"Kamu makin cantik kalau baju kayak gini, San! Kapan belinya?" ujar Akmal, masih dengan pakaian kerjanya. Aku memilih berdiri di teras memandang bunga-bunga yang bermekaran. Mereka masih muda, biarlah saling memuji agar cinta mereka makin erat.
"Tadi dibelikan Ibu. Ish, tapi kata teman-temanku, bajuku kelihatan jelek lah. Gak cocok sama aku yang modern. Selera Ibu payah," cibir menantuku.
Dari tadi dia tak bilang apa-apa dengan bajunya, sekarang mengeluh dan mulai mencemooh seleraku pada suaminya. Kamu maunya apa sih, menantuku? Apa kamu mau mengubahku jadi nenek sihir agar kamu takut padaku? Aku ingin disayangi dan juga disegani, bukan ditakuti. Tapi kalau begini keadaanya, mungkin aku memang harus menakutinya.
"Ini bagus kok, Sayang. Abang saja sampai mengira kalau kamu bidadari, tapi kok gak ada sayapnya ya?" balas Akmal.
"Ish, aku lagi sebel, tahu. Ibu tadi …."
"Akmal! Tahu gak tadi kalau Santi…?" ujarku memotong ucapan menantuku yang sepertinya mau menjelek-jelekkanku lagi.
"Ih Ibu jangan terlalu banyak gerak! Kan sudah capek tadi jalan-jalan di mall. Ibu itu ternyata gaul juga ya, Bang. Aku senang deh kalau jalan sama Ibu. Ayo duduk dulu, Bu. Ibu harus dipijit kakinya," potong Santi, mengajakku duduk di sofa. Tangannya yang halus memijiti kakiku dengan pelan. Dia pasti takut dengan ancamanku tadi yang bisa jadi senjata pamungkas. Rekaman rencana busuknya. Tapi sampai kapan harus begini?
"Akmal gak salah pilih kan, Bu? Santi istri dan menantu soleha," ujar anakku dengan bangga. Aku mengangguk, semoga saja ucapannya adalah doa yang makbul. Dia sedang menampik keraguanku dulu. Aku pernah menuntut Akmal untuk memberiku menantu soleha, minimalnya yang mau berubah dalam kebaikan. Ternyata keindahan wajah Santi berbanding terbalik dengan kelakuannya. Semoga saja dia bisa berubah nantinya.
Permintaanku tidak muluk-muluk. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kelak jika mereka punya anak, aku ingin cucuku jadi anak yang soleh dan soleha.
Akmal bergegas ke kamar untuk berganti pakaian. Santi pun menghentikan pijitannya dan selonjoran di sampingku.
"Ibu jangan suka ngadu macam-macam sama suamiku, ya! Bisa-bisa aku menyuruh Bang Akmal memilih antara aku atau Ibu. Kalau sampai itu terjadi, Ibu pasti langsung dikirim ke kampung," ancam Santi dengan suara berbisik agar Akmal tak mendengarnya.
Aku tertawa miris. Aku termasuk orang tua yang tidak rewel. Ketika masakan Santi tidak cocok di lidah tuaku, aku tidak memintanya memasak rebusan dan sambal terasi. Aku yang melakukannya sendiri dan tetap memaksakan diri mencicipi masakannya.
Untuk keperluanku yang lain, tidak pernah aku merepotkan Santi. Lalu, kenapa di begitu tak suka kalau aku tinggal di rumah ini? Jujur, aku lebih suka tinggal di rumah masa kecil Akmal yang penuh dengan kenangan manis dan juga pahit. Tapi, aku tidak punya teman lagi di sana. Aku merindukan Akmalku.
"Kenapa malah ketawa, Bu? Pura-pura gila?" cetus Santi. Ya Allah, kasar sekali bahasa menantuku.
