š
"BURUAAANNN!" teriak Gendis, wanita berusia lima puluh tahun berdiri berkacak pinggang di ruang tamu rumah dengan empat kamar.
"Ya ampun, Bu ... sabarrrr!" balas Nanda, anak keempatnya yang masih SMA kelas dua.
Grabak grubuk heboh di dalam rumah pasti terdengar setiap harinya. Tanpa terkecuali!
"Bu, santai sedikit, lah," bisik Agung, suaminya sembari menepuk bahu Gendis.
"Ssstt! Diem, kamu, Yah! Anak-anak kalau nggak diteriakin leletttt kayak siput! Kamu ke mobil duluan aja," perintah Gendis.
"Pake mobil yang mana, Bu?" Agung menghadap ke gandungan kunci kendaraan tergantung rapi.
"Truk pasir aja!" sahutnya enteng masih menatap empat anaknya yang mondar mandir, ada yang ambil sepatu, dandan tipis-tipis di meja makan, minum kopi sambil sisiran. Rame pokoknya rameee!
Agung hanya bisa tertawa pelan lantas berjalan ke garasi setelah membawa kunci.
"Abang Daffa! Mana topi toganya! Buruan itu kopi habisin! Yang mau wisuda geraknya lambat banget! Hih!" kesal Gendis seraya menghampiri Daffa yang kembali meneguk kopinya.
"Tau, lama banget lo, Bang?" sambar Raffa, adiknya yang sudah siap dengan batik lengan panjang.
"Bu, ayo!" panggil Nanda dan Kirana, anak keempat dan tiga yang sudah berdiri di teras rumah.
Daffa bangkit dari duduknya, ia ambil topi toga di dalam kamarnya. Raffa bersiap mengunci pintu rumah dan pagar.
"Raf! Kuncinya kasih ke satpam, Mbak Inong nanti dateng jam sembilan." Gendis membuka pintu depan mobil.
"Iya, Bu. Bang! Bantuin itu Ibu naik, awas buntut kebayanya nyangkut!" Raffa memberi peringatan. Daffa bergumam, ia bantu Gendis masuk ke dalam mobil juga merapikan kebaya ibunya.
Mobil alpart hitam akhirnya melaju di jalan tol. Sepanjang jalan sampai lokasi wisuda, Daffa sibuk bicara di telepon dengan kekasihnya. Kirana dan Nanda sampai bosan, jika Raffa ia tidur karena semalam habis rapat acara RT sampai jam sebelas malam.
"Udah dulu kali, Bang ... di sana Yasmin juga dateng, kan?" sindir Gendis.
Daffa memberitau Yasmin, lantas menyudahi obrolan di ponsel. "Iya, Bu. Bentar doang," sahutnya santai.
"Sebentar palamu benjut! Udah dua puluh tiga menit kamu ngobrol?!" celoteh Gendis sambil menunjukkan stopwatch ponselnya.
"Kamu itung, Bu?" Agung takjub.
"Iya, lah! Itu kuping Daffa apa nggak demam?" Gendis akan selalu sewot jika ada hal yang tak sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan berdasarkan rapat paripurna kelurga.
"Bu, gitu-gitu calon mantu, jangan galak-galak, lah?" sahut Daffa santai. Gendis menoleh ke belakang, Agung menatap dari spion tengah, Kirana dan Nanda saling menatap. Untuk Raffa, maaf, masih pules.
"Maksudnya?" tekan Daffa.
"Target Abang, setelah kerja setahun, mau lamar dia, Bu. Pacaran sama Yasmin udah dua tahun, cocok, mau apa lagi, kan?" Daffa senyam senyum puas.
"Ibu tanya sama kamu, Bang. Pertama, kamu kerja masih baru empat bulan dengan gaji lima juta. Kedua, masih kontrak enam bulan, belum tentu kamu diangkat jadi pegawai tetap. Ketiga, nggak ada ya kamu nikahin Yasmin kerjaan kamu belum tetap. Jangan bikin malu keluarga kita!" pelotot Gendis.
