"Pergilah, di sini tidak ada yang bisa kamu lakukan."
Kia menggeleng. "Tidak Kia, tidak akan meninggalkan ibu sendiri." "Tak ada yang bisa kamu lakukan di sini, maksud ibu... kamu tidak bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik dari ini di sini." Kia meluruskan kertas di depannya dan menatap surat itu dengan pandangan bimbang, dia tidak mungkin meninggalkan ibunya sendiri di sini menghadapi semuanya. Sudah hampir empat puluh hari kematian bapaknya tapi perlakuan orang-orang masih saja sama yang menganggap mereka sampah bau yang patut dihindari. Beberapa bulan yang lalu Kia memang memasukkan lamaran ke perusahaan ini, itu sebelum mbak Nina meninggal dan tentu saja saat semuanya masih baik-baik saja. Rencana Kia, dia akan bekerja di perusahaan itu. Bukan perusahaan favorit memang tapi gaji yang ditawarkan cukup besar untuk ukuran lulusan baru seperti dirinya dan yang paling penting lokasinya tidak jauh dari... rumah mbak Nina. Bahkan bapak dan ibunya dulu setuju karena Kia tidak akan benar-benar sendiri di sana, tapi sekarang... Kia menggeleng, dia sama sekali tidak ingin ke sana. "Ibu tahu bukan kalau lokasinya-" "Ibu tahu, tapi memangnya kenapa, kita sudah tidak ada hubungan dengan mereka." Bahkan Kia tahu saat mengatakan itu semua suara ibunya tercekat, seolah ada batu yang menyumpal tenggorokannya. "Bu, Kia-" "Soal warga di sini, ibu bisa mengatasi mereka, ibu lahir dan besar di sini, tidak ada yang bisa mengusir ibu dari sini." "Iya, Kia tahu, tapi-" "Mbak Nina dan Bapak sudah pergi... mereka sudah tenang... jangan halangi jalan mereka dengan ketidak ikhlasanmu, Nduk." Kia menggeleng, dia bukan tidak ikhlas dengan takdir Tuhan yang telah digariskan untuknya, dia hanya tidak bisa terima dengan gunjingan warga pada kakak dan bapaknya. "Kia tahu, Bu. karena itu KIa tidak akan meninggalkan ibu." Kia terdiam mengamati ibunya yang juga mengamatinya. "Ibu akan di sini menjaga peninggalan bapakmu." "Kalau begitu KIa akan tetap di sini dan mencari tahu semuanya dan ibu tidak bisa melarang," kata Kia keras kepala. "Ki... sudah relakan mbakmu," kata ibu dengan memelas akan tetapi dengan tegas Kia menggeleng. "Kia percaya mbak NIna tidak akan berbuat serendah itu tanpa alasan yang jelas dan Kia akan mencari tahu alasan itu." Ibu menggeleng. "Anak ibu yang cantik, ini salah ibu yang tidak mencari tahu sebelumnya, biarkan masalah ini terkubur bersama jasad mbakmu... soal orang-orang itu lambat laun mereka akan lupa sendiri." Kia benci ibu yang terlalu baik hati dan mengalah, saking seringnya melakukan hal itu semua orang mengira ibu orang lemah dan mudah ditindas. "Mereka mungkin akan lupa tapi nama baik mbak Nina akan terus tercemar, apalagi kita bukan orang berpunya," kata Kia ketus. Hatinya begitu sakit saat melihat air mata mengalir di pipi keriput ibunya, bukan maksud Kia ingin melukai hati sang ibu, dia hanya tidak ingin sang ibu terus diremehkan orang. Sekarang mereka hanya punya satu sama lain, tidak ada lagi sosok bapak yang menjaga mereka dan Kia yakin mereka tak setiap saat bersama. Helaan napas berat keluar dari mulut sang ibu lalu dengan lembut kembali menatap Kia. "Baiklah mungkin Kia butuh waktu untuk melupakan kesedihan, tapi jangan lama-lama... Kamu masih muda dan hidupmu masih panjang." Kia tahu itu sangat tahu dan tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kerja keras orang tuanya dan mbak Nina untuk menyekolahkannya, salah satunya dengan membersihkan nama keluarganya. **** "Beli saja di warung mbak Min, Ki," kata ibu begitu Kia mengeluh sabun cuci piring habis saat dia akan mencuci piring. Warung yang dimaksud ibunya memang hanya berjarak beberapa rumah dari rumah mereka sebenarnya dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi tentu saja bukan itu masalahnya. Warung