Share

Lima

Author: Intan Resa
last update Huling Na-update: 2023-04-10 14:40:02

"Aku balik ke kantor dulu ya, Bu!" pamit anakku. Tak lupa dia selalu mencium pipi keriput ini. Sejak kecil, ini jadi kebiasaan kami, layaknya seperti kecanduan. Mungkin karena aku cuma punya satu anak, kami jadi sangat dekat. Mencukupi kebutuhannya itu prioritas, tapi kedekatan kami juga tak kalah penting.

Ia pamit pada teman-teman Santi dan kami membiarkan menantuku mengantarkan Akmal sampai masuk ke mobil. Sejoli itu nampak bergurau sebentar sebelum akhirnya saling melambaikan tangan.

"Bu! Apa benar baju ini gak usah dibalikin? Ini masih baru loh," ujar Sindi. Mungkin mereka mulai menyukai baju itu karena beberapa kali kulihat para wanita muda itu mengambil foto bersama dengan berbagai gaya.

"Iya. Rejeki kalian. Kalian harusnya memakai pakaian seperti ini. Aura cantiknya keluar," pujiku. Wanita suka sekali dipuji dan ini memang benar bukan gombalan semata. Mataku lebih adem melihat pakaian mereka yang sopan seperti ini, apalagi saat bertamu ke rumah ini.

Mereka kadang memakai baju udah ngepas di badan dan tidak tertutupi sampai pant@t. Aku tak bisa mengubah dunia, tapi minimalnya bisa sedikit berkontribusi baik bagi kesehatan iman anak dan menantuku. Akmal kadang harus bertemu dengan mereka, gak rela kalau mata indahnya anakku tak sengaja berbuat dosa. Setidaknya, aku berusaha.

"Bu! Anak Bu Khadijah masih ada gak sih? Pengen dijadiin mantu deh sama Ibu yang cantik ini," bisik Laura, tersenyum malu. Setelah aku memberikan baju tadi, mereka terus memperkenalkan diri agar aku mengingat namanya. Hmm, ternyata mau dijadiin mantu.

"Ish, aku pun maulah kalau masih ada, Bu!" Ningsih menimpali. Dia berjongkok dan menyentuh tanganku.

"Aku juga, biar kita punya mertua yang sama," ujar Dila tak mau ketinggalan.

"Iya, kayaknya seru deh. Mertua gaul kayak gini ya, kan. Disayang terus," seru Sindi, mengamit lenganku. Aku mendadak merasa seperti selebriti yang dikelilingi para penggemar. Aku tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Ibu ini orang miskin, Nak. Cuma punya Akmal. Dia anak satu-satunya ibu. Siapa pun jodoh kalian, kenalkan sama ibu nanti. Anggap saja saya ibunya suami kalian," balasku tersenyum ramah. Ya Allah, bukannya aku tak bersyukur dengan anak yang Engkau amanahkan cuma satu. Tapi, melihat anak-anak perempuan yang mencoba mengambil hatiku ini, mendadak pengen punya banyak anak. Maafkan hambamu yang kurang bersyukur ini ya, Allah.

"Hei! Kalian sedang bisik-bisik tentang apaan? Ceritain aku, ya? Ghibah? Biarin aja, pahala kalian bisa jadi bagianku. Lumayan," celetuk menantuku. Wajahnya tidak ramah.

"Geer! Siapa juga yang ceritain kamu," balas Laura, lantas tertawa.

"Kita ke kamarku, yuk!" ajak Santi. Keempat temannya berdiri, tapi kutahan.

"Kamu sudah menikah, San. Kamar kalian itu privasi berdua. Kalian di sini saja biar ibu yang ke kamar," ucapku. Santi menggendikkan bahu, lalu duduk di sofa, memutar video dari laptop. Aku masuk ke kamar untuk melanjutkan tulisanku.

***

"Kenapa sih aku cuma dapat segini, Bang? Gaji Abang kan, besar? Apa sisanya ibu kamu yang pegang? Kenapa sih nguasain harta anaknya terus?" seru menantuku.