"Kamu sebaiknya berkaca, Santi. Akmal itu darah daging ibu. Mertua yang kamu benci ini merawatnya sejak kandungan. Kalian bertemu setelah dewasa dan mapan. Lalu, apa tidak boleh lagi wanita tua ini menikmati hari-hari bersama anaknya? Kamu cemburu pada ibu?" tanyaku pelan, mengontrol emosi agar tidak meledak-ledak.
Aku tidak takut ancaman menantuku. Akmal putraku yang penurut. Andai aku menolak melamar Santi waktu itu, Akmalku tidak akan berani melawan dan kawin lari seperti anak lelaki kebanyakan. Restuku sangat penting baginya. Begitu pun sekarang, aku yakin dia akan menuruti jika aku mengatakan tidak suka kalau Santi menjadi menantuku lagi. Tapi, apa yang kudapatkan dengan melakukan hal itu? Kemana akan kucari senyuman anakku yang hilang nantinya?
"Cemburu sama nenek-nenek? Gak level kali," cetus menantuku. Santi bergegas ke kamar meninggalkanku sendirian. Astagfirulloh. Aku jadi yakin kalau anakku tertipu dengan sikap awal Santi yang dilihatnya dulu.
***
"Wow? Rumah kalian sepi ya, San? Mana nenek lampir itu?"
"Palingan bertapa di kamar. Biasalah, sudah tua. Bawaannya mau tidur terus," fitnah menantuku. Aku yang sedang menulis cerita menghentikan aktivitasku. Tadi aku duduk di ruang tamu, berniat mengobrol dengan menantuku, tapi dia memilih keluar. Ternyata teman-temannya mau datang bertamu.
"Astaga! Jam segini masih tidur? Makin tambah banyak penyakit dong. Bisa-bisa kamu jadi perawat jompo nantinya," gelak temannya.
"Duh! Jangan bikin pusing deh. Bang Akmal kan keren, kirain ibunya itu kaya. Eeh tahunya mau numpang hidup sama anak menantu. Aku mau sama Bang Akmal karena menurut ceritanya, mertuaku tinggal di kampung. Artinya bebas dong tanpa ada mertua nyusahin. Eeeh, suamiku malah enggak bolehin ibunya tinggal sendirian. Bikin kesel kan? Tapi, aku akan bikin mertuaku gak betah di sini," balas Santi.
Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan menantuku. Apakah menantu zaman sekarang menganggap mertuanya sebagai musuh? Dulu aku sangat ingin punya mertua, tapi sayangnya suamiku yatim piatu.
"Bu! Bangun, Bu!" Menantu yang dicintai anakku menggedor pintu dengan kasar. Aku menyimpan ponsel canggihku dan mengantongi ponsel jadul, lantas membukakan pintu.
"Ada apa, San?" tanyaku tersenyum ramah sambil mengusap mata.
"Teman-temanku lapar nih, Bu. Tolong masak kue bolu dong! Plis! Aku enggak bisa masaknya," mohon menantuku. Kata-katanya cukup sopan sih, pakai kata tolong. Tapi, dia tak seharusnya menyuruhku memasak untuk mereka yang tertawa menoton tivi. Beda kasus kalau Santi sedang sakit atau uzur lainnya.
"Pesan online aja, Nak," balasku, memandang gemas pada teman-temannya yang makan kuaci dan sampahnya sengaja di lempar di atas ambal. Persis seperti anak kecil yang lagi belajar sambil bermain.
"Boros, Bu. Mending Ibu yang masak, lebih enak juga," timpal Santi, tesenyum menyeringai.
Aku beranjak ke dapur dan menemukan meja yang berantakan dengan tepung dan juga telor yang sudah dipecahkan. Ooh, pantas saja dia menyuruhku membuat bolu. Santi mau mengerjaiku rupanya.
