"Suamimu ke mana, Nduk?"
"Eum ... tadi katanya mau ke toko buku depan sana, Mik. Mau beli kitab."Tidak mungkin aku bilang Gus Aaraf sedang bersama Ayrani, walaupun ingin sekali aku membagi rasa sakitnya."Oh, gitu. Abah juga baru saja pergi karena ada keperluan, terus ini yang ngimami sholat dhuhur siapa, ya?"Aku celingukan, "bagaimana kalau Kang Santri saja, Mik? Soalnya Kay juga belum tahu Gus Aaraf pulang jam berapa.""Iya, deh. Umik bilangin sama Kang Santri dulu suruh ngimami, dari pada nggak ada.""Iya, Mik." Aku tersenyum saat beliau beranjak pergi, sesekali aku juga akan menghembuskan napas kasar.Pandanganku menatap lurus ke arah halaman luas yang terparkir banyak mobil pengurus, sambil berharap suamiku akan segera pulang. Aku ingin sholat diimami olehnya, tetapi saat ini aku juga takut dia tengah menjadi imam untuk wanita lain.Sesekali aku berfikir, siapa yang harus bertanggung jawab dalam perang dingin di pernikahanku ini. Kalau aku sendiri, rasanya pundakku terlalu berat. Siapa yang menjadi tempatku mengadu saat beban yang ku pikul tidak bisa ku bagi?"Allahu Akbar ... Allahu Akbar!"Aku terperanjat saat mendengar suara adzan, "Astaghfirullah," gumamku lirih.Tidak seharusnya aku takut pada apapun. Bukankah kami menikah di hadapan Tuhan? Jadi aku akan menyerahkan pernikahan juga kepada Tuhan. Aku memang tidak mampu, tetapi Tuhan Maha Membolak-balikkan Hati. Aku yakin hati suamiku akan berpaling padaku dengan semua doa dan juga kekuatan Tuhan."Aku nggak boleh lemah meskipun Gus Aaraf selalu menginjak-injak harga diriku!"•Usai dari masjid, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan makan siang. Takutnya nanti suamiku pulang dan lapar, semoga saja dia tidak makan dengan Ayrani di luar sana.Tidak seberapa lama kemudian, aku mendengar deru mobil berhenti di halaman. Gegas kakiku melangkah ke sana dan langsung mendapati Gus Aaraf yang baru saja turun dari mobil dengan menenteng paper bag."Kamu ngapain berdiri di tengah pintu?""Mau nyambut kamu, kayak Umik kalau Abah baru pulang." Aku menjabat tangan dinginnya dan mengecup singkat.Namun, dia tidak membalas mengecup keningku."Oh, aku pikir lagi nungguin apa."Aku mengulas senyum. Walaupun dia dingin, aku harus tetap memperlakukannya dengan manis. Aku harus segera menghapus nama Ayrani dalam hati dan ingatannya, karena hanya namaku yang boleh bertengger di benak suamiku!"Saya sudah siapkan makan siang, Gus.""Aku sudah makan tadi di luar."Aku tertegun, "mau kopi atau cemilan saja kalau begitu?" tanyaku lagi mencoba menawarkan.Kata Umik, suami harus disenangkan perutnya. Namun sayangnya suamiku sudah mengisi perut dengan wanita lain."Cemilan saja, kalau bisa minumannya jangan kopi. Tadi pagi sudah ngopi.""Iya, Gus." Aku mengangguk senang dan langsung berjalan cepat menuju dapur.Tanganku membuka kulkas, ternyata banyak stok makanan Frozen di sana. Dengan cepat aku meraih satu bungkus nugget dan menggorengnya, tidak lupa aku juga menyiapkan sambal. Terkahir, aku membuatkan Gus Aaraf jus jeruk.Semua hidangan sudah selesai, tinggal mengangkatnya saja, dan membawa ke dalam kamar. Namun tiba-tiba Umik memanggil dan minta bantuan aku memijat kepalanya."Umik sakit?""Nggak