Share

Tekad Kayshilla

"Suamimu ke mana, Nduk?"

"Eum ... tadi katanya mau ke toko buku depan sana, Mik. Mau beli kitab."

Tidak mungkin aku bilang Gus Aaraf sedang bersama Ayrani, walaupun ingin sekali aku membagi rasa sakitnya.

"Oh, gitu. Abah juga baru saja pergi karena ada keperluan, terus ini yang ngimami sholat dhuhur siapa, ya?"

Aku celingukan, "bagaimana kalau Kang Santri saja, Mik? Soalnya Kay juga belum tahu Gus Aaraf pulang jam berapa."

"Iya, deh. Umik bilangin sama Kang Santri dulu suruh ngimami, dari pada nggak ada."

"Iya, Mik." Aku tersenyum saat beliau beranjak pergi, sesekali aku juga akan menghembuskan napas kasar.

Pandanganku menatap lurus ke arah halaman luas yang terparkir banyak mobil pengurus, sambil berharap suamiku akan segera pulang. Aku ingin sholat diimami olehnya, tetapi saat ini aku juga takut dia tengah menjadi imam untuk wanita lain.

Sesekali aku berfikir, siapa yang harus bertanggung jawab dalam perang dingin di pernikahanku ini. Kalau aku sendiri, rasanya pundakku terlalu berat. Siapa yang menjadi tempatku mengadu saat beban yang ku pikul tidak bisa ku bagi?

"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!"

Aku terperanjat saat mendengar suara adzan, "Astaghfirullah," gumamku lirih.

Tidak seharusnya aku takut pada apapun. Bukankah kami menikah di hadapan Tuhan? Jadi aku akan menyerahkan pernikahan juga kepada Tuhan. Aku memang tidak mampu, tetapi Tuhan Maha Membolak-balikkan Hati. Aku yakin hati suamiku akan berpaling padaku dengan semua doa dan juga kekuatan Tuhan.

"Aku nggak boleh lemah meskipun Gus Aaraf selalu menginjak-injak harga diriku!"

Usai dari masjid, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Takutnya nanti suamiku pulang dan lapar, semoga saja dia tidak makan dengan Ayrani di luar sana.

Tidak seberapa lama kemudian, aku mendengar deru mobil berhenti di halaman. Gegas kakiku melangkah ke sana dan langsung mendapati Gus Aaraf yang baru saja turun dari mobil dengan menenteng paper bag.

"Kamu ngapain berdiri di tengah pintu?"

"Mau nyambut kamu, kayak Umik kalau Abah baru pulang." Aku menjabat tangan dinginnya dan mengecup singkat.

Namun, dia tidak membalas mengecup keningku.

"Oh, aku pikir lagi nungguin apa."

Aku mengulas senyum. Walaupun dia dingin, aku harus tetap memperlakukannya dengan manis. Aku harus segera menghapus nama Ayrani dalam hati dan ingatannya, karena hanya namaku yang boleh bertengger di benak suamiku!

"Saya sudah siapkan makan siang, Gus."

"Aku sudah makan tadi di luar."

Aku tertegun, "mau kopi atau cemilan saja kalau begitu?" tanyaku lagi mencoba menawarkan.

Kata Umik, suami harus disenangkan perutnya. Namun sayangnya suamiku sudah mengisi perut dengan wanita lain.

"Cemilan saja, kalau bisa minumannya jangan kopi. Tadi pagi sudah ngopi."

"Iya, Gus." Aku mengangguk senang dan langsung berjalan cepat menuju dapur.

Tanganku membuka kulkas, ternyata banyak stok makanan Frozen di sana. Dengan cepat aku meraih satu bungkus nugget dan menggorengnya, tidak lupa aku juga menyiapkan sambal. Terkahir, aku membuatkan Gus Aaraf jus jeruk.

Semua hidangan sudah selesai, tinggal mengangkatnya saja, dan membawa ke dalam kamar. Namun tiba-tiba Umik memanggil dan minta bantuan aku memijat kepalanya.

"Umik sakit?"

"Nggak tahu, Nduk. Tadi setelah menyimak ngaji Umik ngerasa berputar gitu, pusing banget."

"Kay siapkan makanan dulu, ya, Mik. Setelah minum obat baru Kay pijitin sambil tiduran nanti."

Wanita paruh baya itu mengulas senyum teduh, "terima kasih, ya, Nduk. Biasanya kalau ada Abah ... Umik bisa gantian nyimak ngajinya."

Beliau sangat lembut! Andaikan suamiku juga seperti ini.

"Jadi Umik kecapekan? Besok Kay temenin, ya. Walaupun Kay juga belum terlalu bisa, tapi setidaknya Umik ada temennya." Aku menuntun Umik untuk duduk di kursi.

Pelipisnya sudah dibanjiri keringat dingin, juga telapak tangannya yang basah. Secepat mungkin aku menyuapkan makanan dan lantas membantu Umik minum obat. Umik sudah bisa bersendawa setelah aku mengoleskan minyak kayu putih pada tengkuknya, kemudian aku menuntun Umik ke kamar agar bisa beristirahat.

"Umik kenapa nggak bilang sama Kay tadi?"

"Umik pikir masih kuat, Nduk. Tapi ternyata waktu bangun dari duduk langsung semuanya muter," jawab Umik dengan kekehan kecil.