"Kecilkan suaramu, San! Ibu bisa sakit hati kalau kamu bicara seperti ini. Ibuku ibumu juga. Hormati ibuku seperti aku menghormatinya. Tidak ada mantan ibu, tapi kalau istri bisa ditambah atau diganti," hardik anakku. Aku lekas menoleh mendengar suara anakku yang meninggi.

Aku tidak pernah mengajarkn Akmalku bicara kasar pada 'tulang rusuk' yang pada dasarnya memang bengkok. Dia menoleh padaku yang sedang minum teh di depan televisi. Aku dan matanya bersiborok, lalu dia menunduk.

Aku berdiri dan duduk di teras, memandangi jalanan, pura-pura tidak mau tahu dengan perdebatan mereka. Kalau mereka bisa selesaikan sendiri, aku tidak perlu ikut campur.

"Ini untuk pegangan kamu, San, di luar belanja. Kalau memang kurang, kamu tinggal minta. Ibu aku kasih juga untuk pegangan. Ini kota, mana tahu ibu pengen sesuatu, gak mesti minta uang lagi sama kita. Coba deh berpikir positif! Ibuku itu wanita terbaik di yang pernah kukenal sampai abang seusia ini. Ibu tidak menyimpan semua uang Abang. Sisanya tersimpan rapi di bank agar kita punya tabungan, Sayang," ungkap Akmal. Suaranya makin lembut.

Aku tidak mendengar suara Santi lagi. Hanya bunyi pintu kamar yang ditutup dengan keras yang memberitahu kalau menantuku masuk kamar.

"Ibuku sayang, kenapa pindah ke luar sih? Ke dalam yuk!" tutur Akmal. Cepat kuusap sudut mata agar anakku tidak melihat bulir bening di sana.

"Di sini lebih sejuk, Nak," balasku dengan senyum terkembang. Ia berjongkok dan merebahkan kepalanya di lututku.

"Maafkan Akmal tidak bisa memberikan menantu yang soleha buat wanita sebaik Ibu. Maafkan aku, Bu! Katakan, apa yang harus kulakukan, Bu?" isak Akmal sambil menciumi tangan keriput ibunya ini. Aku mengusap kepalanya, dan menepuk-nepuk pelan punggungnya.

"Kamu jangan terlalu meninggikan Ibu dan merendahkan istrimu, Nak! Santi itu istri soleha dan sedang berusaha menjadi menantu yang baik untuk Ibu. Kalian perbaiki komunikasi kalian, ya! Kamu sebagai kepala keluarga kadang harus bisa bersikap lunak dan di lain waktu harus tegas. Sudah, kamu temui istrimu sana! Ibu gak suka kalau kalian bertengkar," titahku, dengan seulas senyum. Akmal memelukku, lalu menuruti ucapanku.

Suka duka memiliki menantu ternyata begini rasanya. Pantas saja banyak para mertua di kampungku yang tidak tahan tinggal dengan anak menantu mereka. Setelah hidup berjauhan juga, mereka makin melupakan. Hanya suara dari sambungan telepon yang sesekali mengobati rindu. Ah, aku tidak akan tahan menahan rindu sendirian di rumah, sedangkan aku sudah punya menantu. Aku akan tetap di sini, Nak. Mengawal kalian agar tidak melupakan wanita tua ini.

***

"Bu! Apakah semua mertua ingin dekat anak menantunya?" celetuk Santi. Aku terkejut. Tak biasanya dia mau bicara duluan padaku di saat Akmal tidak ada di rumah.

"Sebagian. Kalau ibu sih pengen selalu bersama kalian," balasku, menghentikan kegiatanku membaca terjemahan Al-Qur'an.

"Apakah semua mertua ingin menguasai uang anaknya?" tanyanya lagi.

"Ada sebagian, Nak. Tapi ibu tidak akan melakukan hal itu. Ibu sudah tua, tak punya keinginan dunia yang berlebihan lagi," balasku, tetap tersenyum.

