“Aku harus kembali ke kantor,” tolak Bastian.
“Kamu lebih memikirkan hal itu dari pada kami?” Bu Hana kini ikut bicara.
Sandrina tak perlu turun tangan karena sang ibu mertua yang sudah menangani Bastian. Jika hal itu terjadi, ia tak akan bisa menolaknya. Bastian seperti serba salah dengan keadaan, di satu sisi ia sudah berjanji dengan Alika. Satu sisi lagi, ada ibunya.
Terlihat Bastian sangat cemas, ia sudah ada janji dengan Alika, tapi dirinya tak bisa pergi begitu saja. Sandrina terlihat mengatupkan bibir menahan senyum.
“Biar aku saja yang mengantarkannya ibu dan Sandrina pulang,” kata Ferdi menawarkan diri.
“Nggak, nggak usah. Biar aku ajak sekalian Ibu dan Sandrina, tapi aku ke kantor dulu merapikan beberapa berkas, bagaimana?”
“Ya, sudah, nggak masalah, kan, San?” Bu Hana bertanya pada sang menantu.
“Iya.” Sandrina tersenyum penuh kemenangan saat Bastian me
Bastian tak diam saat Sandrina emosi dan berteriak. Ia lebih tak terima saat hubungan yang sedang ia bina hancur karena pernikahan dengan Sandrina. Lelaki itu kembali membalikkan badan, ia menghampiri sang istri.Tatapannya begitu tajam, tapi Sandrina tak kalah darinya. Ia pun menatap dengan penuh kebencian. Karena menikah dengan Bastian, ia harus merasakan pedih.“Kamu dan Ferdi sama saja. Berengsek!” Sandrina kembali bersuara, kali ini di iringi tangis.“Kamu pikir kamu yang paling menderita, hah? Kamu pikir, dong. Menikah sama kamu adalah musibah, jadi tolong jangan merasa diri kamu yang paling menderita. Dan satu lagi, jangan samakan aku dengan Ferdi, mengerti,” tutur Bastian.Napas Sandrina naik turun, ia kembali merasakan stres hingga membuat perutnya kembali keram. Ia memeganginya dengan meringis.Bastian yang melihat hal itu mulai merasa cemas. Ada apa dengan Sandrina, pikirnya. Pria itu menyudahi pertengkaran itu
Sandrina bergerak cepat saat tubuh Bastian begitu dekat dengannya. Napasnya naik turun seperti habis berlarian. Ia menatap lekat sang suami yang mulai kikuk dan menggaru tengkuk belakang.“Anggap saja tak terjadi apa pun. Aku mau kembali ke kamar,” ujar Bastian. Lelaki itu langsung beranjak dari kamar Sandrina lalu ke kamarnya.Bastian memegangi bibir dan kembali membayangkan Sandrina. Ia seperti tak sadar saat ia mengulas senyum saat membayangkan kecupan itu.“Astaga, kenapa aku ini.”Bastian mengacak-acak rambutnya. Ia sedang tak sadar jika dirinya mulai merasa getaran aneh di hatinya. Pria itu tak menyangka jika ada sesuatu yang berbeda dari Sandrina.“Gila, kalau aku seperti ini, bagaimana bisa aku setia pada Alika.” Bastian bergumam terus menerus.Hatinya seakan tak mau menerima jika memang sang istri sangat menarik. Bahkan, kadang ia membandingkan dengan sang kekasih.Laki-laki itu m
Tak menggubris apa yang diinginkan Sandrina, Bastian tetap membawa sang istri ke rumah sakit lain. Ia tak mau mengambil risiko menghadapi dua wanita sekaligus. Lagi pula rumah sakit dan dokter kandungan yang di rekomendasikan Indah pun cukup bagus.Sandrina masih saja masam saat Bastian membawanya ke rumah sakit berbeda. Akan tetapi pria itu tak mau mengambil pusing.Mereka langsung menunggu antrian setelah mendaftar. Bastian mencoba mengajak bicara Sandrina, tapi ia tetap diam saja. Apalagi saat ia mencoba mengajak bicara lagi, Sandrina memasang wajah masam.“Aku harus bagaimana lagi, kamu bilang aku harus jadi suami siaga, tapi kamu malah mendiamkan aku.”“Rumah sakit ini bagus,” ujar Bastian lagi.“Ia bagus karena nggak ada Alika bukan?”Jawaban Sandrina membuat Bastian tercengang. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, tapi tetap saja masih sama. Sandrina diam seribu bahasa.Mereka
