Share

Tiga

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2023-04-10 14:38:03

"Kamu makin cantik kalau baju kayak gini, San! Kapan belinya?" ujar Akmal, masih dengan pakaian kerjanya. Aku memilih berdiri di teras memandang bunga-bunga yang bermekaran. Mereka masih muda, biarlah saling memuji agar cinta mereka makin erat.

"Tadi dibelikan Ibu. Ish, tapi kata teman-temanku, bajuku kelihatan jelek lah. Gak cocok sama aku yang modern. Selera Ibu payah," cibir menantuku.

Dari tadi dia tak bilang apa-apa dengan bajunya, sekarang mengeluh dan mulai mencemooh seleraku pada suaminya. Kamu maunya apa sih, menantuku? Apa kamu mau mengubahku jadi nenek sihir agar kamu takut padaku? Aku ingin disayangi dan juga disegani, bukan ditakuti. Tapi kalau begini keadaanya, mungkin aku memang harus menakutinya.

"Ini bagus kok, Sayang. Abang saja sampai mengira kalau kamu bidadari, tapi kok gak ada sayapnya ya?" balas Akmal.

"Ish, aku lagi sebel, tahu. Ibu tadi …."

"Akmal! Tahu gak tadi kalau Santi…?" ujarku memotong ucapan menantuku yang sepertinya mau menjelek-jelekkanku lagi.

"Ih Ibu jangan terlalu banyak gerak! Kan sudah capek tadi jalan-jalan di mall. Ibu itu ternyata gaul juga ya, Bang. Aku senang deh kalau jalan sama Ibu. Ayo duduk dulu, Bu. Ibu harus dipijit kakinya," potong Santi, mengajakku duduk di sofa. Tangannya yang halus memijiti kakiku dengan pelan. Dia pasti takut dengan ancamanku tadi yang bisa jadi senjata pamungkas. Rekaman rencana busuknya. Tapi sampai kapan harus begini?

"Akmal gak salah pilih kan, Bu? Santi istri dan menantu soleha," ujar anakku dengan bangga. Aku mengangguk, semoga saja ucapannya adalah doa yang makbul. Dia sedang menampik keraguanku dulu. Aku pernah menuntut Akmal untuk memberiku menantu soleha, minimalnya yang mau berubah dalam kebaikan. Ternyata keindahan wajah Santi berbanding terbalik dengan kelakuannya. Semoga saja dia bisa berubah nantinya.

Permintaanku tidak muluk-muluk. Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kelak jika mereka punya anak, aku ingin cucuku jadi anak yang soleh dan soleha.

Akmal bergegas ke kamar untuk berganti pakaian. Santi pun menghentikan pijitannya dan selonjoran di sampingku.

"Ibu jangan suka ngadu macam-macam sama suamiku, ya! Bisa-bisa aku menyuruh Bang Akmal memilih antara aku atau Ibu. Kalau sampai itu terjadi, Ibu pasti langsung dikirim ke kampung," ancam Santi dengan suara berbisik agar Akmal tak mendengarnya.

Aku tertawa miris. Aku termasuk orang tua yang tidak rewel. Ketika masakan Santi tidak cocok di lidah tuaku, aku tidak memintanya memasak rebusan dan sambal terasi. Aku yang melakukannya sendiri dan tetap memaksakan diri mencicipi masakannya.

Untuk keperluanku yang lain, tidak pernah aku merepotkan Santi. Lalu, kenapa di begitu tak suka kalau aku tinggal di rumah ini? Jujur, aku lebih suka tinggal di rumah masa kecil Akmal yang penuh dengan kenangan manis dan juga pahit. Tapi, aku tidak punya teman lagi di sana. Aku merindukan Akmalku.

"Kenapa malah ketawa, Bu? Pura-pura gila?" cetus Santi. Ya Allah, kasar sekali bahasa menantuku.

"Kamu sebaiknya berkaca, Santi. Akmal itu darah daging ibu. Mertua yang kamu benci ini merawatnya sejak kandungan. Kalian bertemu setelah dewasa dan mapan. Lalu, apa tidak boleh lagi wanita tua ini menikmati hari-hari bersama anaknya? Kamu cemburu pada ibu?" tanyaku pelan, mengontrol emosi agar tidak meledak-ledak.

