Share

Empat

Aku tertawa sekilas membayangkan betapa hebohnya mereka di rumah sekarang. Rumah mungkin lebih berantakan dari tadi, karena tidak ada satupun temannya Santi yang bisa melakukan pekerjaan rumah. Apalagi memunguti sampah kuaci yang kecil-kecil pakai tangan, pastinya sangat melelahkan.

Duh, kasihan sekali. Besok-besok tidak usah bertamu ke rumah anak menantuku lagi jika dalam membuang sampah pada tempatnya saja mereka tidak lulus. Ngakunya lulusan universitas, tapi adabnya tidak ada. Bukankah orang yang beradab itu lebih tinggi derajatnya dari orang yang berilmu?

Aku duduk di balai bambu yang sengaja minta dibuatkan pada Akmal saat pertama datang ke rumah ini. Lumayan bisa mengobati rinduku pada kampung halaman. Tempat ini sangat sejuk dan jadi favoritku karena letaknya di bawah pohon mangga dan rambutan cangkokan. Cukuplah untuk mengademkan hati saat melihat kelakuan menantuku yang menguras emosi.

"Ibuu! Bantuin!" seru Santi, meletakkan tangannya di atas balai bambu. Dia ngos-ngosan dengan wajah dan bajunya belepotan tepung dan bau amis dari telor. Sepertinya dia sudah mendapatkan balasan niat buruknya dengan melakukan pekerjaan itu sendiri. Aku melirik arloji menantuku yang sudah menunjukkan hampir jam makan siang. Aku kasihan padanya yang terlihat kelelahan. Sebentar lagi anakku akan pulang. Kasihan kalau dia kecewa dengan istrinya yang gagal memberikan bolu yang enak.

"Kalau salah, minta maaf dulu," balasku sok cuek. Aku tidak mau langsung menuruti permintaannya.

"Iya-iya, Bu. Santi minta maaf karena sudah berniat jahat sama Ibu. Aku kapok, Bu," ujar Santi. Dari sorot matanya masih terlihat kurang ikhlas. Tapi tak apalah. Pelan-pelan saja, yang penting mau memperbaiki diri. Mana ada manusia sempurna di bumi ini? Dia sedang khilaf dan mau meminta maaf sudah patut dihargai.

"Ya sudah, Ibu maafin," balasku, tersenyum ramah. Santi memegang tanganku dan kami berjalan bersisian. Coba aja dia sejinak ini setiap hari. Mungkin aku akan merasa jadi orang paling beruntung di muka bumi ini. Ya, standar kebahagiaanku sesederhana itu. Dia pasangan hidup dari anakku, kebahagiannya juga kebahagiaanku.

Aku mengulum senyum melihat semua sampah bekas kuaci sudah bersih, tinggal lantainya yang belum di sapu karena alatnya kusimpan. Teman-temannya Santi juga tidak kalah mengenaskan darinya. Ada yang sudah basah bajunya dan berlumur tepung dan salah satu dari mereka barusan terpeleset di lantai yang basah.

"Astagfirulloh! Siang-siang kok ada hantu ya, San?" seruku. Keempat wanita muda itu terkejut dan menatapku takut. Apa wajahku seseram itu? Mereka saja yang belum mengenal sifatku.

"Kalian kalau kerja itu jangan grasak-grusuk! Coba yang ikhlas, pakai hati, semuanya akan cepat selesai dan hasilnya lebih maksimal," imbuhku. Santi dan teman-temannya menunduk, persis seperti siswa yang ketakutan pada gurunya. Baguslah. Ini lebih menguntungkan. Saatnya memperlihatkan kalau wanita tua ini bukan orang yang pantas disingkirkan.

Aku mengambil sapu ke kamar dan menyuruh salah satu teman Santi yang pakaiannya tidak basah untuk menyapu ruang tamu. Yang sudah terlanjur basah, ya sudah mandi sekalian. Eh, maksudnya yang bajunya basah kusuruh bagian mencuci piring. Tinggal Santi kuperlihatkan cara membuat bolu pandan yang enak, makanan kesukaan suaminya. Kelak jika aku telah tiada, tangan lembutnya itu bisa membuat bolu seenak buatanku. Dengan begitu, rasa rindu Akmal pada ibunya ini akan terobati.

