Share

Cemburu?

Malam-malam kami masih sama, Gus Aaraf fokus pada ponselnya, dan aku fokus menderas mushaf. Sesekali Gus Aaraf akan membenarkan bacaanku yang salah, tetapi pandangannya tetap tidak terlepas dari ponsel.

"Besok kamu sudah masuk kuliah, aku sudah mengurus pendaftarannya."

"Iya, Gus." Aku meletakkan mushaf tanpa bertanya lebih jauh lagi.

"Setiap hari akan ada supir yang akan mengantarkan kamu, karena aku nggak mengizinkan kamu pergi sendirian. Aku besok juga sudah mulai masuk kantor."

"Saya siapkan pakaiannya dulu kalau begitu, Gus. Besok kamu mau bawa bekal?"

Gus Aaraf menggeleng, "nggak usah."

"Lalu makan siangnya gimana?"

"Di sana ada kantin, banyak juga yang jualan makanan."

Aku mengangguk, "baiklah kalau begitu, Gus. Saya cuma khawatir kalau kamu telat makan siang."

Pria tampan dengan balutan kaos oblong dan sarung itu meletakkan ponselnya, netranya menatap fokus ke arahku dengan rahang menegas.

"Kenapa? Aku bukan anak kecil, Kay. Kamu nggak perlu berlebihan seperti ini!"

Tenggorokanku menelan saliva dengan susah saat mendengar ucapan sarkasnya. Yeah! Lagi-lagi aku harus bersabar karena dia tidak nyaman dengan sikapku.

"Maaf, Gus."

Gus Aaraf menggelengkan kepala, "ada-ada saja!" ketusnya seraya kembali mengembalikan fokus ke araf ponsel.

Aku langsung melepas mukena dan beranjak menuju lemari. Ada banyak setelan kemeja formal dan jas di dalamnya. Tanganku meraih satu stel pakaian dan membawanya untuk disetrika.

Sesekali aku melirik ke arah Gus Aaraf yang tidak juga bergeming. Ada sakit saat diabaikan olehnya, tetapi juga ada rasa bersyukur saat dia membiarkanku memegang barangnya.

***

Pagi ini aku sudah siap dengan semua perlengkapan kuliah, juga Gus Aaraf yang sudah rapi dengan baju yang ku siapkan semalam. Pria tampan itu semakin berwibawa saat mengenakan setelan formal dengan balutan jas, tetapi sayangnya Abah mertua tidak setuju dengan perusahaannya.

"Nanti biar Pak Ilham nungguin kamu, ya, Nduk. Jadi kalau mau pulang nggak ribet."

"Iya, Umik. Mungkin hari pertama nggak akan terlalu siang."

"Seharusnya Aaraf yang nganterin kamu, Kay. Tapi sayangnya dia malah terlalu sibuk sama perusahaan yang nggak ada gunanya itu!" sahut Abah.

"Abah ... sudahlah. Biarkan putra kita membuktikannya."

"Tiga tahun, Mik. Dan belum ada hasil apa-apa? Kalau saja Aaraf nurut menjalankan pabrik, pasti Abah nggak akan capek, dan bisa menemani Umik menjaga Santri." Abah menghela napas panjang.

"Nanti Kay akan temani Umik mengaji sama Santri, ya, Bah. Jangan pikirkan macam-macam, karena Abah dan Umik harus selalu sehat," sahutku yang merasa tidak tega melihat pria paruh baya itu.

Putranya memang mempunyai pemikiran yang bertolak belakang, sehingga hal itu membuat Abah meradang.

"Makasih, Kay. Beruntung kami punya menantu yang mengerti seperti kamu. Jadi selama Abah mengurus pabrik, tolong kamu temani Umik. Abah juga kasihan kalau Umik mengurus Santri sendirian, soalnya Aaraf juga cuek sama Pesantren."

Aku mengangguk patuh, "doakan saja, Abah."

Pria paruh baya itu mengelus kepalaku sembari bibirnya menggumamkan doa. Sesekali ujung netraku melirik kepada Gus Aaraf, nampak ia memalingkan pandangan.

"Kalau Begitu Kay berangkat dulu, Abah, Umik."

"Iya, Nduk. Hati-hati, ya."

Aku menyalami tangan kedua mertuaku dan mengecup pipi mereka dengan hangat, kemudian tanganku mengulur menyalami Gus Aaraf. Namun, pria tampan itu malah menggandeng tanganku keluar.

"Apa maksudnya, Kay?"

"Apa, Gus?" tanyaku balik.

"Kamu sengaja berbicara seperti tadi? Kamu sengaja berlagak seolah menenangkan Abah yang tengah memarahiku untuk merebut perhatiannya?! Iya?!"

Aku menggeleng dengan netra yang mulai memanas, "nggak ada pikiran seperti itu, Gus. Saya cuma menyampaikan apa yang telah saya sepakati kemarin sama Umik. Saya memang berniat menemani Umik mengurus Santri."

"Kamu mau cari perhatian sama orang tuaku? Setelah kamu nggak mendapatkannya dari aku, kamu mengambil perhatian Abah dan Umik. Lalu nanti kamu minta Abah dan Umik untuk memaksaku menerima kamu?!"

Aku menggeleng. Suara pelan Gus Aaraf begitu menusuk gendang telingaku, bahkan lelaki itu memelototi ku seolah istrinya ini adalah seorang penjahat.

"Katakan, Kay! Apa yang sudah kamu bicarakan sama Abah dan Umik?! Kamu bilang kalau rumah tangga kita lagi nggak baik? Kamu ngadu dan akhirnya Umik kemarin jatuh sakit?!" tuduhnya lagi.

"Astaghfirullah, Gus! Demi Allah saya nggak melakukan seperti itu! Saya nggak bilang apa-apa."