Aku tidak takut ancaman menantuku. Akmal putraku yang penurut. Andai aku menolak melamar Santi waktu itu, Akmalku tidak akan berani melawan dan kawin lari seperti anak lelaki kebanyakan. Restuku sangat penting baginya. Begitu pun sekarang, aku yakin dia akan menuruti jika aku mengatakan tidak suka kalau Santi menjadi menantuku lagi. Tapi, apa yang kudapatkan dengan melakukan hal itu? Kemana akan kucari senyuman anakku yang hilang nantinya?

"Cemburu sama nenek-nenek? Gak level kali," cetus menantuku. Santi bergegas ke kamar meninggalkanku sendirian. Astagfirulloh. Aku jadi yakin kalau anakku tertipu dengan sikap awal Santi yang dilihatnya dulu.

***

"Wow? Rumah kalian sepi ya, San? Mana nenek lampir itu?"

"Palingan bertapa di kamar. Biasalah, sudah tua. Bawaannya mau tidur terus," fitnah menantuku. Aku yang sedang menulis cerita menghentikan aktivitasku. Tadi aku duduk di ruang tamu, berniat mengobrol dengan menantuku, tapi dia memilih keluar. Ternyata teman-temannya mau datang bertamu.

"Astaga! Jam segini masih tidur? Makin tambah banyak penyakit dong. Bisa-bisa kamu jadi perawat jompo nantinya," gelak temannya.

"Duh! Jangan bikin pusing deh. Bang Akmal kan keren, kirain ibunya itu kaya. Eeh tahunya mau numpang hidup sama anak menantu. Aku mau sama Bang Akmal karena menurut ceritanya, mertuaku tinggal di kampung. Artinya bebas dong tanpa ada mertua nyusahin. Eeeh, suamiku malah enggak bolehin ibunya tinggal sendirian. Bikin kesel kan? Tapi, aku akan bikin mertuaku gak betah di sini," balas Santi.

Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan menantuku. Apakah menantu zaman sekarang menganggap mertuanya sebagai musuh? Dulu aku sangat ingin punya mertua, tapi sayangnya suamiku yatim piatu.

"Bu! Bangun, Bu!" Menantu yang dicintai anakku menggedor pintu dengan kasar. Aku menyimpan ponsel canggihku dan mengantongi ponsel jadul, lantas membukakan pintu.

"Ada apa, San?" tanyaku tersenyum ramah sambil mengusap mata.

"Teman-temanku lapar nih, Bu. Tolong masak kue bolu dong! Plis! Aku enggak bisa masaknya," mohon menantuku. Kata-katanya cukup sopan sih, pakai kata tolong. Tapi, dia tak seharusnya menyuruhku memasak untuk mereka yang tertawa menoton tivi. Beda kasus kalau Santi sedang sakit atau uzur lainnya.

"Pesan online aja, Nak," balasku, memandang gemas pada teman-temannya yang makan kuaci dan sampahnya sengaja di lempar di atas ambal. Persis seperti anak kecil yang lagi belajar sambil bermain.

"Boros, Bu. Mending Ibu yang masak, lebih enak juga," timpal Santi, tesenyum menyeringai.

Aku beranjak ke dapur dan menemukan meja yang berantakan dengan tepung dan juga telor yang sudah dipecahkan. Ooh, pantas saja dia menyuruhku membuat bolu. Santi mau mengerjaiku rupanya.

Lelaki yang baik akan berjodoh dengan yang baik. Jodoh adalah cerminan diri. Tapi, hal itu tidak berlaku pada jodohnya anakku. Istrinya Akmal ini lebih memilih menjadi sebesar-besar fitnah daripada sebaik-baik perhiasan dunia. Haruskah aku menyerah? Semoga Allah menguatkan hatiku sampai menantuku ini mendapat hidayah sebelum terlambat.

Aku menelpon Akmal yang langsung diangkat anak semata wayangku. Sengaja kupencet tombol louds agar Santi dan teman-temannya mendengar suara Akmal.