Lelaki yang baik akan berjodoh dengan yang baik. Jodoh adalah cerminan diri. Tapi, hal itu tidak berlaku pada jodohnya anakku. Istrinya Akmal ini lebih memilih menjadi sebesar-besar fitnah daripada sebaik-baik perhiasan dunia. Haruskah aku menyerah? Semoga Allah menguatkan hatiku sampai menantuku ini mendapat hidayah sebelum terlambat.
Aku menelpon Akmal yang langsung diangkat anak semata wayangku. Sengaja kupencet tombol louds agar Santi dan teman-temannya mendengar suara Akmal.
"Asalamualaikum, ibuku sayang. Ada apa? Apa Ibu butuh sesuatu atau memerlukanku sekarang?" ujar Akmal dengan suara yang riang di sana. Ia tahu kalau ibunya akan menelpon kalau memang ada yang perlu. Aku tersenyum melihat wajah Santi dan teman-temannya berubah pias.
"Walaikumsalam, anakku sayang. Ini loh, ternyata istri kamu minta diajari bikin bolu. Teman-temannya juga sekalian minta diajari. Nanti saat jam makan siang, kamu pulang sebentar ya, Nak. Usaha istri kamu patut dihargai loh," balasku. Akmal menyetujui dengan senang hati.
"San? Gimana nih? Kami pulang aja ya?" ujar teman menantuku yang tadi memakan kuaci.
"Enak saja, cepat kalian bersihkan sampahnya! Sindi! Cepat buka youtube cara membuat bolu. Ayo cepetan!" hardik Santi. Ia menjambak rambutnya, lantas beranjak ke dapur.
"Yang bersih dan enak ya, Nak! Ibu mau keluar sebentar. Oh iya, itu sampahnya diambil pakai tangan biar bersih," tandasku, lantas menyimpan semua sapu ke kamar.
Aku tertawa sekilas membayangkan betapa hebohnya mereka di rumah sekarang. Rumah mungkin lebih berantakan dari tadi, karena tidak ada satupun temannya Santi yang bisa melakukan pekerjaan rumah. Apalagi memunguti sampah kuaci yang kecil-kecil pakai tangan, pastinya sangat melelahkan.Duh, kasihan sekali. Besok-besok tidak usah bertamu ke rumah anak menantuku lagi jika dalam membuang sampah pada tempatnya saja mereka tidak lulus. Ngakunya lulusan universitas, tapi adabnya tidak ada. Bukankah orang yang beradab itu lebih tinggi derajatnya dari orang yang berilmu?Aku duduk di balai bambu yang sengaja minta dibuatkan pada Akmal saat pertama datang ke rumah ini. Lumayan bisa mengobati rinduku pada kampung halaman. Tempat ini sangat sejuk dan jadi favoritku karena letaknya di bawah pohon mangga dan rambutan cangkokan. Cukuplah untuk mengademkan hati saat melihat kelakuan menantuku yang menguras emosi."Ibuu! Bantuin!" seru Santi, meletakkan tangannya di atas balai bambu. Dia ngos-ngosan den
"Aku balik ke kantor dulu ya, Bu!" pamit anakku. Tak lupa dia selalu mencium pipi keriput ini. Sejak kecil, ini jadi kebiasaan kami, layaknya seperti kecanduan. Mungkin karena aku cuma punya satu anak, kami jadi sangat dekat. Mencukupi kebutuhannya itu prioritas, tapi kedekatan kami juga tak kalah penting.Ia pamit pada teman-teman Santi dan kami membiarkan menantuku mengantarkan Akmal sampai masuk ke mobil. Sejoli itu nampak bergurau sebentar sebelum akhirnya saling melambaikan tangan."Bu! Apa benar baju ini gak usah dibalikin? Ini masih baru loh," ujar Sindi. Mungkin mereka mulai menyukai baju itu karena beberapa kali kulihat para wanita muda itu mengambil foto bersama dengan berbagai gaya."Iya. Rejeki kalian. Kalian harusnya memakai pakaian seperti ini. Aura cantiknya keluar," pujiku. Wanita suka sekali dipuji dan ini memang benar bukan gombalan semata. Mataku lebih adem melihat pakaian mereka yang sopan seperti ini, apalagi saat bertamu ke rumah ini.Mereka kadang memakai baju u
