Setelah semua pekejaan kantor dan meeting selesai. Aida dan Khair menuju supermarket. Kini mereka sedang memilih barang untuk diberikan pada Lena. "Sepertinya yang ini bagus, Pak," ucap Aida sembari menenteng satu boneka dengan warna biru muda berbentuk beruang dilengkapi love di bagian perutnya.
"Kira-kira Lena suka nggak, Ai?" tanya Khair seraya mengambil alih benda itu dari tangan Aida dan mengamatinya.
"Mudah-mudahan suka, Pak," sahut Aida. "Sepertinya ini sudah cukup. Ada cokelat, jam tangan, parfum sama boneka ini," lanjutnya.
"Oke kita ke sana mumpung belum terlalu siang. Hari ini kamu ada acara nggak?" tanya Khair.
"Kebetulan saya lagi free, Pak." Aida membawa semua barang belanjaan mereka dan menuju kasir. Khair mengikuti langkah Aida, lalu membayar semua belanjaan mereka setelah kasir menyebutkan nominalnya, dan segera bergegas menuju rumah Lena.
***
Lena mengambil sapu dan mulai membersihkan rumahnya. Mungkin acara bersih-bersih hari ini agak siang. Karena seperti biasa, dia harus memasak dan mencuci baju lebih dulu. Lena juga sudah mengelap meja dan kursi ruang tamu. Bagi Lena itu adalah pekerjaan mudah sebab hanya memakan waktu beberapa menit saja. Hal ini karena sejak kecil Lena sudah terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Meskipun sesekali Pak Santoso membantunya, lelaki itu kadang bisa berubah menjadi sangat baik dan tiba-tiba menjadi buruk. Mungkin sebenarnya dia adalah orang baik yang sedang salah jalan.
Sebelumnya Lena telah melepas gamis yang dia kenakan semalam lalu mandi dan menggantinya dengan dress tanpa lengan dengan panjang kurang dari selutut. Walaupun di luar rumah Lena mulai mengenakan pakaian tertutup, tapi tetap saja saat membersihkan rumah seperti ini dia masih merasa risih.
"Assalamualaikum." Salam seseorang dari luar membuat Lena meletakkan sapunya sembarangan dan segera berjalan menuju sumber suara. Saat membuka pintu dia sangat terkejut mendapati yang datang adalah Khair dan Aida.
"Mas Khair, Aida?" tanya Lena kaget.
Aida tersenyum simpul. Sementara Khair langsung memalingkan wajahnya saat melihat aurat Lena terbuka akibat baju yang dia kenakan. Ada sedikit kesal dan kecewa dalam hati Khair. Dia pikir Lena sudah berubah, tapi ternyata dirinya salah. Perempuan yang mulai Khair cintai itu nyatanya tidak bisa dirubah dengan mudah.
"Mari silahkan masuk," ucap Lena. Dia membuka sebelah pintunya yang masih tertutup.
Aida masuk, kemudian duduk dan meletakkan barang-barang bawaannya di meja. Sementara Khair masih tetap berada di posisinya. Lelaki itu tak bergerak sedikit pun dan diam seribu bahasa.
"Mas nggak masuk?" tanya Lena dengan suara lembut. Dia merasa heran mengapa Khair sejak datang hanya diam saja. Lena mengamati dirinya sendiri. 'Apa ada yang salah dengannya?' batin Lena.
"Pantaskah seseorang memakai pakaian seperti ini di hadapan lelaki yang bukan mahramnya, Lena?" tanya Khair tanpa menoleh sedikitpun. Suaranya terdengar datar dan sikapnya sedingin es batu. Khair semakin kecewa saat Lena ternyata tidak menyadari kesalahannya.
Lena langsung menepuk jidatnya. Astaga! Dia lupa kalau dirinya sekarang sedang memakai baju seksi. Wajah Lena tampak menyesal. Dia pasti tahu jika Khair sedang kecewa dengannya.