"Asalamualaikum, ibuku sayang. Ada apa? Apa Ibu butuh sesuatu atau memerlukanku sekarang?" ujar Akmal dengan suara yang riang di sana. Ia tahu kalau ibunya akan menelpon kalau memang ada yang perlu. Aku tersenyum melihat wajah Santi dan teman-temannya berubah pias.

"Walaikumsalam, anakku sayang. Ini loh, ternyata istri kamu minta diajari bikin bolu. Teman-temannya juga sekalian minta diajari. Nanti saat jam makan siang, kamu pulang sebentar ya, Nak. Usaha istri kamu patut dihargai loh," balasku. Akmal menyetujui dengan senang hati.

"San? Gimana nih? Kami pulang aja ya?" ujar teman menantuku yang tadi memakan kuaci.

"Enak saja, cepat kalian bersihkan sampahnya! Sindi! Cepat buka youtube cara membuat bolu. Ayo cepetan!" hardik Santi. Ia menjambak rambutnya, lantas beranjak ke dapur.

"Yang bersih dan enak ya, Nak! Ibu mau keluar sebentar. Oh iya, itu sampahnya diambil pakai tangan biar bersih," tandasku, lantas menyimpan semua sapu ke kamar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Lanjuut... kerjain Sabti dengan halus
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   Selesai

    "Maaf, Bu! Kali ini jangan larang Akmal, Bu. Aku akan mengantar Santi pulang ke rumah orang tuanya dulu. Dia harus merenung apakah masih ingin membagi suka duka denganku atau mau bahagia sendiri dengan hidup barunya!" ujar anakku. Wajahnya terlihat tenang yang menandakan di mengambil keputusan ini dalam keadaan sadar dan sudah dipikirkan secara jernih."Aku pergi dulu, Bu. Santi sayang sama Ibu dan Noval, tapi Santi tidak siap kalau Bang Akmal keluar dari perusahaan. Orang-orang berlomba agar bisa masuk perusahaan bergengsi, Bang Akmal malah memilih pekerjaan yang gak jelas untung ruginya. Santi gak mau ambil resiko kalau harus bangkrut di kemudian hari. Santi mau nenangin diri dulu," ujar menantuku dengan mantap. Ia ciumi pipi Noval tanpa berniat membawa buah hatinya itu ikut dengannya.Aku membuang nafas perlahan. Mereka sudah dewasa dan bisa memikirkan apa yang terbaik untuk rumah tangga mereka. Semoga mereka hanya menjauh sementara untuk mengikat hubungan yang lebih erat. Aku tah

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   28

    "Noval! Ayo makan, Nak! Sini, mama kasih hape deh," seru Santi, menantuku yang semakin sibuk sekarang. Cucuku sudah lincah berjalan, bahkan berlari-lari. Wajahnya mirip seperti Akmal waktu kecil.Mendengar kata hape, Noval langsung mendekati Santi. Satu suapan masuk ke mulut mungilnya, lantas dia mengambil ponsel itu, lalu duduk dengan mata fokus memandang benda dengan radiasi tinggi itu."Jangan sogok pake hape, San! Sekarang aja dia terlihat mudah diatur dan tidak menyusahkan kalau dia sedang fokus menatap layar ponsel. Kalau dia semakin besar, kita juga yang susah mengaturnya karena efek kecanduan. Kamu juga gak mau kan kalau mata dan syarafnya rusak gara-gara memberikan ponsel sejak dini. Ibu sudah sering peringatin ini loh," tegurku hati-hati. Santi nyengir dan langsung mengambil benda pipih itu dari tangan Noval, lalu menyimpan ponselnya. Noval langsung menjerit melihat benda yang ia sukai itu telah diambil. Gegas kupeluk Noval dan memberikan mainannya yang lain.Aku yang lebih