"Makasih ya, Bu! Mulai saat ini, aku akan menyayangi Ibu. Saat Bang Akmal lagi kesal padaku, Ibu tidak kesempatan menghasutnya untuk meninggalkanku. Aku mungkin telah salah sangka selama ini sama Ibu. Maafkan Santi ya, Bu," lirih menantuku. Walau merasa ucapannya tidak bisa ia pertanggungjawabkan sepenuhnya, aku tetap senang mendengarnya.

"Ibu mendoakan agar kamu istiqomah dengan ucapanmu, Nak. Ibu juga menyayangimu," balasku, memeluknya dengan mata berkaca-kaca.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Kok tiba2... ga ada angin ga ada badai, Santi berubah mendadak????
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   Selesai

    "Maaf, Bu! Kali ini jangan larang Akmal, Bu. Aku akan mengantar Santi pulang ke rumah orang tuanya dulu. Dia harus merenung apakah masih ingin membagi suka duka denganku atau mau bahagia sendiri dengan hidup barunya!" ujar anakku. Wajahnya terlihat tenang yang menandakan di mengambil keputusan ini dalam keadaan sadar dan sudah dipikirkan secara jernih."Aku pergi dulu, Bu. Santi sayang sama Ibu dan Noval, tapi Santi tidak siap kalau Bang Akmal keluar dari perusahaan. Orang-orang berlomba agar bisa masuk perusahaan bergengsi, Bang Akmal malah memilih pekerjaan yang gak jelas untung ruginya. Santi gak mau ambil resiko kalau harus bangkrut di kemudian hari. Santi mau nenangin diri dulu," ujar menantuku dengan mantap. Ia ciumi pipi Noval tanpa berniat membawa buah hatinya itu ikut dengannya.Aku membuang nafas perlahan. Mereka sudah dewasa dan bisa memikirkan apa yang terbaik untuk rumah tangga mereka. Semoga mereka hanya menjauh sementara untuk mengikat hubungan yang lebih erat. Aku tah

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   28

    "Noval! Ayo makan, Nak! Sini, mama kasih hape deh," seru Santi, menantuku yang semakin sibuk sekarang. Cucuku sudah lincah berjalan, bahkan berlari-lari. Wajahnya mirip seperti Akmal waktu kecil.Mendengar kata hape, Noval langsung mendekati Santi. Satu suapan masuk ke mulut mungilnya, lantas dia mengambil ponsel itu, lalu duduk dengan mata fokus memandang benda dengan radiasi tinggi itu."Jangan sogok pake hape, San! Sekarang aja dia terlihat mudah diatur dan tidak menyusahkan kalau dia sedang fokus menatap layar ponsel. Kalau dia semakin besar, kita juga yang susah mengaturnya karena efek kecanduan. Kamu juga gak mau kan kalau mata dan syarafnya rusak gara-gara memberikan ponsel sejak dini. Ibu sudah sering peringatin ini loh," tegurku hati-hati. Santi nyengir dan langsung mengambil benda pipih itu dari tangan Noval, lalu menyimpan ponselnya. Noval langsung menjerit melihat benda yang ia sukai itu telah diambil. Gegas kupeluk Noval dan memberikan mainannya yang lain.Aku yang lebih

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   27

    Semua mendadak hening karena mendengar suara ibu mertuaku. Mungkin karena kami sibuk cerita sampai tidak menyadari kalau ibu sudah berdiri di bibir pintu kamar.Sindi pun berjalan mendekati ibu sambil cengengesan."Eh, Bu Kahdijah yang baik hati. Baru bangun, Bu?" ujarnya masih cengegesan sambil menyentuh lengan mertuaku."Apa maksud omonganmu tadi, Sindi? Cepat jelaskan!" hardik ibu."Maafkan sikap Sindi hari itu ya, Bu. Itu cuma prank agar Santi mau memperhatikan badannya. Maaf ya, Bu! Hari itu saat kami datang, rambut Santi bau banget. Belum lagi ketiaknya, ih, gak banget. Kami aja sesama teman duduk sebentar dengannya sudah mau megap-megap. Apalagi Bang Akmal yang harus seranjang dengan Santi. Bisa pingsan dia," kekeh Sindi, nyengir ke arah mertuaku. Mungkin benar kata orang kalau bau badan kita, orang lain yang lebih tahu dari pada kita sendiri. Kebetulan juga mereka datang saat itu, aku memang belum mandi karena cuaca dingin. Ditambah mereka datang tidak mengabari sebelumnya. J

