Share

PEKERJAAN MEREKA

Tap ...

Tap ..

“Mas, aku tahu komisimu banyak! Kenapa kamu nggak pernah ngasih nafkah buat keluargamu?! Kamu kira gajiku di kios seafood cukup buat kebutuhan kita sehari-hari?! Kamu bahkan nggak mau bayar listrik dan air! Bulan depan listrik mau diputus gara-gara kita udah nunggak selama tiga bulan!!” omel Bu Dewi.

Tap ...

Tap ...

Eveline melangkahkan kakinya langkah demi langkah untuk masuk ke dalam rumah saat orang tuanya sedang sibuk berdebat membahas kondisi keuangan mereka.

“Kalau kamu butuh uang ya kerja yang bener! Enak banget kamu ngandalin uangku!” sahut Pak Fero dengan entengnya.

“Mas!! Kamu itu suami dan ayah disini! Kamu harus tanggung jawab, dong! Uangmu cuma habis buat beli minuman keras! Kalau kamu nggak bisa nafkahi keluarga kamu, kamu pergi aja dari sini!” marah Bu Dewi lagi.

Matanya melotot dibarengi dengan cecaran kebencian yang tak kunjung berhenti.

“Hey! Jangan seenaknya ya kamu! Rumah ini dibeli atas campur tangan ibuku juga! Aku nggak mungkin pergi dari sini! Ini satu-satunya peninggalan ibuku yang masih ada!” sahut Pak Fero.

Bu Dewi berdecak kesal.

“Hah?! Kamu lupa? Rumah ini hasil dari usahaku dan usaha ibumu!!! Uangku juga ada di sini! Yang harusnya pergi itu kamu! Kamu sama sekali nggak ada andil di sini! Kamu itu cuma beban! Sekarang, mana hasil kerjamu? Mana? Manaaaa!! Mana bayaranmu untuk tinggal di sini selama bertahun-tahun?!” teriak Bu Dewi.

"Apaa!!! Jadi kamu minta bayaran karena aku tinggal di rumah yang ibuku bangun? Dasar istri nggak tahu malu!!" balas Pak Fero kesal.

Eveline terus mengendap-endap menuju kamarnya. Sebisa mungkin, dia tidak ingin orang tuanya melihat sosoknya yang baru pulang dari rumah Tante Yosina.

Tap ...

Tap ...

“Kalau bukan karena aku, anakmu nggak akan jadi secantik itu! Dia punya wajah Jepang yang nggak dimiliki orang lain!! Semua itu karena keluargaku punya gen unggul! Nggak kayak kamu yang jelek dan kampungan kayak gembel!” bentak Pak Fero semakin tidak masuk akal.

“Hah? Itu sama sekali penting, bodoh! Mau dia (Eveline) jelek atau cantik, semua bakal lebih baik kalau aku “bikin”nya nggak sama kamu! Kamu bener-bener laki-laki nggak becus! Nggak bisa diandalin sama sekali!” suara Bu Dewi semakin meninggi.

Setelah berlangkah-langkah Eveline ambil, sampailah dia di dalam kamarnya.

Untung saja, pintu kamarnya tidak menimbulkan suara saat dibuka atau ditutup. Jadi, kedua orangnya benar-benar tidak menyadari kehadirannya.

Brukkk!

Eveline merebahkan dirinya di atas kasur kecilnya yang nyaman.

“Pasti Mama lagi mode jahat. Untung tadi dia nggak lihat aku. Pasti aku bakal dimarahin karena pulang jam segini,” ucap Eveline lirih.

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Suasana di luar pun sudah sunyi senyap. Jarang ada orang yang menimbulkan suara bising. Kecuali kedua orang tua Eveline yang hobi bertengkar dan membuat keributan.

Setelah lebih dari jam tujuh malam, orang tua Eveline memang sudah pasti ada di rumah. Mereka telah menyelesaikan pekerjaannya dan akan kembali melakukannya esok hari. Hanya hari-hari tertentu saja mereka bisa di rumah saat siang atau sore. Saat pekerjaan mereka sedikit atau selesai lebih awal.

Bu Dewi, ibu Eveline bekerja di salah satu kios seafood yang ada di kota itu. Kios itu menjual berbagai hasil laut mentah. Cumi-cumi, gurita, ikan-ikan laut, dan masih banyak lainnya. Ya, tidak heran kenapa dia selalu memasak seafood yang notabene adalah makanan yang membuat Eveline alergi. Nyatanya, memang itulah yang bisa dimasak. Sisa-sisa seafood dari kios yang tidak terjual, selalu dibawa pulang oleh Bu Dewi untuk dimasak di rumah.

Pekerjaan ini adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan Bu Dewi. Selain karena pekerjaannya mudah, kios seafood ini adalah milik sahabat karib Bu Dewi yang bernama Bu Sandra. Mereka berdua sudah berteman sejak masa sekolah.

Di samping itu, Bu Sandra adalah salah satu orang yang mengetahui kondisi psikologis Bu Dewi. Saat Bu Dewi menjadi jahat, Bu Dewi selalu memarahi pembeli dan bersifat sangat ketus. Dia kadang memarahi pembeli yang melalukan sedikit kesalahan atau menawar harga seafood menjadi lebih murah.