"Hallo putri mama yang syantik. Gimana kabarnya, Sayang? Kamu enggak sakit hati kan tinggal sama mertuamu? Atau … dia pernah bicara kasar? Ih, kamu kok pake baju kayak gini? Gak modis tahu," cerocos besanku. Suaranya yang khas langsung kukenali dari dapur. Aku menghentikan langkah melihat Bu Lilis membolak-balik badan menantuku.Tidak ada salahnya perhatian pada anak sendiri? Apakah perlu sampai seperti itu? Selalu mertua yang jadi tersangka. Apa aku kelihatan seperti orang yang kasar?"Aku baik-baik saja, Ma. Gak usah berlebihan deh. Ada apa datang ke sini?" Santi balik nanya. Sepertinya Santi sudah terbiasa berkata kurang sopan sejak masih gadis. Anehnya, besanku malah tertawa."Belakangan ini kamu jarang nelpon sama Mama. Wajar dong kalau khawatir. Kamu itu putri ibu satu-satunya," balas besanku. Tak enak melihat mereka masih berdiri di teras, aku menghampiri dengan senyum terkembang.Aku dan Bu Lilis bisa dikatakan bernasib sama. Dia dan suaminya hanya memiliki Santi, sedangkan ak
"Kami keluar dulu ya, Ma, Bu. Mau cari makanan untuk kita," ujar Akmal, menggandeng tangan Santi. "Yang mama bilang tadi gimana, Akmal? Ada, kan?" tanya besanku, melirik sekilas padaku. "Ada, Bu. Kami sekalian mau beli makanan untuk Papa mertua," ujar anakku. "Eng-enggak usah, Nak Akmal. Tentu akan merepotkanmu. Kamu sudah capek pulang kerja, mama gak mau kalau kamu terlambat kerja besok," elak besanku. Harusnya dia senang kalau menantunya mau menjenguk, ini kok tidak diperbolehkan."Enggak apa-apa, Bu Besan. Akmal ini kan sudah tak punya Ayah. Dia sudah menganggap mertuanya sebagai ayahnya. Santi juga pasti khawatir dengan papanya yang sedang sakit. Walau niat kita agar tidak merepotkan mereka, tapi kita tak boleh menghalangi anak-anak untuk berbakti, Bu," ujarku menimpali."Iya, betul kata mertua Santi, Ma. Santi mau jenguk Papa. Masa karena aku sudah menikah, gak boleh lagi menjenguk Papa yang sakit," ujar menantuku. Bu Lilis tersenyum hambar dan melepas kepergian anak menantu k
"Sejak kapan Ibu punya ponsel kayak gini? Kok Akmal gak pernah lihat, Bu?" cecar anakku, membolak-balik ponsel dengan wallaper fotoku dan Bang Ande berdiri di kiri dan kanan Akmal saat wisuda. "Jangan dibuka, Bang! Itu kan privasi Ibu," larang Santi saat suaminya mulai mengutak-ngatik ponselku. Ah iya, aku baru ingat. Rekaman percakapan Santi saat berniat membuatku pulang kampung itu belum kuhapus. Santiku sudah mulai berubah dan aku tak mau kalau Akmal membenci istrinya. "Loh, kamu sudah tahu, San?" tanya Akmal. Menantuku mengangguk pelan. "Ini sudah lama, Nak. Maaf tidak memberi tahumu. Untuk komunikasi saja dengan teman-teman seangkatan ibu yang kebanyakan sudah PNS. Mereka ditugaskan di berbagai kota dan desa yang jauh. Kami tak bisa reunian lagi. Bisanya ya cuma melalui WA group. Bisalah mengobati kerinduan dengan teman-teman seperjuangan. Mereka kebanyakan sudah punya banyak cucu. Repot kalau mau reunian," jelasku seraya tersenyum.Akmal meletakkan ponsel itu dan memeluk ibu