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   26

    "Ini minumnya, Bang. Gimana kerjaannya tadi? Semuanya lancar kan?" ujarku. Suamiku mengambil gelas di tangan seraya tersenyum."Alhamdulillah, lancar, Dek. Makasih ya," balas suamiku. Gelasnya menempel di bibir, tapi pandangannya tak berkedip melihatku. Begitu besar pengaruh merawat penampilan seperti yang mertuaku katakan. Satu hal yang kuabaikan semenjak melahirkan. Ini sudah hari ke dua puluh delapan setelah aku melahirkan anak kami, Noval. Akhir-akhir ini bang Akmal sedikit menjaga jarak dariku, mungkin karena aku malas menjaga penampilan. Ya walaupun sikapnya tetap manis, aku jadi yakin kalau suamiku kurang nyaman lama di dekatku.Soal Noval, sebagai ibu baru, aku tidak terlalu diberatkan olehnya karena mertuaku sangat telaten mengurus cucunya. Namun rasa malas mendera menjaga penampilan karena aku tidak kemana-mana. Hanya di rumah bersantai sambil memulihkan bekas sayatan yang membentang di perut.Bang Akmal juga tidak pernah protes ataupun mencerca. Namun setelah mendengar pe

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   25 B

    "Kamu hanya salah faham, San. Sindi dan Akmal itu cuma bicara tentang bisnis di sana. Kebetulan perusahaan milik keluarga Sindi bekerja sama dengan tempat suamimu bekerja. Kamu percaya kan dengan kesetiaan suami kamu?""Iya, Bu. Santi percaya kalau Bang Akmal hanya mencintaiku. Dia pasti akan menjaga pernikahan ini. Tapi sejak kapan Sindi mau kerja kantoran? Sedangkan tadi pagi dia ke sini dan berencana mau shoping dengan Laura" balas menantuku.Aku tersenyum sambil membingkai wajahnya dengan kedua tangan. "Mungkin jin malas yang menempel ditubuhnya jadi hilang setelah ibu siram. Akmal itu suami yang setia. Jadi kamu jagan menuduhnya lagi ya! Doakan saja. Ibu akan membantu untuk mengawal Akmal agar terbebas dari Sindi yang keganjenan itu. Kamu juga bebersih sana, dandan yang cantik. Jangan sampai Akmal membandingkanmu dengan wanita lain di luaran sana. Walaupun kamu masih nifas, tetap pastikan suamimu merasa betah dekat denganmu. Sana! Biar ibu yang jaga Noval," titahku.Santi mengang

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   25 A

    "Astaghfirulloh, Bu. Ibu kok sampai segitunya menanggapi ocehan Sindi. Dia itu sering bercanda. Masa' Ibu tidak bisa bedakan mana yang serius atau cuma sekadar candaan?" gelak Akmal setelah Santi menceritakan kejadian tadi pagi begitu suaminya pulang kerja. Akmal tidak percaya, malah terbahak-bahak hingga sudut matanya berair. Aku juga berharap kalau Sindi cuma bercanda, tapi melihat ekspresi dan jawabannya saat kusiram, Sindi memang memiliki perangai yang kurang baik. Selama ini dia baik padaku dan selalu berkata lemah lembut. Kalau tadi memang cuma gurauannya, Sindi tentu tertawa. Ah, aku pusing memikirkan pola pikiran anak zaman sekarang. Kalau memang ingin bahagia, kenapa harus merenggut kebahagian wanita lain, apalagi itu sahabatnya sendiri. "Tuh, Bu, Bang Akmal gak percaya. Aku jadi takut, Bu. Bagaimana nasib kita nantinya, Nak?" ujar Santi sambil mengamati bayinya. Cucuku menggeliat pelan, lalu tertidur lagi. "Udah, kamu tenang saja, San. Nanti ibu yang bicara sama A

