Jantung Nayna berdebar cepat. Ia terpaku di hadapan Rama tanpa mampu menjawab ajakan pria itu. Mata Rama masih memandangnya dengan tatapan sayu.“Oh, mau salat bareng? Gue ikut, ya?” sahut Vina yang baru saja keluar dari kamar mandi.Rama memberikan tiga anggukan lalu bangkit dari sofa, melewati Nayna begitu saja tanpa menunggu jawaban wanita itu. Ia berjalan menuju kamar mandi sambil menggulung lengan kemejanya. Sekarang Nayna tahu seperti apa aroma parfum pria itu. Wanginya seperti kayu manis, sepat, dan menusuk hidung, tapi berkesan dalam indra penciuman Nayna. Nayna menghela napas, duduk di sofa yang ditiduri Rama. Masih hangat dengan jejak Rama yang tertinggal. Nayna belum mengucapkan terima kasih. Setidaknya dia harus jadi orang yang tahu diri karena Rama sudah repot-repot merawatnya. Nayna masih sibuk dengan pikirannya ketika pintu kamar mandi terbuka. Rama keluar dengan wajah dan rambut yang basah. “Bisa wudhu?” Nayna tidak mengerti mengapa dia sampai menahan napas. "Bisa
“Kamu bisa menemui pengacara bersama saya?” Rama bertanya keesokan harinya. Alih-alih menelepon, ia malah datang sendiri dengan baju rapi seolah sudah siap mengantar Nayna ke suatu tempat. Kemarin pagi setelah sarapan, Rama pulang dan tidak kembali lagi. Dia hanya meminta izin kepada Pak RT untuk menginap sampai Nayna sedikit membaik. “Hanya sekali. Setelah itu saya akan urus sisanya.” Sepertinya Rama mengerti ekspresi keberatan di wajah Nayna. “Pengacara untuk membela saya dan membuat Lisa dihukum?” Nayna mengernyit. Bukankah itu terlalu ikut campur? “Bahkan tanpa pengacara pun, Lisa dan Bagus sudah bisa dihukum.” Mata Nayna seolah bertanya, ‘lalu kenapa kamu sendiri yang menyodorkan pengacara pada saya?’ Dan Rama mengerti arti tatapan itu. “Anggaplah sebagai pembalasan dendam terakhir. Lisa akan sangat marah jika melihat saya ada di pihak kamu.” “Kamu yakin?” “Saya juga ingin sedikit memberikan pelajaran. Dia sudah mengkhianati kepercayaan saya.” Jika alasan rasional itu m
Pengacara Alif Trisakti yang mendampingi Nayna mengucapkan selamat kepada mereka berdua karena telah memenangkan persidangan dan kedua terdakwa sudah dihukum seberat-beratnya. Ruangan sidang itu senyap. Helaan napas yang tegang dan lega bersahut-sahutan. Nayna menatap kosong dua punggung yang melemas di depan sana setelah menerima berita hukuman mereka. Mungkin Nayna merasakan kelegaan seperti yang dirasakan Vina yang duduk di sampingnya, tapi lebih daripada itu, ada perasaan nanar yang menghinggapi. Hanya karena nafsu sesaat, kedua orang itu benar-benar hancur, orang-orang yang ada di sisi mereka, yang mencintai mereka dengan tulus juga ikut mereka hancurkan. Hanya gara-gara nafsu sesaat itu, Nayna harus hadir di tempat ini, berjalan sejauh ini, dan bertindak sebesar ini. Di sisi deretan meja yang lain, ia mendengar sesenggukan dan teriakan protes dari Mirna. Ujung jarinya menunjuk-bunjuk hakim dan berusaha menggapai Bagus. Sesekali memelototi Nayna dengan mata memerah.“Anak say
Satu tahun kemudian. Nayna mengerutkan kening saat Vina masuk membawa beberapa kantong besar yang entah isinya apa. Raut wajahnya terlihat antusias. Sudut bibirnya terus terangkat ketika ia mengeluarkan isi dari semua kantong yang dibawanya. Ada aneka macam kue dan makanan. Hidangan yang sangat banyak. Vina bahkan bersenandung sambil sesekali tertawa sendirian. “Abis mimpi bagus, ya, Vin?” Nayna mendekat, mengintip isi dari mangkuk-mangkuk plastik yang dikemas rapi itu. Selama dua bulan terakhir, Vina seringkali mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan mimpinya, seperti mimpi menang lotere, mimpi gendong keponakan, atau mimpi masuk surga. “Yah … bisa dibilang begitu.” Vina cengengesan. “Kali ini mau ngundang siapa lagi?” Setiap kali ia merayakan mimpinya, Vina pasti mengundang orang lain untuk berbagi. Entah itu anak yatim, para tukang ojek, tetangga, ataupun teman-teman seprofesinya dulu. “Teman lama.” Senyum Vina kian lebar dengan mata menerawang. Nayna menggulung
