Share

Bersaing dengan Perempuan Lain?

Setelah malam penolakan itu, aku merasakan sakit hati yang amat sangat dahsyat, tetapi aku tidak menyerah. Pagi ini bersama Umik aku menyiapkan makanan favorit Gus Aaraf, tekadku di sini adalah merebut hatinya, walaupun itu artinya aku harus mengesampingkan sakit hatiku.

"Wah, kamu sudah biasa masak, Nduk? Potongan sayurnya rapi."

"Kebetulan sayur capcay ini makanan kesukaan Kay, Mik. Jadi Kay sudah biasa masak," jawabku yang lantas membuat Umik melepas gelak tawanya.

"Kalau jodoh semuanya juga jodoh, ya. Aaraf juga sukanya sayur, kamu suka sayur. Sayuran juga baik untuk menyuburkan kandungan, loh. Pasti nggak akan lama Abah dan Umik bakal dapat cucu kalau kamu dan Aaraf makanannya sehat," ujar Umik yang membuat lukaku kembali meradang.

Aku menganggukkan kepala dan berusaha mengulum senyum. Andaikan Umik tahu penolakan putranya semalam, apakah masih berharap akan mendapatkan cucu dariku? Ingin rasanya aku mengadu, tetapi hatiku menahannya sekuat mungkin.

Kata Abah, suami adalah pakaiannya istri, begitu pula sebaliknya. Jadi, aku harus melindungi sikap tidak pantas suamiku. Kata Umik, setelah menikah aku harus mencintai Gus Aaraf menggunakan hati, bukan logika. Kalau hatiku melarang untuk mengatakan keburukannya, maka sebisa mungkin aku harus melihatnya salalu baik. Agar hatiku juga baik, dan mudah menjalani rumah tangga ini.

Meskipun Gus Aaraf tidak pernah memikirkan perasaanku. Aku harus berkorban banyak hal untuk merebut perhatian, juga hatinya yang masih terpaut dengan Ayrani.

"Nduk, ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"

Suara Umik sontak membutakan terperanjat kaget.

"Eh, enggak, Mik. Kay cuma kangen Umik Sarah, biasanya kami kalau pagi juga masak bareng."

"Pasti Umikmu bangga punya anak yang pintar masak, ya?"

Aku tertawa lirih, "semoga begitu, Umik," jawabku yang membuat beliau tersenyum.

Kami lantas membawa semua makanan ke meja makan dengan dibantu mbak ndalem, termasuk juga ... Ayrani.

Tidak seberapa lama kemudian Abah dan Gus Aaraf ikut berkumpul di meja makan, kami makan bersama dalam hening, entah apa yang dipikirkan Abah pagi ini. Biasanya beliau selalu mengajak berbincang.

Ruang Keluarga.

"Abah minta kamu berhenti mengurusi perusahan yang tidak ada gunanya itu, Aaraf! Jalankan saja pabrik dan pesantren ini, mau di bawa ke mana semua peninggalan Abah kalau anak satu-satunya malah memilih jalan lain?!"

Abah tetap meradang walaupun Umik sudah mengelus lengannya, sedangkan suamiku hanya menundukkan kepala.

"Kamu adalah harapan Abah satu-satunya untuk pabrik dan pesantren ini. Tolong mengerti, Aaraf! Apa Abah harus memohon di bawah kaki kamu?!"

"Abah ..," sahut Umik.

"Maaf, Abah. Aaraf tetap memilih perusahaan itu."

Deg!

Aku tertegun mendengarnya. Ternyata suamiku sangat keras kepala. Namun, kenapa saat dijodohkan denganku dia menurut saja? Kenapa tidak memperjuangkan Ayrani?

"Kamu sudah membuat Abah kecewa!"

"Aaraf tidak bisa meninggalkan perusahaan itu, Bah. InsyaAllah Aaraf masih bisa memegang pabrik dan pesantren ini, ada Danang yang akan bertanggung jawab di perusahaan."

Abah tampak menggelengkan kepala dengan raut wajah kecewa. Aku sudah ketar-ketir melihatnya, tetapi suamiku masih santai.

"Kamu sudah pernah mengatakannya dulu, tapi sekarang apa nyatanya?! Kamu tidak pernah membuktikan omonganmu!" Abah bangkit dan beranjak pergi dari ruang keluarga ini dengan menggandeng tangan Umik.

Menyisakan aku dan Gus Aaraf yang sama-sama diam. Ingin rasanya aku membelai punggung suamiku, atau sekadar meminjamkan bahu agar dia nyaman. Namun, suamiku itu malah memilih bangkit dan menuju kamar.

