Sebelum menggeluti dunia akting, Merry terjun ke dunia modeling terlebih dahulu. Dia keluar sebagai juara satu pemilihan model di sebuah majalah remaja saat masih SMP. Setelah itu, dia mendapatkan banyak tawaran sebagai bintang iklan. Merry tidak mengambil pekerjaan selain modeling untuk membagi waktunya dengan jadwal sekolah. Karena iklan yang menggunakan wajahnya cukup banyak, Merry pun mendapatkan popularitas di kalangan remaja. Saat dia masuk SMA, Merry mulai mendapatkan tawaran sebagai pemeran pendukung di sebuah film. Hanya peran kecil, namun dari sana bakat akting Merry mulai dikenal. "Itu Sifabella Hadiprana yang jadi Dona, kan? Aktingnya keren banget pas adegan berantem. Badannya bagus sih, tinggi atletis." Begitu obrolan para siswa yang melihat dirinya di sekolah. Merry memang memakai nama belakang dan nama almarhum ayahnya untuk karir keartisan. "Wah, dia masuk ke sekolah kita? Berarti dia pintar juga anaknya, ya?" "Atau mungkin dia masuk dari jalur prestasi." "Prestasi
Acara pensi berlangsung dengan sukses. Acara sekolah mereka diliput oleh salah satu kanal televisi nasional. Merry, Cathy dan Dawn berjoget bersama di depan panggung untuk merayakan keberhasilan acara, sementara band tamu sedang tampil di atas panggung. Beberapa panitia yang lain pun ikut terjun merayakan. “Acara kita berhasil, Mer!” pekik Cathy memeluk Merry dengan erat. Tentu saja dia satu tim dengan Merry dan mereka berhasil mendapatkan banyak sponsor. “Dawn, bilang makasih sama bokap lo ya, karena udah mau jadi sponsor utama!” ucap Merry setengah berteriak dan merangkul bahu Dawn. Akhirnya mereka bertiga saling berangkulan sambil berjoget.“No problem! Win win, kok! Kata bokap, bagus juga buat promosi produk perusahaan!” balas Dawn.“Gue seneng banget! I love you, guys! Mulai saat ini, kita sahabatan sampai maut memisahkan, ya!” teriak Cathy.Cathy dan Dawn memang sudah sahabatan sejak SMP, namun Merry baru empat bulan ini bergabung bersama mereka. “Okay!” balas Merry dan Dawn
Para orang tua selalu mengatakan, perjalanan menjadi dewasa melalui sebuah rangkaian proses yang panjang. Manusia melakukan kesalahan, tapi kemudian mereka akan memperbaikinya. Itulah yang membuat seseorang berkembang dan menjadi lebih dewasa dan bijaksana. Terdengar mudah, namun pada saat menjalaninya, Merry tidak tahu kalau kesalahan yang akan dilakukannya akan begitu menguras seluruh emosi dan fisiknya. Kalau saja mesin waktu ada, Merry akan memilih untuk kembali di saat dia kehilangan peran utama pertama kali yang berhasil didapatnya. Dia akan mengatakan pada versi dirinya yang lebih muda agar menerima keputusan saat peran tersebut dicabut darinya. Bukan berarti dia akan membiarkan versi dirinya yang lebih muda menjadi kurang ambisius, dia hanya akan melarang dirinya yang dulu agar tidak memasuki pintu ruangan tersebut. "Mer, kita sudah boleh pulang," tegur Cathy saat dia melihat Merry yang hanya duduk terdiam di atas ranjang IGD. “Benny,” begitu tersadar Merry lekas meraih ta
Seringkali apa yang kita rencanakan tidak berjalan seperti seharusnya. Seringkali kita kecewa dengan hasil yang kita dapatkan. Padahal mungkin, Tuhan bukannya tidak mengabulkan harapan kita. Melainkan Tuhan tahu apa yang kita butuhkan. Seumur hidupnya, Merry tidak pernah menginginkan hal yang terlalu muluk. Dia tidak menginginkan pacaran dengan anak orang kaya, kemudian mereka menikah dan tinggal di sebuah rumah yang mirip dengan istana. Hidup nyaman dengan bergelimang harta memang sangat menggiurkan, namun bukan hal yang mutlak untuk dimiliki. Melihat pernikahan kedua orang tuanya, Merry selalu berharap kalau dia akan bertemu dengan seorang pria yang baik, bertanggung jawab dan menghargai semua pendapatnya. Namun yang paling penting, pria itu akan terus bersamanya sampai dengan masa tua mereka. Sehingga dia tidak akan merasa kesepian seperti ibunya. Almarhum ayahnya merupakan pria yang baik, malah teramat baik. Namun sepertinya memang benar pepatah yang mengatakan orang baik umurny
