“Mas!” Kupanggil suamiku di muara pintu. Keduanya menoleh secara bersamaan. Masih nampak sisa-sisa air mata di pipi Fara. Dia menatapku sendu. Cih! Pandai sekali dia bersikap rapuh untuk mendapatkan simpati suamiku.
“Kamu akan tidur di kamar ini, Mas?” tanyaku tanpa basa-basi.
Fara mengalihkan pandangan yang tadinya ke arahku menuju wajah suamiku yang berada di puncak kepalanya. Menjijikkan! Dia terlihat bersikap manja pada kakak kandungnya sendiri.
‘Ingat umur, Fara … Kamu bukan gadis muda lagi yang masih pantas bersikap manja,' gerutuku di dalam hati.
“Fara bermimpi buruk lagi, dan aku yang akan menemaninya malam ini,” ucap suamiku yang bagiku terdengar seperti lelucon.
“Mas." Fara kembali merengek seolah dirinya adalah makhluk yang sangat lemah. Perempuan itu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh suamiku.Tubuhnya yang minim pakaian, menempel di dada bidang suamiku. Sungguh aku ingin menguliti perempuan ini hidup-hidup. Mas Akram pun seolah merasa bahwa sikap adiknya itu wajar. Kurasa mereka benar-benar memiliki gangguan jiwa! Bolehkah jika aku meminta cerai saat ini juga?
“Tapi, Mas. Biar aku yang--" Ucapanku tak kutuntaskan karena Mas Akram buru-buru membungkamku dengan tatapan nyalang.
“Kamu 'gak dengar kalau adikku bermimpi buruk. Aku akan menemaninya malam ini. Kembali saja ke kamarmu sekarang, biar Fara aku yang urus.”
Kembali suamiku menjatuhkan pandangan ke wajah adiknya lalu mengecup puncak kepala perempuan itu. Persetan atas apa yang terjadi dengan mereka berdua, aku sudah muak dan benar-benar ingin meninggalkan rumah ini sekarang juga. Biarlah dua orang kakak beradik yang mengidap kelainan jiwa ini hidup dengan cara yang mereka inginkan.
Kecewa? Tentu saja! Segunung harapan terindahku membina rumah tangga bersama Mas Akram runtuh atas sikapnya padaku. Rasa cintaku yang tulus tak berbalas seperti yang aku harapkan. Dengannya aku menggantungkan harapan besar agar hidup kami bahagia bersama hingga menua nanti. Membesarkan kemudian melepaskan anak-anak kami untuk belajar menapaki kehidupan di setiap sisi dunia. Kuhharap nantinya pada mereka lah terselip doa-doa untuk aku dan Mas Akram saat hidup kami berakhir terkubur di inti bumi, menjadi penyelamat kami di alam baqa untuk kemudian berkumpul kembali di syurga-Nya kelak.
Harapanku sepertinya berlebihan. Ingin se-syurga bersama lelakiku itu, tapi di dunia saja dia mengabaikanku dan putra kami yang seharusnya mendapatkan perhatian dari ayahnya. Lihat saja, Mas! Aku bisa hidup tanpamu. Hanya berdua dengan Zubair, putra semata wayang kami. Kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Zubair tak boleh tumbuh dengan menyaksikan kelakuan aneh ayah dan tantenya. Jika tidak, aku khawatir dia akan terpengaruh nantinya di masa mendatang.
Kulangkahkan kaki menuju ke arah kamar putraku yang berada di samping kamar pribadiku bersama Mas Akram. Kamar itu dulu milik adik iparku saat Mas Akram belum menikahiku. Perlahan aku memutar knop pintu agar Zubair tak terkejut dengan suara dan pergerakan yang muncul secara tiba-tiba. Sebuah tangan dengan kulit yang mengendur menghentikan putaran knop pintu.
“Hafsa,” ucap ibu mertua berbisik dengan gelengan kepala yang dia jadikan sebagai sebuah isyarat agar aku urung melakukan apa yang aku niatkan sebelumnya.