"Bu ... rejeki bisa ngalir sambil ibadah menikah, Bu ...," rengek Daffa.
"Betul, Bang. Masalahnya ini kamu ... kamu lho ... Daffa anak Ibu dan Ayah yang leletnyaaaa super! Berangkat kerja kalau nggak bareng Ayah bisa bedug dzuhur kamu sampe. Setiap hari Ibu bekalin makanan sama snack ngalahin cucunya Wanda yang udah SD kelas satu! Nggak pake ... nggak pake! Nikah lima tahun lagi. Umurmu pas dua enam!"
Raffa bergeliat, ia melirik Daffa lalu menepuk-nepuk bahu abangnya.
"Nurut, Bang. Dari pada lo dimasukin ke perut Ibu lagi. Udah gue nasehatin ngeyel sih," tukan Raffa.
"Tau lo, Bang. Ntar aja sih nikahnya. Sekarang mau wisuda aja Ibu segala pake acara syukuran kayak mau hajatan, apalagi lo nikah. Sebagai anak pertama mana mungkin Ibu bikin acara sederhana." Kirana mengingatkan Daffa.
"Udah ... jangan bahas nikah. Tuh, udah ramai, banyak orang. Diundangan cuma bisa orang tua yang masuk di kursi VIP. Raffa, Kirana dan Nanda masuk lewat pintu tamu umum, bayar, ya, Bang?" Agung memarkirkan mobil.
"Iya, Yah. Satu orang gocap." Daffa bersiap memakai topi toganya.
"Nih, Raf, pegang uangnya." Agung memberikan dua lembar seratus ribuan ke Raffa. Ia masukan uang ke dompetnya.
Gendis merapikan penampilannya, kebaya pink fusia cetar di mata siapapun yang memandang. Agung memakai setelan jas warna hitam berkemeja putih dipadu dasi warna fusia.
"Bu, Yah, nanti kalau disebutin nama Abang, sorak sorak gembira, ya," pinta Daffa.
Gendis melirik sebal. "Maaf, ya, Bang, attitude Ibu mahal," sahut Gendis mengamit lengan Daffa berjalan ke dalam gedung.
Gendis dan Agung duduk di kursi bagian depan. Keduanya menunggu para wisudawan dan wisudawati masuk.
"Ibu, orang tua siapa?" tegur seorang wanita di samping Gendis.
"Daffa Pradana, jurusan teknik sipil. Ibu?" balas Gendis.
"Saya Ibunya Firman Husada Putra, teknik sipil juga. Kayaknya temenan sama Daffa, ya?"
Gendis mengernyitkan kening. Firman mana, lupa juga Gendis, kan?
"Saya yang jualan buah di pasar, Bu."
Gendis terbelalak. "Ya ampun! Iya inget. Akhirnya ketemu kita. Apa kabar, Bu?" Keduanya bercipika cipiki. "Sehat?" Gendis tersenyum lebar.
"Sehat, Bu. Saya mau ucapin makasih ke Ibu, waktu itu pesen jeruk, apel, anggur sampai berpeti-peti. Makasih, ya."
Gendis tersenyum. "Sama-sama, kita sesama pedagang harus saling dukung. Lagian buahnya bagus-bagus."
"Iya, Bu. Pasti kualitas super yang saya pilih. Ngomong-ngomong, Ibu tau kalau Daffa cumlaude? Kata Firman, urutan pertama setelah itu Firman."
"Hah?" Gendis menganga. Ia sungguh tak percaya. Daffa, anak sulungnya yang terkenal manja dan lelet, kalau tidak dibawelin tidak akan gerak, bisa cumlaude?
Benar saja, saat nama Daffa dipanggil lengkap beserta title sarjana juga nilai cumlaude, Gendis hanya bisa tersenyum meringis keheranan sembari tepuk tangan. Sedangkan Agung begitu bangga dan haru.