“Pergi saja, aku tak akan peduli mau kamu pergi ke mana juga. Asal jangan kamu ganggu hubunganku dengan Alika.” Perkataan Bastian sungguh membuat hati teriris.Sandrina bangkit, semakin berdebat ia semakin sakit hati. Apa yang ia lakukan kali ini adalah salah. Ia kira akan mudah membuat sang suami berpaling, tapi nyatanya tak semudah yang ia bayangkan.“Apa aku harus menyerah saja dan kembali ke Bandung. Percuma membuat hati orang yang nggak suka sama kita untuk menyukai kita.” Sandrina menggerutu sendiri.Di Bandung masih ada Paman dan Bibinya. Keduanya juga sering mengatakan untuk ia tinggal di sana menemani mereka karena keduanya tak memiliki anak.Namun, karena permintaan Bu Hana untuk menikahkan Sandrina dengan Bastian, ia memilih untuk menerimanya karena balas Budi.Ponselnya berdering, seperti kontak batin. Bibinya menelepon kalau sang paman masuk rumah sakit.“Iya, Bi. Aku nanti ke sana
“Iya, Bu. Aku diantar Mas Bastian, katanya Ibu meminta mengantar aku. Harusnya nggak usah repot-repot, Bu. Kasihan dia kan kerja besok,” ujar Sandrina dari sambungan telepon.Sandrina teridam sejenak lalu melirik ke arah Bastian yang fokus mengemudi. Lalu kembali berbicara dengan ibu mertuanyaSandrina terus mendengarkan perkataan ibu mertuanya lagi. Bu Hana tidak merasa meminta Bastian untuk mengantarkannya. Bilang saja belum, kata ibu mertua Sandrina.Sandrina menutup telepon dari sang ibu. Sejenak ia menarik napas panjang. Apa sudah ada kemajuan merebut hati Bastian, pikirnya.Bastian merasa sejak tadi di perhatikan oleh Sandrina. Ia menoleh sesaat, lalu Sandrina cepat membuang wajah. Ia berharap ada perubahan pada pria itu.“Mas, aku mau mampir sebentar, ya. Ada ayam penyet enak banget, udah lama mau makan itu,” ujar Sandrina.“Ngidam?”“Sepertinya. Mau, kan antar aku?”
“Sepertinya hotel terdekatnya ada di sini, San. Kamu harus istirahat, setelah perjalanan panjang. Ibu bilang sama aku, harus menjaga kandungan kamu.” Bastian berbicara tanpa melihat ke arah Sandrina, ia terus memantau hotel lewat benda pipih itu.Sandrina kembali berpikir, apa benar kata ibu seperti itu. Bahkan, saat ia mengantarnya ke Bandung dengan alasan di suruh Ibu, nyatanya Ibu mertuanya bang belum bilang sama sekali. Sandrina kembali tak yakin ini ini pun permintaan sang ibu.Tak lama benar dugaannya, ibu mertuanya mengirim pesan padanya.[San, bagaimana paman kamu, ikut pulang saja dengan Bastian kalau dia pulang, nggak usah tinggal di sana]Sandrina tersenyum, akhirnya ia mendapatkan jawaban atas apa yang ia pikirkan.“Yuk, cari hotel terdekat,” ucap Bastian sembari meraih tangan Sandrina.Sandrina menahannya, ia kembali bertanya apa maksud pria itu sejak pagi tadi. Ia tak mau dibuat senang, lalu di hempaskan kemba
Sejak semalam Sandrina tak bisa tidur, ia merasakan tidak enak di perutnya. Berulang kali bangun, lalu mencoba tidur kembali. Sandrina melihat Bastian yang tertidur nyenyak di sofa. Merasa seperti di remas perutnya, ia gegas membangunkan Bastian.Merasa tak tega, ia kembali duduk dan merasa kesakitan. Tapi, ia kembali merasakan sakit luar biasa.“Mas, tolong, aku. Bangun.”Bastian membuka mata, ia merasa pening saat tiba-tiba saja terbangun. Pria itu melihat wajah Sandrina sudah sangat pucat.“Kenapa?” tanya Bastian.“Perut aku sakit, bisa tolong aku?”“Tolong apa?” Bastian pun bingung melihat Sandrina yang sudah sangat pucat. Ia mencoba menahan rasa nyeri.“Bantu aku ke kamar mandi dulu, tapi aku takut jatuh. Aku mau buang air kecil,” ujar Sandrina.Bastian tak banyak berpikir, ia langsung membantu sang istri ke kamar mandi dan melupakan batasan yang mereka buat. Lang
Setelah di beri kabar oleh Bastian, Bu Hana langsung menuju Bandung di antar oleh Ferdi dan Anita. Wanita itu cemas sepanjang perjalanan. Apalagi saat mendengar kalau anak dalam kandungan Sandrina harus di keluarkan karena tak berkembang.Setelah dua jam perjalanan, mereka pun sampai di rumah sakit. Bastian sedang menunggu di luar ruang operasi karena Sandrina sedang ditangani oleh tim Dokter.“Ini pasti karena kamu, kan, Sandrina harus keguguran dan aku gagal mendapatkan cucu,” ujar Bu Hana saat datang dan langsung memukul lengan Bastian.“Aduh, Ibu, ini bukan salah aku. Memang dia pendarahan sebelumnya, mungkin lelah,” jawab Bastian.“Iya lelah, lelah memikirkan kamu sama kekasih gelap kamu!”Perkataan Bu Hana begitu menusuk hati. Bastian tak sengaja melihat ke arah Anita yang mengulum bibir dan menutup mulutnya.“Pokoknya kalau terjadi sesuatu dengan Sandrina awas saja kami. Siap-siap tidur di kol