Saat itulah Bu Sandra meminta Bu Dewi untuk istirahat dan giliran Bu Sandra yang akan melayani pembeli. Bekerja bergantian.

Tetapi, ketika Bu Dewi dalam mode baik, dia bahkan meminta maaf berkali-kali ketika pembeli tidak sengaja terciprat air saat Bu Dewi mengemas seafood pesanan.

Ya, dua jiwa yang berbeda hidup dalam satu tubuh yang lemah.

Lalu, apa pekerjaan Pak Fero?

Singkat saja, Pak Fero tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak memiliki pekerjaan normal seperti yang dilakukan oleh orang-orang. Tapi, Pak Fero melakukan suatu aktifitas yang sangat berisiko.

Pak Fero menjadi salah satu penyalur atau perantara perdagangan ilegal yang ada di pasar gelap. Dia bertugas mencarikan barang-barang pesanan orang di pasar gelap yang letaknya di dekat pelabuhan kota itu. Hal ini memang bukanlah hal yang normal. Dia melakukannya secara diam-diam. Bahkan, identitas orang yang melakukan pemesanan pun sangat dirahasiakan.

Banyak sekali barang-barang yang pernah Pak Fero dapatkan di pasar gelap. Handphone dengan harga yang 10 kali lebih murah dari harga aslinya, narkotika yang dikemas seperti makanan ringan, alat elektronik dengan harga yang sangat murah, dan sebagainya. Karena kegiatan ini bergerak secara langsung mau pun berbasis internet, Pak Fero sangat sibuk mengurus semuanya setiap hari.

Ketika semua pesanan telah disampaikan kepada pemesan, Pak Fero mendapatkan komisi yang nominalnya tidak pasti. Tergantung barang apa yang ia cari. Semakin berharga barang yang ia dapatkan, semakin besar pula komisi yang ia dapatkan. Bahkan, Pak Fero pernah menerima komisi sebesar dua puluh juta karena bisa mendapatkan narkotika jenis tertentu yang keberadaannya sangat langka. Tak diragukan lagi, uang Pak Fero melimpah karena komisi yang ia dapatkan tentunya cukup besar. Tapi, uang itu selalu dihambur-hamburkan untuk konsumsi minuman keras yang berlebihan.

Uang yang dicari dengan cara yang haram, habis untuk membeli sesuatu yang haram!

Itulah yang membuat Bu Dewi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Gajinya yang tak seberapa, selalu hanya tinggal recehan ketika akhir bulan. Sedangkan suami bejatnya bahkan tidak ingin tahu bagaimana sulitnya kondisi di rumah.

“Aku tahu uang itu haram! Tapi, kebutuhan sehari-hari lebih penting dari pada mikirin haram atau nggak!” bentakan Bu Dewi terdengar kembali.

Eveline mendengarkan setiap kata demi kata yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya. Kini, dia terbiasa mendengar itu dan menjadikannya sebagai lagu pengantar tidur.

“Dasar wanita manja! Nggak tahu diri!!” maki Pak Fero.

“Apa ayah segitu bencinya sama aku dan ibu, ya? Sampai-sampai nggak mau ngasih uang buat ibu. Apa ayah bukan ayah kandungku, ya?” batin Eveline.

Mendengar pertengkaran itu, Eveline teringat bagaimana Pak Setya memperlakukannya dengan begitu perhatian. Ucapannya, kata-kata penenang dan dukungannya, membuat Eveline merasakan sesuatu yanng belum pernah ia rasakan. Hubungan ayah dan anak yang dekat.

“Kalau ibu nikah sama Pak Setya, pasti hidupku bisa lebih bahagia. Sayangnya, Pak Setya itu ayahnya Marsha. Musuh bebuyutanku,” celetuk Eveline lirih.

Dipandangnya langit-langit kamarnya. Langit-langit yang sudah kotor karena bekas air hujan yangg merembes hingga ke bagian dalam. Walau begitu, bangunan ini terhitung cukup kuat dan belum ada yang roboh sejak rumah ini didirikan. Kalau rumah ini sampai roboh, entah siapa yang akan membetulkannya. Dilihat dari kondisi orang tua Eveline yang sangat tidak akur. Bahkan jika salah satu diantara mereka ada yang meninggal, sepertinya tidak akan ada yang merasa kehilangan.

Tangan Eveline meraih kalender meja yang tergeletak di meja kecil. Diraihnya dengan posisi berbaring yang tidak berubah.

Diperhatikannya semua demi jejeran angka satu persatu.

Enam belas ...

Tujuh belas ...

Delapan belas ...

“Tiga hari lagi ulang tahunku,” batin Eveline.

“Selama ini ibu dan ayah nggak pernah peduli sama ulang tahunku. Apa tahun ini bakal sama aja, ya? Lagi pula, apa ibu dan ayah ingat tanggal ulang tahunku?” sambung Eveline.

Diletakannya kalender kecil itu di dadanya. Dia ingin sekali saja dalam hidupnya, ada momen dimana ulang tahunnya menjadi terasa berkesan. Ucapan selamat sekali pun, belum pernah ia dapatkan dari kedua orang tuanya.

“Ya, aku nggak perlu berharap apa-apa,” ucap Eveline dengan wajah pasrah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status