"Masuklah, Mas. Saya ganti baju dulu," ucap Lena seraya masuk ke dalam kamar dengan langkah yang tergesa-gesa.
Aida yang melihat tingkah Lena sontak menatapnya penuh rasa heran.
Khair menghela napas, mungkin Lena memang butuh waktu. Dia harus belajar sabar dengan kepribadian perempuan itu. Karena Khair sendiri yang memilih Lena sebagai calon istri. Khair memutuskan masuk sembari menunggu Lena mengganti pakaiannya. Saat akan melangkahkan kaki, tiba-tiba ponselnya berdering. Ya, setelah sekian lama dia men-charger ponselnya menggunakan power bank Aida, Akhirnya baterainya full juga. Dahinya sedikit mengerut melihat nomor yang tertera di benda pipih itu. Tak lama kemudian, dia mendekati Aida. "Ai, saya tinggal dulu, ada urusan," ucap Khair lalu pergi tanpa menunggu jawaban dari sekretarisnya itu.
Seperti biasa Aida hanya tersenyum masam. Dia tidak pernah sanggup menolak perintah bos-nya. Sebenarnya hari ini Aida ada acara untuk mengunjungi galleri seni, tapi Khair memintanya untuk menemani. Jadi terpaksa dia mengaku tidak ada kegiatan.
Lena keluar dengan memakai baju yang diberikan Khair beberapa waktu lalu. Dia terlihat lebih anggun. Ya, kini dia sudah bisa mengenakan hijab setelah kemarin belajar dan sempat gagal hingga berjam-jam. Lena memang tidak pernah mengenakan hijab sama sekali dan tidak ada yang mengajarinya.
"Loh, di mana Mas Khair, Ai?" tanya Lena setelah menghempaskan diri di kursi depan Aida.
"Pak Khair baru saja pergi, sepertinya buru-buru mungkin sedang ada urusan yang mendadak," sahut Aida jujur.
"Apa dia tadi kecewa dengan penampilan saya? Oh, ya, ini gamis kamu. Terima kasih banyak ya." Lena menyodorkan paperbag yang berisi gamis Aida yang dia pinjam beberapa waktu lalu.
Aida tersenyum seraya mengambil pakaiannya dari tangan Lena. "Sepertinya tidak, Bu. Saya tahu Pak Khair adalah pria yang menilai segala hal dengan bijak," ucapnya. Beberapa detik kemudian perempuan itu mengamati sekitarnya. "Kamu tinggal sendiri?" tanya Aida kemudian.
"Hmmm sama ayah, tapi dia sedang keluar," jawab Lena seadanya. "Mau saya buatkan minum?" tanyanya lagi.
"Oh, tidak perlu, Bu. Saya hanya sebentar kok. Ini hampir lupa. Semua barang-barang ini untukmu, Pak Khair yang membelinya."
"Panggil Lena saja, ya. Biar lebih akrab. Mas Khair membeli semua ini untuk saya?" tanya Lena tak percaya. Baginya ini sudah berlebihan, Khair membeli barang sebanyak ini dengan harga yang mahal tentunya.
"Tidak masalah, Bu Lena kan calon istri bos saya. Jadi biar lebih sopan. Semoga Bu Lena suka dengan ini semua, ya," ucap Aida.
"Saya suka kok, Ai," ujar Lena. Dia mengembuskan napas sebentar, kemudian melanjutkan ucapannya. "Sayangnya, mama dari Mas Khair belum merestui hubungan kami," ujar Lena. Wajahnya terlihat sendu. Walau bagaimanapun restu dari orang tua sangat dibutuhkan dalam pernikahan apalagi restu seorang ibu. Namun, sepertinya Mama Reta tidak akan merestui hubungannya dengan Khair. Karena terlihat jelas di mata perempuan itu ada kilat kebencian yang ditujukan untuk Lena.
