Share

Kehilangan Lagi

Author: Ajeng padmi
last update Last Updated: 2024-06-14 16:18:06

Kia sering mendengar pepatah yang mengatakan mulutmu adalah harimaumu. 

Pepatah yang sangat pas untuk mengungkapkan keadaan keluarganya saat ini, tapi bedanya bukan mulut mereka yang menjadi harimau tapi mulut para tetangga yang bergunjing telah berhasil menerkam kenyamanan keluarga Kia, bahkan saat pengajian kematian kakaknya, nyinyiran tetangga tak juga berkurang. 

“Apa Kang Sardi dulu tidak tahu kalau Nina itu istri kedua? Seharusnya menikah kan ada surat-surat,” kalimat lembut penuh racun itu terucap dari bibir salah satu adik ayahnya yang saat ini menghadiri pengajian tujuh hari meninggalnya mbak Nina. 

Mereka bahkan tidak peduli saat kalam-kalam Allah dibaca dengan begitu indahnya. 

Kedatangan paman dan bibi Zafran, juga absennya laki-laki itu semenjak kematian mbak Nina membuat gosip makin santer terdengar, bahkan tak jarang Kia harus pulang dengan amarah yang menguasai dirinya setelah keluar rumah, syukurlah ibu punya jalan keluar yang sangat bagus untuk itu yaitu, tidak memperbolehkan Kia keluar rumah tanpa menggunakan headset di telinganya. 

Setidaknya menurut ibu, lagu-lagu atau apapun yang diputar di ponsel Kia lebih baik dari pada nyonyiran tetangga. 

“Ini salahku memang yang tidak membaca detail semua surat itu.” Kia bisa melihat penyesalan yang tampak di wajah tua bapaknya, tapi sepertinya hal itu luput dari pandangan orang-orang yang bertekad kuat mendapatkan bahan gosip. 

“Atau kamu memang sengaja melakukannya, Kang supaya dapat mantu kaya dan bisa hidup enak.” 

Ini sudah tidak bisa ditolelir lagi, apalagi saat bapak mencengkeram dadanya dengan wajah nelangsa. 

“Apa bibi ingin punya mantu miskin,  aku do’akan deh supaya terkabul.” Kia langsung duduk di dekat kaki bapaknya setelah memberikan segelas air. 

Pandangannya begitu tajam pada adik ayahnya ini, heran saja kenapa bibinya ini rela datang lebih awal dan membantu di sini, padahal biasanya paling anti datang yah kalau tidak mbak Nina meminta mereka datang untuk memberikan cendera mata atau hadiah yang mereka sukai tentunya.

“Kamu memang tidak tahu sopan santun Kia, beda dengan mbakmu-“ 

“Akhirnya bibi ingat juga kalau mbak Nina orang baik dan sering memberi bantuan untuk bibi dan anak bibi,” kata Kia kejam  yang langsung mendapat teguran dari bapaknya. 

“Lihat, Kang-“ 

“Sudah, Nah, kamu ngaji di depan saja, nanti bajumu kotor,” kata Bapak dengan pelan berusaha mengendalikan suasana dan meminta Kia dengan isyarat tangannya untuk membantu sang ibu. 

Dan Kia menghabiskan waktu dengan mondar-mandir untuk mengantar hidangan dari dapur ke ruang tamu seorang diri dan menatap sinis beberapa sepupunya yang lebih memilih langsung makan tanpa disuruh padahal para tamu saja belum mulai makan. 

“Yang ikhlas, nduk, ini juga untuk mbakmu,” kata ibu sambil tersenyum tipis saat melihat wajah Kia yang sudah siap memuntahkan lahar. 

“Kia ihlas kok, ihlas banget malah.” 

“Ihlas itu tidak usah dikatakan keras-keras dan tidak perlu memasang wajah cemberut begitu,” kata sang ibu dengan senyum bijak. 

Kia mengambil kembali makanan di piring sambil bergumam kalau ibunya terlalu baik. 

Saat acara telah selesai Kia merasa badannya sudah akan remuk, apalagi dia juga harus mencuci puluhan piring hanya ditemani bi Asih saja, yang Kia tahu pasti juga sangat lelah membantu dari tadi, meski tidak mengeluh sih. 

Kia  menghempaskan tubuhnya pada Kursi tapi langsung bangkit lagi saat melihat bapaknya menggulung karpet di teras depan dan hanya meninggalkan karpet di ruang tamu saja. 