Tiga adik Daffa, semua keheranan. Bak mimpi ternyata kakak sulungnya sepintar itu.
Selesai acara wisuda, di depan gedung tersebut Yasmin datang membawa buket bunga untuk Daffa.
Lirikan mata Gendis membuat Kirana menyikut lengan ibunya. "Bu, jangan gitu," bisik Kirana.
"Biarin. Ke acara wisuda masa pake bajunya kayak gitu. Kamu nggak lihat dressnya kayak menerawang. BHnya kemana-mana gitu. Buruan ke mobil. Kita ke studio foto!" ajak Gendis kesal.
"Tante, mau kemana?" sapa Yasmin.
"Ke mal. Mau ikut?" Gendis basa basi.
"Mm... nggak, Tante. Yasmin buru-buru mau pergi sama temen-temen. Tante Gendis sehat, kan?"
Gendis mengangguk. Ia lantas menarik Agung berjalan ke arah mobil. Mereka meninggalkan Daffa yang masih ngobrol dengan Yasmin.
***
"Anak sekarang emang kayak gitu, Dis. Kamu kayak nggak pernah muda," tegur Soraya. Teman satu arisan, satu klub jalan santai dan satu klub line dance.
"Enak aja memaklumi gaya anak sekarang apalagi sampe berani pake baju kayak gitu." Gendis bersingut sebal. "Apa orang tuanya nggak negur? Gemes aku, mau tak ceramahi."
"Jangan. Belum jadi mantumu. Kita tunggu Endah sama Yuni, setelah itu ke tempatmu." Soraya duduk kembali di sofa ruang tamu rumahnya.
"Mau ngapain ke tempatku? Reservasi arisan? Bosan, ah, jangan di tempatku," tolak Gendis.
"Bukan buat arisan, tapi buat acara lamaran keponakanku."
"Oh, yaudah kita ke sana. Eh, Ya. Aku bikin syukuran Daffa udah wisuda juga kali ya, undang warga satu RT aja, gimana?"
Soraya berpikir sejenak. "Mau ngapain? Kamu nanti dibilang pamer sama tetangga ujung. Si ratu julid lambe jeber."
"Syukuran sama dengan berbagi, Ya," bela Gendis.
"Bikin masi box, kamu taruh di masjid, bagi-bagi ke yang pulang jumatan. Lebih berkah. Lagian orang tau siapa kamu dan Agung, kok, butuh validasi apalagi?" Soraya merapikan tatanan rambutnya.
"Aku nggak mau validasi, cuma bentuk syukur anakku ada yang sudah sarjana." Gendis masih sedikit keras kepala.
Soraya tetap melarang, ia tak mau temannya jadi bahan gossip tetangga lagi karena dikit-dikit bikin acara ini dan itu. Biasa, kan, pembenci akan selalu ada.
"Daffa tau kamu nggak suka sama Yasmin?" Soraya kembali ke topik awal.
"Nggak. Kasihan. Biar aku perhatiin dulu sejauh mana sikap Yasmin. Mau jadi bagian keluargaku, nggak usah neko-neko. Sederhana dan apa adanya aja, bukan ada apanya."
Gendis sendiri pemilik rumah makan khas sunda, toko roti dan kue yang sudah sepuluh tahun berdiri.
Berawal dari iseng karena bosan di rumah, ia nekat minta izin Agung untuk buka usaha. Tabungan dikuras, menyisakan dana untuk hidup sehari-hari saja.
Ia rintis dari nol besar. Sedangka suaminya bekerja sebagai direktur keuangan perusahaan maskapai penerbangan.
Seharusnya mereka bisa membeli rumah mewah di kawasan elite, tapi bagi Gendis, hidup sewajarnya, beli mobil mewah jika mampu, jalan-jalan kemanapun jika mampu juga. Jangan sampai memaksakan diri.