Aku hanya mampu menghela napas lirih, kemudian aku putuskan menuju dapur guna membuatkan kopi untuk pria tampan itu. Semoga saja kopi ini bisa memunculkan lagi senyumnya.

"Butuh bantuan, Ning?" ujar suara lembut itu yang sontak membuatku menoleh.

Aku memaksa bibir menorehkan senyum saat mendapati Ayrani berdiri di ambang pintu, "terima kasih. Tapi ini sudah selesai, kok," jawabku.

"Ning ngopi juga?" tanyanya dengan senyuman manis.

Aku tidak pernah melihat Ayrani berwajah masam. Gadis cantik itu selalu tersenyum dan pembawaannya menyenangkan.

"Ini buat Gus Aaraf, Mbak."

Hening! Cukup lama Ayrani terdiam.

"Maaf, Ning. Tapi setahu saya Gus Aaraf tidak pernah minum kopi di pagi hari."

Deg!

Aku memalingkan wajah menahan kebencian agar tidak semakin bertumbuh untuknya. Apa maksudnya? Apa dia ingin menunjukkan kalau dirinya yang paling tahu kebiasaan suamiku? Atau memang ingin membuatku cemburu?

"Maaf, Ning. Biasanya kalau pagi Gus Aaraf hanya minum susu."

Aku menganggukkan kepala, "iya. Pagi tadi Gus Aaraf sudah minum susu langsung dari sumbernya, dan sekarang dia mau kopi!" tukas ku dan langsung berbalik badan.

Aku sempat melihat wajah kaget Ayrani, bola matanya hampir keluar dengan mulut melongo. Ah, mungkin dia kaget saat mendengar jawaban frontal ku.

Saat sampai kamar, aku tidak melihat keberadaan suamiku. Secangkir kopi panas ini aku letakkan di meja, tetapi saat hendak menuju ranjang, langkah kakiku tertahan saat mendengar dering ponselnya.

Ujung netraku melirik benda pipih itu, lagi-lagi nama Ayrani yang tertera di sana berikut dengan foto cantiknya. Perlahan aku mengambil ponsel itu dan menggeser tombol hijau. Meskipun aku tahu ini tidak sopan, tetapi percayalah aku terpaksa melakukannya.

"Assalamualaikum, Gus. Saya sudah putuskan kita nanti akan bertemu di toko buku seberang jalan sana, sepuluh menit lagi saya akan berangkat," ujar suara lembut itu dari seberang telepon.

Aku langsung mematikan sambungan telepon itu dan menghapus riwayat panggilan, tanganku bergerak semakin lincah membuka aplikasi pesan. Tebakanku benar, nama Ayrani tertera paling atas pada daftar pesan suamiku.

[Kadonya Mas taruh depan kamarmu, Ay. Selamat ulang tahun, ya, Cah Ayu. Selamat tidur, dan jangan lupa kita besok bertemu.]

Deg!

Jantungku hampir melompat keluar saat mendapati pesan yang ditulis suamiku untuk perempuan itu. Kakiku rasanya melayang dengan darah berdesir hingga ke ubun-ubun.

Aku tersentak saat mendengar suara shower dari kamar mandi, gegas tanganku meletakkan lagi ponsel itu pada posisi semula. Dengan sisa tenaga, aku membawa langkah kaki menuju ranjang dan meluruhkan tangisku di balik selimut.

Ya Allah ... sungguh aku hampir limbung. Bagaimana aku bisa bersaing kalau harus ada wanita lain? Gus Aaraf pasti juga masih mencintai Ayrani, wajar kalau wanita itu tadi begitu berani memperingatkan ku.

"Aku mau ke toko buku sebentar, Kay. Ada beberapa kitab yang harus aku beli. Nanti bilang saja begitu kalau Abah dan Umik tanya," ucapnya yang hanya aku angguki.

Sekuat mungkin aku menggigit bibir dalam agar suara isakanku tidak terdengar.

"Kamu kenapa tiduran? Sakit?" tanyanya dan langsung aku timpali dengan gelengan kepala.

"Oh, aku kira sakit. Nggak papa 'kan aku tinggal?" ucapnya yang langsung melangkah keluar.

Lagi, aku hanya bisa mengangguk dengan tangan meremas dada menahan nyeri saat suamiku akan bertemu dengan wanita lain.

Apa yang labih sakit dari ini? Kalau hanya sikap dinginnya, mungkin aku masih bisa. Namun, kalau ada nama Ayrani di hatinya, apakah aku juga sanggup?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
waduhhh ternyata pelakor ada dimana aja ternyata, ternyata setan itu ada dimana2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status