"Oh, ya?" sahut Aida terkejut, tapi buru-buru menyembunyikan ekspresinya karena takut Lena tersinggung. "Hmm, kalau baru bertemu memang seperti itu, tapi nanti lama-lama pasti akrab kok, yang sabar, ya. Kalau kamu butuh teman untuk bercerita, saya siap mendengarkan. Anggap saja ini sebagai balas budi saya pada Pak Khair. Karena selama ini dia sudah baik dengan keluarga saya."
"Terima kasih banyak ya, Ai. Kamu memang perempuan baik."
"Sama-sama. Bu Lena mau ikut saya mengujungi gallery seni? Di sana sedang ada pameran karya seni dari penduduk mancanegara. Ya, sekalian refreshing," tawar Aida.
"Boleh deh, saya juga lagi suntuk di rumah."
***
"Ada apa, Ma?" tanya Khair setelah sampai di depan rumah. Dia menghampiri Mama Reta yang sedang duduk sendirian di teras. Tidak biasanya mamanya menelepon pada jam kerja seperti ini. Pasti ada yang penting untuk disampaikan.
"Duduklah, Khair. Mama mau bicara sama kamu," sahutnya seraya menatap dalam ke arah putranya itu.
Khair lalu duduk, bersiap mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibir mamanya.
"Apa kamu benar-benar ingin menikah dengan perempuan itu?" tanya Mama Reta dengan mimik muka serius.
"Namanya Lena, Ma." Khair berusaha mengingatkan nama perempuan yang mulai dicintainya itu.
"Hmm, ya. Apa kamu mencintainya?" tanya Mama Reta lagi.
"Iya, Ma. Khair mencintai Lena sejak pertama kali bertemu dengannya. Khair tahu, mungkin Mama merasa ini terlalu mendadak. Tapi begitulah perasaan, Ma, tidak bisa ditebak. Jika saat ini Lena belum baik, Khair harap Mama lebih sabar. Bantu juga Khair untuk mendidiknya. Lena sejak kecil hanya tinggal bersama ayah yang memperlakukannya kurang baik. Itu sebabnya dia mungkin butuh kasih sayang dan sesuatu yang berkaitan dengan agama," terang Khair.
"Mama paham, dan mama sudah merestui hubungan kalian," ucap Mama Reta yang tanpa sadar seketika membuat mata putranya berbinar.
"Mama nggak lagi bercanda, kan?" tanya Khair antusias. Dia berharap ini bukan mimpi.
"Mama serius, nanti malam kita ke rumah Lena," sahutnya seraya tersenyum.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak, Ma." Khair mengecup tangan wanita setengah baya itu dengan perasaan haru dan bahagia.
Bi inah yang tanpa sengaja melihatnya, ikut meneteskan air mata. Dia turut bahagia, baginya Khair sudah seperti putranya sendiri.
Khair ingin menceritakan sedikit tentang kehidupan Lena, mumpung mood mamanya sedang baik. Sayangnya, Melody lebih dulu datang dan menyapa mereka."Assalamualaikum," sapa Melody dengan membawa sebuah rantang di tangannya."Waalaikumsalam. Duduk, Mel! Tante kangen sama kamu." Mama Reta memeluk perempuan itu layaknya menantunya sendiri."Ini ada titipan dari Bunda untuk Mas Khair dan Tante," ucap Melody seraya menyodorkan rantang yang sepertinya berisi makanan pada Mama Reta. Ya, Bunda Soraya memang sering memberikan makanan pada Khair dan mamanya. Karena mereka memang sudah seperti kerabat."Khair kamu nggak mau cicipin?" Mama Reta meletakkan rantang yang dibawa Melody di meja dan membuka satu persatu isinya. Seketika aroma dari berbagai makanan menguar di udara. Sayang, Khair sudah kenyang."Nggak, Ma. Khair mandi dulu, gerah soalnya." Khair berlalu menuju rumah. Dia tidak ingin Melody semakin berharap padanya. Khair bisa me