“Ma,” ucapku dengan suara yang bergetar. Runtuh sudah tangisku di hadapan wanita paruh baya di hadapanku ini. Dialah wanita yang kupanggil mama--mama mertua yang berada di pihakku, yang mencintaiku melebihi anak-anaknya sendiri. Beruntung aku memiliki mama mertua sepertinya. Jika tidak, mungkin sudah sejak lama aku meninggalkan kehidupan gila di rumah ini.
“Mama tahu kamu sedang terluka, tapi bisakah kamu bertahan sebentar saja demi mama, nak?” pinta ibu mertuaku dengan cairan yang menganak sungai di mata tuanya.
Kupeluk wanita yang begitu aku hormati itu dengan erat. Mungkin saja aku bisa mendapatkan sedikit kekuatan setelah badai besar yang baru saja menghantamku dengan berbagi rasa bersamanya. Wanita mana yang rela melihat suaminya sendiri bersikap posesif terhadap orang lain meski itu adalah saudari kandungnya sendiri. Apalagi sikap Mas Akram sangat tak wajar sebagai seorang saudara dari perempuan yang dia sebut sebagai adik.
“Bersabarlah sebentar lagi, Hafsa. Setidaknya jangan pergi meninggalkan mama. Mama mungkin akan gila jika kau dan Zubair meninggalkan mama dan terjebak bersama dua orang aneh itu di rumah ini.”
Memang ini bukanlah yang pertama kali aku berniat meninggalkan Mas Akram, dan mama lah yang selalu memintaku bertahan untuk tidak meninggalkan rumah ini. Mama memohon agar aku tetap berada di sini demi dia, bukan demi suamiku itu, karena mama pun sadar bahwa tak ada yang bisa kuharapkan dari pria itu. Cinta, kasih sayang, bahkan materi tak dia berikan sesuai hakku sebagai seorang istri.
Kugenggam kedua tangan mama yang semakin hari terasa semakin kurus, “Ma, bisakah kau pergi saja ikut bersamaku dan Zubair? Kita mulai kehidupan baru jauh dari mereka.”
Memang permintaanku terdengar mustahil. Bagaimana mungkin aku meminta seorang ibu meninggalkan anak-anak kandungnya, sementara diriku hanyalah seorang menantu--orang baru yang kebetulan singgah sebagai bagian dari keluarga yang sewaktu-waktu bisa saja kembali berubah status sebagai orang asing.
Dulu, mama mertua tak sebaik seperti sekarang. Di awal pernikahan, beliau kurang menyukaiku. Entah apa alasannya, kurasa beliau hanya sedikit khawatir atas kehadiranku yang mencuri perhatian anak lelakinya. Padahal tak seperti itu kenyataannya. Keberadaanku tak layak disebut sebagai istri yang dicintai. Bahkan, kerap kali aku mendapatkan sikap dingin dari suamiku sendiri. Bagaimana mungkin aku berhasil merebut seluruh perhatiannya seperti yang dikhawatirkan mama pada saat itu. Seiring waktu beliau sendiri lah yang mencoba mendekatkan diri kepadaku.
____
“Hafsa sedang mengandung, Fara. Apa ‘gak sebaiknya kamu tunda saja kepergianmu itu. Kalau sewaktu-waktu dia melahirkan sementara Akram ’gak di sini, apa yang akan terjadi?” Kudengar perdebatan antara mama dan Fara saat Zubair masih berada di dalam kandunganku. Saat itu Mas Akram sedang berada di perjalanan pulang dari perusahaan--tempat di mana dia memimpin usaha, menggantikan posisi ayah mertua sebelum beliau meninggal beberapa tahun yang lalu. Atas permintaan adik iparku, Mas Akram tak menolak untuk menemani perempuan itu menghabiskan akhir pekan di villa milik mendiang ayah mertua di puncak Bogor. Menurut Fara, di tempat yang tak jauh dari villa itu ada pesta pernikahan sahabatnya yang akan berlangsung. Sehingga dia pun memutuskan untuk bertahan sehari setelah pesta pernikahan itu berlangsung, yang artinya Mas Akram dan Fara akan meninggalkanku bersama mama di rumah ini selama kurang lebih dua atau tiga hari.