Rumahnya juga sederhana, tak ada lampu kristal mahal, lantai marmer atau granit, semua apa adanya. Cenderung merendah.
Gendis berwatak keras, judes dan kalau sudah marah, cerewet tujuh hari tujuh malam sampai puas ia luapkan juga bisa.
Harapannya satu, anak-anak bahagia dengan cara yang baik juga wajar, maka ia akan bahagia. Pasalnya Gendis tau, mencapai kebahagiaan apalagi saat berumah tangga akan terjal jalanannya,
bersambung,
Halo, selamat membaca-----Seketika Daffa kepikiran dengan kata-kata Aisyah. Sambil berjalan mengekor sang istri masuk ke dalam rumah, Daffa tak sanggup menegur. Rasanya kalimatnya tertahan di kerongkongan. "Aku mau ke rumah Raffa, kamu mau ikut?" ajak Daffa saat Aisyah duduk di ruang makan menikmati jajanan yang dibeli. Ia hanya menjawab dengan gelengan kepala. Kursi meja makan diseret perlahan, Daffa duduk berjarak dengan Aisyah. "Aku tau Bariq suka sama kamu karena ada informan yang bilang, Syah."Aisyah melirik tajam sebelum kembali menatap layar TV yang menyala. "Aku nggak mau rumah tanggaku hancur lagi." Kepala Daffa sedikit menunduk, ia juga remas kedua jemari tangannya yang diletakkan di atas meja makan. Kembali hanya lirikan yang bisa Aisyah layangkan ke suaminya. Keduanya sama-sama diam bahkan hingga Aisyah selesai makan, tak ada pembicaraan lagi. Daffa beranjak cepat menuju kamar, sedangkan Aisyah menatap kosong ke arah tempat menjemur baju dari jendela dapur. "Mbak A
Aisyah akhirnya makan buah-buahan di rumah juga minum susu ibu hamil supaya asupan untuk bayi yang dikandungnya tetap terjaga. Gendis dan Agung sudah tidur, jadi Aisyah tak perlu cari alasan lagi kenapa makan sendirian. Daffa sendiri sedang keluar rumah, kumpul dengan teman masa kecilnya yang juga Aisyah tau.Ā Setelah Daffa pulang pukul sebelas malam, Aisyah masih terjaga sambil merapikan lemari pakaiannya. "Kenapa belum tidur?" tegur Daffa.Ā "Belum ngantuk." Aisyah melipat beberapa pakaiannya yang kurang rapi. "Tadi aku juga makan buah dulu, laper," sindir Aisyah mencoba memancing perhatian Daffa.Ā "Oh, sekarang udah kenyang?" Daffa merebahkan diri di ranjang.Ā "Lumayan. Belum makan nasi jadi masih sedikit laper." Aisyah bicara tapi sambil melipat pakaiannya.Ā "Mau beli? Aku pesenin biar diantar ojol." Daffa sudah meraih ponsel yang tadi ia letakkan di nakas samping ranjang.Ā "Mau." Aisyah tak menolak. Lalu ia ingat ada hal yang
Hai, maaf ya lama nggak update. Selamat membaca!Perkara niat mau membeli rumah KPR akhirnya Aisyah urungkan sementara karena kurang setuju jika Gendis, sang mertua ikut campur kesekian kalinya. Aisyah diberitahu Daffa jika akan ada acara ulang tahun perusahaan yang diadakan di hotel berbintang yang ada di pusat Jakarta. Sejak dua hari lalu, Daffa sudah memberikan undangannya ke Aisyah, bahkan ada dress code yang diwajibkan. Setelan jas warna coklat muda, kemeja putih, sepatu pantofel coklat tua sudah Aisyah siapkan untuk dipakai Daffa. Sedangkan dirinya, tak punya gaun malam. Lagi pula ia tak pernah mau memakainya karena terlalu ribet juga memperlihatkan lekuk tubuhnya, tak nyaman. Daffa masuk ke dalam kamar setelah selesai membantu Agung menyiram tanaman di depan sambil berbincang sore. Ia melirik ke Aisyah yang berdiri sambil mencari kerudung warna coklat muda senada dengan setelan jas yang akan dipakai Daffa. "Kamu nggak punya gaun pesta?" tegurnya pelan. Aisyah menoleh ke arah
