Share

Lima

"Aku balik ke kantor dulu ya, Bu!" pamit anakku. Tak lupa dia selalu mencium pipi keriput ini. Sejak kecil, ini jadi kebiasaan kami, layaknya seperti kecanduan. Mungkin karena aku cuma punya satu anak, kami jadi sangat dekat. Mencukupi kebutuhannya itu prioritas, tapi kedekatan kami juga tak kalah penting.

Ia pamit pada teman-teman Santi dan kami membiarkan menantuku mengantarkan Akmal sampai masuk ke mobil. Sejoli itu nampak bergurau sebentar sebelum akhirnya saling melambaikan tangan.

"Bu! Apa benar baju ini gak usah dibalikin? Ini masih baru loh," ujar Sindi. Mungkin mereka mulai menyukai baju itu karena beberapa kali kulihat para wanita muda itu mengambil foto bersama dengan berbagai gaya.

"Iya. Rejeki kalian. Kalian harusnya memakai pakaian seperti ini. Aura cantiknya keluar," pujiku. Wanita suka sekali dipuji dan ini memang benar bukan gombalan semata. Mataku lebih adem melihat pakaian mereka yang sopan seperti ini, apalagi saat bertamu ke rumah ini.

Mereka kadang memakai baju udah ngepas di badan dan tidak tertutupi sampai pant@t. Aku tak bisa mengubah dunia, tapi minimalnya bisa sedikit berkontribusi baik bagi kesehatan iman anak dan menantuku. Akmal kadang harus bertemu dengan mereka, gak rela kalau mata indahnya anakku tak sengaja berbuat dosa. Setidaknya, aku berusaha.

"Bu! Anak Bu Khadijah masih ada gak sih? Pengen dijadiin mantu deh sama Ibu yang cantik ini," bisik Laura, tersenyum malu. Setelah aku memberikan baju tadi, mereka terus memperkenalkan diri agar aku mengingat namanya. Hmm, ternyata mau dijadiin mantu.

"Ish, aku pun maulah kalau masih ada, Bu!" Ningsih menimpali. Dia berjongkok dan menyentuh tanganku.

"Aku juga, biar kita punya mertua yang sama," ujar Dila tak mau ketinggalan.

"Iya, kayaknya seru deh. Mertua gaul kayak gini ya, kan. Disayang terus," seru Sindi, mengamit lenganku. Aku mendadak merasa seperti selebriti yang dikelilingi para penggemar. Aku tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Ibu ini orang miskin, Nak. Cuma punya Akmal. Dia anak satu-satunya ibu. Siapa pun jodoh kalian, kenalkan sama ibu nanti. Anggap saja saya ibunya suami kalian," balasku tersenyum ramah. Ya Allah, bukannya aku tak bersyukur dengan anak yang Engkau amanahkan cuma satu. Tapi, melihat anak-anak perempuan yang mencoba mengambil hatiku ini, mendadak pengen punya banyak anak. Maafkan hambamu yang kurang bersyukur ini ya, Allah.

"Hei! Kalian sedang bisik-bisik tentang apaan? Ceritain aku, ya? Ghibah? Biarin aja, pahala kalian bisa jadi bagianku. Lumayan," celetuk menantuku. Wajahnya tidak ramah.

"Geer! Siapa juga yang ceritain kamu," balas Laura, lantas tertawa.

"Kita ke kamarku, yuk!" ajak Santi. Keempat temannya berdiri, tapi kutahan.

"Kamu sudah menikah, San. Kamar kalian itu privasi berdua. Kalian di sini saja biar ibu yang ke kamar," ucapku. Santi menggendikkan bahu, lalu duduk di sofa, memutar video dari laptop. Aku masuk ke kamar untuk melanjutkan tulisanku.

***

"Kenapa sih aku cuma dapat segini, Bang? Gaji Abang kan, besar? Apa sisanya ibu kamu yang pegang? Kenapa sih nguasain harta anaknya terus?" seru menantuku.

"Kecilkan suaramu, San! Ibu bisa sakit hati kalau kamu bicara seperti ini. Ibuku ibumu juga. Hormati ibuku seperti aku menghormatinya. Tidak ada mantan ibu, tapi kalau istri bisa ditambah atau diganti," hardik anakku. Aku lekas menoleh mendengar suara anakku yang meninggi.