Saat itu aku tak menaruh kecurigaan sama sekali. Hanya saja aku sedikit kecewa karena Mas Akram tak mengindahkan permintaanku untuk mempersingkat waktu kepergiannya. Bukan tanpa alasan, selama seminggu belakangan ini aku merasakan kontraksi ringan. Dokter menjelaskan bahwa yang aku alami ini kemungkinan hanyalah kontraksi palsu karena menurut pemeriksaan terakhir, posisi kepala janin masih sangat jauh dari jalan lahir.
“Mas Akram yang ‘gak bolehin Fara pergi sendirian, makanya Fara minta Mas Akram yang menemani. Lagi ’pula kalau ada apa-apa kan ada sopir. Manja banget 'sih! Semua serba suami. Jadi perempuan itu harus mandiri, lah!” Fara menjawab ucapan ibunya dengan sengit.
Bukan manja namanya jika seorang istri membutuhkan suaminya sendiri di saat-saat kelahiran putra pertama kami sudah dekat. Justru yang manja itu adalah sikapnya yang begitu bergantung pada kakaknya sementara permintaannya itu tidak begitu mendesak. Bukankah dia adalah perempuan dewasa yang bisa meminta bantuan teman atau sepupu wanitanya yang lain untuk menemani menghadiri acara yang dia maksud.
Hingga waktu itu tiba. Mereka berdua pergi meninggalkan kami. Meski sikapnya kerap dingin, Mas Akram masih menunjukkan sisi baiknya sebagai seorang suami. Sebelum dia pergi, pria itu berpamitan padaku. Dia berikan kecupan di antara kedua alisku. Kemudian kecupan itu berpindah ke permukaan perutku yang membuncit.
“Mas! Ayo!” teriak Fara dengan wajah kesal menghentikan perlakuan manis Mas Akram padaku.
“Maaf … Fara sudah lama menunggu. Mas pergi dulu ya, jangan lupa kabari mas jika terjadi apa-apa.” Barisan kalimat dari mulut Mas Akram terdengar seperti secercah harapan bagiku bahwa sebenarnya ada cinta darinya untukku dan buah hati kami. Tapi, karena dia adalah satu-satunya pria di keluarga ini, maka aku harus dengan rela membiarkan priaku membagi perhatian pada ibu dan adiknya. Itulah yang selalu aku gaungkan pada diriku sendiri sejak di awal pernikahan, bahwa aku tak boleh egois meski rasa cemburu pun pasti pernah kurasakan.
Manusia hanya mampu memprediksi, tapi Allah-lah pemegang kuasa sepenuhnya. Tak lama setelah kepergian suami dan adik iparku, kembali kurasakan kontraksi menyerang rahimku. Namun, kali ini tak seperti biasanya. Durasinya cukup lama dan terasa lebih berat.
Kucoba untuk berpikir positif bahwa hal ini mungkin terjadi hanya karena aku kelelahan. Rasa sakit ini cukup kurasakan sendiri meski sejujurnya aku pun khawatir jika waktu kelahiran buah hatiku tak sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh dokter. Kusibukkan diri ini dengan beristighfar saat rasa sakit itu kembali menyerang. Kukirim pesan pribadi ke akun hijau milik suamiku, tapi sepertinya ponsel milik lelakiku itu sedang tidak aktif. Hingga tengah malam, pesan dariku tak juga dibacanya. Aku hanya mengirimkan pesan singkat menanyakan apakah dia sudah tiba di tujuan.
Ah, sepertinya nyeri yang kurasakan bukan lagi kontraksi palsu. Feeling-ku mengatakan bahwa saatnya sudah dekat untuk bertemu dengan buah hati kami.