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   27

    Semua mendadak hening karena mendengar suara ibu mertuaku. Mungkin karena kami sibuk cerita sampai tidak menyadari kalau ibu sudah berdiri di bibir pintu kamar.Sindi pun berjalan mendekati ibu sambil cengengesan."Eh, Bu Kahdijah yang baik hati. Baru bangun, Bu?" ujarnya masih cengegesan sambil menyentuh lengan mertuaku."Apa maksud omonganmu tadi, Sindi? Cepat jelaskan!" hardik ibu."Maafkan sikap Sindi hari itu ya, Bu. Itu cuma prank agar Santi mau memperhatikan badannya. Maaf ya, Bu! Hari itu saat kami datang, rambut Santi bau banget. Belum lagi ketiaknya, ih, gak banget. Kami aja sesama teman duduk sebentar dengannya sudah mau megap-megap. Apalagi Bang Akmal yang harus seranjang dengan Santi. Bisa pingsan dia," kekeh Sindi, nyengir ke arah mertuaku. Mungkin benar kata orang kalau bau badan kita, orang lain yang lebih tahu dari pada kita sendiri. Kebetulan juga mereka datang saat itu, aku memang belum mandi karena cuaca dingin. Ditambah mereka datang tidak mengabari sebelumnya. J

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   26

    "Ini minumnya, Bang. Gimana kerjaannya tadi? Semuanya lancar kan?" ujarku. Suamiku mengambil gelas di tangan seraya tersenyum."Alhamdulillah, lancar, Dek. Makasih ya," balas suamiku. Gelasnya menempel di bibir, tapi pandangannya tak berkedip melihatku. Begitu besar pengaruh merawat penampilan seperti yang mertuaku katakan. Satu hal yang kuabaikan semenjak melahirkan. Ini sudah hari ke dua puluh delapan setelah aku melahirkan anak kami, Noval. Akhir-akhir ini bang Akmal sedikit menjaga jarak dariku, mungkin karena aku malas menjaga penampilan. Ya walaupun sikapnya tetap manis, aku jadi yakin kalau suamiku kurang nyaman lama di dekatku.Soal Noval, sebagai ibu baru, aku tidak terlalu diberatkan olehnya karena mertuaku sangat telaten mengurus cucunya. Namun rasa malas mendera menjaga penampilan karena aku tidak kemana-mana. Hanya di rumah bersantai sambil memulihkan bekas sayatan yang membentang di perut.Bang Akmal juga tidak pernah protes ataupun mencerca. Namun setelah mendengar pe

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   25 B

    "Kamu hanya salah faham, San. Sindi dan Akmal itu cuma bicara tentang bisnis di sana. Kebetulan perusahaan milik keluarga Sindi bekerja sama dengan tempat suamimu bekerja. Kamu percaya kan dengan kesetiaan suami kamu?""Iya, Bu. Santi percaya kalau Bang Akmal hanya mencintaiku. Dia pasti akan menjaga pernikahan ini. Tapi sejak kapan Sindi mau kerja kantoran? Sedangkan tadi pagi dia ke sini dan berencana mau shoping dengan Laura" balas menantuku.Aku tersenyum sambil membingkai wajahnya dengan kedua tangan. "Mungkin jin malas yang menempel ditubuhnya jadi hilang setelah ibu siram. Akmal itu suami yang setia. Jadi kamu jagan menuduhnya lagi ya! Doakan saja. Ibu akan membantu untuk mengawal Akmal agar terbebas dari Sindi yang keganjenan itu. Kamu juga bebersih sana, dandan yang cantik. Jangan sampai Akmal membandingkanmu dengan wanita lain di luaran sana. Walaupun kamu masih nifas, tetap pastikan suamimu merasa betah dekat denganmu. Sana! Biar ibu yang jaga Noval," titahku.Santi mengang

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   25 A

    "Astaghfirulloh, Bu. Ibu kok sampai segitunya menanggapi ocehan Sindi. Dia itu sering bercanda. Masa' Ibu tidak bisa bedakan mana yang serius atau cuma sekadar candaan?" gelak Akmal setelah Santi menceritakan kejadian tadi pagi begitu suaminya pulang kerja. Akmal tidak percaya, malah terbahak-bahak hingga sudut matanya berair. Aku juga berharap kalau Sindi cuma bercanda, tapi melihat ekspresi dan jawabannya saat kusiram, Sindi memang memiliki perangai yang kurang baik. Selama ini dia baik padaku dan selalu berkata lemah lembut. Kalau tadi memang cuma gurauannya, Sindi tentu tertawa. Ah, aku pusing memikirkan pola pikiran anak zaman sekarang. Kalau memang ingin bahagia, kenapa harus merenggut kebahagian wanita lain, apalagi itu sahabatnya sendiri. "Tuh, Bu, Bang Akmal gak percaya. Aku jadi takut, Bu. Bagaimana nasib kita nantinya, Nak?" ujar Santi sambil mengamati bayinya. Cucuku menggeliat pelan, lalu tertidur lagi. "Udah, kamu tenang saja, San. Nanti ibu yang bicara sama A