šMengubah sifat manusia itu tidak akan semudah diharapkan. Tiga bulan tinggal bersama mertua, Aisyah dan Daffa masih berada di kondisi yang sama. Ditambah lagi Gendis setiap saat bisa dikatakan selalu bawel tentang banyak hal yang membuat Aisyah mulai tak bisa bergerak bebas. Pagi itu ia bangun lebih awal karena harus mandi besar setelah melayani Daffa malamnya. Daffa tidak kasar atau tergesa-gesa sehingga kandungan Aisyah aman-aman saja. Masih memakai handuk di kepala untuk mengeringkan rambut, Aisyah ingin memasak bekal Daffa kerja. Sedangkan untuk sarapan suaminya terbiasa hanya menikmati bubur gandum, susu dan roti selai kacang karena tak ada waktu jika sarapan berat. Ia harus naik kereta paling pagi sampai ke Bogor. Hal itu sudah dilakukan tiga bulan ini semenjak masa dinas di kota itu entah kepastian berakhirnya kapan. Aisyah menuang air panas ke dalam mangkuk berisi bubuk gandum, diaduk sebentar sebelum ditambah madu dan potongan buah pisang. Setelahnya diletakkan di mej
šKadar hemoglobin Aisyah rendah, hal itu yang menyebabkan ia jatuh pingsan. Hamil muda memang seringnya banyak yang mendadak darah rendah. Infusan dipasang di punggung tangan sebelah kiri. Aisyah masuk kamar rawat bersebelahan dengan kamar Adinda. Perlahan, ia membuka mata. Didapati Daffa duduk di samping ranjang sedang menatapnya intens. "A-ku, pingsan?" lirihnya parau. Daffa hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Oh," sambungnya lirih, lantas membuang pandangan ke arah lain. Ditatap seperti itu oleh Daffa rasanya hati Aisyah ketar ketir. "Hemoglobin kamu rendah, masa sampai enam. Kamu nggak minum vitamin dari dokter?" tegur Daffa. "Minum, kok. Kamu aja yang nggak pernah tau." Aisyah menjawab dengan takut-takut tapi jujur. "Semua marahin aku, Syah." Hela napas panjang terdengar, membuat Aisyah mau tak mau menoleh ke arah suaminya. "Mereka bilang aku nggak becus jadi suami, cuek ke kamu."Emang gitu, kan? Baru sadar kamu! batin Aisyah dongkol. "Ibu Laras tau kamu dirawat. Ibu
šMenyambut kelahiran cucu pasti keluarga senang, ya walau ada juga keluarga yang menganggap hal itu biasa saja. Gendis menyuruh suami bibi yang bekerja di rumah memindahkan barang Kirana ke kamar Nanda, lalu mengganti dengan beberapa barang kepunyaan Aisyah dan Daffa yang dibawa dari apartemen. "Bu, hari ini nggak masak, kan?" tukas bibi. "Nggak usah, Bi. Beli aja atau nanti saya minta karyawan rumah makan antar. Bibi lihat Aisyah kemana?" Sedari tadi Gendis memang tak lihat menantunya itu. "Aisyah ke rumah lama, katanya mau lihat aja."Gendis menghela napas panjang, ia tau Aisyah sedih karena rumah itu sudah dibeli orang lain. Laras minta menetap di kota pelajar bersama Nilam, lebih tenang katanya. "Mau saya susulin, Bu?" usul bibi. "Nggak usah. Biarin aja." Gendis memantau suami bibi menggeser meja rias sedangkan bibi merapikan pakaian Daffa dan Aisyah ke dalam lemari. Kirana yang kini tinggal di rumah Henggar bersama kedua mertuanya terlihat disambut dengan baik. Kirana te
