“Aku melihat suami kamu di bar sama perempuan.” Suara serupa desisan itu membuat Nayna terpaku, tangannya yang sedang melipat pakaian membeku. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Telepon dari Vina, sahabatnya membuat aliran darah Nayna berdesir hebat. “Wah gila! Mereka sampai cipok-cipokan! Pangku-pangkuan dan mesra-mesraan di depan meja bartender. KURANG AJAR SI BAGUS! CEPETAN KE SINI, NAY!!” Suara kemarahan Vina dilaterbelakangi dengan dentum musik dan suara hilir mudik orang-orang yang sedang meneriakkan betapa serunya suasana bar itu. Kaki Nayna gemetar tak tertahankan. Dadanya seolah tertusuk sesuatu sampai terasa sesak dan begitu perih. Kabar itu begitu mengejutkan seperti disambar petir di siang bolong. Kepala Nayna pusing. Perutnya tergulung-gulung dan ia ingin muntah sekarang juga. Ia berharap Vina cuma salah lihat atau sedang iseng mengerjainya. Sebab baru satu jam yang lalu Mas Bagus, suaminya meminta izin unt
Nomor kamar. Hati Nayna tercubit keras. Diam-diam dia memohon dalam hati semoga adegan-adegan yang terlintas dalam pikirannya tidak terjadi. “Sini!” Vina menarik tangan Nayna memasuki lift. Tentu saja penampilan kucel Nayna mengundang lirikan orang-orang yang lalu lalang di lobi, untunglah lift sedang kosong. Pegangan Vina di pergelangannya cukup kencang. Sahabatnya sejak sekolah dasar itu mengerjap gelisah dan tak sabar menunggu pergantian lift menuju lantai tujuh. “Kamu … yakin itu Mas Bagus?” Suara Nayna mencicit. Air matanya tak berhenti mengalir seperti pipa yang bocor. “Ya ampun, Nay. Seratus persen aku yakin. Mas Bagus-mu yang tidak terlalu tinggi, dandanan kayak anak muda, rambut dibikin mirip badboy dan muka yang nggak ganteng-ganteng amat. Aku yakin betul itu dia.” “Tapi Mas Bagus gak seperti itu. Dia pergi dengan kemeja rapi dan rambut yang ditata biasa. Dia hanya pergi ke acara pindahan rumah teman sekantornya.” “Oh ya?” Vina tersenyum miring mengejek kenaifan Nayna,
Nayna diantar pulang oleh Vina. Sahabatnya itu menawarkan diri untuk menginap dan menemani Nayna.“Nggak usah, Vin. Aku perlu bicara berdua dengan Mas Bagus.”“Kamu yakin? Sebenarnya, Nay. Orang kayak Bagus nggak perlu dikasih waktu bicara berdua dari hati ke hati. Dia bakal kasih kamu seribu satu alasan berikut janji-janji kosongnya. Pokoknya apa pun yang terjadi jangan tergoda. Aku nggak mau lihat kamu menderita lagi.”Nayna memaksakan senyum. Memang saat ini hanya Vina-lah yang bisa dia jadikan sandaran. “Makasih, Vin.”“Nggak masalah, Nay. Kalau dia macam-macam ke kamu, tinggal telepon aku aja, oke?”Nayna mengangguk dengan mata sembab. Melihat kepergian Vina dari teras rumahnya.Setelah tubuh Vina tak lagi terlihat, air mata Nayna kembali meluncur jatuh. Rasanya sangat pedih seperti seluruh dunianya hancur. Dia tak pernah membayangkan Mas Bagus akan mengkhianatinya. Berdua dengan per
Pagi-pagi sekali Nayna kembali mendapat telepon dari Ibu Mas Bagus.“Bawakan bajunya Bagus. Kemarin itu dia pinjam kemeja sama tetangga. Aduh malu-maluin banget! Ini semua gara-gara kamu! Ya suami itu dibaikin, dibujuk, dirayu-rayu jangan malah kamu yang ngambek! Bawain ke sini!”Nayna sudah biasa mendapat bentakan seperti itu dari sang ibu mertua. Ibu Mas Bagus selalu memanjakan Mas Bagus. Apa pun masalahnya, Nayna yang akan disalahkan.Karena itu setiap ada masalah, sekecil apapun itu, Mas Bagus selalu mengadu ke ibunya katanya ‘Sama siapa lagi aku bersandar kalau bukan ke ibuku?’“Heh! Denger nggak kamu! Mana anak saya nggak dimasakin lagi! Dia sekarang jadi kurus semenjak nikah sama kamu! Kerja banting tulang tapi nggak dikasih makan enak sama istri. Gajinya kamu apakan?”Nayna hanya bisa menggigit bibir. Di saat seperti ini dia hanya bisa mengingat nasihat ibunya bahwa kesabaran adalah kunci dari semua
Bagus menoleh pada Nayna lalu mendelik kesal.“Aku sudah telat, Nay.” Ia menghampiri Nayna dengan cepat lalu merebut bungkusan di tangan sang istri. “Nggak basah ‘kan bajunya?”Mas Bagus bahkan tak repot-repot menanyakan keadaannya yang setengah basah.Mungkin baru kali ini Mas Bagus kesal padanya perihal pakaian, karena sejak dulu Nayna selalu mengurus pakaian Mas Bagus dengan baik. Jika ia mengambek dan pulang ke rumah ibunya pun tidak sampai berhari-hari. Biasanya hanya semalam dan akan pulang besok paginya.“Kenapa terlambat kamu! Saya bilang ‘kan cepetan.” Kedua alis Ibu yang rapi hasil sulaman bergerak-gerak seiring dengan matanya yang melotot-lotot. Sanggup membuat Nayna ciut.“Tadi hujan deras banget, Bu.”“Aduh, pantas baju kamu basah. Airnya nggak kena lantai, kan? Barusan habis saya pel loh!”“Maaf, Bu.” Nayna menunduk pahit.