[Nanti malam jemput gue ya!] Begitu pesan yang diterima oleh Merry dari sahabatnya Cathy tentang rencana malam ini. Merry baru saja bangun tidur pada pukul sebelas siang. Ya siapa juga yang bangun cepat di hari Sabtu kan? Kecuali kalau masih masuk kerja sih, kayak si Cathy, cewek terlalu rajin dan ambisius di pertemanan mereka. Maka dengan setengah mengantuk dia mengetikkan balasan. Namun detik berikutnya Cathy sudah menelepon balik. “Ya, apalagi, Cath, kan udah gue bales,” jawab Merry dengan suara parau. “Gila ya, gue nunggu balesan dari lo sampe tiga jam. Senin lo udah mulai kerja, bukan pengangguran lagi. Jadi kayaknya lo harus biasain bangun pagi deh!” Tuh kan, kumat deh bawelnya. “Iya, mom,” balas Merry malas-malasan sambil menguap lebar. “Merry! Ih, nih anak santai banget sih! Jadi cewek kudu ambisius dikit dong!” Merry menjauhkan telepon genggam dari telinganya karena lengkingan suara Cathy yang sanggup menyaingi Ariana Grande. “Gue udah ambisius kali, Cath, buktinya gu
Tiba-tiba salah satu penari mendekati dirinya dan mengajaknya ke tengah untuk ikut menari. Walaupun bingung, Merry tidak menolak ajakan tersebut. Pria itu memberikan contoh gerakan pada Merry untuk diikuti. Merry pun bisa mengikutinya dengan mudah. “Woohoo, Merry! You go, girl!” teriak Dawn dari meja mereka yang tentu saja terdengar sampai ke telinganya. Ternyata bukan hanya dirinya, beberapa tamu lain juga ada yang diajak berdansa. Namun tidak semuanya bisa menguasai gerakan yang dicontohkan dengan cepat. Bisa dibilang koordinasi otot tubuhnya sangat baik, sehingga Merry mudah menghapal dan mengikuti gerakan tarian. Tanpa diduga, Dawn dan Cathy pun ikut terjun ke lantai dansa dan mengikuti gerakan yang dicontohkan. Dawn dengan mudah meniru, sedangkan Cathy kesulitan mengikutinya. Setelah itu, para tamu di pinggir pun satu per satu mulai ikut terjun ke tengah lantai dansa. Akhirnya mereka semua kompak menarikan gerakan yang sama. Merry, Dawn dan Cathy tertawa lepas. Andrenalin mer
Tangan mereka sibuk saling menjamah. Merry memeluk leher pria itu, sementara sepasang lengan kekar melingkar di pinggangnya, menarik tubuhnya begitu dekat, Merry bisa merasakan bara menguar dari tubuhnya. Kemudian pria itu melepaskan ciumannya. Matanya terlihat gelap, segelap langit malam, menatapnya dengan penuh nafsu. Merry terhuyung, kali ini bukan pusing karena pengaruh alkohol, melainkan ciuman dahsyat yang baru pertama kali dia rasakan sepanjang hidupnya. Tiba-tiba pria itu menggandeng tangannya dan membawanya menuju ruangannya. Setelah menutup pintu, pria itu kembali menghujani Merry dengan ciuman. Bibirnya, pipinya, lehernya, merambat ke belahan dadanya. Merry sudah terlalu terlena dengan kenikmatan yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Sehingga dia tidak berdaya menolak. Dia menurut saja seperti sapi yang dicucuk hidungnya saat pria itu merebahkannya ke atas sofa. Kali ini, ciumannya sudah tidak terlalu ganas. Ciumannya sangat lembut namun begitu menuntut. Padahal ruang
“Ashton!” panggilnya setengah berbisik agar tidak memancing perhatian yang lain. Dia melambaikan tangannya pada pria itu, sangat berharap Ashton melihat dirinya. Radar pria itu memang peka. Ashton menghentikan langkahnya saat ingin membuka pintu ruangannya dan menoleh melihat dirinya. “Hei, Merry!” bisiknya juga dari kejauhan, membalas lambaian tangan juniornya di kampus. “Baru masuk?” ucapnya tanpa mengeluarkan suara. Merry mengangguk dengan bahagia karena pria itu menyadari keberadaannya. Ashton langsung memberi dua buah ibu jari dan menyemangati dirinya. “Ehm, ibu Merry, sedang apa? Mari saya akan mengantar ke ruangan untuk junior sekretaris?” tegur staf SDM itu. Merry tersadar dan segera membetulkan posisi tubuhnya, “I-iya, maaf, bu,” jawab Merry. Dia bergegas menyusul wanita itu. Ternyata ruangan sekretaris ada di lantai lain, tepatnya tiga lantai di atas ruangan khusus keuangan dan manajer. Ashton merupakan manajer di perusahaan ini. Sayangnya mereka akan berbeda lantai. M