Share

KAVIAR

“Mbak, Pak Dadang tadi udah kirim stok seafood yang baru kan? Maaf aku datangnya kesiangan, Mbak. Mbak Dewi jadi ngurusin semuanya sendiri,” ucap Bu Sandra dengan wajah bersalahnya. Langkahnya tergesa-gesa mengambil sarung tangan lateksnya di laci dan langsung mengenakannya dengan secepat kilat.

“Udah kok, San. Jangan panik gitu. Tadi aku juga udah bayar Pak Dadang. Semua beres, kok! Ini kan tempat usaha kamu. Kok malah jadi kamu yang sungkan di sini? Tenang aja,” jawab Bu Dewi dengan nada lembutnya.

Mode baik Bu Dewi baru bertahan satu jam. Lima menit setelah keluar dari rumahnya, kondisi psikologisnya membaik dan sifat ramah tamahnya kembali mendominasi dirinya. Memang, rumahnya adalah tempat terburuk yang memungkinkan Bu Dewi selalu bersikap jahat.

“Tetep aja aku nggak enak, Mbak. Untungnya Mbak Dewi bawa kunci duplikat kios ini. Kalau enggak, nggak kebayang gimana Mbak Dewi bakal nunggu di luar kios sampai aku datang,” jawab Bu Sandra setengah terengah-engah. Napasnya tak beraturan.

“Tenang aja, San. Tapi, Kamu dari mana sih? Kok kayaknya kamu capek banget gitu? Ada sesuatu?” tanya Bu Dewi. Kedua tangannya bergerak dengan terampil memisahkan gurita kecil dengan gurita yang ukurannya lebih besar. Kaki-kaki gurita di dalam ember besar, saling terkait satu sama lain bagai benang kusut.

“Anakku tadi kesrempet motor waktu mau berangkat sekolah, Mbak. Padahal aku udah bilang kalau berangkat sekolah lewat gang dekat sungai aja. Ya emang lebih jauh sih, tapi kan lebih aman. Jalanannya juga nggak terlalu ramai. Eh, tapi bandel anaknya! Dia nekat nyeberang jalan raya sama Reyhan, anaknya Pak Joko yang jualan sate di seberang kios. Untung lukanya nggak parah, Mbak. Udah lemes badanku dari tadi,” papar Bu Sandra dengan wajah panik yang perlahan kian menjadi lega.

“Hah? Terus anakmu sekarang dimana, San? Dia beneran nggak apa-apa? Kalau kamu mau nemenin dia dulu nggak apa-apa, kok. Aku bisa jaga kios sendiri,” tukas Bu Dewi ikut khawatir.

Tapi, Bu Sandra menggelengkan kepalanya sembari mengembuskan napas panjang.

“Nggak usah, Mbak. Dia di rumah sama kakeknya, kok. Nanti siang juga adikku, Sari udah pulang kuliah. Lagian aku juga pengen nemenin kamu kerja, Mbak. Stok dari Pak Dadang kan baru dateng juga. Banyak seafood yang harus kita bersihin,” jawab Bu Sandra.

Bu Sandra memanglah wanita yang bijak dan penuh kasih. Wanita yang menjadi sahabat seperjuangan Bu Dewi itu memang memiliki sifat bertanggung jawab atas semua yang ia lakukan. Sifat itu sudah nampak jelas sejak Bu Sandra duduk di bangku sekolah. Hal sekecil apa pun, tidak pernah ia abaikan. Di saat kondisi seperti ini pun, dia berusaha untuk bisa menyelesaikan masalah terkait anaknya, Rama dan juga mengurus keadaan kiosnya.

Di sisi lain, Bu Sandra memiliki alasan kenapa dia tidak tega meninggalkan Bu Dewi bekerja seorang diri. Ya, dia takut kalau sisi jahat Bu Dewi muncul dan kondisi kios menjadi tidak baik. Bu Sandra khawatir tidak ada orang yang akan menengahi pertikaian yang akan muncul saat Bu Dewi berubah kepribadian.

Tap ...

Tap ...

Ting!!

Sebuah lonceng kecil di atas pintu kios berbunyi nyaring. Menandakan ada seorang calon pembeli yang masuk ke dalam kios.

“Silakan, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” sapa Bu Sandra mendekati pembeli wanita yang baru datang.

Pembeli itu tidak menjawab ucapan Bu Sandra sama sekali. Wanita tua yang berpenampilan mewah itu hanya melirikkan kedua matanya ke arah Bu Sandra dengan tatapan sinis. Kaftan panjangnya, tas kulit buaya bermerk, dan sanggul rambut yang mengkilap mengisyaratkan bahwa wanita itu tidak akan membeli ikan kecil yang dimasak untuk stok makan beberapa hari.

“Saya mau kaviar satu kilogram!” pinta wanita tua itu singkat.

“Kaviar?” Bu Dewi kebingungan.

“Em ... Maaf, Bu. Tapi, kami tidak menjual kaviar,” jawab Bu Sandra.

“Kaviar itu apa, San? Merk mobil?” tanya Bu Dewi lagi.

Kepolosan Bu Dewi seketika ditertawakan oleh wanita tua yang menggunakan make-up tebal seperti hendak mengunjungi suatu acara penting.

“Hahahaha! Bodoh! Kalian ini penjual seafood! Bagaimana bisa kalian nggak tahu apa itu kaviar? Kaviar itu telur ikan yang super mahal!” olok si pembeli mengesalkan itu.