Nayna betul-betul pulang dengan berjalan kaki. Tak ada yang peduli untuk sekadar menahannya atau mungkin menawarkan payung. Ibu dan adik adik-adik Mas Bagus tak acuh saat ia bilang akan pulang.Sandal jepitnya sudah hampir putus. Rasanya matahari tepat berada di atas kepalanya. Nayna bahkan tak pernah lagi memikirkan apakah kulitnya yqng putih akan gosong atau lecet.Tidak apa. Dia bisa punya waktu memikirkan masalah rumah tangganya. Meskipun merasa marah, Nayna tak bisa melampiaskannya kepada keluarga Mas Bagus. Dia akan menyelesaikan masalahnya sendiri bersama lelaki itu.“Eh, Neng Nayna. Kok jalan sendirian di siang bolong begini? Nggak kepanasan?”Motor Bang Jali ternyata sudah berhenti beberapa menit yang lalu di samping Nayna. Sepertinya lamunannya sudah terlmpau jauh sampai baru menyadari keberadaan tukang ojek tinggi berwajah sedikit sangar itu.Nayna memberikan senyum. “Iya, Bang. Habis dari rumah Ibu.”&ldqu
Semua kantung belanjaan Nayna terjatuh. Dia membeku. Luar biasa kaget ketika perempuan yang berdiri angkuh di teras itu menyorotnya dingin.Nayna ingat betul wajah perempuan yang ia dapati bersama Mas Bagus di dalam kamar hotel. Wajah yang tirus dan mulus, tubuh yang ramping dan tinggi bak model. Rambut lurus berkilau. Sekilas mirip aktris yang wara-wiri di sinetron. Semua anggota tubuhnya terawat dengan baik, tidak seperti Nayna.Apa karena itu Mas Bagus berpaling? Karena rupa yang lebih indah?“Nay? Kok belanjaannya sampai jatuh? Sini biar Ibu saja, temun teman kamu sana.”Ingin rasanya Nayna berteriak bahwa perempuan itu bukan temannya. Dia temannya Mas Bagu—-teman tidur.Kenapa dia datang ke sini?“Biar aku saja, Bu.” Nayna membereskan semua belanjaannya dan meletakkannya di teras. Dalam waktu yang cukup lama, ia terpaku berhadapan dengan perempuan yang sedang bersedekap dingin itu.“Temannya di
“NAY!!” Vina berteriak parau saat melihat Nayna tersungkur di atas aspal. Dia tidak habis pikir mengapa Nayna sampai memohon-mohon kepada perempuan pelakor itu.Lalu dia melirik Ibu Nayna yang melemah dalam papahannya. Nayna melakukan semua itu untuk ibunya. Meski hati nurani Vina bisa menerima, tapi akal sehatnya tidak. Nayna tidak perlu membuang ego dan harga diri seperti itu. Vina memapah Ibu untuk menghampiri Nayna yang masih sangat terkejut di atas aspal. “Apa yang kamu lakukan, Nay? Kenapa kamu sampai—“ Ucapan Vina terpotong saat melihat luka robekan di kedua lutut Nayna, dan juga bekas air aneh di wajahnya. “Apa itu di muka kamu?” Vina melotot ngeri. “Apa itu, Nay?” Wajah dan lehernya mengeras. Nayna kehilangan kata-kata. Ia tak mampu menjawab. Yang ia lakukan hanya menatap kosong aspal kasar yang sudah melukai kedua lututnya. “Nay! Sadar! Lihat ibu kamu. Ibu melihat semua yang ka