"Santi? Kenapa kamu masuk kamar, Nak? Jangan takut, San! Om Arman itu orangnya baik. Dia tak akan melukaimu. Ibu juga akan melindungi kamu kok. Tidak akan terjadi apa-apa," ujarku, mengusap kepala menantuku yang meringkuk di atas ranjang. Dia masuk ke kamarnya dan Akmal saat mereka kupestakan di kampung ini. Kamar yang penataannya tak berubah sejak kami tinggalkan. Tidak ada debu yang menempel di sana, pasti karena Lita rajin membersihkan ruangan ini juga. "A-aku takut, Bu. Aku mengaku pernah salah. Ta-tapi aku menyesal, Bu," ujar Santi tergagap. Kesalahan apa yang dilakukan menantuku sampai Arman mengatakan kalau Santi tak punya adab? Kenapa menantuku ini begitu ketakutan? Kupeluk Santi dan mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang. Aku siap memasang badan agar pasangan hati anakku tidak terluka. Arman memang adikku. Kami memiliki pertalian darah. Tapi, Santi itu istri dari anakku. Aku harus bisa berdiri di tengah agar perselisihan mereka tidak menimbulkan kecemburuan. "Santi t
Aku dan Santi pamit pulang karena badan masih butuh istirahat. Tak lupa juga Lita kuajak tidur di rumah. Aku sudah merindukannya. Lita ini suka membaca, tapi kurang suka menulis. Dia lah yang memperkenalkanku dengan platform kepenulisan untuk mengusir kejenuhan. Siapa sangka, qku malah berpenghasilan dari sana. "Kita tidur di kamar ibu aja, ya," usulku. Karena Akmal dulu gak mau pisah tidur sampai remaja, tempat tidur kami yang terbuat dari papan didesain lebih luas. Muat lah untuk tiga orang dewasa."Santi tidur di kamar sebelah aja, Bu. Tadi udah janjian mau nelpon sama Bang Akmal. Nanti Ibu sama Lita terganggu," balas menantuku. Aku tersenyum dan mengiyakan. Mereka masih dimabuk asamara. Wajar kalau saling merindukan.Aku mengajak Lita ke kamar dan malam ini kami bisa bercerita dengan bebas. Aku sempat melihat perubahan ekspresi wajah Lita saat Santi bilang mau menelpon dengan suaminya. Apakah keponakanku ini masih kepikiran abang Akmalnya? "Sayang! Apa benar kamu menyukai Akmal?
"San! Santi! Buka pintunya, Nak!" seruku. Aku menekan gagang pintu dan ternyata tidak dikunci, lantas masuk ke dalam rumah. Santi sedang duduk di kursi rotan yang membelakangi pintu. "Pipimu terluka, San? Ya Allah, maafkan Ibu, San. Ibu akan ambilkan obat," ujarku panik sekaligus merasa bersalah. Sifat buruknya dahulu telah membuatku langsung curiga kalau dia masih angkuh dan licik.Astagfirullah! Wajar saja menantuku tadi langsung menghempaskan tangan Bu Darmi. Ternyata pipi Santi memerah dan sedikit terkelupas kulitnya. "Ibu sayang gak sih sama Santi? Kenapa membentakku di depan orang itu, Bu? Sakit hati ini lebih parah dari ini" ujar menantuku sambil menunjuk pipinya."Ibu minta maaf, Nak. Ibu khilaf dan spontan membentakmu. Mungkin karena melihat Bu Darmi yang sudah tua, ibu langsung terenyuh dan bersimpati padanya. Ibu juga terlalu fokus dengan ucapanmu yang terkesan sombong. Padahal, kamu hanya ingin membela diri," balasku sambil mengoleskan minyak akar tumbuhan ke pipi Santi.