"Iya, Umi! Ini Kanaya istri saya." Sahut Bang Bagas."Pintar kamu pilih istri, cantik dan santun." Puji Umi.Bagaskara tersenyum percaya diri, lalu Umi mengajakku ke dapur, "Ayo! Kita ke dapur buatkan kopi atau teh manis untuk para suami." Kekeh Umi."Iya, Umi!" jawabku."Disini mah jangan canggung ya, Neng! Bagaskara sudah seperti putra kami sendiri. Bagas itu baik, rajin, dia gak pernah mengeluh, apa saja mau dikerjakannya, dia sering bantu Abah dan Umi."Aku mengangguk sambil menuangkan serbuk kopi ke dalam cangkir. Umi terus saja bercerita tentang Bang Bagas. "Umi kebetulan tidak punya putra, punyanya putri semua, ada empat.""Sama Um, saya juga emkat bersaudara semuanya perempuan." Sahutku."Masyaallah,-" jawab Umi."Pernah dulu, tapi maaf loh ya, ini kan cuma obrolan saja, Umi mau menjodohkan Bagas dengan putri Umi yang pertama, karena Bagas belum juga punya istri padahal sudah 29 tahun.""Oya, Umi?!" tanyaku terkejut."Iya, tapi Bagas nolak, 'enggak mau, katanya putri-putri Umi
"Kami belum punya anak, Um! Padahal sudah dua tahun kami menikah, Kanaya sampai kepikiran terus gara-gara banyak tuntutan dari ibu saya, belum lagi teangga yang sukanya menghakimi." Ungkap Bagaskara menoleh padaku."Baru dua tahun, sabar saja. Ponakan Umi malah delapan tahun belum juga hamil, gak tahunya pas genap sepuluh tahun Yang Maha Kuasa memberinya keturunan kembar lagi." Ungkap Umi."Masyaallah, itu semua kekuasaanNya." Jawabku."Maka dari itu, kalian juga banyakin sabar dan doa, nyinyiran tetangga, ibu mertua gak usah terlalu dijadikan beban, karena Dia lebih mengetahui ketentuan setiap hambaNya. Kita hanya manusia, bukan penentu takdir. Terus berjuang dan berusaha ya, Umi yakin setelah kembali dari sini istri kamu hamil, Gas!" yakin Umi memberikan semangat sambil mengusap-usap perutku.Senja pun tiba, dengan warna langit yang kemerahan, kami menunggu azan Magrib dahulu sebelum melanjutkan perjalanan kami untuk kembali ke Bandung, benar kata Bang Bagas, selama berada disini wa
Sejenak kurebahkan diriku di atas ranjang dengan kepala yang kusandarkan di atas beberapa tumpukkan bantal."Terima kasih ya, Bang! Sudah pijitin aku.""Semoga lekas sembuh, istirahat dulu ya, abang mau selesaikan pekerjaan Abang dulu." Titah Bang Bagas membuka laptopnya.Keesokan harinya, seperti biasanya aku bersiap pergi ke kantor, Bang Bagas sudah menunggu di halaman dengan sepeda motor yang menyala.Dalam perjalanan kami menuju ke kantor, aku bertanya pada Bang Bagas, "Bang, pusing sama mualku kok gak ilang-ilang ya?""Obat racikan Abang kamu minum gak kemarin?" tanya suamiku."Sudah lah, aku paksain minum meskipun aku sendiri gak suka.""Loh kenapa?" tanyanya menoleh ke arahku."Secara jamu sachet masuk angin itu kamu campur pake kuning telur mentah dan susu kental manis terus dikasih sedikit air anget, bawaannya pengin muntah aku, Bang!" jawabku sambil muntah tanpa keluar apapun membayangkannya."Gitu ya, padahal itu obat racikan andalan Abang kalau masuk angin." Jawabnya terse
"Coba aja, pasti ibu seneng dapat cucu. Dia sendiri sering tanya kaoan kamu hamil kan, Yang!" sahut Bagaskara yakin. Tak lama kemudian, suamiku menekan tombol dial dengan mode loudspeaker. "Assalamualaikum, Bu." "Waalaikumsallam, Gas! Kenapa?" "Bu, Naya hamil, sekarang sudah dua bulan kata dokter, benar kan apa kata Bagas, Naya pasti hamil Bu." "Oh begitu, adek kamu Lya, juga hamil." "Oh, iya Bu?! Ya sudah kalau begitu Bu, Bagas ada kerjaan dulu." Seketika itu, ekspresi Bang Bagas berubah, awalnya berbinar menjadi sedih dan masam. Keyakinannya akan ibu runtuh seketika. "Bang, jangan sedih gitu dong, kan gak segala sesuatu tentang kita perlu diumumkan sama Ibu. Lihat mukamu yang langsung berubah, aku gak mau! Tenang saja, kita syukuran kecil-kecilan ya, atas anugerah Allah kita akan memiliki anak." Sahutku menghibur Bang Bagas. "Mantunya hamil bukannya bahagia dan kasih selamat atau doa, ini malah kasih tahu balik kalau adekku lagi hamil juga!" ketusnya. "Ya udah lah, Bang!