“Maaf, Bu. Kami benar-benar tidak memiliki kaviar. Kami hanya menyediakan telur ikan salmon. Kami minta maaf, Bu,” Bu Sandra menghiba. Tubuhnya setengah tertunduk di depan wanita itu.

Raut wajah pembeli itu kian muram.

“Hey!!! Kalian ini kuno sekali! Kerja kok nggak becus! Kalau nggak tahu kaviar, jangan sok berani jual makanan laut begini! Waktu saya jadi terbuang hanya karena masuk ke tempat ini dan nggak mendapatkan apa yang saya cari! Dasar penjual bodoh! Kuno! Tidak berpendidikan!!” omel wanita itu tepat di hadapan Bu Sandra yang sudah dibanjiri oleh keringat dingin.

“Kalian ini benar-benar pedagang yang mengecewakan pembeli. Kalian ini ...,” sambung sang pembeli.

Tap ...

Tap ...

Tap ...

Pluk!!

Melihat Bu Sandra yang dimarahi terus-menerus, Bu Dewi naik pitam. Diraihnya satu ekor gurita yang paling besar di dalam ember. Digenggamnya gurita itu dengan sangat kuat. Tanpa basa-basi lagi, Bu Dewi berjalan mendekati pembeli itu dan memasukkan gurita besar itu ke dalam mulut si pembeli. Membuat pembeli menjengkelkan itu terdiam dengan wajah terkejut.

“Diam! Wanita tua nggak tahu diri!” bentak Bu Dewi.

Seketika itu juga, sebuah gurita besar membungkam mulut wanita tua yang dari tadi melontarkan hinaannya kepada Bu Sandra dan Bu Dewi. Bibir berwarna merah tuanya, kini berpadu dengan seekor gurita yang menggeliat.

“Cuih! Apa-apaan ini!!” wanita tua itu meludahkan gurita besar yang sempat mengisi bibirnya. Gurita hidup dengan delapan kaki yang masih bergerak-gerak.

“Aduh! Bu Dewi jadi jahat gara-gara ibu tua ini bikin masalah,” batin Bu Sandra.

“Anda yang bodoh! Sudah jelas-jelas tempat ini hanya kios kecil! Sudah sangat jelas tempat ini bukan supermarket atau kios di luar negeri! Masih aja cari kaviar!” bentak Bu Dewi tepat di depan wajah wanita tua itu.

Bu Dewi melanjutkan ucapannya.

“Apa kedua mata anda buta, Nyonya? Satu-satunya telur yang ada di sini hanya telur ikan salmon! Dan juga "telur" suami anda yang sedang menunggu di depan kios! Kalau anda bersikeras menginginkan kaviar, Silakan anda masuk ke dalam laut dan cari sendiri telur ikan mahal yang anda mau! Kalau perlu, anda tunggu satu persatu ikan di laut sampai mereka bertelur! Agar anda bisa segera menelan kaviar bodoh itu! Itu pun kalau anda selamat! Bisa saja tubuh anda dikoyak ikan hiu saat baru lima meter berenang. Wanita tua bodoh!!!” omel Bu Dewi panjang lebar.

Melihat temannya membela mati-matian seperti itu, Bu Sandra justru tidak menengahi pertikaian tersebut. Dia justru terkagum-kagum dengan kemarahan Bu Dewi yang terlihat sangat keren.

“Hanya orang bodoh yang mencari kaviar di kios kecil seperti ini! Dan anda adalah orang itu! Pakaian anda saja yang mewah. Tapi otak anda hanya sebesar telur salmon” lanjut Bu Dewi.

Mendengar olokan Bu Dewi, wanita tua itu terkesiap. Mulutnya terkunci rapat dengan kekesalan yang tidak dapat ia utarakan. Dia hanya memasang wajah tegang dan berbalik berjalan keluar meninggalkan kios.

“Dasar wanita tua gila!” teriak Bu Dewi.

“Mbak, mbak .. Udah, Mbak. Dia udah keluar kok, Mbak. Jangan diurusin lagi. Tuh kan, Mbak Dewi jadi emosi kayak gini,” Bu Sandra mengelus pundak Bu Dewi lembut.

Mata Bu Dewi masih menatap wanita tua itu berjalan menuju sebuah mobil sedan bersama suaminya. Pintu kios yang terbuat dari kaca, membuat Bu Dewi dapat memperhatikan wanita tua itu hingga benar-benar menghilang tanpa jejak.

Glek

Glek

Bu Dewi menengguk air dingin yang ia ambil dari dalam kulkas. Ia teguk air dingin yang ia ambil langsung dari botolnya.

“Mbak, udah. Tenangin diri ya. Biar aku yang melayani pembeli. Mbak Dewi istirahat aja sampai perasaan Mbak membaik,” ucap Bu Sandra.

"Diam kamu!! Berisik banget tahu nggak, sih?! Bacot!" bentak Bu Dewi tiba-tiba.

Bu Dewi kembali duduk di tempatnya semula dan memisahkan gurita-gurita yang ia urus sejak tadi. Kemarahannya masih belum mereda. Mode jahatnya pun masih belum hilang pula. Membuat Bu Sandra pun kena omelan.

“Ya, walau pun sekarang dia sangat sensitif, tapi aku benar-benar kagum sama keberaniannya. Ternyata, kekurangan Mbak Dewi bisa jadi kelebihan di saat yang tepat,” batin Bu Sandra sembari mengulurkan senyuman hangat ke arah Bu Dewi

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status