Tiga panggilan tak terjawab dari Azam, sengaja tidak mengangkatnya. Berkali-kali Mas Bo'eng dan keluarganya menyakitiku, perhatian Azam semakin membuatku tenggelam ke dalam cinta masa laluku."Angkat, loh. Itu Azam nelpon." Erna seperti gregetan melihatku, ia mencoba meraih ponsel tetapi aku menepis tangannya."Untuk apa diangkat? Aku takut," jawabku."Takut apa?" tanyanya. Dering teleponku sudah taj berbunyi. Pesan masuk bertubi-tubi dari Azam, hanya mengirimkan huruf "P" saja."Coba dibuka dan balas, kasian, loh."[P][P]Pesan "P" dari Azam, hingga 19 kali. Terlihat Azam sedang mengetik.Belum sempat membalas pesannya, ia mengirimkan kembali pesan baru. [July, ada apa? Kenapa gak mau angkat? Kamu marah?][Gak, Zam. Mana mungkin aku marah sama orang baik seperti kamu.][Besok kita bicarakan lagi, ya.] Pesan terakhir Azam."Erna, apa aku ini jahat?" tanyaku. Pandangan mataku masih menatap foto Azam sambil mengusapnya."Jahat kenapa?" Aku tahu, Erna pasti melihat apa yang sedang kulak
Pukul tujuh pagi, aku telah siap untuk berjualan. Akan kutata kembali hati yang hancur ini. Mas Bo'eng tidak mencariku hingga detik ini, aku masih berharap ia mencari kami. Benci dan sedih tercampur menjadi satu.Saat kakiku melangkah keluar rumah, pintu belakang rumah mertuaku terbuka. Aku segera masuk kembali ke dalam rumah Erna, dan bersembunyi di balik tirai sambil mengintip apa yang akan dilakukan mertuaku.Langkahnya mengarah ke halaman rumah Erna, buru-buru aku masuk lebih dalam lagi. Erna yang tengah memajang sayur-sayur yang telah matang ke etalase depan, sempat heran menatapku berlari kecil."Ernaaa!" jerit mertuaku dari luar."Iya. Tunggu!" jawabnya."Sayur, dong. Perkedel kentang lima, sayur asamnya sebungkus aja, sama telur sambal, deh, tiga." Mertuaku menyerahkan uang lembaran pada Erna."Semuanya tiga puluh ribu," ucap Erna dan menyerahkan kembaliannya. Tak lama mertuaku pun kembali ke rumah.Erna masuk ke dalam untuk mengambil sayuran yang masih ada di dapur, melihat k
"Mengeluh hanya akan membuat hidup kita semakin tertekan, sedangkan bersyukur akan senantiasa membawa kita pada jalan kemudahan."****Kami sama-sama terdiam hingga suara Fito mencairkan suasana. "Mama," Fito memelukku. Sejak pulang tadi, aku belum sempat mencium ataupun menggendongnya.Suara Azam terdengar, "Fito lagi apa?" tanyanya disela-sela keheningan kami. "Coba video call, angkat, gih." Mau tidak mau aku mengangkatnya."Halo Fito," panggil Azam. Fito dengan cepat meraih ponselku. Hampir saja terjatuh."Om Azam, cini," sapanya."Iya, Sayang. Nanti Om ke sana, ya. Kita beli mainan lagi yang banyak, mau?" Fito mengangguk kegirangan. Jeritannya memekakkan telinga."Tanya mamanya, mau ikut gak?" Pertanyaan Azam membuat pipiku terasa memerah."Mauuu! Tante Erna juga mau ikut, boleh gak?" teriak Erna dari kejauhan. Sontak, membuat mataku melotot ke arahnya."Boleh, kok. Ya, sudah. Siap-siap, gih." Rupanya, Azam serius dengan perkataannya."Sayang, kamu lagi telepon siapa?" Suara Lisa
( AZAM ADITYA )Jika suatu hari, aku menghilang tanpa jejakApakah kau akan mencarinya?Tentu saja "Tidak" adalah jawaban terbaiknya.Aku mengagumi dirimu tak terbatas waktuBeribu resah menyelimuti benakkuApakah kau rindu padaku?Ah, berkali-kali aku menulis lalu merobeknya kembali. Bahkan, kata-kata indah pun tak mampu menyamai gadis manis bermata sipit itu. Dia adalah July, aku mengenalnya saat sekolahku mengadakan pertandingan antar sekolah.Gadis itu berkali-kali terkena bola basket, namun ia tak merasakan kesakitan. Aku selalu memperhatikannya, tingkahnya yang ceroboh membuatku tertawa-tawa sendiri. Ada 17 sekolah lain yang turut meramaikan acara tersebut. Aku yang kebetulan menjabat sebagai ketua OSIS, dengan leluasa bisa mencaritahu tentang gadis itu.Tidak ada yang menonjol darinya, selain kecerobohan yang ia buat. Aku selalu mengikuti ke mana gerak langkahnya, tentu saja ada banyak hal yang membuatku semakin penasaran dengannya. July ternyata seumuran denganku, hanya berbed
