mbak. Mau aku kasih tetes mata?""Terima kasih, Ning. Tapi tidak usah, ini nanti dibilas pakai air juga akan hilang perihnya.""Tapi itu merah banget, Mbak. Sebentar! Kamu tunggu sini!"Aku langsung masuk ke dalam kamar tanpa menunggunya menjawab. Sampai di kamar ternyata Gus Aaraf sudah siap dengan sajadahnya."Maaf, Gus. Saya mau antarkan tetes mata ini dulu kepada Ayrani," ucapku seraya menunjukkan botol kecil yang aku pegang."Ayrani?" tanyanya dengan suara lirih."I-Iya, Gus.""Matanya kenapa?! Sakit?!"Aku menggelengkan kepala, "katanya perih, Gus."Kakiku lantas melangkah cepat menuju pintu, membawa rasa sakit lantaran suamiku terlihat begitu khawatir dengan wanita lain.'Ya Allah ... apa benar Ayrani yang ini?' batinku bertanya-tanya.Usai sholat aku langsung melipat mukena, sementara Gus Aaraf menderas mushafnya. Kami mempunyai kegiatan masing-masing yang tidak saling berhubungan. Seperti orang asing yang dipaksa tinggal satu atap, rasanya akan tetap asing."Kay," ucapnya saat baru saja menutup mushaf."Iya, Gus. Ada apa?" "Jangan dekat-dekat sama Ayrani."Aku mengerutkan kening."Kenapa memangnya?""Sudahlah, aku cuma nggak mau kamu dekat-dekat dia. Takutnya dia sungkan kamu dekati terus, dia 'kan mengabdi di sini. Jadi, biarkan dia menyelesaikan tugasnya."Aku menghela napas lirih dan lantas menganggukkan kepala. Bibirku tidak sanggup lagi berkata-kata, tenggorokanku tercekat saat hendak mengatakan kalau aku tidak pernah mendekati Ayrani. Kami berkenalan tanpa sengaja.Larangannya semakin memperkuat asumsiku bahwa Gus Aaraf sempat ada hubungan dengan Ayrani. Atau mungkin sikapnya ini karena ingin menjaga agar Ayrani tetep nyaman?Entahlah, saat aku kembali melemparkan pandangan ke arah pria tampan itu. Ia sudah
Setelah malam penolakan itu, aku merasakan sakit hati yang amat sangat dahsyat, tetapi aku tidak menyerah. Pagi ini bersama Umik aku menyiapkan makanan favorit Gus Aaraf, tekadku di sini adalah merebut hatinya, walaupun itu artinya aku harus mengesampingkan sakit hatiku."Wah, kamu sudah biasa masak, Nduk? Potongan sayurnya rapi.""Kebetulan sayur capcay ini makanan kesukaan Kay, Mik. Jadi Kay sudah biasa masak," jawabku yang lantas membuat Umik melepas gelak tawanya."Kalau jodoh semuanya juga jodoh, ya. Aaraf juga sukanya sayur, kamu suka sayur. Sayuran juga baik untuk menyuburkan kandungan, loh. Pasti nggak akan lama Abah dan Umik bakal dapat cucu kalau kamu dan Aaraf makanannya sehat," ujar Umik yang membuat lukaku kembali meradang.Aku menganggukkan kepala dan berusaha mengulum senyum. Andaikan Umik tahu penolakan putranya semalam, apakah masih berharap akan mendapatkan cucu dariku? Ingin rasanya aku mengadu, tetapi hatiku menahannya sekuat mungkin.Kata Abah, suami adalah pakaia
"Suamimu ke mana, Nduk?" "Eum ... tadi katanya mau ke toko buku depan sana, Mik. Mau beli kitab."Tidak mungkin aku bilang Gus Aaraf sedang bersama Ayrani, walaupun ingin sekali aku membagi rasa sakitnya."Oh, gitu. Abah juga baru saja pergi karena ada keperluan, terus ini yang ngimami sholat dhuhur siapa, ya?"Aku celingukan, "bagaimana kalau Kang Santri saja, Mik? Soalnya Kay juga belum tahu Gus Aaraf pulang jam berapa.""Iya, deh. Umik bilangin sama Kang Santri dulu suruh ngimami, dari pada nggak ada.""Iya, Mik." Aku tersenyum saat beliau beranjak pergi, sesekali aku juga akan menghembuskan napas kasar.Pandanganku menatap lurus ke arah halaman luas yang terparkir banyak mobil pengurus, sambil berharap suamiku akan segera pulang. Aku ingin sholat diimami olehnya, tetapi saat ini aku juga takut dia tengah menjadi imam untuk wanita lain. Sesekali aku berfikir, siapa yang harus bertanggung jawab dalam perang dingin di pernikahanku ini. Kalau aku sendiri, rasanya pundakku terlalu be
Malam-malam kami masih sama, Gus Aaraf fokus pada ponselnya, dan aku fokus menderas mushaf. Sesekali Gus Aaraf akan membenarkan bacaanku yang salah, tetapi pandangannya tetap tidak terlepas dari ponsel."Besok kamu sudah masuk kuliah, aku sudah mengurus pendaftarannya.""Iya, Gus." Aku meletakkan mushaf tanpa bertanya lebih jauh lagi."Setiap hari akan ada supir yang akan mengantarkan kamu, karena aku nggak mengizinkan kamu pergi sendirian. Aku besok juga sudah mulai masuk kantor.""Saya siapkan pakaiannya dulu kalau begitu, Gus. Besok kamu mau bawa bekal?"Gus Aaraf menggeleng, "nggak usah.""Lalu makan siangnya gimana?""Di sana ada kantin, banyak juga yang jualan makanan."Aku mengangguk, "baiklah kalau begitu, Gus. Saya cuma khawatir kalau kamu telat makan siang."Pria tampan dengan balutan kaos oblong dan sarung itu meletakkan ponselnya, netranya menatap fokus ke arahku dengan rahang menegas."Kenapa? Aku bukan anak kecil, Kay. Kamu nggak perlu berlebihan seperti ini!"Tenggoroka
