Share

Foto Perempuan

Hari ini Gus Aaraf mengajakku pindah ke Kediri, kotanya. Dua puluh tahun aku hidup di Jember, lalu kali ini harus mengikuti suami.

Apakah nantinya pria tampan itu akan tetap cuek dan seakan tidak peduli kepadaku? Entahlah, perjuanganku baru dimulai kali ini.

"Doakan Kay, ya, Mik." Aku memeluk wanita paruh baya yang sangat aku sayangi tersebut dengan mata berkaca-kaca.

"Kamu harus nurut apa kata suami, Nduk. Senangkan hatinya, jangan sampai kamu membuatnya marah."

Aku hanya mengangguk. Ah, andai saja Umik tahu apa yang dikatakan suamiku semalam, apakah wejangannya akan tetap sama?

"Nduk, jaga diri baik-baik. Berbaktilah kepada kedua mertuamu, ya. Abah dan Umik akan mendoakan kamu dari sini," ucap Abah seraya mencium keningku.

Aku lekas meyugar pelukan Umik dan memeluk pria yang menjadi cinta pertamaku tersebut. Selanjutnya Abah mengalihkan pandangan kepada Gus Aaraf.

"Le, istri adalah tulang rusuk, dan tulang rusukmu ini masih sangat muda. Abah minta tolong perlakuan Kayshilla dengan lembut. Abah percayakan hidup mati Kayshilla sama kamu."

"Tentu, Abah. Doakan pernikahan ini, ya."

Aku memalingkan wajah. Ada rasa haru dan nyeri saat melihat dua laki-laki berbeda usia itu berpelukan. Seandainya Abah tahu apa yang diungkapkan Gus Aaraf semalam, apakah beliau masih mempercayakan hidup putrinya pada lelaki itu?

Kami sudah ada di dalam mobil. Jalanan pagi ini masih sangat lenggang, sehingga aku bisa menikmati sejuknya udara pagi hari.

"Tidur saja biar nggak jenuh, perjalanannya sekitar enam jam."

"Iya, Gus."

Ujung netraku sesekali meliriknya, sekadar berharap ada pembicaraan lain. Namun, nyatanya dia memilih fokus pada kemudi.

Hingga mobil kami berhenti di sebuah rest area untuk mengisi bensin. Gus Aaraf turun tanpa mengucapkan sepatah katapun meninggalkan aku di mobil ini sendirian. Aku bisa melihatnya dari kaca, ternyata suamiku menuju mini market, entah apa yang ingin ia beli.

Aku memilih menderas mushaf, hitung-hitung sambil mengulang hafalanku. Sampai tiba-tiba suara deringan ponsel Gus Aaraf cukup memekakkan telinga dan membuyarkan konsentrasi.

"Siapa, sih?" Kepalaku melongok melihat ponsel yang tergeletak di dashboard mobil.

"Ay?" gumamku saat membaca nama yang tertera di layar ponsel.

Ada foto perempuan di layar itu. Sangat cantik. Perempuan dengan lesung pipi itu begitu anggun dalam balutan abaya berwarna biru. Kulitnya kuning langsat, bibirnya kemerahan, dan dia memiliki senyum menawan.

Aku merasakan nyeri saat melihat foto perempuan itu tersenyum di bawah pohon dan hijabnya berkibar. Tanpa terasa air mataku sudah menggenang di pelupuk netra, kenapa cobaan pernikahanku harus wanita lain?

Ponsel itu terus berdering. Hampir saja aku mengangkatnya, tetapi Gus Aaraf sudah masuk ke dalam mobil.

"Ada telepon, Gus."

"Ah, iya. Saya izin angkat telepon dulu."

Aku hanya mengangguk melihatnya pergi agak jauh. Pria tampan itu tertawa riang bahkan sampai memegangi perutnya, entah apa yang suamiku bicarakan dengan perempuan itu.

"Dia bisa tertawa dengan perempuan lain, tapi denganku?" aku terkekeh geli, "jangankan tertawa! Senyum saja pelit!"

***

Kami sampai di Kota Kediri saat matahari sudah tepat berada di atas kepala. Mobil ini melewati gapura bertulisan Pondok Pesantren Al-Mubarok, dan terus melaju hingga berhenti di depan rumah megah dua lantai bergaya modern.

"Ayo turun, Kay," ucapnya setelah lima jam kami dalam keheningan.

Lagi-lagi aku kembali mengangguk dan lantas turun. Ada kang santri yang dengan sigap langsung menurunkan koper, sehingga aku tinggal masuk saja mengekori suamiku.