itu tempat berkumpulnya ibu-ibu penggosip yang selalu ingin tahu kehidupan orang lain dan Kia setelaah kematian dua orang anggota keluarganya yang mendadak tentu menjadi sumber gosip yang sangat ditunggu, dia bahkan tidak akan kaget kalau gosip tentang kakaknya sampai menjadi status di media sosial mereka. "Aku beli di minimarket saja, Bu." "Jauh, KI, ini sudah mau magrib." Kia menghela napas panjang. "Atau Kia cuci piring besok saja setelah beli sabun cuci." "Mana boleh kamu menunda pekerjaan seperti itu, ingat kata bapakmu." Kia dilema. "Sudah sana pergi saja nggak usah ditanggapi omongan mereka, atau biar ibu saja yang beli kamu di ru-" "Nggak bu, Kia saja," potong Kia cepat, dia tidak mau ibunya mendengar omongan tetangga yang menyakitkan hati. "Lho KIa mau beli apa?" sapa salah satu ibu yang sedang berkumpul di sana, Kia sendiri juga heran ini warung apa base camp kok ibu-ibu itu tidak pulang dan mengurus keluarganya malah ngumpul di sini terus. "Sabun cuci piring," kata Kia dengan sedikit senyum. "Oh, belinya pake uang halal kan, bukan uang NIna minta suami orang." Anda KIa punya kesabaran setipis tisu dia akan dengan senang hati mengambil cabe di depannya dan menjejalkannya ke mulut wanita itu. "Seingat saya dulu banyak ibu-ibu di sini yang suka minta jatah uang dan sembako dari mbak Nina, atau kalian mau kembalikan." KIa bisa melihat wajah merah padam ibu itu, bukan rahasia lagi jika selama dua tahun menjadi istri Zafran, Nina sering membagikan sembako dan uang pada para tetangga, mereka dulu memuja mbak Nina tapi setelah kematiannya mereka memperlakukan mbak Nina seperti sampah. "Bagaimana, apa mau dikembalikan?" tanya Kia dengan tenang, kakinya melangkah mendekat pada para ibu itu. "Ya nggak bisa gitu dong, Ki. itu sudah diberikan Nina pada kami dan kami tidak tahu-" "Wah apa kalian tidak takut kena karma juga, itukan yang kalian bilang," kata Kia dengan dingin membuat ibu-ibu itu langsung berwajah pasi. "Ehm... Ki jadi beli sabunnya?" tanya pemilik warung dengan lirih. Kia menghela napas panjang dan mencoba tersenyum lalu mengangguk. "Mbak NIna bukan pelakor dan saya akan membuktikannya, jika kalian masih bicara buruk tentangnya aku pastikan kalian akan dapat karma, bukankah kalian sangat suka dengan topik karma pelakor." KIa langsung berbalik badan dan pergi dari sana. untung saja dia yang ke warung tadi, kalau ibunya pasti akan sangat sakit hati. "Kamu adik Nina bukan." KIa langsung terlonjak saat mendengar sapaan itu matanya langsung melebar saat ingat siapa orang ini. Amarah yang tadi sudah mulai reda kembali naik lagi. "Iya, siapa kamu dan kenapa di depan rumahku," katanya ketus. Kia menatap benci pada laki-laki di depannya itu. laki-laki asing yang ada di kuburan mbak Nina.Kia sama sekali tidak pernah mendengar kabar Renata lagi sejak Zafran mengatakan akan menceraikan wanita itu. Bahkan Biru yang biasanya akan sibuk membela kakak sepupunya itu terlihat juga enggan untuk membicarakan wanita itu, dan Kia juga berusaha keras menjaga mulutnya meski rasa penasaran menderanya Tapi hari ini tiba-tiba saja Biru menghampirinya dengan wajah panik. "Ki, aku ingin menjenguk mbak Rena apa kamu mau ikut?" tanyanya. Kia mengangkat alis. "Apa harus?" tanyanya. "Bagaimanapun mereka yang sudah membesarkanku dan mbak Rena pernah memperlakukan aku dengan baik, aku hanya-" "Bukan itu maksudku tapi apa aku harus ikut kamu ke sana? kamu tahu sendiri bagaimana mereka?" Biru menghela napas, dan mengangguk dengan mantap. "Kamu calon istriku, aku hanya ingin terbiasa terbuka padamu, lagi pula aku tahu mbak Rena dan bibiku, mereka pasti akan membuat dr