tahu, Nduk. Tadi setelah menyimak ngaji Umik ngerasa berputar gitu, pusing banget.""Kay siapkan makanan dulu, ya, Mik. Setelah minum obat baru Kay pijitin sambil tiduran nanti."Wanita paruh baya itu mengulas senyum teduh, "terima kasih, ya, Nduk. Biasanya kalau ada Abah ... Umik bisa gantian nyimak ngajinya."Beliau sangat lembut! Andaikan suamiku juga seperti ini."Jadi Umik kecapekan? Besok Kay temenin, ya. Walaupun Kay juga belum terlalu bisa, tapi setidaknya Umik ada temennya." Aku menuntun Umik untuk duduk di kursi.Pelipisnya sudah dibanjiri keringat dingin, juga telapak tangannya yang basah. Secepat mungkin aku menyuapkan makanan dan lantas membantu Umik minum obat. Umik sudah bisa bersendawa setelah aku mengoleskan minyak kayu putih pada tengkuknya, kemudian aku menuntun Umik ke kamar agar bisa beristirahat."Umik kenapa nggak bilang sama Kay tadi?""Umik pikir masih kuat, Nduk. Tapi ternyata waktu bangun dari duduk langsung semuanya muter," jawab Umik dengan kekehan kecil.Aku mengulas senyum mendengarnya. Umik memang tidak mau aku khawatir, beliau sekuat mungkin menutupi penyakitnya. Cukup lama aku memijat kepala, tangan, hingga kaki. Sampai akhirnya beliau tertidur dan aku lantas membenarkan letak selimutnya."Aduh! Aku sampai lupa sama nugget ku!" pekikku. Secepat mungkin aku keluar dari kamar berukuran luas ini dan lantas kembali ke dapur.Namun, nampan berisi piring dan gelas yang beberapa saat lalu aku siapkan sudah tidak ada. Siapa kira-kira yang mengambil? Bukannya di rumah ini hanya ada aku, Umik, dan Gus Aaraf?"Jangan-jangan Gus Aaraf sendiri yang ke dapur karena aku kelamaan?"Aku menggelengkan kepala dan lantas menuju kamar, tetapi saat baru saja tiba di lorong yang menghubungkan dapur dengan kamar, netraku menyaksikan dua insan yang tengah bercengkrama di ruang tengah. Mereka tampak akrab, apa lagi suamiku yang terus tersenyum.Pandanganku tertuju pada meja kaca, tak ayal aku menahan napas saat mendapati nampan yang beberapa saat lalu aku cari ternyata ada di sana."Terima kasih, Ay." Aku masih bisa mendengar suara Gus Aaraf meskipun sangat lirih.Dia duduk di sofa, sedangkan wanita itu berdiri di sisi sofa dengan posisi membelakangi ku. Samar-samar aku masih bisa melihatnya mengangguk."Iya, Gus. Siang-siang memang sangat enak kalau buat ngemil, makanya saya antar ke sini.""Iya. Aku tadi juga mau ngemil, soalnya mau makan lagi sudah kenyang. Kita tadi 'kan sudah sempat makan di luar." Kedua insan itu lantas tertawa bersama.Aku menggeram lirih. Sakit rasanya saat suami sendiri berterima kasih pada wanita lain, padahal aku yang menyiapkan makanan tersebut. Pedih rasanya saat melihat dua insan itu dengan beraninya berdekatan saat Abah pergi.Apa sebelumnya mereka memang sering seperti ini?Apa Gus Aaraf sering berduaan dengan Ayrani?Aku menggelengkan kepala melihat suamiku dengan wanita lain. Aku tidak bisa membiarkan suamiku dekat dengan wanita di masa lalunya."Mbak," ucapku yang membuat dua insan itu sama-sama menoleh, "ternyata kamu yang bawa nampan ini? Aku kira tadi ke mana nampannya.""I-Iya, Ning." Ayrani mengangguk kaku dengan kepala yang semakin menunduk."Kamu tadi dari mana, Kay?""Dari kamar Umik, Mas. Umik katanya pusing