Gus Aaraf menggeram lirih, "kamu masuk ke pernikahan ini karena permintaan Abah 'kan? Pantas saja sikap kamu sama seperti Abah yang nggak pernah cocok sama aku!"

Pria tampan itu pergi begitu saja dari hadapanku. Dia tidak peduli dengan lelehan air mata yang merembes turun membasahi pipi. Dia langsung masuk ke mobilnya dan melaju pergi meninggalkan halaman luas ini.

Aku tidak menyangka suamiku akan semarah ini, padahal niatku adalah menyenangkan hati mertua seperti perintah orang tuaku. Namun Gus Aaraf salah paham, dia telah memandangku keliru hari ini, dan aku tidak dapat memberinya penjelasan.

Aku sangat takut hubungan kami kian berjarak.

***

Islamic University.

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang, itu artinya sudah waktunya untuk pulang.

"Hai, kamu mahasiswi baru, ya? Kok saya baru lihat?" tanya Pak Devano, Dosen muda yang mengisi kelasku pagi ini.

"Iya, Pak. Saya pindahan dari jember."

"Oh, gitu. Kamu juga nggak ikut masa pengenalan 'kan?" tanyanya lagi dan aku hanya menimpali dengan gelengan singkat.

Pria berusia matang dengan perawakan tinggi tegap itu masih duduk di kursinya, sehingga aku juga memilih kembali duduk ke kursiku. Masih ada beberapa teman di kelas ini, jadi tidak masalah aku rasa kalau menjawab beberapa pertanyaan dari Pak Devano.

"Nama kamu siapa?"

"Kayshilla Chandra, Pak."

"Oh, Kayshilla. Semoga kamu betah, ya, mengikuti kelas saya. Ada teman-teman yang akan membantu kalau kamu bingung dengan beberapa materi, soalnya kelas ini sudah berjalan beberapa kali pertemuan."

"Iya, Pak. Terima kasih."

"Sama-sama. Ya sudah kalau begitu, saya keluar dulu. Oh, iya ... kamu juga boleh kalau mau tanya-tanya langsung sama saya, asal masih di jam kerja."

"Baik, Pak."

Aku menundukkan wajah selama berinteraksi dengannya, kecuali saat beliau tadi menerangkan materi. Aku rasa ini adalah pembicaraan pribadi, bukan pelajaran. Jadi tidak etis rasanya memandang lawan jenis terlalu lama.

Setelah Pak Devano keluar kelas, aku juga memutuskan keluar setelahnya. Bibirku selalu mengulas senyum saat berpapasan dengan mahasiswi lain. Hingga tidak terasa langkahku sudah sampai di parkiran.

"Loh, mobilnya Pak Ilham ke mana? Kok nggak ada?"

Aku celingak-celinguk melihat ke arah depan, tetapi nihil. Bahkan saat aku menghubungi Pak Ilham, beliau juga tidak mengangkat ponsel.

TIN!

Aku sontak terlonjak kala mendengar bel dari arah belakang. Ternyata sebuah mobil dan aku baru sadar posisiku sedang berdiri di tengah gerbang.

"Lagi ngapain, Kay?"

"Pak Devano?" gumamku saat kaca mobil itu diturunkan.

"Kamu lagi ngapain berdiri celingak-celinguk di situ?" tanyanya lagi.

"Oh, lagi nungguin jemputan, Pak."

"Mau bareng saya saja?"

Aku menggelengkan kepala dengan kedua tangan mengatup di depan dada, "tidak, Pak. Makasih sebelumnya, tapi sebentar lagi jemputan saya juga datang, kok."

"Ini sudah siang dan panas, jam makan siang juga. Memangnya kamu nggak lapar? Ayo ... nggak papa kalau mau bareng."

"Nggak usah, Pak. Maaf!" tolakku tegas.

Namun Pak Devano terus memaksa bahkan hampir keluar dari mobilnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan menggenggam pergelangan tanganku hingga membuatku tersentak.

"Wanita ini sudah menolak, kenapa Anda masih memaksa?! Apa Anda tidak jelas juga?"

Gus Aaraf. Yeah, suamiku datang dengan gagahnya sebagai penolong. Ia tidak membiarkan Pak Devano menjawab dan langsung menggandeng tanganku menuju mobilnya.

Brakkk! Suamiku menutup pintu mobil dengan kencang.

"Dia siapa?" Gus Aaraf bertanya tanpa memandang ke arahku. Tangannya sibuk memasang seat belt, sepersekian detik kemudian ia mulai melajukan mobil.

"Dia siapa, Kayshilla?!"

"Dia Dosen di kelas saya, Gus."

"Kalian tampak akrab. Kamu ini istri orang, tidak seharusnya kamu dekat-dekat dengan laki-laki yang bukan mahram."

Aku sontak memandangnya, wajah tampan itu masih datar dengan rahang mengeras. Apa dia mimpi berbicara seperti barusan?

"Aku nggak mau lihat kamu dekat dengan laki-laki lain! Jangan lupakan satu hal, Kay! Kamu bukan lagi wanita bebas, kamu adalah istriku!"

Aku hanya mengangguk dengan kening mengerut.

"Kenapa? Kamu cemburu?"

Pria di sebelahku ini langsung gelagapan, "ng-nggak! Aku hanya menjaga kamu! Kamu 'kan tanggung jawabku, kalau kamu dekat-dekat sama laki-laki lain dan akhirnya dosa, aku juga yang kena! Ini bukan cemburu. Nggak mungkin aku cemburu!"

"Iya deh ...," sahutku.

'Dia nggak kepentok meja 'kan bicara kayak gini? Ih, tapi kenapa aku gemes, ya, sama gengsinya,' batinku menahan gelak tawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status