Share

Penolakan

Usai sholat aku langsung melipat mukena, sementara Gus Aaraf menderas mushafnya. Kami mempunyai kegiatan masing-masing yang tidak saling berhubungan. Seperti orang asing yang dipaksa tinggal satu atap, rasanya akan tetap asing.

"Kay," ucapnya saat baru saja menutup mushaf.

"Iya, Gus. Ada apa?"

"Jangan dekat-dekat sama Ayrani."

Aku mengerutkan kening.

"Kenapa memangnya?"

"Sudahlah, aku cuma nggak mau kamu dekat-dekat dia. Takutnya dia sungkan kamu dekati terus, dia 'kan mengabdi di sini. Jadi, biarkan dia menyelesaikan tugasnya."

Aku menghela napas lirih dan lantas menganggukkan kepala. Bibirku tidak sanggup lagi berkata-kata, tenggorokanku tercekat saat hendak mengatakan kalau aku tidak pernah mendekati Ayrani. Kami berkenalan tanpa sengaja.

Larangannya semakin memperkuat asumsiku bahwa Gus Aaraf sempat ada hubungan dengan Ayrani. Atau mungkin sikapnya ini karena ingin menjaga agar Ayrani tetep nyaman?

Entahlah, saat aku kembali melemparkan pandangan ke arah pria tampan itu. Ia sudah bangkit dan hendak keluar kamar, lagi-lagi tanpa mengajakku. Ah, aku salah! Bukankah aku ini istri yang tidak diharapkan?

***

"Abah berencana mengirim beberapa santri untuk tukar pelajar ke Cairo, mungkin sekitar dua puluh santri putra dan putri," celetuk Abah saat telah menyelesaikan makan malamnya.

"Siapa saja, Bah?" tanya Umik.

Abah menyodorkan kertas berisi daftar nama-nama santri. Suamiku juga ikut melihatnya, hanya aku saja yang tidak. Bagaimanapun aku merasa belum berhak ikut campur terlalu dalam.

Pondok Abah memang memiliki yayasan pendidikan umum yang berkerja sama dengan kementrian pendidikan. Setiap dua tahun akan ada pertukaran pelajar ke Cairo dan Madinah.

"Ayrani juga, Bah? Dia 'kan mengabdi di ndalem? Memangnya nggak papa?" tanya Umik.

Aku sontak melarikan pandangan kepada Gus Aaraf, sejurus kemudian keningku mengernyit saat melihat rahangnya menegas.

"Nggak masalah, Mik. Ayrani gadis yang cerdas, sayang sekali kalau nggak ikut program ini. Lagi pula Abah sudah bicara sama Pamannya, dan beliau setuju."

"Baiklah kalau begitu, Bah," sahut Umik.

"Maaf, Bah. Tapi Aaraf tidak setuju, Ayrani sudah mengabdi lama, dan dia juga akan keluar dari sini. Kenapa harus dimasukkan progam pertukaran pelajar? Kenapa tidak santri lain yang masih junior saja?"

Aku langsung memalingkan pandangan, tidak yakin rasanya alasan suamiku seperti itu. Pasti ada sesuatu yang ia tutupi saat menolak usulan Abah.

"Kenapa, Nak? Pamannya saja setuju, kenapa kamu tidak? Memangnya kamu walinya?"

Gas Aaraf terdiam mendapatkan jawaban telak dari Abah. Sedangkan aku masih berusaha menahan nyeri. Sakit rasanya melihat suami sendiri mempertahankan kepergian wanita lain.

"Tetap saja, Bah. Biarkan santri lain, kasihan yang junior."

Abah tampak menghela napas kasar, "keputusan Abah sudah bulat, data ini juga sudah masuk ke atasan. Jadi percuma saja kamu menolak, itu tidak akan merubah apapun."

Gus Aaraf terdiam dengan pandangan menunduk. Apa yang ia pikirkan? Apakah laki-laki itu takut akan jauh dari Ayrani?

'Apa istimewanya gadis itu sehingga suamiku sampai seperti ini?' batinku pilu.

Aku tiba-tiba tersentak saat merasakan getaran ponsel pada saku gamis, tanganku segera mengambil benda canggih tersebut, dan lantas mendapati nama sahabatku, Adele, di layar ponsel.

"Abah, Umik, maaf. Kay izin terima telepon dulu, ya."

Umik mengulas senyum manis kepadaku, "iya, Nduk."

Aku segera bangkit dan berjalan agak menjauh guna mengangkat telepon.

"Assalamualaikum," sapaku setelah menggeser tombol hijau dan telepon tersambung.

"Waalaikumsalam, pengantin baru. Gimana? Sudah melakukan yang iya-iya belum?"

