Share

Tiga

"Kamu makin cantik kalau baju kayak gini, San! Kapan belinya?" ujar Akmal, masih dengan pakaian kerjanya. Aku memilih berdiri di teras memandang bunga-bunga yang bermekaran. Mereka masih muda, biarlah saling memuji agar cinta mereka makin erat.

"Tadi dibelikan Ibu. Ish, tapi kata teman-temanku, bajuku kelihatan jelek lah. Gak cocok sama aku yang modern. Selera Ibu payah," cibir menantuku.

Dari tadi dia tak bilang apa-apa dengan bajunya, sekarang mengeluh dan mulai mencemooh seleraku pada suaminya. Kamu maunya apa sih, menantuku? Apa kamu mau mengubahku jadi nenek sihir agar kamu takut padaku? Aku ingin disayangi dan juga disegani, bukan ditakuti. Tapi kalau begini keadaanya, mungkin aku memang harus menakutinya.

"Ini bagus kok, Sayang. Abang saja sampai mengira kalau kamu bidadari, tapi kok gak ada sayapnya ya?" balas Akmal.

"Ish, aku lagi sebel, tahu. Ibu tadi …."

"Akmal! Tahu gak tadi kalau Santi…?" ujarku memotong ucapan menantuku yang sepertinya mau menjelek-jelekkanku lagi.

"Ih Ibu jangan terlalu banyak gerak! Kan sudah capek tadi jalan-jalan di mall. Ibu itu ternyata gaul juga ya, Bang. Aku senang deh kalau jalan sama Ibu. Ayo duduk dulu, Bu. Ibu harus dipijit kakinya," potong Santi, mengajakku duduk di sofa. Tangannya yang halus memijiti kakiku dengan pelan. Dia pasti takut dengan ancamanku tadi yang bisa jadi senjata pamungkas. Rekaman rencana busuknya. Tapi sampai kapan harus begini?

"Akmal gak salah pilih kan, Bu? Santi istri dan menantu soleha," ujar anakku dengan bangga. Aku mengangguk, semoga saja ucapannya adalah doa yang makbul. Dia sedang menampik keraguanku dulu. Aku pernah menuntut Akmal untuk memberiku menantu soleha, minimalnya yang mau berubah dalam kebaikan. Ternyata keindahan wajah Santi berbanding terbalik dengan kelakuannya. Semoga saja dia bisa berubah nantinya.

Permintaanku tidak muluk-muluk. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kelak jika mereka punya anak, aku ingin cucuku jadi anak yang soleh dan soleha.

Akmal bergegas ke kamar untuk berganti pakaian. Santi pun menghentikan pijitannya dan selonjoran di sampingku.

"Ibu jangan suka ngadu macam-macam sama suamiku, ya! Bisa-bisa aku menyuruh Bang Akmal memilih antara aku atau Ibu. Kalau sampai itu terjadi, Ibu pasti langsung dikirim ke kampung," ancam Santi dengan suara berbisik agar Akmal tak mendengarnya.

Aku tertawa miris. Aku termasuk orang tua yang tidak rewel. Ketika masakan Santi tidak cocok di lidah tuaku, aku tidak memintanya memasak rebusan dan sambal terasi. Aku yang melakukannya sendiri dan tetap memaksakan diri mencicipi masakannya.

Untuk keperluanku yang lain, tidak pernah aku merepotkan Santi. Lalu, kenapa di begitu tak suka kalau aku tinggal di rumah ini? Jujur, aku lebih suka tinggal di rumah masa kecil Akmal yang penuh dengan kenangan manis dan juga pahit. Tapi, aku tidak punya teman lagi di sana. Aku merindukan Akmalku.

"Kenapa malah ketawa, Bu? Pura-pura gila?" cetus Santi. Ya Allah, kasar sekali bahasa menantuku.

"Kamu sebaiknya berkaca, Santi. Akmal itu darah daging ibu. Mertua yang kamu benci ini merawatnya sejak kandungan. Kalian bertemu setelah dewasa dan mapan. Lalu, apa tidak boleh lagi wanita tua ini menikmati hari-hari bersama anaknya? Kamu cemburu pada ibu?" tanyaku pelan, mengontrol emosi agar tidak meledak-ledak.

Aku tidak takut ancaman menantuku. Akmal putraku yang penurut. Andai aku menolak melamar Santi waktu itu, Akmalku tidak akan berani melawan dan kawin lari seperti anak lelaki kebanyakan. Restuku sangat penting baginya. Begitu pun sekarang, aku yakin dia akan menuruti jika aku mengatakan tidak suka kalau Santi menjadi menantuku lagi. Tapi, apa yang kudapatkan dengan melakukan hal itu? Kemana akan kucari senyuman anakku yang hilang nantinya?