terus aku pijitin. Sudah aku suapi makan dan minum obat juga. Sekarang Umik lagi tidur," jawabku yang sengaja menggunakan kata 'Mas'."Umik sakit?!" tanyanya dengan wajah panik."Tadi katanya setelah menyimak ngaji pusing, mungkin masuk angin." Aku mengalihkan pandangan kepada nampan yang berisi masih penuh, "sudah kamu makan, Mas? Enak nggak rasanya?"Suamiku mengernyit, "kamu yang buat?" tanyanya dan aku lantas mengangguk."Iya. Tadi katanya kamu mau ngemil. Tapi waktu mau bawa ke kamar, Umik bilang lagi pusing. Jadi aku mendahulukan Umik. Maaf, ya, Mas.""Oh, nggak papa. Aku berterimakasih karena kamu mau ngurusin Umik." Gus Aaraf menarik napas dalam, "Nugget-nya enak, kok, Kay. Aku suka," ucapnya lagi.Aku mengangguk puas, "makasih, Mas. Nanti kalau mau dibuatkan makanan lain bilang saja," sahutku sembari menatap kepada Ayrani, "makasih, ya, Mbak. Kamu sudah bawa cemilannya ke depan, padahal aku tadi cari-cari di dapur. Aku pikir ke mana."Wanita itu mengangguk pelan, kemudian ia berbalik badan dan melangkahkan kakinya meninggalkan kami tanpa menjawab perkataanku. Mungkin ada perasaan tidak nyaman saat melihatku dengan Gus Aaraf.'Menghadapi wanita lain memang harus elegan, agar Gus Aaraf juga tersentuh melihat ketenanganku. Bantu aku, Ya Allah ...,' batinku.Hey! Aku adalah istrinya, mau bagaimanapun aku lah pemenangnya. Aku akan merebut hati Gus Aaraf dengan semua kekuatan dan air mata yang aku miliki. Walaupun banyak kesakitan dan kepedihan yang mungkin akan menghampiri, setidaknya aku memperjuangkan ikatan yang halal.'Aku harus berakhir sebagai pemenang!' batinku lagi.Malam-malam kami masih sama, Gus Aaraf fokus pada ponselnya, dan aku fokus menderas mushaf. Sesekali Gus Aaraf akan membenarkan bacaanku yang salah, tetapi pandangannya tetap tidak terlepas dari ponsel."Besok kamu sudah masuk kuliah, aku sudah mengurus pendaftarannya.""Iya, Gus." Aku meletakkan mushaf tanpa bertanya lebih jauh lagi."Setiap hari akan ada supir yang akan mengantarkan kamu, karena aku nggak mengizinkan kamu pergi sendirian. Aku besok juga sudah mulai masuk kantor.""Saya siapkan pakaiannya dulu kalau begitu, Gus. Besok kamu mau bawa bekal?"Gus Aaraf menggeleng, "nggak usah.""Lalu makan siangnya gimana?""Di sana ada kantin, banyak juga yang jualan makanan."Aku mengangguk, "baiklah kalau begitu, Gus. Saya cuma khawatir kalau kamu telat makan siang."Pria tampan dengan balutan kaos oblong dan sarung itu meletakkan ponselnya, netranya menatap fokus ke arahku dengan rahang menegas."Kenapa? Aku bukan anak kecil, Kay. Kamu nggak perlu berlebihan seperti ini!"Tenggoroka
Gus Aaraf langsung keluar dari mobil tanpa berbicara apapun, dia meninggalkanku sendirian di sini yang masih bingung menatapnya. Kalau dia tidak mencintaiku, kenapa harus bersikap seperti ini? Apa jangan-jangan sedikit demi sedikit aku sudah berhasil nengusik pikirannya?"Kamu sangat misterius, Gus," gumamku.Kakiku melangkah bergantian memasuki rumah dan langsung menunju kamar. Pemandangan yang pertama kali aku lihat adalah Gus Aaraf yang tengah menggelar sajadah."Cepat wudhu. Kita sholat bareng.""Iya, Gus."Kalau dia seperti ini, jujur saja perasaanku menghangat. Aku adalah wanita normal yang mendambakan sikap manis suaminya, bukankah wajar kalau aku ingin Gus Aaraf bersikap lembut?Usai sholat Gus Aaraf mengulurkan tangan sehingga aku langsung menyambutnya. Ini adalah pertama kali aku mencium tangan suamiku setelah sholat selama satu bulan pernikahan.'Ya Allah, apakah hatinya sudah melunak? Atau ini karena perasaan bersalahnya pagi tadi? Apapun itu, aku sangat bahagia dengan pe