Waktu tanpa terasa begitu cepat berlalu, sudah satu minggu aku tinggal bersama Erna di rumah ini. Namun, tempat tinggal pun belum juga dapat. Uang tabungan dari keuntungan berjualan, telah terkumpul banyak. Itu semua berkat bantuan Erna meminjamkan motornya padaku. Jadi, dalam sehari aku bisa berjualan hingga tiga ratus kantung sayur matang, tentu dengan waktu yang berjarak—sarapan, makan siang, dan sore hari—mengelilingi kompleks maupun perkampungan dekat sini.Mas Bo'eng dan ibu mertuaku sudah pindah ke rumah baru mereka. Kontrakan yang ibu mertuaku tinggal untuk sementara memang kosong, tetapi harus membayar satu tahun penuh. Sepuluh juta. Tabunganku bahkan tidak punya sebanyak itu, mau meminjam pada Erna pun segan. Bagaimana jika tidak sanggup membayar? Meskipun Erna akan meminjamkannya, tetapi aku takut jika tidak bisa mengembalikan dengan cepat. Itu adalah tabungan untuk Mitta masuk ke sekolah baru, enam bulan lagi.Ketika aku sedang menghitung hasil hari ini, Erna menghampiriku
Kabut dendam telah sempurna menyelimuti hati. Bahkan, jika mereka meminta maaf pun, tidak ada artinya lagi bagiku. Aku menyudahi jemariku mengusap layar ponsel ini, menaruhnya di lantai dan bersiap untuk mandi.Segar rasanya, mandi tanpa harus menimba dan mengangkat air terlebih dahulu. Mulai hari ini, aku akan merawat tubuh dan wajahku. Aku kini sudah selesai mandi, melihat Fito terbangun aku jadi seperti mendapatkan mood baru."Mama ...," sapa Fito. Matanya masih mengantuk. Aku mendekat dan mencium keningnya. Fito balas memeluk erat."Iya, Sayang. Fito, doain mama lagi, ya. Supaya jualannya habis semua," pintaku. Fito mengangguk dan mengucapkan doa seperti biasa."Tuhan, semoga jualan mama banyak yang beli. Amin.""Amiiin." Aku mengamini ucapannya.Ya, aku akan membalas rasa sakit hati dan kekecewaan yang tumbuh di dalam hati ini, pada mereka semua. Terlebih kepada suamiku, Mas Bo'eng! Persetan menjadi perempuan baik-baik! Ah. Kenapa pikiran itu selalu mengisi benakku? Dorongan untu
Rutinitas harian telah selesai, hanya tinggal menunggu jam untuk berjualan. Entah kenapa, aku merindukan Azam. Ah, harusnya aku merindukan Mas Bo'eng, bukan adiknya! Hubunganku dengan Mas Bo'eng semakin menjauh, kemarin mertuaku datang dan memaki seperti biasanya.Mengata-ngatai aku sebagai pelakor yang mencoba menggoda Azam. Ya, pesan WA yang ada di ponsel Azam, tak sengaja terbaca oleh Lisa. Mungkin saja, Lisa baru mengetahuinya. Karena, beberapa hari yang lalu saat kami bertemu di jalan itu, mereka tak membahas soal pesan itu.Aku hanya diam saat nyonya besar itu memaki, lontaran kata-kata kasarnya tidak membuatku terkejut. Para tetangga pun sempat melihat kami. Malu! Tentu saja aku malu. Terlebih, tetangga sebelah pernah melihat Azam membawakan barang-barang belanjaan untukku."Lihat aja, akan aku buat jadi kenyataan ketakutan kalian!" umpatku kesal.Dengan malas, aku memainkan ponsel pemberian Azam. Tanpa sengaja membaca postingan dari Lisa. Mem-posting fotoku dengan caption "Pel
Setelah memastikan semua baik-baik saja, aku kembali masuk ke dalam kamar Erna. Terlihat ia sedang tertidur, aku menutup pintu kamar dengan perlahan. Agar tidak berderit."Fito, tadi ada siapa?" Aku duduk di ruang tamu bersama Fito. Tidak seharusnya aku bertanya, karena memang tidak ada siapa-siapa di sini. Akan tetapi, aku begitu penasaran."Ada Om, tapi sudah pergi." Jawaban Fito membuatku bergidik dan mendekat lebih dekat dengan Fito.Meskipun ini masih terbilang pagi hari, namun suasana rumah Erna begitu hening. Nyaris tak bersuara. Lampu ruang tamu rada temaram jika pintu tidak dibuka. Mendadak, aku merasakan takut yang luar biasa. Hingga suara batuk Erna pun mampu membuatku melonjak karena takut.Uhuk! Uhuk!Batuk Erna terdengar semakin sering. Aku berlari kecil melihat keadaannya."Erna, ayo, kita ke puskesmas aja? Atau ke dokter?" bujukku. Namun, hanya gelengan kepala yang ia sampaikan.Bau rumah sakit tercium terbawa angin, "Bau apa ini, ya?" ujarku lagi.Namun, Erna tidak me