Awas baper!"Khair, kamu benar-benar mau memberikan mahar ke Lena dan Pak Santoso sebanyak itu?" tanya Mama Reta setelah mereka sampai di rumah. Wajahnya tampak menginterogasi layaknya hakim yang sedang berhadapan dengan terdakwa. Sekejap kemudian, perempuan itu melempar tas-nya yang cukup bermerk dengan sembarangan."Iya, Ma. Memangnya kenapa?" tanya Khair polos. Dia sama sekali tidak merasa tindakannya adalah sebuah kesalahan."Awalnya memang Mama setuju, tapi kayanya kamu harus pikir-pikir dulu. Mahar 15 juta rupiah bukan uang sedikit, terlalu mahal jika diberikan pada wanita bekas orang lain," ujar Mama Reta. Nada suaranya terdengar mengejek, seolah Lena memang serendah itu di matanya."Ma, Lena jauh lebih berharga dari itu," tandas Khair."Terserah lah! Ini kalau orang sudah dibutakan sama cinta, pikirannya jadi nggak berfungsi dengan baik!" tukas Mama Reta sinis. Perempuan itu membenarkan letak kacamatanya deng
"Apa masih ada yang lain, Ai?" tanya Khair pada sekretarisnya. Kini dia sedang berada di kantor bersama Aida, untung ada pak satpam yang sedang berjaga. Sehingga mereka tidak hanya berdua saja.Khair terpaksa harus datang ke kantor malam-malam untuk menyelesaikan dan menandatangani berkas yang akan dipakai meeting besok pagi. Meja kerjanya tampak sangat berantakan, kertas dan dokumen berserakan di atasnya."Tidak ada, Pak. Sepertinya sudah selesai. Maaf, saya merusak malam pertama Bapak dengan Ibu Lena," ucap Aida seraya membereskan dokumen-dokumen kantor tersebut. Wajahnya tampak menyesal."Tidak masalah, kalau begitu saya pulang dulu. Kamu pesan taksi saja atau ojek online biar lebih cepat sampai rumah," tutup Khair seraya bergegas menuju pelataran kantor. Bukan Khair tidak ingin mengantar Aida, hanya saja dia harus menjaga perasaan Lena. Mengingat ini belum terlalu malam, masih banyak kendaraan dan angkutan umum yang lewat. Jadi kemungkinan Aida tidak terlalu
"Mana istrimu? Belum bangun?" tanya Mama Reta."Sudah kok, Ma. Sebentar lagi turun." Khair mengambil nasi dan mulai memasukkannya ke dalam piring."Kamu jangan diam aja dong, Khair! Kalau punya istri itu dinasehatin. Masa hari pertama jam segini belum turun juga. Mau sampai kapan dia malas-malasan kaya gitu? Bikin enek mama lihatnya. Apa gunanya punya istri kalau kamu melakukan apa-apa sendiri?" gerutu Mama Reta, tapi Khair hanya diam dan menikmati sarapan."Namanya juga pengantin baru, Nya," celetuk Bi inah."Halah!! Tahu apa kamu soal pengantin baru? Kayak pernah nikah aja!" ceplos Mama Reta.Bi Inah langsung diam. Apa yang dikatakan Mama Reta benar adanya. Dia memang belum pernah menikah sama sekali, meski usianya sudah semakin tua."Halo, Ma! Pagi," sapa Lena dengan senyumnya yang mengembang. Perasaannya sedang bahagia sebab berhasil menggoda Khair. Lena langsung menarik kursi, lalu mendudukinya. Tanpa Lena sadari