"Nduk ... MasyaAllah, mantu kita sudah sampai, Bah." Wanita paruh baya yang tidak lain adalah Umik Mertuaku itu langsung bangkit dari duduknya dan memelukku.

"Capek, Nduk?" tanyanya setelah mencium kedua pipiku.

"Nggak, Mik. Alhamdulillah tadi kami juga istirahat, jadi nggak terlalu capek."

"Biarkan istirahat saja dulu, Mik. Pengantin baru jangan capek-capek, biar kita bisa cepet dapat cucu," ucap Abah sembari mengelus kepalaku.

Aku mengulum senyum. Andai saja aku bisa mengadukan putranya tidak ingin menyentuhku. Andai saja aku bisa mengadukan kami tidak satu ranjang.

Kedua Mertuaku melihat kami sebagai pasangan yang serasi, tanpa ada yang tahu kalau batin kami tengah berperang. Hingga sampai di dalam kamar Gus Aaraf tetap tidak mau satu ranjang.

"Sama, ya. Aku akan tidur di sofa."

"Iya, Gus."

"Ada satu lagi yang lupa aku sampaikan kemarin, Kay. Kamu jangan sembarangan pegang barang ku, karena aku nggak suka ada orang lain yang memegangnya!" tukasnya dan aku hanya bisa mengangguk.

Hatiku mencelos. Orang lain katanya? Bahkan orang lain ini rela mengikutinya sejauh ini hanya untuk berbakti. Namun, kata-katanya begitu pedas.

'Jika memang tidak menginginkanku, seharusnya dia menolak perjodohan ini. Bukan malah menerima lalu memperlakukan aku sesuka hati. Apa dia pikir aku nggak punya hati? Setidaknya hormatilah aku sebagai perempuan,' batinku nelangsa.

Setelah makan malam aku langsung masuk kamar, badanku masih pegal-pegal karena perjalanan tadi. Niatnya ingin berendam air hangat, tetapi malah mataku terpaku pada deretan buku yang di tata tapi pada rak di pojok kamar.

"Wah, lumayan itu kalau aku baca-baca."

Tanganku menelisik satu persatu buku. Sebagian besar adalah buku filsafat, novel islami, dan sisanya kitab. Tanpa pikir panjang aku mengambil salah satu novel di sana dan berniat membacanya.

Deg!

"Apa ini?!" pekikku saat mendapati foto seorang perempuan di bagian belakang sampul.

Tanganku gemetar saat membaca nama yang tertera di bawah foto itu, "Aryani," gumamku.

"Ayrani ... Ay?"

Apa jangan-jangan dia juga perempuan yang menghubungi Gus Aaraf? Ya Tuhan ... siapa perempuan ini?

Apakah kekasihnya? Atau jangan-jangan perempuan ini yang menjadi alasan suamiku menjaga jarak.

Kepalaku terus berputar dengan tangan dan bibir bergetar. Kenapa rasanya sangat sakit sekali? Apakah aku sudah mencintai Gus Aaraf? Padahal 'kan dia tidak mencintaiku?

"Kamu ngapain?"

Deg!

Suara bariton itu sontak membuat novel yang berada dalam genggamanku jatuh. Aku berdiri mematung menatap wajah tampannya yang nampak garang.

"Aku sudah bilang 'kan jangan pegang barang-barang ku! Kenapa kamu bebal sekali? Jangan kira aku akan memperlakukanmu dengan baik, lalu aku nggak bisa marah!"

"Ma-Maaf, Gus."

Aku menunduk dan tidak berani menatap wajahnya.

"Jangan lancang, Kay!" Gus Aaraf merunduk dan mengambil novel yang aku jatuhkan, lantas ia menaruhnya lagi di rak.

"Sekali lagi aku lihat kamu sentuh barang-barang ku, aku akan sangat marah!"

Aku hanya mengangguk sembari menggenggam erat jari-jemari. Sekuat mungkin aku berusaha menggigit bibir bawah agar suara isakan ku tidak terdengar.

Aku tidak mau terlihat lemah, walaupun aku memang lemah.

"Cepat hapus air matamu dan tidur! Besok ada banyak tamu yang datang. Jangan sampai mereka lihat matamu sembab!"

"Iya, Gus."

Gus Aaraf tidak menjawab ku, dia sudah merebahkan diri di sofa dengan lengannya yang digunakan sebagai bantal. Dia seolah langsung melupakan bentakannya barusan.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Indah Syi
siram aja ama air comberan biar sadar
goodnovel comment avatar
Ardhias Widiantara
ya Allah awal baca ajh udh bikin hati q ikutan nyeri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status