EXTRA PARTTerima Kasih, Sayang. “Mereka seenaknya narik rambut dan meludahi wajah aku kalau kesel. Memangnya aku ini apa?” Bibir Lisa bergetar-getar, menahan diri untuk tak berteriak dan tetap berbisik. Sedang Bagus di sampingnya mengusap wajah frustrasi. “Aku sering ditampar di sel. Disebut tukang selingkuh dan mau ngebunuh istri. Mereka begitu karena ada beberapa yang ditangkap karena mencuri untuk ngasih makan istri dan anak.” Ini adalah ketiga kalinya mereka bertemu dalam pembinaan para napi. Napi pria dan wanita digabung dalam satu aula untuk mendengarkan bimbingan yang diadakan setiap tahun. Sudah tiga tahun berlalu dan kehidupan di dalam penjara tidak pernah baik-baik saja untuk mereka. Ada saja napi lain yang kurang ajar dan sok berkuasa. Rasanya seperti di neraka. Jika Lisa tahu kehidupan di penjara akan sesulit ini, maka ia akan menahan diri untuk tak selingkuh dengan Bagus dan memilih setia. Setidaknya biarpun sibuk, kehidupan pernikahannya bersama Rama selalu baik-bai
“Aku melihat suami kamu di bar sama perempuan.” Suara serupa desisan itu membuat Nayna terpaku, tangannya yang sedang melipat pakaian membeku. Jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Telepon dari Vina, sahabatnya membuat aliran darah Nayna berdesir hebat. “Wah gila! Mereka sampai cipok-cipokan! Pangku-pangkuan dan mesra-mesraan di depan meja bartender. KURANG AJAR SI BAGUS! CEPETAN KE SINI, NAY!!” Suara kemarahan Vina dilaterbelakangi dengan dentum musik dan suara hilir mudik orang-orang yang sedang meneriakkan betapa serunya suasana bar itu. Kaki Nayna gemetar tak tertahankan. Dadanya seolah tertusuk sesuatu sampai terasa sesak dan begitu perih. Kabar itu begitu mengejutkan seperti disambar petir di siang bolong. Kepala Nayna pusing. Perutnya tergulung-gulung dan ia ingin muntah sekarang juga. Ia berharap Vina cuma salah lihat atau sedang iseng mengerjainya. Sebab baru satu jam yang lalu Mas Bagus, suaminya meminta izin unt
Nomor kamar. Hati Nayna tercubit keras. Diam-diam dia memohon dalam hati semoga adegan-adegan yang terlintas dalam pikirannya tidak terjadi. “Sini!” Vina menarik tangan Nayna memasuki lift. Tentu saja penampilan kucel Nayna mengundang lirikan orang-orang yang lalu lalang di lobi, untunglah lift sedang kosong. Pegangan Vina di pergelangannya cukup kencang. Sahabatnya sejak sekolah dasar itu mengerjap gelisah dan tak sabar menunggu pergantian lift menuju lantai tujuh. “Kamu … yakin itu Mas Bagus?” Suara Nayna mencicit. Air matanya tak berhenti mengalir seperti pipa yang bocor. “Ya ampun, Nay. Seratus persen aku yakin. Mas Bagus-mu yang tidak terlalu tinggi, dandanan kayak anak muda, rambut dibikin mirip badboy dan muka yang nggak ganteng-ganteng amat. Aku yakin betul itu dia.” “Tapi Mas Bagus gak seperti itu. Dia pergi dengan kemeja rapi dan rambut yang ditata biasa. Dia hanya pergi ke acara pindahan rumah teman sekantornya.” “Oh ya?” Vina tersenyum miring mengejek kenaifan Nayna,
Nayna diantar pulang oleh Vina. Sahabatnya itu menawarkan diri untuk menginap dan menemani Nayna.“Nggak usah, Vin. Aku perlu bicara berdua dengan Mas Bagus.”“Kamu yakin? Sebenarnya, Nay. Orang kayak Bagus nggak perlu dikasih waktu bicara berdua dari hati ke hati. Dia bakal kasih kamu seribu satu alasan berikut janji-janji kosongnya. Pokoknya apa pun yang terjadi jangan tergoda. Aku nggak mau lihat kamu menderita lagi.”Nayna memaksakan senyum. Memang saat ini hanya Vina-lah yang bisa dia jadikan sandaran. “Makasih, Vin.”“Nggak masalah, Nay. Kalau dia macam-macam ke kamu, tinggal telepon aku aja, oke?”Nayna mengangguk dengan mata sembab. Melihat kepergian Vina dari teras rumahnya.Setelah tubuh Vina tak lagi terlihat, air mata Nayna kembali meluncur jatuh. Rasanya sangat pedih seperti seluruh dunianya hancur. Dia tak pernah membayangkan Mas Bagus akan mengkhianatinya. Berdua dengan per