"Untuk apa Vera berbohong?! Dia yang merasakannya, dia bilang kamu pernah memacarinya!" ketus Aji."Jelas untuk memanfaatkan saya!""Sudah! Tidak usah berbelit-belit!" Aji bersikeras mendesak Bagaskara."Dengarkan dulu saya! Dia memang pernah mengaku hamil dan meminta saya menikahi dia, dan saya tidak mau!" tegas Bang bagas."Kenapa kamu tidak mau?! Kurang apa adik saya ini?!""Karena saya tidak menghamilinya! Saya tidak mencintai Vera. jika dipaksakan justru akan menyakiti keduanya. Apa Kak Aji tahu, kalau dia sering ganti-ganti pacar? Apa pantas mengaku cinta pada saya tapi ketika saya tidak ada, dia jalan dengan lelaki lain?!""Adik saya tidak serendah itu, dan kamu telah menghina kami!" bentak Aji lagi."Saya bicara apa adanya, saya tahu rencana kalian apa perlu saya bongkar?!""Rencana apa? Kami gak punya rencana apapun!" jawab Vera menoleh pada Aji."Sudahlah mengaku saja! Buku nikah itu hanya tameng agar saya mau menikahi dia kan? Karena dia sudah hamil oleh pria lain dan saya
"Ya enggak lah, Nay!" bantah suamiku."Tapi tetap saja gak mungkin tiba-tiba ngaku hamil tapi gak pernah kenal sama kamu Bang!""Aku ketemu sama dia saat kami nonton pagelaran seni acara karang taruna di komplek, dia lagi berkunjung ke rumah tantenya yang kebetulan dua rumah sebelah kanan dari rumahku, gak tahu kenapa sejak ketemu di acara itu ... dia jadi bolak-balik terus ke rumahku, padahal ... Ibu juga gak suka sama dia." Ungkap suamiku."Kenapa ibu tidak suka?""Dia terlalu vulgar dan berani. Ibu juga tahu kalau dia sering gonta-ganti pacar." Katanya."Begitu ya, bener nih?" tanyaku menggodanya."Oya! Pernah suatu saat dia jebak aku, dia paksa aku ke rumahnya, dan aku diberi air mineral dalam botol, setelah itu aku lupa seolah ling-lung, aku hanya ngerasa ingin terus disana dan tidak mau pulang." Ceritanya bersandar di kursi."Ya Tuhan, kok bisa?!" tanyaku terkejut."Iya, beruntung ada bibiku yang tak sengaja lihat aku dari pintu rumahnya yang terbuka, lalu memanggilku. Bibi meli
"Enggak, Bang! Tapi dia malah bawain makanannya buat aku. Bukan karena aku ke-PD-an ngerasa dia suka sama aku, ya aku risih aja, kan aku sudah bersuami." Ungkapku menatap wajah Bang Bagas yang cemberut karena cemburu."Kalau cowok udah perhatian kayak gitu gak mungkin polos, pasti dia suka sama kamu, gimana sih!" ketus Bang Bagas."Aku tunjukin aja cincin kawin di jari manisku, Bang! Pura-pura kibas-kibas tangan depan mukanya. Dia malah nantangin ngajak aku nikah." Tuturku melanjutkan ceritanya."Kok gitu ya, kalau gitu caranya, kamu gak bisa kerja lagi, harus udahan!" Bagaskara makin meradang."Lucunya, Bang! Ketika dia ke kantor lagi kemarin, dia lihat aku berdiri perutku auto kelihatan dong. Dia tanya 'Kamu lagi hamil?' Aku jawab iya, dia langsung kena mental dan gak berani deketin aku lagi!" kekehku tertawa lebar mengingat cerita itu.Wajah kecut suamiku berubah riang, sampai dia ikut tertawa karena ceritaku."Untung hamil, kalau enggak istriku bakal dia bawa kabur!" kekeh Bang B
Aku mengangguk dengan nafas terengah. Aku terus berusaha sekuat tenaga untuk daoat melahirkan secara normal.Tak lama setelah itu, pukul 06.10 pagi, seorang bayi perempuan terlahir ke dunia ini. Aku sangat bahagia dan bangga, akhirnya aku punya buah hati yang selama ini kami tunggu kehadirannya."Alhamdulillah ... bayinya perempuan, cantik seperti mamanya." Ucap kepala Bidan yang membantuku melahirkan."Terima kasih Bu Bidan." Sahut Bang Bagas."Sama-sama Bapak, kasih istrinya teh manis Pak! Istri Bapak baru saja berjihad." Titah bidan itu sambil tersenyum.Asisten bidan membawa bayiku ke ruangan khusus, untuk dibersihkan, diberi pakaian dan ditimbang berat badanya serta diukur tinggi badannya."Bu, bayinya segera disusui ya, tingginya 51cm dam beratnya 3,0 kg lumayan besar ya, hebat ibu." Ujar asisten bidan memberikan bayiku dari pangkuannya. Peluh pun membasahi sekujur tubuhku, rupanya begini rasanya melahirkan normal. Betapa beratnya perjuangan seorang Ibu, maka tak heran jika sur