"Malam ini kita pakai baju couple, ya, Gus.""Buat apa?"Gerakanku memilah baju di lemari sontak terhenti mendapati jawaban dinginnya."Biar kita serasi, Gus." Aku menoleh ke arah suamiku yang masih asyik dengan ponselnya. Pria tampan itu hanya mengangguk tanpa menjawab kata-kataku barusan, ia sama sekali tidak mengangkat pandangannya.Dengan cepat tanganku mengambil gamis berwarna coklat, tidak lupa kemeja, dan sarung untuk Gus Aaraf dengan warna senada. Setelah semuanya tertata rapi di ranjang, langkahku lantas menuju kamar mandi guna menyiapkan air hangat. "Silakan mandi dulu, Gus. Airnya sudah siap." Aku mengganti keset dan menaruh handuk untuknya, tetapi suamiku sama sekali tidak bergeming.'Kuatkan aku, Ya Allah. Setelah ini Ayrani akan menikah, jadi Gus Aaraf tidak ada pilihan lain selain merelakannya. Semoga ini menjadi jalan untuk kami bisa semakin dekat,' batinku.Aku kembali ke ranjang untuk menyiapkan beberapa kado. Umik bilang kami harus memberikan bingkisan sebagai ucap
Pagi ini suasana mendung dengan rintik halus air hujan yang semakin membuat suasana dingin. Aku malangkah ke kamar mandi untuk menyiapkan air hangat, kemudian baru memanggil suamiku. Namun, keningku mengerut saat mendapati pria tampan itu masih membungkus tubuhnya dengan selimut, padahal beberapa saat lalu ia sudah duduk."Gus, air hangatnya sudah siap."Gus Aaraf hanya mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun."Mau mandi sekarang atau nanti, Gus? Kalau nanti biar saya duluan yang mandi, takutnya airnya jadi dingin.""A-Aku dingin, Kay ...."Keningku semakin mengerut mendengar suaranya menggigil, dengan perlahan punggung tanganku menyentuh keningnya. "Ya Allah! Kamu panas banget, Gus." Aku langsung keluar dari kamar dan berlari menuju kamar Umik, tetapi sayangnya beliau masih menyimak ngaji.Untungnya ada Kang Ilham sedang membersihkan halaman, segera aku memanggilnya untuk membantu membawa Gus Aaraf ke rumah sakit, khawatir kalau sakitnya akan bertambah parah."Mbak, nanti tolong b
Hari ini Gus Aaraf sudah diperbolehkan pulang, syukurlah kalau begitu. Seharian kemarin aku sangat khawatir dengan kondisinya, beruntung Tuhan memberikan kesembuhan dengan cepat kepada suamiku.Kami tiba di rumah dan langsung disambut oleh Abah dan Umik. Mertuaku meminta maaf lantaran kemarin tidak bisa meninggalkan santri, sehingga mereka tidak bisa ke rumah sakit.Aku hanya mengangguk, berbeda dengan suamiku yang hanya diam bahkan tidak ada ekspresi berarti di wajahnya. Aku langsung mengantarkan Gus Aaraf beristirahat di kamar."Hari ini kamu di ranjang saja, Gus, 'kan masih sakit. Saya bisa kok tidur di sofa.""Makasih, Kay.""Saya ambilkan makanan dulu, Gus. Kebetulan tadi saya pesan bubur ayam. Kayaknya sudah datang."Pria tampan dengan balutan kemeja oblong itu hanya mengangguk, kemudian dengan cepat aku mengambil makanan, setelahnya langsung kembali ke kamar. Gus Aaraf masih dalam posisinya bersandar di ranjang, pandangannya lurus ke depan, entah apa yang ia pikirkan."Gus? Mau