Kia terus saja menarik tangan Biru keluar dari rumah, mengabaikan panggilan ibunya dan juga protes Biru yang kepalanya langsung pusing. "Kia kamu mengajakku kemana, kalau masalah mahar dan kapan kita menikah kenapa tidak dibicarakan dengan mereka juga," gerutu Biru, tapi Kia sama sekali tak peduli dia terus menarik tangan Biru dan baru berhenti saat mereka sudah ada di samping rumah Kia barus melepaskannya. "Bapak seharusnya balik lagi ke rumah sakit, benar kata dokter bapak belum sembuh benar." Bukannya menjawab Biru malah menatap Kia dengan wajah kesal. "Siapa yang kamu panggil bapak," katanya. Kia menghela napas panjang menatap Biru dengan kesal. "Apa sebenarnya maksudmu mengatakan itu pada ibuku?" tanya Kia judes, bukan apa-apa, setelah kematian mbak Nina dan mereka pindah ke sini ibunya sudah terjangkit virus, ibu minta mantu. Dan tiba-tiba saja ada laki-laki yang melamar putrinya,Kia yakin sang ibu tak akan pikir pan
"Sudah aku duga," kata Kia terkesan tak peduli.Sekarang dua laki-laki di depannya itu yang terkejut. "Kenapa kamu berpikir begitu?" tanya Biru. Kia menatap Biru seolah laki-laki itu datang dari dunia lain. "Wanita itu, Felly masih muda dan sangat cantik, juga kaya. Sayang sekali, padahal aku ingin melihat drama istri pertama dan istri ketiga, kalau mbak Nina aku tak yakin dia bisa menentang Renata yang berkuasa dan dicintai suaminya." Sunyi yang menegangkan langsung tercipta setelah Kia mengatakan kalimat panjangnya. Dia sadar kedua laki-laki di depannya ini pasti tidak akan suka dengan kelimatnya, tapi Kia tidak mau peduli. "Makanlah buburmu keburu dingin," kata Kia mengambil sendoknya lagi dan menyuapkan makanan dengan nikmat seolah tak terjadi apapun." "Kamu masih menyalahkan, Mas atas kematian mbakmu, KI?" tanya Zafran pelan. "Tidak penting bukan bagaimana perasaanku, karena kamu salah atau tidak kam
Pantas saja Biru meminta Kia untuk merawatnya tanpa khawatir dijulitin tetangga, ternyata laki-laki itu tinggal di salah satu apartemen yang biasanya hanya Kia lihat iklannya di televisi. "Kamu tinggal di sini?" pertanyaan konyol sebenarnya, karena jelas-jelas Biru mengajaknya ke mari setelah pulang dari rumah sakit, dan perlu digaris bawahi 'pulang paksa' yang kecil kemungkinan membuatnya harus mampir main ke rumah teman dulu. "Ada yang aneh?" tanya Biru. Kia tak menjawab dia lalu menatap ke luar. Jarak kantor dengan apartemen ini mungkin kira-kira hanya sepuluh menit perjalanan dengan menggunakan mobil atau Kira-kira lima belas menit dengan rumah kontrakan KIa dan juga rumah milik Biru. "Aku kira kamu tinggal di dekat rumah kontrakanmu," kata Kia, tapi mungkin dia langsung sadar orang seperti Biru tidak mungkin selevel tinggal di kampung seperti dirinya. "Aku hanya tidak ingin ribet urusan kecil masalah kebersihan dan keamanan misalnya, di sini semuanya sudah ditangani menagem
"Kulihat lukamu tidak terlalu parah." Ini kejutan, bahkan Biru sepertinya tidak menyangka kalau sang bibi akan datang menjenguknya, tanpa Zafran, Renata atau suaminya. "Bibi datang," kata Biru setelaj berhasil mengatasi keterkejutannya, Kia sendiri langsung melompat dari duduknya saat tahu siapa yang datang, dan dia yang tahu diri segera menyingkir karena wanita itu menatap Kia seolah dia adalah hama penggangu. Tidak heran sih, apalagi setelah kejutan yang Kia tampilkan dalam pesta waktu itu. "Ckk kamu memang benar-benar merepotkan, untuk apa kamu mengumpankan diri hingga terluka." Biru terlihat tak setuju dengan kata-kata sang bibi, dan ingin membantah. Dia menatap Kia sejenak dan melihat Kia yang menggeleng tak kentara. Bukan Kia sok baik atau apa sih, tapi dia hanya tidak ingin Biru merasa sendiri, dia tahu meski sang bibi tak terlalu memperhatikannya, Biru sangat menyayangi bibinya. "Aku datang bersama Kia," kata Biru singkat. "Aku tidak tahu dari sekian banyak wanita ya