Aku tidak pernah mengajarkn Akmalku bicara kasar pada 'tulang rusuk' yang pada dasarnya memang bengkok. Dia menoleh padaku yang sedang minum teh di depan televisi. Aku dan matanya bersiborok, lalu dia menunduk.

Aku berdiri dan duduk di teras, memandangi jalanan, pura-pura tidak mau tahu dengan perdebatan mereka. Kalau mereka bisa selesaikan sendiri, aku tidak perlu ikut campur.

"Ini untuk pegangan kamu, San, di luar belanja. Kalau memang kurang, kamu tinggal minta. Ibu aku kasih juga untuk pegangan. Ini kota, mana tahu ibu pengen sesuatu, gak mesti minta uang lagi sama kita. Coba deh berpikir positif! Ibuku itu wanita terbaik di yang pernah kukenal sampai abang seusia ini. Ibu tidak menyimpan semua uang Abang. Sisanya tersimpan rapi di bank agar kita punya tabungan, Sayang," ungkap Akmal. Suaranya makin lembut.

Aku tidak mendengar suara Santi lagi. Hanya bunyi pintu kamar yang ditutup dengan keras yang memberitahu kalau menantuku masuk kamar.

"Ibuku sayang, kenapa pindah ke luar sih? Ke dalam yuk!" tutur Akmal. Cepat kuusap sudut mata agar anakku tidak melihat bulir bening di sana.

"Di sini lebih sejuk, Nak," balasku dengan senyum terkembang. Ia berjongkok dan merebahkan kepalanya di lututku.

"Maafkan Akmal tidak bisa memberikan menantu yang soleha buat wanita sebaik Ibu. Maafkan aku, Bu! Katakan, apa yang harus kulakukan, Bu?" isak Akmal sambil menciumi tangan keriput ibunya ini. Aku mengusap kepalanya, dan menepuk-nepuk pelan punggungnya.

"Kamu jangan terlalu meninggikan Ibu dan merendahkan istrimu, Nak! Santi itu istri soleha dan sedang berusaha menjadi menantu yang baik untuk Ibu. Kalian perbaiki komunikasi kalian, ya! Kamu sebagai kepala keluarga kadang harus bisa bersikap lunak dan di lain waktu harus tegas. Sudah, kamu temui istrimu sana! Ibu gak suka kalau kalian bertengkar," titahku, dengan seulas senyum. Akmal memelukku, lalu menuruti ucapanku.

Suka duka memiliki menantu ternyata begini rasanya. Pantas saja banyak para mertua di kampungku yang tidak tahan tinggal dengan anak menantu mereka. Setelah hidup berjauhan juga, mereka makin melupakan. Hanya suara dari sambungan telepon yang sesekali mengobati rindu. Ah, aku tidak akan tahan menahan rindu sendirian di rumah, sedangkan aku sudah punya menantu. Aku akan tetap di sini, Nak. Mengawal kalian agar tidak melupakan wanita tua ini.

***

"Bu! Apakah semua mertua ingin dekat anak menantunya?" celetuk Santi. Aku terkejut. Tak biasanya dia mau bicara duluan padaku di saat Akmal tidak ada di rumah.

"Sebagian. Kalau ibu sih pengen selalu bersama kalian," balasku, menghentikan kegiatanku membaca terjemahan Al-Qur'an.

"Apakah semua mertua ingin menguasai uang anaknya?" tanyanya lagi.

"Ada sebagian, Nak. Tapi ibu tidak akan melakukan hal itu. Ibu sudah tua, tak punya keinginan dunia yang berlebihan lagi," balasku, tetap tersenyum.

"Makasih ya, Bu! Mulai saat ini, aku akan menyayangi Ibu. Saat Bang Akmal lagi kesal padaku, Ibu tidak kesempatan menghasutnya untuk meninggalkanku. Aku mungkin telah salah sangka selama ini sama Ibu. Maafkan Santi ya, Bu," lirih menantuku. Walau merasa ucapannya tidak bisa ia pertanggungjawabkan sepenuhnya, aku tetap senang mendengarnya.

"Ibu mendoakan agar kamu istiqomah dengan ucapanmu, Nak. Ibu juga menyayangimu," balasku, memeluknya dengan mata berkaca-kaca.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hany Mahanik
Kok tiba2... ga ada angin ga ada badai, Santi berubah mendadak????
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status