Share

Part 7

"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya. 

"Jam sembilan," ucap Lena cuek.

Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja.

"Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi.

"Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.

Brakk!

Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan. 

Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena.

"Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu kalau kelakuanmu seperti itu, Lena. Kerja itu yang benar," ucap Pak Santoso dengan tatapan tajam dan suara yang menggelegar. 

Lena berjalan santai menghampiri ayahnya. "Lena nggak salah dengar? Bukannya ayah sendiri yang menjerumuskan Lena pada pekerjaan nggak benar?" tanyanya membuat Pak Santoso semakin naik darah.

"Kamu itu kalau dikasih tahu orang tua bukannya di didengerin malah ngejawab aja. Makanya jangan dekat-dekat sama pria itu, pikiran kamu sudah dicuci sama dia!" bentak Pak Santoso dengan gaya congkaknya. 

"Mas Khair itu pria baik, bahkan dia bersedia menerima Lena apa adanya."

Pak Santoso malah tertawa, membuat Lena memandanganya dengan tatapan heran. "Lena, kamu percaya gitu aja? Ayahmu ini sudah tua, sudah banyak makan asam garam. Mana ada lelaki shalih yang mau punya istri seperti kamu? Ngaca Lena! Ngaca! Di kamar kaca segede itu kamu pakai buat apa? Pajangan? Nggak habis pikir ayah sama jalan pikiran kamu. Udah! Ayah mau pergi! Sudah nggak nafsu makan," ucapnya lalu pergi begitu saja.

"Jangan main lagi, ingat dosa!" teriak Lena. 

Pak Santoso tidak mempedulikan ucapan Lena dan malah menutup pintu dengan keras. Namun, sepertinya kali ini dia hanya akan nongkrong dengan teman-temannya. Karena beberapa hari ini Lena sengaja tidak memberinya uang agar pria itu berhenti dari permainannya yang tidak berfaedah. 

Sebenarnya Lena kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Jika pun dibilang zalim, ya begitulah adanya.

Lena duduk di kursi dapur, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir ayahnya. Ada nyeri dalam hatinya. Lena tahu Pak Santoso selalu kasar padanya, ucapannya juga sering tak terkendali. Namun, kadang dia ada benarnya juga. Mengapa Lena percaya begitu saja dengan perkataan Khair? Mana ada pria shalih yang mau dengannya? Apa Khair punya maksud lain? Segenap pertanyaan menghujani batin Lena.

Seketika pikirannya langsung kembali menelusuri adegan tadi malam. Perempuan cantik itu, dia lebih cocok bersanding dengan Khair. Mungkinkah sebenarnya dia memang calon istri Khair? Jika benar, lalu untuk apa Khair membawa Lena menemui mamanya? Melihat dari tatapan yang ditujukan untuknya, perempuan itu memang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lena. Ah, kenapa sekarang keyakinannya malah berubah jadi keraguan? 

~oOo~

"Nggak sarapan lagi?" tanya Mama Reta saat melihat Khair turun dari tangga. 

"Nggak, Ma. Udah kenyang," jawab Khair datar seraya menghampiri Mama Reta dan mencium tangannya. 

"Kenyang makan apa? Makan angin," balas Mama Reta sinis. 

Khair tidak menjawab dan pergi begitu saja setelah mengucapkan salam. Sebenarnya dia ingin mengatakan banyak hal pada mamanya, salah satunya perihal restu untuk hubungannya dengan Lena. Namun, Khair urungkan. Mungkin lain waktu saja. 

"Nya, kalau saya perhatiin akhir-akhir ini Den Khair berubah deh," celetuk Bi Inah yang saat itu sedang menyiapkan roti untuk Mama Reta dan Khair. 

"Berubah gimana? Bukannya dari dulu dia emang nyebelin gitu," sahut Mama Reta seraya memasukkan roti tawar ke dalam mulutnya. 

"Bukan apa-apa sih, Nya. Kalau menurut saya mah restuin aja hubungan mereka, daripada ntar Den Khair kabur ikut papanya. Kan Nyonya sendiri yang repot," ujar Bi Inah membuat Mama Reta menghentikan suapannya. 

'Benar juga yang dikatakan Bi Inah,' batin Mama Reta setuju. 

"Udah nggak usah sok tahu, sana nyuci piring!" perintah Mama Reta. 

Bi Inah memilih pergi ke halaman rumah untuk menyiram tanaman. Ya, alangkah baiknya dia pergi sebelum membuat majikannya marah. Namun, tanpa sengaja Bi Inah justru melihat Khair sedang berbincang dengan Aida.

"Aida? Ada apa?" tanya Khair. Dia sedikit terkejut saat melihat Aida sudah duduk di kursi depan rumahnya tanpa mengetuk pintu.

"Maaf, Pak. Saya terpaksa ke sini. Klien kita yang bernama Pak Brata memajukan meetingnya. Sekarang beliau sedang menuju ke tempat meeting, sedangkan ponsel Pak Khair tidak bisa dihubungi. Sebenarnya saya berniat masuk ke rumah Bapak, tapi saat akan mengetuk pintu saya dengar Pak Khair sedang bicara dengan Tante Reta, jadi saya memilih untuk menunggu di sini," jelas Aida.

Khair segera mengambil ponselnya dari saku sebelah kanan celananya lalu memeriksa benda pipih tersebut. Benar saja, ponselnya mati. Sepertinya kehabisan baterai, ini pasti gara-gara semalam setelah mengantar Lena dia meletakkan ponselnya sembarangan dan pagi ini dia langsung membawa ponsel itu tanpa mengeceknya.

"Oh, ya, maaf saya lupa men-chargernya tadi malam. Sebentar saya ambil powerbank dulu," ujar Khair seraya melangkah masuk ke rumah. 

"Hmmm, tidak perlu, Pak. Saya ada, kalau mau Bapak bisa memakainya dulu," tawar Aida.

"Okelah. Kamu naik taksi? Taksinya nunggu?"

Aida menggeleng, sebenarnya tadi dia ke rumah Khair dengan taksi. Sayangnya, Aida lupa memberitahu sopirnya untuk menunggu. Alhasil, taksi itu meninggalkannya.

"Kalau gitu naik mobil saya saja."

"Tidak usah, Pak. Saya bisa pesan taksi. Maaf, saya nggak enak."

"Sebenarnya emang nggak bagus kalau hanya berdua saja dalam mobil, tapi mau gimana lagi. Nggak enak juga membiarkan klien menunggu terlalu lama. Sudah, naik saja!" perintah Khair. Dia tidak punya pilihan lain, taksi memang jarang lewat depan rumahnya. 

Aida masuk ke dalam mobil Khair. Dia memilih duduk di kursi belakang.

"Ai, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Khair setelah menjalankan mesin mobilnya. 

"Tentu saja. Apa yang ingin Bapak tanyakan?" tanya Aida antusias. Dia merasa beruntung memiliki atasan yang baik seperti Khair. Selama ini Khair cukup ramah dengan pegawai-pegawainya meski tetap tampak berwibawa. 

"Karena kamu juga perempuan, sepertinya pas jika saya menanyakan ini padamu. Meskipun kesukaan wanita pasti beda-beda, tapi saya yakin kalian para kaum hawa punya banyak kemiripan. Kira-kira apa ya kesukaan Lena?" tanya Khair dengan sedikit tersenyum. 

Aida tampak berpikir sejenak lalu berkata, "Saya sih nggak tahu kesukaan Ibu Lena apa ya, Pak. Tapi setahu saya mayoritas wanita menyukai cokelat, bunga dan boneka. Pak Khair bisa membeli itu untuk Ibu Lena, siapa tahu dia juga menyukainya," terang Aida seraya membetulkan posisi duduknya.

"Kalau begitu nanti sepulang kerja kamu ikut saya ke supermarket dulu. Sekalian temani saya ke rumah Lena. Soalnya ntar nggak enak dilihat tetangga kalau hanya berdua saja di rumah Lena," ujar Khair.

"Baik, Pak, dengan senang hati." Aida tersenyum. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status