"Apa aku perlu menghubungi keluargamu yang lain?" tanya Kia. Biru menggeleng. "Kamu bisa pulang, maaf tidak bisa mengantarmu," katanya datar. Kia menatap laki-laki itu tak enak hati. Miris memang setahunya di saat Renata sakit waktu itu, Biru bilang ikut menjaganya di rumah sakit, tapi sekarang saat laki-laki itu sakit dan itu karena uah Renata, tidak ada satupun dari mereka yang bahkan datang menyusul. Kia menggeleng bukankah dia tidak boleh berburuk sangka, mungkin saja mereka masih capek atau sibuk dengan pesta itu. "Aku sudah menghubungi temanku, untuk mengatakan pada ibu, aku akan menemanimu di sini." Biru menatap Kia dengan pandangan antara ingin tersenyum juga tak percaya. "Kenapa kamu melakukan ini?" tanya Biru. Kia meluruskan duduknya dan membenarkan rambutnya. "Melakukan apa?" tanyanya tak mengerti. "Membawaku ke rumah sakit dan mengurus semuanya, padahal kamu bilang tidak mau jadi pacarku apa
Tidak ada senyum di wajah Renata sepanjag acara itu berlangsung. Bagi Kia hal itu cukup wajar, Jika dia yang mendapati suaminnya menikah lagi, mungkin bukan hanya wajahnya yang masam, tapi dia akan langsung balik badan dan tak akan mau melihat wajah mereka lagi. Kia akan sangat mengagumi ketegaran Renata, andai saja.... "Kenapa tidak langsung menikah?" bisik Kia pada Biru yang pandangannya masih terpaku pada prosesi tukar cincin pada pasangan calon pengantin. "Wanita itu anak orang kaya bukan, dia pasti ingin pesta yang selayaknya." "Meski dia istri kedua," kata KIa sinis. "Yah mau bagaimana lagi, dia cintanya sama mas Zafran.""Kamu yakin itu cinta, bukan karena tujuan lain?" Sepertinya Kia sudah ketularan penyakit julid LIta. Biru kembali mengangkat bahunya. "Kamu bilang ingin melihat mereka menikah, tapi kamu kenapa pertanyaanmu seolah kamu tidak suka dengan calon istri mas Zafran." "Bukan tidak suka sih, hanya kok tidak masuk akal saja." "Bukankah cinta katanya mem
"Kamu yakin ini rumah calon istri ketiga Zafran?" tanya Kia sekali lagi. Dia sampai melangkah ke depan Biru dan menatap laki-laki itu tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Tentu saja mbak Rena minggu lalu mengajakku kemari, dan maaf kali ini tidak seperti pernikahan mas Zafran dan kakakmu yang hanya diketahui mereka saja, sekarang semua keluarga besar tahu." "Mereka juga mendukung, termasuk om dan tantemu?" tanya Kia dan anggukan yang diberikan Biru membuat Kia menggelenng tak percaya. "Dan kamu juga mendukungnya?" "Kalau bisa aku ingin menghentikannya, untuk itulah aku mengajakmu ke sini." "Aku tidak punya hak." "Aku tahu, tapi kamu akan mengingatkan mereka pada kasus kakakmu, lagi pula ini acara keluarga dan sudah sepantasnya aku mengajak teman dekatku," jawab Biru mantap. Kia tak menjawab dia kembali berbalik dan menatap bangunan di depannya, bukan bangunan modern yang megah memang, bahkan bagian depan di dominasi oleh kayu berukir rumit khas jawa. "Sepertinya me
"Aku tidak ada bersamanya waktu itu, kamu pasti sudah tahu aku dengar kamu bertanya pada beberapa orang." "Dan mereka pasti mengatakan seperti yang kamu mau." Zafran menatap Kia terkejut tapi tidak menjawab, dan itu menguatkan dugaan Kia. "Aku tidak tahu kalau dia hamil sebenarnya, tapi aku punya dugaan dari perubahan sikap dan bentuk tubuhnya, juga siklus bulanannya, kamu tahu bukan." Kia buru-buru mengangguk. "Aku meminta Biru untuk membelikan obat penggugur kandungan, aku tidak langsung menyuruhnya hanya mengatakan sambil lalu obat apa itu dan mungkin saja dia membutuhkan, NIna waktu itu hanya tersenyum, tapi dia pasti tahu kalau aku tidak menginginkan anak yang dikandungnya, tepatnya aku khawatir dengan masa depan anak itu." "Karena kamu tidak mencintai ibunya." "Aku menyayangi Nina... tapi aku terlalu lemah," jawab Zafran sambil menunduk. Kia menatap Zafran dengan jijik. "Andai aku tahu itu lebih cepat, aku akan menyeret mbak NIna meninggalkanmu, dan kamu pantas untuk itu.