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   24

    "Ibuuuuu!" seru Akmal begitu melihatku datang. Kulihal lelaki dewasa itu menangis, lalu menghambur ke pelukanku. Ya Allah, ada apa ini? Kenapa Akmalku menangis? Perasaanku tak enak, tapi tidak baik mendahului takdir dengan berburuk sangka sebelum tahu apa yang terjadi."Ada apa, Mal? Kenapa kamu menangis? Santi dan anak kalian baik-baik saja kan?" seruku panik. Kuusap kepalanya dengan harapan bisa mentrasfer kekuatan.Kulihat kedua besanku juga menangis sambil berpelukan. Hatiku semakin bergemuruh. Santi memang bukan anak kandungku, tapi aku berdoa untuk keselamatannya. Ya Allah, dosa apa yang kulakukan hingga menghalangi doaku dikabulkan? Ada apa dengan menantu dan cucuku?"Akmal! Jangan menakuti ibu. Ada apa ini?" ujarku lagi sambil mengguncang bahunya."Ibu sudah jadi nenek dan Akmal jadi ayah. Mereka berdua sehat wal afiat, Bu. Kami menangis karena terharu. Tadi sempat ada masalah, tapi semuanya sudah baik-baik saja. Akmal yakin kalau ini juga tidak terlepas dari doa Ibuku yang tu

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   23 B

    "Ibu ingat sama mendiang ayah mertua lagi, Bu?" cecar Santi saat menyadari aku menyusut bulir bening di pipi. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku lebih suka menangis haru daripada karena kesedihan sehingga ingatanku melambung ke almarhum suami karena ingin membagi bahagia, bukan duka lara."Ibu memang pecinta sejati. Sudah berbeda alam saja terus di kenang. Santi sering melihat pasangan yang suka membicarakan keburukan almarhum suaminya. Sedangkan Ibu sering menangis karena terkenang akan kebaikan ayah mertua. Bahkan aku belum pernah dengar dari Ibu ataupun Bang Akmal tentang kekurangan mendiang ayah mertua," ujar Santi, mengusap bahuku sembari mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja. Foto wisuda Akmal yang didampingi olehku dan suami selalu jadi pengobat rindu.Selain karena ada pendapat ulama yang melarang, aku memang tidak suka memajang foto siapa pun di dinding. Kalaupun banyak momen bahagia yang diabadikan dan dicetak dalam bentuk foto, aku menyimpannya dalam album. Itu se

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   23 A

    "Maaf ya, Pa, Akmal cuma bisa ngasih motor yang bekas," tutur Akmal, merasa bersalah. Padahal kalau melihat sikap mama mertuanya Akmal, memberikan motor itu harusnya ditunda dulu. Tapi itulah Akmalku, kami jadi pelengkap. Saat dia marah, aku berusaha meredam emosinya. Ketika aku jengkel tadi, Akmal menyentuh hati mertuanya dengan membeli motor itu sekarang. Kami belum merencanakan hal ini sebelum berangkat. Ah, Akmalku sayang, kamu memang sudah semakin dewasa. Kamu pantas jadi kepala keluarga dan akan segera bergelar ayah."Begini aja sudah alhamdulillah, Nak Akmal. Sebenarnya papa malu menerima pemberianmu ini. Kami masih mampu bekerja dan berusaha menabung agar membeli sendiri. Ini sih masih bagus luar dalam. Kami benar-benar mengucapkan terima kasih banyak buat Nak Akmal sama Bu Khadijah," ungkap Pak Wiro. Wajahnya ceria sekali sebagai ungkapan bahagia mendapat motor itu. Dia benar-benar berubah menjadi prubadi yang lebih baik.Motornya memang bekas, tapi masih layak dibawa jalan-

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status