"Mas Khair sudah menikah, Mbak." Wajah Melody yang semula berbinar berubah murung, seolah gelombang besar kembali menghempas dadanya.
"Serius? Bukannya selama ini dia cuma dekat sama kamu?" Niswa tampak terkejut dengan jawaban Melody. Pasalnya Melody pernah bercerita jika dirinya sangat mencintai Khair.
Melody menatap langit yang sedang berawan, mentari sudah agak naik, hangatnya mulai menciptakan peluh pada tubuh anak-anak yang berjemur di bawah tiang bendera. Anak-anak yang menikmati masa mudanya hingga timbul sedikit kenakalan-kenakalan. "Ya, dengan seorang wanita malam," sesalnya.
Niswa bisa menangkap dengan jelas ada raut kecewa pada wajah Melody, tetapi setiap orang berhak menentukan pasangan hidup mereka tanpa ada paksaan. Sepertinya itu yang sedang dilakukan Khair. "Mungkin kalian memang tidak berjodoh," ungkapnya seraya menepuk pelan pundak Melody.
Melody tersenyum masam, dia menatap dalam ke arah
Mobil Khair sampai di pelataran rumah yang mungkin memakan biaya milyaran untuk membangunnya. Hal yang suatu hari pernah terlintas dalam pikiran Lena anastasya.Lena segera turun dari mobil. Dia tidak menunggu suaminya membukakan pintu.Sejak kejadian tadi, mereka berdua sama-sama diam, saling memikirkan pertanyaan Khair.Mungkinkah Lena benar-benar hamil? Anak siapa? Dia hanya pernah melakukannya dengan dua orang saja, yaitu Khair dan seorang lelaki yang telah memutus paksa rasa di hatinya. Hmm, mengingat seseorang itu hanya membuat kepalanya semakin terasa pening saja.Lena terus berjalan, melewati beranda rumah dengan langkah lebar dan tergesa. Namun, tiba-tiba seorang wanita menyembul dari arah pintu, tampak setengah berlari, lalu berhenti tepat di depan Khair dan menghambur di dada bidang milik lelaki itu.Sejenak Lena menoleh untuk melihat apa yang dilakukan perempuan asing itu.
Lena mengerjapkan mata, kepalanya terasa begitu berat. Dia mengamati dirinya sendiri, masih memakai pakaian dan hijab yang sama. Hanya dua yang berbeda, tubuhnya dilapisi selimut tebal sedada dan ada kain basah di keningnya.Lena mengambil kain itu, rupanya seseorang sengaja menempelkannya agar suhu tubuhnya turun.Pikiran Lena berkecamuk, begitu marahnya Khair sampai tidak mau menemaninya. Lena berusaha bangun, memaksakan tubuhnya untuk duduk.Dia memandang sekeliling, mentari yang terlihat samar dari gorden jendela condong ke barat, itu artinya hari sudah sore.Mungkin karena tubuhnya kurang sehat jadi lebih mudah tertidur, dan sepertinya Khair sengaja tidak membangunkannya.Ruang kamar tampak senyap dan temaram dengan pintu kamar mandi sedikit terbuka.Satu kaki Lena turun ke bawah, menyentuh lantai yang seketika terasa dingin. Tangannya meraih bungkusan berwarna biru putih di meja nakas.Hatinya kembali disisipi perasaan cemas, bu
Dia segera menghampiri Lena untuk membawanya ke tempat tidur. Akan tetapi, matanya tertuju pada test pack di samping Lena. Dia meraih test pack yang juga basah tersebut. Melihat hasilnya, lelaki itu mengembuskan napas lega, lalu mengangkat tubuh Lena dan membiarkan benda itu tergeletak begitu saja.Tak lama kemudian, Khair membaringkan tubuh Lena yang sudah tidak berdaya di ranjang.Khair bergegas mengambil ponsel, dia mondar-mandir dengan satu tangan memegang ponsel sementara yang satunya berada di saku celana sembari menunggu telepon tersebut tersambung dengan nomor tujuan. "Halo, kamu bisa ke sini? Lena tak sadarkan diri," ucapnya pada seorang dokter yang telah lama menjadi sahabatnya.***"Loh, Mas Rehan ada di sini juga?" tanya Aida setelah melihat seseorang yang menjatuhkan benda-benda di sampingnya ternyata Rehan sahabat Khair.Lelaki itu memakai kemeja dan celana panjang serta jam tangan yang senada. Rambutnya di sisir rapi membuatnya terli
"Saya tak ubahnya sebongkah batu yang bersemayam dalam lumpur, tampak hina dan keberadaannya tak dipedulikan."~Lena Anastasya~"Dalam hidup kita tidak pernah benar-benar bisa memahami takdir. Saya ingin mengangkat batu itu lalu membersihkan dan menjadikan dia dihargai layaknya berlian."~Khairul Anam~***Lena membuka mata setelah beberapa saat tak sadarkan diri. Tubuhnya masih terasa lemah, dia menoleh dan memandang lelaki di sebelahnya.Khair duduk bersila di atas sajadah menghadap ke arah kiblat. Dia mengenakan baju koko dan sarung lengkap dengan peci berwarna hitam. Kepala lelaki itu sedikit menunduk dengan mata terpejam, jemarinya menguntai tasbih mutiara berwarna putih terlihat berkilau diterpa cahaya lampu yang menggantung di bawah langit-langit rumah. Bibirnya menggumamkan sesuatu begitu lirih dan khusyuk.Melihat semua itu bola mata Lena serasa panas dan berkaca-kaca. Dia tidak ingin menangis, sudah terlalu banyak air mata y