"Lebih baik Mas Khair keluar saja. Saya sedang ingin sendiri." Lena mendongakkan kepala, menatap sekeliling yang tampak buram akibat air mata yang menghalangi pandangannya."Baiklah! Tapi sebelumnya Mas ingin menanyakan satu hal padamu." Khair duduk di samping Lena, mensejajarkan dirinya dengan perempuan itu.Lena tidak menjawab, dia justru semakin terisak."Kenapa Lena mau menikah dengan Mas?" tanya Khair lembut. Lelaki itu mengusap pelan pundak istrinya."Karena saya ingin hidup dengan Mas Khair lah!" lirih Lena."Nah, jika Lena ingin terus hidup bersama Mas, ini adalah ujian yang harus dihadapi. Lena, perlu kamu tahu, pernikahan adalah perjanjian yang besar di hadapan Allah SWT dan orang-orang yang hadir untuk meng-aminkan doa kita. Semua yang terjadi di dalam pernikahan adalah pahala, ibadah terlama dalam hidup kita. Karena imbalannya surga maka ujiannya juga tidak mudah. Jadi, untuk bisa terus mempertahankan rumah
Warning! 21+Harap yang masih di bawah umur bijaklah dalam membaca."Lena mana, Ma?" tanya Khair saat baru memasuki rumah."Ada di kamar, bertapa mungkin. Soalnya dari tadi nggak keluar-keluar," sahut Mama Reta enteng sambil terus memasukkan biskuit ke dalam mulutnya.Khair beranjak menuju kamar. Matanya menerawang seluruh sudut ruangan itu.Dia menatap iba seorang perempuan yang sedang berada di dekat jendela dengan sebuah buku di tangannya. Lena--gadis pemilik bulu mata lentik dan wajah oval yang mampu menjerat dirinya hingga terbuai rasa.Khair memang mempunyai banyak koleksi buku mulai dari yang bernuansa agama hingga novel percintaan."Sayang ...," panggilnya mesra, tetapi Lena hanya diam. Rupanya perempuan itu masih merajuk."Makan yuk! Mas lapar," lanjutnya seraya memeluk dari belakang tubuh sexy yang kini berbalut gamis lebar."Malas, Mas!" jawab Lena cuek dan melepas paksa pelukan s
Saat Khair akan masuk ke permainan inti, Lena justru menangis. Perlahan butiran bening terus saja mengalir dari sudut matanya, hingga membuat maskara Lena luntur.Tiba-tiba perasaan Lena hancur. Tubuhnya terasa lemas saat sadar ini bukan kali pertama dia melakukan hal seperti ini bersama seorang pria.Mahkota yang seharusnya disentuh suaminya telah terenggut sebab kebodohannya di masa lalu. Hati Lena terasa nyeri, dia merasa hina telah menodai pernikahannya.Khair menatap Lena dengan pandangan lembut dan menenangkan."Tidak akan ada noda di ranjang panas kita, Mas Khair akan menyesal pernah menikahi saya," lirih Lena pelan, membuat Khair menghentikan aktivitasnya. Mungkin Lena berpikir kalau Khair akan mengungkit masalah itu setelah permainan malamnya dengan Lena berakhir.Khair membaringkan badannya di samping Lena. Lalu, lelaki itu menarik selimut tebal guna menutupi tubuhnya dan perempuan itu. "Bagi Mas kamu t
"Sayang ...." Khair tiba-tiba memeluk tubuh istrinya, melingkarkan tangannya di pinggang perempuan itu hingga membuat Lena terkejut.Pasalnya ini sudah malam. Waktu Lena turun dari tangga tidak ada siapapun, televisi juga sudah dimatikan tinggal remotnya yang masih nangkring di atas meja.Bi Inah juga tidak kelihatan, mungkin sudah terlelap setelah lelah seharian bekerja. Lena tidak tega membangunkannya. Jadi dia memilih memasak untuk suaminya saat melihat makanan di meja tinggal sedikit."Mas Khair ngagetin aja," protesnya seraya mengerucutkan bibir."Lagi ngapain, sih? Kok lama banget ambil makanannya," ucap Khair seraya memandang punggung Lena yang putih dan mulus. Sepertinya perempuan itu tidak sadar jika resleting gamisnya hanya terkunci setengah.Khair mendekatkan wajah. Rambut Lena terasa menggelitik indra penciumannya, seketika dia mencium aroma vanili yang memabukkan.Lena membalikkan badannya dengan cepat sa