Malam ini kondisi Gus Aaraf lebih stabil, jadi kami bisa menghadiri acara pelantikan di aula pondok. Kami mengenakan pakaian dengan warna senada, sepanjang jalan tanganku juga terus menggamit mesra lengan kekar Gus Aaraf. Kami selayaknya pasangan bahagia, tanpa ada yang tahu kalau badai di dalam dadaku hampir memporak-porandakan kewarasanku.Aula besar ini sudah tertata banyak kursi dan meja, Gus Aaraf lantas menuju tempat Abah dan para ustadz. Sedangkan aku menuju tempat Umik yang tengah sibuk berkoordinasi dengan santri senior."Bagaimana, Umik?" tanyaku yang lantas membuat Umik berpaling."Semuanya sudah selesai, Nduk. Kita tinggal menunggu beberapa menit lagi, ayo kita duduk di sana."Aku mengangguk dan lantas mengikuti Umik yang menggandeng tubuhku menuju meja deretan depan. Umik terus menggenggam tanganku. Ah, beliau memang sangat menyayangiku.Sesekali ujung netraku melirik ke tempat Gus Aaraf duduk. Pria tampan itu tampak asyik berbincang dengan para ustadz, semoga saja Gus Aa
Mobil mewah yang kami tumpangi ini memasuki halaman saung sederhana bergaya jawa yang terletak di tengah sawah, pandanganku mengedar ke sekeliling, ada beberapa mobil yang terparkir di sini. Gus Aaraf mengajakku keluar dan kami melangkah bersama memasuki saung."Aku dulu waktu masih kuliah sering makan di sini, Kay. Semoga kamu juga cocok sama makanannya," ucap Gus Aaraf seraya keluar dari mobil.Pria tampan itu menggandeng tanganku saat kami membelah kerumunan orang-orang yang tengah mengantre memesan makanan, sontak saja jantungku berlompatan, aku bahkan bisa merasakan detak jantungku sendiri."Tumben banget pagi-pagi sudah rame." Suamiku itu masih celingak-celinguk mencari tempat duduk yang kosong. Hingga akhirnya dia kembali menggandeng tanganku menuju saung yang terletak di pinggir sungai kecil."Kita duduk di sini saja, ya," ucapnya yang lantas aku angguki.Kami duduk berhadapan dipisahkan dengan meja kecil, dengan posisi ini aku bisa memperhatikan wajah tampan Gus Aaraf. Walaup
Ceklek! Pintu kamar mandi terbuka, saat itu juga aku langsung memejamkan mata. Bukannya tidak ingin mengantarkan suamiku ke depan, tetapi aku takut tidak kuasa saat sadar suamiku hendak bertemu wanita lain.Beberapa menit kemudian terdengar deru mobil meninggalkan halaman, saat itu juga air mataku langsung luruh. Aku benci pada diriku sendiri yang tidak berdaya dan hanya bisa menangis. Aku iri pada Ayrani yang dicintai sebegitu dalamnya oleh suamiku.Saking lelahnya menangis, tanpa terasa kelopak mataku semakin berat. Aku tertidur entah jam berapa, yang pasti saat ini kepalaku rasanya juga sangat pusing. ***Pagi hari."Loh, kok kamu di sini ...?!" Aku langsung menghambur pada pelukan Adele saat mendapati sahabatku itu baru saja turun dari mobilnya.Niatku pagi ini ingin menemani Umik menyimak ngaji harus terhenti saat melihat mobil yang bagiku tidak asing itu baru saja berhenti di halaman luas kediaman Abah, sepersekian detik kemudian Adele keluar dengan senyum merekah."Kayshilla .