Setelah mengantar Aida ke rumahnya, Rehan menyusul Fatimah ke apotek. Beruntung taksi yang ditumpangi perempuan itu lewat jalan yang searah dengan rumah Aida. Jadi dia bisa lebih mudah mengikutinya.Apotek itu berada di antara toko besar. Tepat menghadap jalan raya, halamannya yang tidak terlalu luas masih tampak lengang.Matahari sudah tenggelam dengan tenang, digantikan binar cahaya lampu yang menggantung di atas tepi jalan raya. Desir-desir angin yang berembus sepoi-sepoi serasa meraba kulit, seolah membuka kembali rindu-rindu yang menumpuk.Di dadanya kesempatan kembali berdetak seperti ada napas baru untuk dia bisa memulai rasa yang pernah terbengkalai.Rehan duduk di bangku sopir dengan sebelah kaca jendela dia biarkan terbuka guna memantau seseorang yang masih berada di dalam apotek tersebut.Tak lama kemudian, perempuan tinggi semampai membuka pintu apotek yang terbuat dari kaca te
Ya wajar Lena marah karena Khair sempat menuduhnya hamil.""Apa? Hamil? Keterlaluan kamu Lena! Bilang anak siapa yang sekarang ada dalam kandunganmu itu!" Mama Reta menarik tubuh Lena dengan kasar hingga lutut perempuan itu membentur sisi meja rias."Dasar perempuan tak tahu diri! Jawab pertanyaan Mama!" Wajah Mama Reta yang putih berubah memerah. Setelah Lena turun dari tempat tidur, Mama Reta mendorongnya hingga perempuan itu jatuh tersungkur di lantai."Demi Allah, Ma. Saya tidak sedang hamil," jelas Lena yang sudah terisak."Kalau kamu nggak hamil, kenapa suamimu menuduhmu seperti itu?" tanya Mama Reta dengan tubuh sedikit membungkuk dan satu telunjuknya menuding ke arah Lena."Mas Khair hanya sedang salah paham sama saya, Ma.""Sudah, Ma, Lena benar. Kemarin saya hanya salah paham dan tadi Rehan juga sudah memeriksanya. Asam lambung Lena naik oleh sebab itu dia merasa mual." Khair menengahi keributan yang terjadi akibat asumsi dirinya y
Diam-diam Lena mengamati Khair dari ambang pintu kamar mereka. Pria itu berdiri di ruang tamu bersama adiknya. Pakaian gadis itu terlihat basah kuyup, mungkinkah di luar sedang hujan sedangkan tadi cuaca terang-terang saja."Dari mana kamu, Dek? Kenapa jam segini baru pulang? Apa apoteknya pindah tempat?" Khair memberondong adiknya dengan segenap pertanyaan. Meskipun dengan suara pelan, samar-samar Lena masih bisa mendengarnya."Emm ... anu, Mas, itu tadi hujan. Jadi harus berteduh dulu." Gadis itu tampak kebingungan, suaranya terdengar lirih dan gugup.Lena mengerutkan kening, sesama perempuan dia bisa melihat ada sesuatu yang disembunyikan oleh adik iparnya."Kalau kamu pulang saat hujan reda, lalu kenapa bajumu basah semua?" Khair menatap adiknya dengan rasa curiga.Fatimah gelagapan, wajahnya luar biasa pucat."Emmm, tadi-itu ....""Mas ...," paggil Lena dari atas. Dia sengaja memanggil suaminya agar perdebatan mereka berhen
"Inah, tumben rasa masakannya beda?" Mama Reta memasukkan sendok yang sudah terisi nasi dan ayam kecap ke dalam mulutnya.Seperti biasa setiap pagi mereka sarapan bersama. Lena sengaja bangun pagi dan membantu Bi Inah membuat makanan. Syukurlah, kalau keluarga Khair menyukai masakannya.Khair tidak banyak bicara dan menikmati sarapan dengan lahap. Sedangkan Fatimah hanya mengaduk-aduk makanan di piring menggunakan sendok dan garpu dengan wajah tak berselera."Non Lena yang masak, Nya," jawab Bi Inah seraya menuangkan air putih ke dalam gelas."Oh, pantas rasanya biasa aja! Kamu nggak naruh racun di makanan kita kan?" tanya Mama Reta dengan tatapan menyelidik ke arah Lena."Nggak kok, Ma! Aman." Lena mengangkat jari telunjuk dan jempol ke udara membentuk bulatan. Dia tak lagi se-sensitif dulu, mungkin karena sudah terbiasa.Mama Reta hanya melengos kesal menanggapi jawaban menantu yang tak diinginkannya itu."Kenapa nggak dimakan, Dek?