Maut itu suatu yang pasti, tinggal waktunya saja yang masih rahasia. Kalau Akmalku memiliki pasangan wanita soleha, tentu aku kebagian pahala setiap harinya. Mereka saling mengingatkan untuk mendoakanku dan Bang Ande yang telah lebih dahulu menghadap Ilahi.

"Cepat kalian mandi, Nak! Ini tinggal nunggu beberapa menit lagi di oven sudah masak. Dandan yang cantik ya, Sayang," ujarku, mencubit pipi menantuku yang sedikit gembul.

"Tapi temanku gak ada yang bawa baju, Bu. Aku ambil dulu baju untuk mereka," balas menantuku.

"Enggak usah, Nak. Kalau kamu memberikan bajumu untuk mereka, takutnya Akmal tidak kenal istrinya dari belakang. Apalagi bentuk badan dan potongan rambut kalian kompakan. Emangnya kamu mau kalau suamimu salah peluk istrinya?" tanyaku dengan lembut. Santi menggeleng.

"Cepat sana! Itu urusan Ibu," imbuhku. Santi mengangguk dan melenggang ke kamarnya yang memiliki kamar mandi di dalam.

"Lalu, kami pakai baju siapa dong, Bu?" tanya Sindi ragu. Hanya dia yang kuingat namanya karena sering datang ke rumah ini menjemput Santi mau ke luar.

"Pakai baju Ibu saja. Gak usah dibalikin lagi nanti! Ayo! Kalian mandi di kamar Ibu. Sebentar lagi Akmal pulang," titahku dan berjalan mendahului.

"Apaaa? Pakai baju nenek-nenek?" celetuk yang bergigi gingsul.

"Saya masih ibu-ibu, belum nenek-nenek kok. Kan belum punya cucu," kekehku. Keempat wanita muda itu tak bisa mengelak dan berjalan gontai menuruti perintahku. Mereka masih muda dan mau bermain-main dengan wanita tua ini, yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Terima sendiri akibatnya. Semoga saja tidak menyakiti perasaan mereka.

***

"Masya Allah, selain cantik, istriku bisa masak bolu juga? Ini enak banget, Dek!" puji Akmal. Santi tersenyum simpul hingga wajahnya merona.

"Tapi kok persis buatan Ibu, ya?" imbuh Akmal, curiga menatapku. Oalah, anakku. Kenapa kamu buat istrimu merengut? Memuji istri itu tidak akan merugikanmu.

"Ya jelas persislah. Kan Ibu yang ajarin. Coba aja kalau Santi sudah mahir, rasanya pasti jauh lebih enak. Tunggu saja waktunya. Iya kan, San?" timpalku. Santi tersenyum, lalu mengangguk.

"Alhamdulillah. Pasti seru tadi acara masak-masaknya, ya? Harusnya tadi didokumentasikan biar bisa kita tunjukkan pada anak-anak kita kelak loh, Dek. Mereka akan senang melihatnya," celetuk anakku, menatap sang istri. Aku hampir saja tertawa kalau tidak ingat itu bisa melukai perasaan menantuku. Kalau sampai kejadian masak-masak tadi divideokan, bisa malu anak-anak muda se-Indonesia. Hihihi.

"Eh, Sindi, Laura, Dila sama Ningsih kok pakaiannya beda hari ini? Biasanya juga pakai jeans, ini malah stelan katun. Kamu kok belum punya yang kayak gitu, San? Biasanya juga kompak," ujar Akmal, menoleh sekilas pada teman karib menantuku, lalu beralih menatap Santi dengan penuh cinta. Tatapannya pada menantuku itu yang berulang kali membuatku berpikir keras agar Santi tidak sampai sakit hati. Dia cintanya anak semata wayangku.

"Memangnya baju itu cantik ya, Bang? Sesuai dengan aku yang masih muda?" cecar Santi, seperti kurang yakin.

"Lah iya, Dek. Kamu suka? Nanti abang belikan deh untuk kamu," balas Akmal, menjawil hidung istrinya.

"Iya, Bang. Kirain Abang gak suka kalau aku pakai yang seperti yang itu," balas Santi. Senyumnya terkembang ke arah suaminya.

Tadi, dia mencerca setelan baju yang panjangnya sampai lutut itu. Ternyata, setelah dipuji suaminya, menantuku itu jadi suka dengan seleraku. Alhamdulillah ya, Allah. Semoga ini jadi permulaan dia mulai suka juga pada wanita tua ini.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Masak Akmal ga tahu kalau itu baju bekas?
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status