Terdengar gelak tawa Adele di seberang telepon. Sahabatku itu memang ceplas-ceplos, dia juga heboh, dan sangat berisik. Namun, wanita yang berusia sepantaran denganku mempunyai sifat empati tinggi dan sangat perhatian.

"Apa, sih?"

"Ih, gitu saja nggak paham. Kamu sudah di unboxing?"

Glek!

Aku menelan saliva dengan susah payah, "bodo amat!" tukasku.

Adele kembali tergelak, bahkan cukup lama sahabatku itu sibuk dengan tawanya, sementara aku hanya mampu mendengus.

"Jangan kelamaan! Eh, kamu sudah buka kado dariku? Aku kirim ke rumah mertuamu, loh. Sudah sampai 'kan?" tanyanya nyerocos.

"Sudah sampai, tapi belum aku buka. Kenapa memangnya?"

"Gimana, sih?! Ya sudah setelah ini kamu buka, dan langsung pakai nanti malam."

"Memangnya apa?"

"Sudah nggak usah banyak tanya, pokoknya kamu nurut saja, Kay. Sudah, ya ... aku lagi sibuk!"

TUT!

"Dasar nggak jelas!"

Aku mencebikkan bibir dengan sebal saat Adele mematikan sambungan telepon begitu saja. Namun, tidak dipungkiri ada rasa penasaran di hatiku. Kira-kira apa yang disiapkan Adele?

Sudah hampir satu jam aku berada di kamar mandi, merutuk kesal pada Adele yang tidak tahu diri.

Hey! Dia memberiku lingerie tembus pandang dan juga parfum. Apa tadi katanya? Aku harus memakai ini? Oh, sungguh! Aku bahkan sangat kedinginan dengan lengan, kaki, dan punggungku yang ter-ekspose.

Kting!

Aku terperanjat saat mendengar bunyi notifikasi pesan, gegas tanganku berselancar di layar ponsel guna mengecek.

[Awas kalau dilepas! Aku marah! Kamu harus tidur pakai lingerie itu, Kay. Pewangi ruangannya jangan sampai lupa. Semangat, ya!] tulis Adele.

Glek!

Aku kembali menelan saliva dengan susah payah. Bagaimana mungkin Adele tahu kalau aku ingin melepas lingerie ini? Ah, dia benar-benar membuatku hampir mati berdiri!

Aku memutuskan keluar kamar mandi mumpung Gus Aaraf belum masuk kamar, rencanaku nanti langsung membungkus tubuhku ini dengan selimut. Yeah! Aku harus melakukannya dengan cepat.

Namun, saat tinggal beberapa langkah saja menuju ranjang, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Terlihat suamiku berdiri mematung di tengah pintu dengan pandangan yang sulit dijelaskan.

"Gus. Eum ... sa-saya—"

"Aku mau ke kamar mandi dulu."

Aku mengangguk saat dia memotong ucapanku. Gus Aaraf melewati diriku dan berjalan ke kamar mandi, tetapi netranya sama sekali tidak melirikku.

Aku bingung harus melakukan apa? Bagaimana kalau malam ini Gus Aaraf tergoda. Apakah aku siap? Hingga beberapa menit kemudian pria tampan itu akhirnya keluar dari kamar mandi, sedangkan aku secara tidak sadar masih berdiri di sisi ranjang.

"Tidak perlu melakukan hal seperti ini, Kay. Aku belum siap melakukannya, kamu hanya akan tersiksa kalau terus seperti ini."

Deg!

Tubuhku menegang kaku.

"Apa maksudnya, Gus?"

"Tolong mengertilah kalau aku tidak mencintaimu, Kay. Harus dengan cara apa lagi aku menjelaskannya? Tolong jangan paksa aku berbicara kasar!" sentaknya sembari mematikan pewangi ruangan yang sempat aku nyalakan tadi.

Kakiku terasa melayang mendengar penolakannya yang kedua kali.

"Tidurlah. Aku tidak akan menyentuhmu malam ini, dan jangan pernah menggodaku lagi dengan pakaian seperti itu!"

Gus Aaraf pergi keluar kamar setelah mengatakan hal demikian. Meninggalkan aku sendirian dengan tatapan jijik di matanya.

Pria itu kembali menorehkan lukanya dan pergi begitu saja seolah tidak terjadi apa-apa. Dia meninggalkanku seakan aku tidak ada harganya.

'Ini sakit sekali, Umik ...,' batinku meratap membayangkan wajah Umikku.

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
sabaaaaaaar pasti malu bercamur sakit banget ya kek dilepar dr bulan ke bumi
goodnovel comment avatar
Els Arrow
makasih sudah berkenan membaca kak... sehat selalu..
goodnovel comment avatar
Els Arrow
makasih sudah berkenan membaca kak... sehat selalu..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status