Aku mengulas senyum mendengarnya. Umik memang tidak mau aku khawatir, beliau sekuat mungkin menutupi penyakitnya. Cukup lama aku memijat kepala, tangan, hingga kaki. Sampai akhirnya beliau tertidur dan aku lantas membenarkan letak selimutnya.

"Aduh! Aku sampai lupa sama nugget ku!" pekikku. Secepat mungkin aku keluar dari kamar berukuran luas ini dan lantas kembali ke dapur.

Namun, nampan berisi piring dan gelas yang beberapa saat lalu aku siapkan sudah tidak ada. Siapa kira-kira yang mengambil? Bukannya di rumah ini hanya ada aku, Umik, dan Gus Aaraf?

"Jangan-jangan Gus Aaraf sendiri yang ke dapur karena aku kelamaan?"

Aku menggelengkan kepala dan lantas menuju kamar, tetapi saat baru saja tiba di lorong yang menghubungkan dapur dengan kamar, netraku menyaksikan dua insan yang tengah bercengkrama di ruang tengah. Mereka tampak akrab, apa lagi suamiku yang terus tersenyum.

Pandanganku tertuju pada meja kaca, tak ayal aku menahan napas saat mendapati nampan yang beberapa saat lalu aku cari ternyata ada di sana.

"Terima kasih, Ay." Aku masih bisa mendengar suara Gus Aaraf meskipun sangat lirih.

Dia duduk di sofa, sedangkan wanita itu berdiri di sisi sofa dengan posisi membelakangi ku. Samar-samar aku masih bisa melihatnya mengangguk.

"Iya, Gus. Siang-siang memang sangat enak kalau buat ngemil, makanya saya antar ke sini."

"Iya. Aku tadi juga mau ngemil, soalnya mau makan lagi sudah kenyang. Kita tadi 'kan sudah sempat makan di luar." Kedua insan itu lantas tertawa bersama.

Aku menggeram lirih. Sakit rasanya saat suami sendiri berterima kasih pada wanita lain, padahal aku yang menyiapkan makanan tersebut. Pedih rasanya saat melihat dua insan itu dengan beraninya berdekatan saat Abah pergi.

Apa sebelumnya mereka memang sering seperti ini?

Apa Gus Aaraf sering berduaan dengan Ayrani?

Aku menggelengkan kepala melihat suamiku dengan wanita lain. Aku tidak bisa membiarkan suamiku dekat dengan wanita di masa lalunya.

"Mbak," ucapku yang membuat dua insan itu sama-sama menoleh, "ternyata kamu yang bawa nampan ini? Aku kira tadi ke mana nampannya."

"I-Iya, Ning." Ayrani mengangguk kaku dengan kepala yang semakin menunduk.

"Kamu tadi dari mana, Kay?"

"Dari kamar Umik, Mas. Umik katanya pusing terus aku pijitin. Sudah aku suapi makan dan minum obat juga. Sekarang Umik lagi tidur," jawabku yang sengaja menggunakan kata 'Mas'.

"Umik sakit?!" tanyanya dengan wajah panik.

"Tadi katanya setelah menyimak ngaji pusing, mungkin masuk angin." Aku mengalihkan pandangan kepada nampan yang berisi masih penuh, "sudah kamu makan, Mas? Enak nggak rasanya?"

Suamiku mengernyit, "kamu yang buat?" tanyanya dan aku lantas mengangguk.

"Iya. Tadi katanya kamu mau ngemil. Tapi waktu mau bawa ke kamar, Umik bilang lagi pusing. Jadi aku mendahulukan Umik. Maaf, ya, Mas."

"Oh, nggak papa. Aku berterimakasih karena kamu mau ngurusin Umik." Gus Aaraf menarik napas dalam, "Nugget-nya enak, kok, Kay. Aku suka," ucapnya lagi.

Aku mengangguk puas, "makasih, Mas. Nanti kalau mau dibuatkan makanan lain bilang saja," sahutku sembari menatap kepada Ayrani, "makasih, ya, Mbak. Kamu sudah bawa cemilannya ke depan, padahal aku tadi cari-cari di dapur. Aku pikir ke mana."

Wanita itu mengangguk pelan, kemudian ia berbalik badan dan melangkahkan kakinya meninggalkan kami tanpa menjawab perkataanku. Mungkin ada perasaan tidak nyaman saat melihatku dengan Gus Aaraf.

'Menghadapi wanita lain memang harus elegan, agar Gus Aaraf juga tersentuh melihat ketenanganku. Bantu aku, Ya Allah ...,' batinku.

Hey! Aku adalah istrinya, mau bagaimanapun aku lah pemenangnya. Aku akan merebut hati Gus Aaraf dengan semua kekuatan dan air mata yang aku miliki. Walaupun banyak kesakitan dan kepedihan yang mungkin akan menghampiri, setidaknya aku memperjuangkan ikatan yang halal.

'Aku harus berakhir sebagai pemenang!' batinku lagi.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
ternyata pelakor terselubung juga ya walaupun udah dididik dengan agama yg baik .. gak jaminan
goodnovel comment avatar
Els Arrow
makasih sudah berkenan membaca kak... sehat selalu..
goodnovel comment avatar
Aji Arif
hampir mirip cerita suhita ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status