"Cemburu sama nenek-nenek? Gak level kali," cetus menantuku. Santi bergegas ke kamar meninggalkanku sendirian. Astagfirulloh. Aku jadi yakin kalau anakku tertipu dengan sikap awal Santi yang dilihatnya dulu.

***

"Wow? Rumah kalian sepi ya, San? Mana nenek lampir itu?"

"Palingan bertapa di kamar. Biasalah, sudah tua. Bawaannya mau tidur terus," fitnah menantuku. Aku yang sedang menulis cerita menghentikan aktivitasku. Tadi aku duduk di ruang tamu, berniat mengobrol dengan menantuku, tapi dia memilih keluar. Ternyata teman-temannya mau datang bertamu.

"Astaga! Jam segini masih tidur? Makin tambah banyak penyakit dong. Bisa-bisa kamu jadi perawat jompo nantinya," gelak temannya.

"Duh! Jangan bikin pusing deh. Bang Akmal kan keren, kirain ibunya itu kaya. Eeh tahunya mau numpang hidup sama anak menantu. Aku mau sama Bang Akmal karena menurut ceritanya, mertuaku tinggal di kampung. Artinya bebas dong tanpa ada mertua nyusahin. Eeeh, suamiku malah enggak bolehin ibunya tinggal sendirian. Bikin kesel kan? Tapi, aku akan bikin mertuaku gak betah di sini," balas Santi.

Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan menantuku. Apakah menantu zaman sekarang menganggap mertuanya sebagai musuh? Dulu aku sangat ingin punya mertua, tapi sayangnya suamiku yatim piatu.

"Bu! Bangun, Bu!" Menantu yang dicintai anakku menggedor pintu dengan kasar. Aku menyimpan ponsel canggihku dan mengantongi ponsel jadul, lantas membukakan pintu.

"Ada apa, San?" tanyaku tersenyum ramah sambil mengusap mata.

"Teman-temanku lapar nih, Bu. Tolong masak kue bolu dong! Plis! Aku enggak bisa masaknya," mohon menantuku. Kata-katanya cukup sopan sih, pakai kata tolong. Tapi, dia tak seharusnya menyuruhku memasak untuk mereka yang tertawa menoton tivi. Beda kasus kalau Santi sedang sakit atau uzur lainnya.

"Pesan online aja, Nak," balasku, memandang gemas pada teman-temannya yang makan kuaci dan sampahnya sengaja di lempar di atas ambal. Persis seperti anak kecil yang lagi belajar sambil bermain.

"Boros, Bu. Mending Ibu yang masak, lebih enak juga," timpal Santi, tesenyum menyeringai.

Aku beranjak ke dapur dan menemukan meja yang berantakan dengan tepung dan juga telor yang sudah dipecahkan. Ooh, pantas saja dia menyuruhku membuat bolu. Santi mau mengerjaiku rupanya.

Lelaki yang baik akan berjodoh dengan yang baik. Jodoh adalah cerminan diri. Tapi, hal itu tidak berlaku pada jodohnya anakku. Istrinya Akmal ini lebih memilih menjadi sebesar-besar fitnah daripada sebaik-baik perhiasan dunia. Haruskah aku menyerah? Semoga Allah menguatkan hatiku sampai menantuku ini mendapat hidayah sebelum terlambat.

Aku menelpon Akmal yang langsung diangkat anak semata wayangku. Sengaja kupencet tombol louds agar Santi dan teman-temannya mendengar suara Akmal.

"Asalamualaikum, ibuku sayang. Ada apa? Apa Ibu butuh sesuatu atau memerlukanku sekarang?" ujar Akmal dengan suara yang riang di sana. Ia tahu kalau ibunya akan menelpon kalau memang ada yang perlu. Aku tersenyum melihat wajah Santi dan teman-temannya berubah pias.

"Walaikumsalam, anakku sayang. Ini loh, ternyata istri kamu minta diajari bikin bolu. Teman-temannya juga sekalian minta diajari. Nanti saat jam makan siang, kamu pulang sebentar ya, Nak. Usaha istri kamu patut dihargai loh," balasku. Akmal menyetujui dengan senang hati.

"San? Gimana nih? Kami pulang aja ya?" ujar teman menantuku yang tadi memakan kuaci.

"Enak saja, cepat kalian bersihkan sampahnya! Sindi! Cepat buka youtube cara membuat bolu. Ayo cepetan!" hardik Santi. Ia menjambak rambutnya, lantas beranjak ke dapur.

"Yang bersih dan enak ya, Nak! Ibu mau keluar sebentar. Oh iya, itu sampahnya diambil pakai tangan biar bersih," tandasku, lantas menyimpan semua sapu ke kamar.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Lanjuut... kerjain Sabti dengan halus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status