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   24

    "Ibuuuuu!" seru Akmal begitu melihatku datang. Kulihal lelaki dewasa itu menangis, lalu menghambur ke pelukanku. Ya Allah, ada apa ini? Kenapa Akmalku menangis? Perasaanku tak enak, tapi tidak baik mendahului takdir dengan berburuk sangka sebelum tahu apa yang terjadi."Ada apa, Mal? Kenapa kamu menangis? Santi dan anak kalian baik-baik saja kan?" seruku panik. Kuusap kepalanya dengan harapan bisa mentrasfer kekuatan.Kulihat kedua besanku juga menangis sambil berpelukan. Hatiku semakin bergemuruh. Santi memang bukan anak kandungku, tapi aku berdoa untuk keselamatannya. Ya Allah, dosa apa yang kulakukan hingga menghalangi doaku dikabulkan? Ada apa dengan menantu dan cucuku?"Akmal! Jangan menakuti ibu. Ada apa ini?" ujarku lagi sambil mengguncang bahunya."Ibu sudah jadi nenek dan Akmal jadi ayah. Mereka berdua sehat wal afiat, Bu. Kami menangis karena terharu. Tadi sempat ada masalah, tapi semuanya sudah baik-baik saja. Akmal yakin kalau ini juga tidak terlepas dari doa Ibuku yang tu

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   23 B

    "Ibu ingat sama mendiang ayah mertua lagi, Bu?" cecar Santi saat menyadari aku menyusut bulir bening di pipi. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku lebih suka menangis haru daripada karena kesedihan sehingga ingatanku melambung ke almarhum suami karena ingin membagi bahagia, bukan duka lara."Ibu memang pecinta sejati. Sudah berbeda alam saja terus di kenang. Santi sering melihat pasangan yang suka membicarakan keburukan almarhum suaminya. Sedangkan Ibu sering menangis karena terkenang akan kebaikan ayah mertua. Bahkan aku belum pernah dengar dari Ibu ataupun Bang Akmal tentang kekurangan mendiang ayah mertua," ujar Santi, mengusap bahuku sembari mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja. Foto wisuda Akmal yang didampingi olehku dan suami selalu jadi pengobat rindu.Selain karena ada pendapat ulama yang melarang, aku memang tidak suka memajang foto siapa pun di dinding. Kalaupun banyak momen bahagia yang diabadikan dan dicetak dalam bentuk foto, aku menyimpannya dalam album. Itu se

  • Mertua Cerdas VS Menantu Licik   23 A

    "Maaf ya, Pa, Akmal cuma bisa ngasih motor yang bekas," tutur Akmal, merasa bersalah. Padahal kalau melihat sikap mama mertuanya Akmal, memberikan motor itu harusnya ditunda dulu. Tapi itulah Akmalku, kami jadi pelengkap. Saat dia marah, aku berusaha meredam emosinya. Ketika aku jengkel tadi, Akmal menyentuh hati mertuanya dengan membeli motor itu sekarang. Kami belum merencanakan hal ini sebelum berangkat. Ah, Akmalku sayang, kamu memang sudah semakin dewasa. Kamu pantas jadi kepala keluarga dan akan segera bergelar ayah."Begini aja sudah alhamdulillah, Nak Akmal. Sebenarnya papa malu menerima pemberianmu ini. Kami masih mampu bekerja dan berusaha menabung agar membeli sendiri. Ini sih masih bagus luar dalam. Kami benar-benar mengucapkan terima kasih banyak buat Nak Akmal sama Bu Khadijah," ungkap Pak Wiro. Wajahnya ceria sekali sebagai ungkapan bahagia mendapat motor itu. Dia benar-benar berubah menjadi prubadi yang lebih baik.Motornya memang bekas, tapi masih layak dibawa jalan-

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status