“Biar Kia saja, Pak, bapak istirahat saja nanti sakit,” kata Kita yang tahu bapaknya pasti memaksakan dirinya lagi. 

“Tidak apa-apa, nduk. Mau hujan soalnya.” 

“Iya sih tapi bukan harus bapak juga, banyak orang di sini tapi Cuma numpang makan dan bergunjing,” kata Kia sambil melirik sinis pada para sepupunya di ruang tamu yang bersenda gurau sambil makan makanan ringan. 

“Hust, kamu itu, mereka itu tamu, lagi pula hanya ini yang bisa bapakmu lakukan untuk mbakmu.” 

Kia menoleh saat suara bapaknya melemah dan dia tahu rasa bersalah telah menguasai bapaknya. 

“Mbak Nina punya kesempatan untuk menolak, tapi tidak dia lakukan jadi dia pasti punya alasan kuat untuk itu,” kata Kia dengan bijak. 

Bapak mengelus kepala Kia sebentar sambil melemparkan senyum sendu. “Bapak mau ke kamar dulu, mau tiduran capek sekali rasanya.” 

“Tuh kan Kia benar, bapak harus jaga kesehatan,” gumam Kia, tangannya langsung menuntun sang ayah untuk ke kamar.

“Bapak sudah makan?” tanya Kia penuh perhatian saat membantu bapaknya untuk berbaring dan memasang selimut. 

“Sudah tadi, tapi bapak haus sekarang, Kia bisa tolong ambilkan minuman untuk bapak.” 

Kia mengangguk dan berjalan ke arah dapur, dilihatnya sang ibu yang menata makanan dalam sebuah wadah.

“Mau dibawa ke mana, Bu?” tanya Kia. 

“Bibimu minta untuk sarapan besok.” 

“Bi Asih?” 

“Bukan Bi Sanah.” 

Kia langsung melengos, benalu tua itu tetap saja mau enaknya sendiri tanpa mau usaha, batinnya kesal. 

Kia melangkah ke rak piring dan mencari gelas untuk membuat minuman. “Tidak buat teh? Tumben kamu minum air hangat?” tanya sang ibu. 

“Ini untuk bapak,” kata Kia singkat. 

Sang ibu mengangguk dan menggumamkan perintah pada Kia untuk menemani bapaknya, dan kia mengangguk tanpa keberatan itu yang memang dia akan lakukan. 

Beberapa kerabat masih berbicang di ruang tamu, meski para wanita dan anak-anak kebanyakan sudah tidur di kamar depan yang memang disiapkan untuk saudara yang menginap. 

Kia membuka pintu kamar orang tuanya dengan pelan dan tersenyum melihat bapaknya sudah tidur dengan tenang masih mengunakan sarung dan baju koko, mungkin baru selesai sholat, dia melangkah masuk dan meletakkan minuman yang dibawanya di meja kecil di samping ranjang. 

“Pak, ini airnya bangun dulu,” kata Kia pelan, tapi suatu perasaan tak nyaman langsung membajiri Kia saat dilihatnya sang bapak hanya diam saja dan tangan yang dia pegang sangat dingin. 

Tangan Kia bergetar dengan hebat, mulutnya tak hentinya mengucap doa yang dia tahu. Getaran tubuhnya meningkat saat tangannya ada di depan hidung sang ayah.

“Tidak ada,” katanya dengan gemetar. 

Kia merebahkan tubuhnya di atas dada sang bapak dan berusaha mendengar sekecil apapun detak jantung di dalam sana, tapi nihil. 

“Pak! Bangun.” Air matanya tiba-tiba menetes, digoyangnya tangan sang bapak lebih keras lagi, mungkin saja karena terlalu lelah beliau tidur sangat lelap. “Pak!” katanya lagi yang sekarang telah menjadi teriakan kesedihan. 

Kia bahkan tak mendengar suara-suara serombongan orang yang menyerbu masuk ke kamar orang tuanya. 

“Kenapa, nduk?” tanya sang ibu  yang sudah ada di samping Kia, tapi pandangannya nanar menatap tubuh sang suami yang diam tak bergerak. 

“Ba-bapakmu kenapa?” 

Kia berdiri menatap ibunya yang memperlihatkan wajah penuh linglung. “Bapak tidak bernapas, bu,” kata Kia lamat-lamat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   68. Hidup Baru

    Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   67. Barter

    Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung  pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   66. Tak Romantis

    "Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   65. Perawat

    Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   64. Salah Sangka

    "Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya

  • Mereka Bilang Kakakku Pelakor   63. Terbiasa Sendiri

    "Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status