š"Yakin mau ikut pindah?" Saat berjalan kaki dengan menenteng bubur ketan hitam, Daffa kembali memastikan kesiapan Aisyah. "Aku bisa aja lama di sana." Aisyah menoleh sejenak sebelum kembali menatap jalanan sepi di depannya. "Mas Daffa nggak suka aku ikut? Bukannya istri harus setia temani suaminya dinas kemanapun? Ya, kecuali kalau kamunya emang nggak mau karena bisa bebas.""Bebas maksudnya?" Daffa menghentikan langkah kakinya. Aisyah memijat pelipisnya sejenak sebelum berkata-kata. "Gini, Mas. Kita sama-sama tau kalau pernikahan ini karena Ibu. Bukan karena perasaan masing-masing kita. Mas Daffa sikapnya juga aneh, punya istri kayak nggak punya. Oke nggak apa-apa kalau emang kamu belum ada perasaan ke aku, tapi kenapa kamu hamilin aku?" tatap nanar Aisyah. Daffa diam saja. "Nggak bisa jawab apa nggak mau jawab apa emang aku dijadiin pelampiasan aja?" Aisyah lanjut berjalan, meninggalkan Daffa yang masih diam mematung. "Syah, aku juga bingung sama perasaan aku!" ujar Daffa sed
šPernikahan Kirana dan Henggar tinggal menghitung hari. Keluarga Daffa masih tidak tau jika Aisyah hamil. Rahasia itu tetap tersimpan rapat padahal Kirana gatal ingin membeberkan. "Mas Daffa, besok bisa temenin cek kandungan?" Aisyah menatap penuh kepasrahan. Sorot matanya sayu karena tau jawabannya Daffa apa. "Yah, besok, ya. Aku harus urus cuti dan kerjaan mau nggak mau dikejar. Kamu sendiri aja kayak biasanya bisa, kan? Aku transfer uangnya." Daffa meraih ponsel yang tergeletak di meja makan apartemen, tapi gerakannya ditahan Aisyah dengan tangan. "Nggak usah, Mas. Masih banyak uang dari kamu. Cukup. Mmm, kalau sekarang temenin aku beli makan malam sate padang di depan, mau?" Aisyah mencoba lagi. Daffa menatap sendu lalu menunjuk laptop yang menyala. "Oh, banyak ya kerjaannya. Yaudah nggak apa-apa, aku beli sendiri. Tadi Yasmin telepon, kasih tau kalau Raja nanti langsung ke tempat acara Kirana aja. Nggak bisa kalau nginep karena ada les piano sama renang." Aisyah meraih dom
š Agung sampai hampir tersedak saat Gendis cerita keributannya dengan Bu Sukun di tempat penjual bahan brokat dan kain. Sambil membersihkan tetesan kopi yang jatuh di celana pendek santainya dengan tisu, Agung menatap takjub karena istrinya tampak tenang. "Bu, kamu sama Bu Sukun nggak bisa akur sebentar? Ya memang, warga tau siapa dia apalagi banyak yang bilang suka omongin tetangga melulu."Gendis berdecak, "akur sama orang yang lidahnya enteng buat omongin si A, B, C muter lagi begitu-begitu aja nggak bisa dong, Yah. Sesekali kasih pelajaran! " Kalimat penuh penekanan itu dirasa ada benarnya. "Aku udah pernah tegur Pak Sukun, tapi dia nggak bisa apa-apa kecuali pasrah."Gendia tertawa meremehkan. "Itulah, Yah. Kalau suami apa-apa iya aja ke istrinya. Cuma dipake buat jadi sapi perah. Bu Sukun kalau suaminya nggak kasih apa yang dia mau, kan, suka cerita ke Bu Bagiyo sambil melas-melas nangis kayak hidupnya paling menderita sejagad raya. Habis itu, Bu Bagiyo nanti kasih salam tem