Wanita itu terkejut mendengar bentakan Liam, dia langsung bangkit dari kursi dan berjalan mendekat. "Stop!" teriak Liam. "Keluar dari kamarku!" "Liam, papamu menelepon dan ingin berbicara denganmu. Mas Landon bilang kau selalu menolak telepon darinya," ucapnya. "Hanya itu? Kau menerobos masuk kamarku dengan lancang hanya untuk menyampaikan hal itu? Apa bukan karena ada hal lain yang kau inginkan?" "Tidak ada hal lainnya." "Kalau begitu lekas keluar! Kau sangat bau alkohol!" "Kenapa kau sombong sekali sih? Kenapa kau nggak pernah bersikap baik padaku? Apa salahku padamu?" "Kau masih perlu bertanya apa kesalahanmu? Apa kau akan tetap berada di dalam kamar ini sebelum kau mendapatkan apa yang kau inginkan?" "Aku hanya ingin dekat denganmu!" teriak perempuan itu sempoyongan berjalan semakin mendekat, tangannya terulur untuk menyentuh tubuh Liam. Liam merasa jijik dan tidak sudi disentuh olehnya, dia pun langsung menepisnya dan beranjak menuju telepon di meja nakas. Dia menelepon
"Lo deket sama bos lo?" tanya Bianca. Merry terbatuk karena tersedak makanannya. Dia lekas meneguk minuman teh hijau dingin untuk menghentikan batuknya. Merry sama sekali tidak menyangka kalau Bianca akan mengucapkan kalimat itu. "Bagaimana mungkin gue dekat sama Pak Liam," jawab Merry akhirnya. Bianca manggut-manggut, terlihat bisa menerima jawaban Merry. "Iya, sih, Liam emang sulit buat dideketin. Ah, gue pikir bakalan bisa mendapatkan kelemahan dia!" gumamnya. "Apa, Bi?" tanya Merry seolah ingin memastikan kalau dia tidak salah dengar, "Lo kenal sama Pak Liam?" Bianca mengangguk, "Bisa dibilang kami sebenarnya punya story. Tapi dia memang sulit untuk dideketin kan?" "Ng, gue nggak paham sih, arah pembicaraan lo apa, karena ya ... gue nggak ada niat buat ngedetin Pak Liam juga. Cuma yang pasti, Pak Liam itu ... super nyebelin dan bossy!" Bianca tertawa mendengar keluhan Merry. "Dia di kantor memangnya bos yang seperti apa?" koreknya. "Nggak pernah tersenyum, tukang nyuruh, n
Selesai membuat kopi, Merry lekas kembali ke mejanya. Dia meletakkan cangkir kopi di atas meja. Dia menarik napas panjang saat duduk di kursinya. Kemudian dia mulai menyalakan komputer untuk mulai bekerja. Tiba-tiba, konsentrasinya kembali dipecahkan oleh bunyi telepon genggamnya. Saat Merry melirik, ternyata telepon dari Pak Liam. Merry pun lekas mengangkatnya. "Ya, Pak?" sahut Merry. "Kenapa kau baru mengangkat telepon?" tanya suara di seberang telepon terdengar marah. "A ... maaf, tadi saya sedang ke pantry dan tidak membawa handphone, Pak. Kenapa, Pak?" tanya Merry merasa khawatir karena dia sudah melakukan kesalahan dan entah hukuman apa yang akan diberikan Liam padanya. "Ke ruangan saya sekarang!" "Sekarang? Sekarang, Pak?" "Iya, sekarang, masa besok!" "Ba-baik, Pak!" Merry menutup teleponnya. Dia merapikan rambut dan pakaiannya sebelum masuk ke dalam ruangan Liam. Tidak lupa dia membawa tablet untuk mencatat semua pekerjaan yang mungkin diberikan Liam padanya. Merry
Merry memakai kesempatan pergi ke toilet untuk memeriksa ponselnya dan membalas pesan-pesan yang masuk. Ada banyak pesan yang masuk, terutama dari Benny yang berisik meminta makan siang. Merry memang tidak memberikannya uang sebelum dia berangkat tadi pagi. Dia sama sekali lupa kalau ada Benny di apartemennya. Lagipula anak laki-laki itu belum bangun saat dia hendak berangkat. Merry akhirnya membelikannya makanan secara daring. Selain Benny, Dawn mengirimkannya beberapa pesan yang tidak penting, hanya mengeluh kalau dia merasa bosan tidak memiliki pekerjaan tetap. Merry : Cari kerja lah! Dawn : Sudah! Tapi nggak ada yang cocok jam kerjanya. Merry : Emangnya lo mau yang kayak gimana jam kerjanya sih? Jam kerja sama semua bukan? Dawn : Gue cuma mau kerja dari jam 10 sampai jam tiga sore. Merry : Nggak ada kerjaan semacam itu, Markonah -___- Dah lah, lo nggak usah cari kerja. Warisan lo kan banyak. Dawn : Ya, bosen gilak kali nggak ada yang bisa gue kerjain. Merry : Bikin konten