“Mas,” ucapku getir dengan bulir peluh di wajah. Kuusap perutku dengan lembut, tapi rasa sakit itu justru semakin intens. Aku tak ingin mengganggu tidur mama mertua, karena saat itu malam sudah sangat larut. Aku berharap jika diri ini masih bisa bertahan hingga pagi. Ragu-ragu kuraih ponselku. Kuputuskan untuk mencoba mengirimkan pesan pada akun suamiku itu sekali lagi.
Hatiku cukup senang saat melihat pesanku tadi siang ternyata sudah dibaca oleh lelakiku meski dia belum membalasnya. Tak mengapa … Mas Akram mungkin belum sempat. Mungkin dia masih sibuk atau lelah setelah perjalanan dari Jakarta menuju villa milik mendiang ayah mertua di Bogor. Urung kukirimkan pesan, jadi kuputuskan untuk langsung menghubunginya saja melalui sebuah panggilan telepon. Ponselnya berdering, tapi panggilan dariku tak kunjung dia jawab. Hingga panggilan ketiga, terdengar suara di seberang sana. Suamiku menerima panggilanku, dan hal sesederhana itu mampu menerbitkan senyum di wajahku ini. Namun, di detik berikutnya senyum yang tadinya terkembang langsung memudar digantikan kernyitan di antara kedua alisku. Bukan suara Mas Akram yang menyambut panggilanku, melainkan desahan samar yang saling bersahutan diikuti gemericik air.
Apa yang terjadi? Apa suamiku tenggelam? Apa dia sedang mandi? Mengapa dia terdengar seperti berada di ruang penuh air tengah malam begini. Bukankah suhu di sana sangat dingin. Apa yang membuatnya memutuskan mandi selarut ini? Berbagai pertanyaan hadir begitu saja di dalam kepalaku bersamaan dengan rasa pening yang hadir tanpa henti.
“Mas, apa yang kamu lakukan.” Aku meringis memegangi perutku yang bergejolak di dalam sana. Sementara aku belum berhasil berbicara dengan ayah dari janin yang kukandung saat ini. Aku harus memberitahunya bahwa kemungkinan dalam waktu dekat putra kami akan lahir.
Panggilan telepon diakhiri oleh suamiku. Namun, aku tak ingin menyerah begitu saja. Kuulangi panggilanku untuk kesekian kalinya tapi tak kunjung mendapatkan jawaban.
Kuabaikan keinginan untuk berbicara dengan suamiku sejenak. Aku berharap semoga tak ada hal buruk apa pun terjadi padanya, termasuk pikiran burukku bahwa dia kemungkinan tenggelam. Jika itu memang terjadi, tentu Fara akan menghubungi orang rumah. Dengan langkah pendek sambil menahan rasa sakit kuayunkan kakiku menuju toilet, karena desakan di dalam sana membuatkan seolah ingin buang air besar. Namun, nihil … Rasa mulas itu bukan karena aku ingin buang air besar. Aku yakin rasa ini murni berasal dari kontraksi di dalam rahimku.
Sekembalinya aku ke dalam kamar, kuputuskan untuk menghubungi Mas Akram, berharap kali ini dia akan menjawab panggilan dariku. Benar saja, akhirnya apa yang aku harapkan akhirnya terjadi. Dia menjawab panggilanku.
“Assalamualaykum, Mas. Sepertinya aku mau melahirkan,” ucapku dengan napas tersengal. Lama tak ada jawaban, hingga beberapa detik terdengar suara serak khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidurnya. Suara seorang perempuan yang pastinya aku kenal.Ya, itu adalah suara Fara--adik iparku.
“Hubungi besok aja ya, Mbak. Mas Akram baru aja tidur. Tadi tenaganya banyak terkuras.” Ucapan Fara terdengar berbisik, sementara ada suara dengkuran menyertai suara adik iparku. Apa itu suara dengkuran suamiku? Bagaimana bisa? Apakah mereka tidur bersama? Ya Allah! Apa aku sedang berhalusinasi?
Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput
AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar
"Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la
Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn
"Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja
HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya