"Len, tumben jam segini sudah masak? Pulang jam berapa tadi?" tanya Pak Santoso seraya menuangkan air putih ke dalam gelas lalu menenggaknya.
"Jam sembilan," ucap Lena cuek.
Pak Santoso tampak tersedak mendengar jawaban Lena dan buru-buru meletakkan gelas yang masih berisi setengah air itu ke atas meja.
"Kamu nggak melayani pelanggan?" tanyanya lagi.
"Nggak, Lena pergi sama Khair," sahut Lena dengan wajah datar.
Brakk!
Pak Santoso menggebrak meja di hadapannya, seketika terdengar suara dentingan sendok dan garpu secara bersamaan.
Lena sudah menduga, ayahnya pasti marah mendengar perkataannya. Namun, dia sudah tidak peduli lagi, sekalipun sang ayah menghajarnya habis-habisan karena telah melarikan diri dari kelab malam. Semua itu tetap tidak akan mengembalikan kehormatannya yang telah terenggut. Siksaan dari ayahnya sudah menjadi makanan sehari-hari untuk Lena.
"Kamu ini sudah nggak waras? Mami Dora bisa pecat kamu kalau kelakuanmu seperti itu, Lena. Kerja itu yang benar," ucap Pak Santoso dengan tatapan tajam dan suara yang menggelegar.
Lena berjalan santai menghampiri ayahnya. "Lena nggak salah dengar? Bukannya ayah sendiri yang menjerumuskan Lena pada pekerjaan nggak benar?" tanyanya membuat Pak Santoso semakin naik darah.
"Kamu itu kalau dikasih tahu orang tua bukannya di didengerin malah ngejawab aja. Makanya jangan dekat-dekat sama pria itu, pikiran kamu sudah dicuci sama dia!" bentak Pak Santoso dengan gaya congkaknya.
"Mas Khair itu pria baik, bahkan dia bersedia menerima Lena apa adanya."
Pak Santoso malah tertawa, membuat Lena memandanganya dengan tatapan heran. "Lena, kamu percaya gitu aja? Ayahmu ini sudah tua, sudah banyak makan asam garam. Mana ada lelaki shalih yang mau punya istri seperti kamu? Ngaca Lena! Ngaca! Di kamar kaca segede itu kamu pakai buat apa? Pajangan? Nggak habis pikir ayah sama jalan pikiran kamu. Udah! Ayah mau pergi! Sudah nggak nafsu makan," ucapnya lalu pergi begitu saja.
"Jangan main lagi, ingat dosa!" teriak Lena.
Pak Santoso tidak mempedulikan ucapan Lena dan malah menutup pintu dengan keras. Namun, sepertinya kali ini dia hanya akan nongkrong dengan teman-temannya. Karena beberapa hari ini Lena sengaja tidak memberinya uang agar pria itu berhenti dari permainannya yang tidak berfaedah.
Sebenarnya Lena kasihan, tapi mau bagaimana lagi. Jika pun dibilang zalim, ya begitulah adanya.
Lena duduk di kursi dapur, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari bibir ayahnya. Ada nyeri dalam hatinya. Lena tahu Pak Santoso selalu kasar padanya, ucapannya juga sering tak terkendali. Namun, kadang dia ada benarnya juga. Mengapa Lena percaya begitu saja dengan perkataan Khair? Mana ada pria shalih yang mau dengannya? Apa Khair punya maksud lain? Segenap pertanyaan menghujani batin Lena.
Seketika pikirannya langsung kembali menelusuri adegan tadi malam. Perempuan cantik itu, dia lebih cocok bersanding dengan Khair. Mungkinkah sebenarnya dia memang calon istri Khair? Jika benar, lalu untuk apa Khair membawa Lena menemui mamanya? Melihat dari tatapan yang ditujukan untuknya, perempuan itu memang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Lena. Ah, kenapa sekarang keyakinannya malah berubah jadi keraguan?
~oOo~
"Nggak sarapan lagi?" tanya Mama Reta saat melihat Khair turun dari tangga.
"Nggak, Ma. Udah kenyang," jawab Khair datar seraya menghampiri Mama Reta dan mencium tangannya.
"Kenyang makan apa? Makan angin," balas Mama Reta sinis.
Khair tidak menjawab dan pergi begitu saja setelah mengucapkan salam. Sebenarnya dia ingin mengatakan banyak hal pada mamanya, salah satunya perihal restu untuk hubungannya dengan Lena. Namun, Khair urungkan. Mungkin lain waktu saja.
"Nya, kalau saya perhatiin akhir-akhir ini Den Khair berubah deh," celetuk Bi Inah yang saat itu sedang menyiapkan roti untuk Mama Reta dan Khair.
"Berubah gimana? Bukannya dari dulu dia emang nyebelin gitu," sahut Mama Reta seraya memasukkan roti tawar ke dalam mulutnya.
"Bukan apa-apa sih, Nya. Kalau menurut saya mah restuin aja hubungan mereka, daripada ntar Den Khair kabur ikut papanya. Kan Nyonya sendiri yang repot," ujar Bi Inah membuat Mama Reta menghentikan suapannya.
'Benar juga yang dikatakan Bi Inah,' batin Mama Reta setuju.
"Udah nggak usah sok tahu, sana nyuci piring!" perintah Mama Reta.
Bi Inah memilih pergi ke halaman rumah untuk menyiram tanaman. Ya, alangkah baiknya dia pergi sebelum membuat majikannya marah. Namun, tanpa sengaja Bi Inah justru melihat Khair sedang berbincang dengan Aida.
"Aida? Ada apa?" tanya Khair. Dia sedikit terkejut saat melihat Aida sudah duduk di kursi depan rumahnya tanpa mengetuk pintu.
"Maaf, Pak. Saya terpaksa ke sini. Klien kita yang bernama Pak Brata memajukan meetingnya. Sekarang beliau sedang menuju ke tempat meeting, sedangkan ponsel Pak Khair tidak bisa dihubungi. Sebenarnya saya berniat masuk ke rumah Bapak, tapi saat akan mengetuk pintu saya dengar Pak Khair sedang bicara dengan Tante Reta, jadi saya memilih untuk menunggu di sini," jelas Aida.
Khair segera mengambil ponselnya dari saku sebelah kanan celananya lalu memeriksa benda pipih tersebut. Benar saja, ponselnya mati. Sepertinya kehabisan baterai, ini pasti gara-gara semalam setelah mengantar Lena dia meletakkan ponselnya sembarangan dan pagi ini dia langsung membawa ponsel itu tanpa mengeceknya.
"Oh, ya, maaf saya lupa men-chargernya tadi malam. Sebentar saya ambil powerbank dulu," ujar Khair seraya melangkah masuk ke rumah.
"Hmmm, tidak perlu, Pak. Saya ada, kalau mau Bapak bisa memakainya dulu," tawar Aida.
"Okelah. Kamu naik taksi? Taksinya nunggu?"
Aida menggeleng, sebenarnya tadi dia ke rumah Khair dengan taksi. Sayangnya, Aida lupa memberitahu sopirnya untuk menunggu. Alhasil, taksi itu meninggalkannya.
"Kalau gitu naik mobil saya saja."
"Tidak usah, Pak. Saya bisa pesan taksi. Maaf, saya nggak enak."
"Sebenarnya emang nggak bagus kalau hanya berdua saja dalam mobil, tapi mau gimana lagi. Nggak enak juga membiarkan klien menunggu terlalu lama. Sudah, naik saja!" perintah Khair. Dia tidak punya pilihan lain, taksi memang jarang lewat depan rumahnya.
Aida masuk ke dalam mobil Khair. Dia memilih duduk di kursi belakang.
"Ai, boleh saya bertanya sesuatu?" tanya Khair setelah menjalankan mesin mobilnya.
"Tentu saja. Apa yang ingin Bapak tanyakan?" tanya Aida antusias. Dia merasa beruntung memiliki atasan yang baik seperti Khair. Selama ini Khair cukup ramah dengan pegawai-pegawainya meski tetap tampak berwibawa.
"Karena kamu juga perempuan, sepertinya pas jika saya menanyakan ini padamu. Meskipun kesukaan wanita pasti beda-beda, tapi saya yakin kalian para kaum hawa punya banyak kemiripan. Kira-kira apa ya kesukaan Lena?" tanya Khair dengan sedikit tersenyum.
Aida tampak berpikir sejenak lalu berkata, "Saya sih nggak tahu kesukaan Ibu Lena apa ya, Pak. Tapi setahu saya mayoritas wanita menyukai cokelat, bunga dan boneka. Pak Khair bisa membeli itu untuk Ibu Lena, siapa tahu dia juga menyukainya," terang Aida seraya membetulkan posisi duduknya.
"Kalau begitu nanti sepulang kerja kamu ikut saya ke supermarket dulu. Sekalian temani saya ke rumah Lena. Soalnya ntar nggak enak dilihat tetangga kalau hanya berdua saja di rumah Lena," ujar Khair.
"Baik, Pak, dengan senang hati." Aida tersenyum.
Setelah semua pekejaan kantor dan meeting selesai. Aida dan Khair menuju supermarket. Kini mereka sedang memilih barang untuk diberikan pada Lena. "Sepertinya yang ini bagus, Pak," ucap Aida sembari menenteng satu boneka dengan warna biru muda berbentuk beruang dilengkapi love di bagian perutnya."Kira-kira Lena suka nggak, Ai?" tanya Khair seraya mengambil alih benda itu dari tangan Aida dan mengamatinya."Mudah-mudahan suka, Pak," sahut Aida. "Sepertinya ini sudah cukup. Ada cokelat, jam tangan, parfum sama boneka ini," lanjutnya."Oke kita ke sana mumpung belum terlalu siang. Hari ini kamu ada acara nggak?" tanya Khair."Kebetulan saya lagi free, Pak." Aida membawa semua barang belanjaan mereka dan menuju kasir. Khair mengikuti langkah Aida, lalu membayar semua belanjaan mereka setelah kasir menyebutkan nominalnya, dan segera bergegas menuju rumah Lena.***Lena mengambil sapu dan mulai membersihkan rumahnya. Mungkin aca
Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka."Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya."Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri."Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat."Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang."Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa me
Awas baper!"Khair, kamu benar-benar mau memberikan mahar ke Lena dan Pak Santoso sebanyak itu?" tanya Mama Reta setelah mereka sampai di rumah. Wajahnya tampak menginterogasi layaknya hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Sekejap kemudian, perempuan itu melempar tas-nya yang cukup bermerk dengan sembarangan."Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanya Khair polos. Dia sama sekali tidak merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan."Awalnya memang Mama setuju, tapi kayanya kamu harus pikir-pikir dulu. Mahar 15 juta rupiah bukan uang sedikit, terlalu mahal jika diberikan pada wanita bekas orang lain," ujar Mama Reta. Nada suaranya terdengar mengejek, seolah Lena memang serendah itu di matanya."Ma, Lena jauh lebih berharga dari itu," tandas Khair."Terserah lah! Ini kalau orang sudah dibutakan sama cinta, pikirannya jadi nggak berfungsi dengan baik!" tukas Mama Reta sinis. Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya deng
"Apa masih ada yang lain, Ai?" tanya Khair pada sekretarisnya. Kini dia sedang berada di kantor bersama Aida, untung ada pak satpam yang sedang berjaga. Sehingga mereka tidak hanya berdua saja.Khair terpaksa harus datang ke kantor malam-malam untuk menyelesaikan dan menandatangani berkas yang akan dipakai meeting besok pagi. Meja kerjanya tampak sangat berantakan, kertas dan dokumen berserakan di atasnya."Tidak ada, Pak. Sepertinya sudah selesai. Maaf, saya merusak malam pertama Bapak dengan Ibu Lena," ucap Aida seraya membereskan dokumen-dokumen kantor tersebut. Wajahnya tampak menyesal."Tidak masalah, kalau begitu saya pulang dulu. Kamu pesan taksi saja atau ojek online biar lebih cepat sampai rumah," tutup Khair seraya bergegas menuju pelataran kantor. Bukan Khair tidak ingin mengantar Aida, hanya saja dia harus menjaga perasaan Lena. Mengingat ini belum terlalu malam, masih banyak kendaraan dan angkutan umum yang lewat. Jadi kemungkinan Aida tidak terlalu
"Mana istrimu? Belum bangun?" tanya Mama Reta."Sudah kok, Ma. Sebentar lagi turun." Khair mengambil nasi dan mulai memasukkannya ke dalam piring."Kamu jangan diam aja dong, Khair! Kalau punya istri itu dinasehatin. Masa hari pertama jam segini belum turun juga. Mau sampai kapan dia malas-malasan kaya gitu? Bikin enek mama lihatnya. Apa gunanya punya istri kalau kamu melakukan apa-apa sendiri?" gerutu Mama Reta, tapi Khair hanya diam dan menikmati sarapan."Namanya juga pengantin baru, Nya," celetuk Bi inah."Halah!! Tahu apa kamu soal pengantin baru? Kayak pernah nikah aja!" ceplos Mama Reta.Bi Inah langsung diam. Apa yang dikatakan Mama Reta benar adanya. Dia memang belum pernah menikah sama sekali, meski usianya sudah semakin tua."Halo, Ma! Pagi," sapa Lena dengan senyumnya yang mengembang. Perasaannya sedang bahagia sebab berhasil menggoda Khair. Lena langsung menarik kursi, lalu mendudukinya. Tanpa Lena sadari
"Lebih baik Mas Khair keluar saja. Saya sedang ingin sendiri." Lena mendongakkan kepala, menatap sekeliling yang tampak buram akibat air mata yang menghalangi pandangannya."Baiklah! Tapi sebelumnya Mas ingin menanyakan satu hal padamu." Khair duduk di samping Lena, mensejajarkan dirinya dengan perempuan itu.Lena tidak menjawab, dia justru semakin terisak."Kenapa Lena mau menikah dengan Mas?" tanya Khair lembut. Lelaki itu mengusap pelan pundak istrinya."Karena saya ingin hidup dengan Mas Khair lah!" lirih Lena."Nah, jika Lena ingin terus hidup bersama Mas, ini adalah ujian yang harus dihadapi. Lena, perlu kamu tahu, pernikahan adalah perjanjian yang besar di hadapan Allah SWT dan orang-orang yang hadir untuk meng-aminkan doa kita. Semua yang terjadi di dalam pernikahan adalah pahala, ibadah terlama dalam hidup kita. Karena imbalannya surga maka ujiannya juga tidak mudah. Jadi, untuk bisa terus mempertahankan rumah
Warning! 21+Harap yang masih di bawah umur bijaklah dalam membaca."Lena mana, Ma?" tanya Khair saat baru memasuki rumah."Ada di kamar, bertapa mungkin. Soalnya dari tadi nggak keluar-keluar," sahut Mama Reta enteng sambil terus memasukkan biskuit ke dalam mulutnya.Khair beranjak menuju kamar. Matanya menerawang seluruh sudut ruangan itu.Dia menatap iba seorang perempuan yang sedang berada di dekat jendela dengan sebuah buku di tangannya. Lena--gadis pemilik bulu mata lentik dan wajah oval yang mampu menjerat dirinya hingga terbuai rasa.Khair memang mempunyai banyak koleksi buku mulai dari yang bernuansa agama hingga novel percintaan."Sayang ...," panggilnya mesra, tetapi Lena hanya diam. Rupanya perempuan itu masih merajuk."Makan yuk! Mas lapar," lanjutnya seraya memeluk dari belakang tubuh sexy yang kini berbalut gamis lebar."Malas, Mas!" jawab Lena cuek dan melepas paksa pelukan s
Saat Khair akan masuk ke permainan inti, Lena justru menangis. Perlahan butiran bening terus saja mengalir dari sudut matanya, hingga membuat maskara Lena luntur.Tiba-tiba perasaan Lena hancur. Tubuhnya terasa lemas saat sadar ini bukan kali pertama dia melakukan hal seperti ini bersama seorang pria.Mahkota yang seharusnya disentuh suaminya telah terenggut sebab kebodohannya di masa lalu. Hati Lena terasa nyeri, dia merasa hina telah menodai pernikahannya.Khair menatap Lena dengan pandangan lembut dan menenangkan."Tidak akan ada noda di ranjang panas kita, Mas Khair akan menyesal pernah menikahi saya," lirih Lena pelan, membuat Khair menghentikan aktivitasnya. Mungkin Lena berpikir kalau Khair akan mengungkit masalah itu setelah permainan malamnya dengan Lena berakhir.Khair membaringkan badannya di samping Lena. Lalu, lelaki itu menarik selimut tebal guna menutupi tubuhnya dan perempuan itu. "Bagi Mas kamu t