Saat Merry kembali ke ruang rapat, acara pertemuan sudah hampir selesai. Dilihatnya Liam sedang bersalaman dengan Bu Dira. Wajah Bu Dira terlihat berseri-seri dan bahagia. Namun yang paling disadari oleh Merry, Bu Dira menatap Liam dengan tatapan yang sangat diketahui oleh Merry. Tatapan yang hanya dilontarkan oleh seorang gadis yang sedang menyukai seorang laki-laki. Merry meletakkan kopi tersebut di atas meja. Bu Susan melihat kehadirannya dan langsung berjalan menghampirinya. "Maaf, Bu Dira, kopinya baru sampai. Kalau tidak keberatan, silakan dibawa untuk perjalanan pulang," ucap Bu Susan. "Ah ya, tentu saja. Terima kasih banyak," jawab Bu Dira tersenyum tipis. Salah satu asisten dengan sigap menerima ketiga kopi tersebut. Tak lama, ketiga tamu itu pun pergi meninggalkan ruangan rapat menuju lift dengan diantarkan oleh Bu Susan. Sementara Liam tetap berada di ruang rapat sambil menghela napasnya. "Ini kopi untuk bapak," ucap Merry meletakkan kopi khusus untuk Liam, Ice American
Pulpen yang ada di tangan Liam terjatuh. Liam pun memandang wajah sahabatnya tanpa ekspresi, “Lo bilang apa barusan?” tanyanya. “Gue bermaksud mengambil Merry sebagai sekretaris gue,” ulang Ashton penuh keyakinan. “Kenapa Merry?” “Lho, kok malah kenapa. Sudah jelas, dong, jawabannya. Di antara semua direktur di perusahaan ini, hanya lo yang punya sekretaris dua. Jadi, untuk memangkas pengeluaran yang tidak perlu, ada baiknya Merry pindah jadi sekretaris gue.” “No!” Liam menjawab cepat. Rahangnya mengeras karena tegang. “Why?” Ashton bertanya terheran-heran. Karena Liam biasanya tidak pernah menolak ide darinya apalagi kalau berhubungan dengan sesuatu yang bisa mengirit biaya pengeluran perusahaan. “You can have anybody, but not her!” Ashton terkejut mendengar jawaban tersebut. Alisnya berkerut dalam. Untuk beberapa saat otak Ashton berputar memikirkan alasan yang masuk akal dengan sikap Liam saat ini. “You like her?” Tembak Ashton setelah beberapa saat. “No!” “Then why?” “Be
Susan sedang bingung, masalahnya dia memiliki janji untuk menjemput anaknya tapi malam nanti ada acara makan malam menemani Bosnya. Dia sedang berpikir keras harus memakai alasan apa agar anaknya tidak terlalu kecewa kalau dia membatalkan janji hari ini. Dilihatnya Merry baru keluar dari ruangan Direktur dengan kedua pipi berwarna merah. Merry terlihat tergesa-gesa kembali ke mejanya. Dia menarik napas dalam berkali-kali setelah duduk di kursinya.“Kamu kenapa?” tanya Susan terheran-heran.“Oh, eh … nggak kenapa-kenapa, kok, Bu!” Merry menjawab cepat. “Kamu demam? Muka kamu merah begitu?” tanya Susan kembali.Merry menggeleng cepat, “Aku nggak apa-apa, kok, Bu, mungkin agak ngantuk. Aku beli kopi dulu, ya, ke bawah.” Merry bangkit kembali dari kursinya dan beranjak menuju lift. Susan hanya memiringkan kepalanya, merasa bingung dengan sikap juniornya. Tapi tiba-tiba, firasat perempuan menghantam kesadarannya. Susan hanya menggelengkan kepalanya menyadari hal itu. Dan seketika ide ce
Suasana di dalam mobil terasa canggung. Liam duduk dalam diam sambil menatap tablet di tangannya. Sementara Merry duduk di sebelahnya tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa.Makan malam bisnis memang bukan pertama kalinya Merry ikuti, tapi biasanya dia hanya ikut sebagai asisten Susan. Merry hanya bertugas membawakan dokumen dan mencatat. Selebihnya Susan yang mengurus dan mengkoordinir. Biasanya pun Merry duduk di kursi depan di sebelah supir, dan Susan yang duduk di belakang bersama Liam. Duduk di sebelah bos ternyata bukan hal yang mudah, tekanannya begitu besar. Mungkin saat sudah terbiasa, tekanan itu akan semakin berkurang. Semoga saja. “Pak Liam, kita jalan terlalu cepat. Apakah kita akan menunggu langsung di lokasi?” tanya Merry memberanikan bertanya.“Acaranya dimajukan ke jam tujuh. Apa kamu belum memeriksa email kamu?” jawab Liam tanpa menoleh dari layar tablet.Merry terkejut mendengarnya. Dia pun langsung mengecek emailnya melalui ponsel. Ah, benar saja. Email pe