Gus Aaraf langsung keluar dari mobil tanpa berbicara apapun, dia meninggalkanku sendirian di sini yang masih bingung menatapnya. Kalau dia tidak mencintaiku, kenapa harus bersikap seperti ini? Apa jangan-jangan sedikit demi sedikit aku sudah berhasil nengusik pikirannya?"Kamu sangat misterius, Gus," gumamku.Kakiku melangkah bergantian memasuki rumah dan langsung menunju kamar. Pemandangan yang pertama kali aku lihat adalah Gus Aaraf yang tengah menggelar sajadah."Cepat wudhu. Kita sholat bareng.""Iya, Gus."Kalau dia seperti ini, jujur saja perasaanku menghangat. Aku adalah wanita normal yang mendambakan sikap manis suaminya, bukankah wajar kalau aku ingin Gus Aaraf bersikap lembut?Usai sholat Gus Aaraf mengulurkan tangan sehingga aku langsung menyambutnya. Ini adalah pertama kali aku mencium tangan suamiku setelah sholat selama satu bulan pernikahan.'Ya Allah, apakah hatinya sudah melunak? Atau ini karena perasaan bersalahnya pagi tadi? Apapun itu, aku sangat bahagia dengan pe
"Malam ini kita pakai baju couple, ya, Gus.""Buat apa?"Gerakanku memilah baju di lemari sontak terhenti mendapati jawaban dinginnya."Biar kita serasi, Gus." Aku menoleh ke arah suamiku yang masih asyik dengan ponselnya. Pria tampan itu hanya mengangguk tanpa menjawab kata-kataku barusan, ia sama sekali tidak mengangkat pandangannya.Dengan cepat tanganku mengambil gamis berwarna coklat, tidak lupa kemeja, dan sarung untuk Gus Aaraf dengan warna senada. Setelah semuanya tertata rapi di ranjang, langkahku lantas menuju kamar mandi guna menyiapkan air hangat. "Silakan mandi dulu, Gus. Airnya sudah siap." Aku mengganti keset dan menaruh handuk untuknya, tetapi suamiku sama sekali tidak bergeming.'Kuatkan aku, Ya Allah. Setelah ini Ayrani akan menikah, jadi Gus Aaraf tidak ada pilihan lain selain merelakannya. Semoga ini menjadi jalan untuk kami bisa semakin dekat,' batinku.Aku kembali ke ranjang untuk menyiapkan beberapa kado. Umik bilang kami harus memberikan bingkisan sebagai ucap
Pagi ini suasana mendung dengan rintik halus air hujan yang semakin membuat suasana dingin. Aku malangkah ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat, kemudian baru memanggil suamiku. Namun, keningku mengerut saat mendapati pria tampan itu masih membungkus tubuhnya dengan selimut, padahal beberapa saat lalu ia sudah duduk."Gus, air hangatnya sudah siap."Gus Aaraf hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun."Mau mandi sekarang atau nanti, Gus? Kalau nanti biar saya duluan yang mandi, takutnya airnya jadi dingin.""A-Aku dingin, Kay ...."Keningku semakin mengerut mendengar suaranya menggigil, dengan perlahan punggung tanganku menyentuh keningnya. "Ya Allah! Kamu panas banget, Gus." Aku langsung keluar dari kamar dan berlari menuju kamar Umik, tetapi sayangnya beliau masih menyimak ngaji.Untungnya ada Kang Ilham sedang membersihkan halaman, segera aku memanggilnya untuk membantu membawa Gus Aaraf ke rumah sakit, khawatir kalau sakitnya akan bertambah parah."Mbak, nanti tolong b
Hari ini Gus Aaraf sudah diperbolehkan pulang, syukurlah kalau begitu. Seharian kemarin aku sangat khawatir dengan kondisinya, beruntung Tuhan memberikan kesembuhan dengan cepat kepada suamiku.Kami tiba di rumah dan langsung disambut oleh Abah dan Umik. Mertuaku meminta maaf lantaran kemarin tidak bisa meninggalkan santri, sehingga mereka tidak bisa ke rumah sakit.Aku hanya mengangguk, berbeda dengan suamiku yang hanya diam bahkan tidak ada ekspresi berarti di wajahnya. Aku langsung mengantarkan Gus Aaraf beristirahat di kamar."Hari ini kamu di ranjang saja, Gus, 'kan masih sakit. Saya bisa kok tidur di sofa.""Makasih, Kay.""Saya ambilkan makanan dulu, Gus. Kebetulan tadi saya pesan bubur ayam. Kayaknya sudah datang."Pria tampan dengan balutan kemeja oblong itu hanya mengangguk, kemudian dengan cepat aku mengambil makanan, setelahnya langsung kembali ke kamar. Gus Aaraf masih dalam posisinya bersandar di ranjang, pandangannya lurus ke depan, entah apa yang ia pikirkan."Gus? Mau