Malam itu juga aku melahirkan putra kami. Beruntung kami memiliki sopir yang sangat cekatan membantuku dan mama mertua dengan mengantarkan kami ke rumah sakit. Mas Akram datang menampakkan wajah tak bersalahnya di hadapanku tepat setelah tiga hari kelahiran Zubair. Aku pun seolah tak punya tenaga untuk mengajaknya berdebat. Aku masih terlalu lelah setelah melahirkan dengan jalan operasi caesar, karena ternyata air ketubanku sudah benar-benar kering sementara pembukaan pada jalan lahir tak mengalami peningkatan sama sekali.
“Maaf,” ucap suamiku saat mata kami saling berserobok. Aku bergeming, tak berminat untuk membahas kejadian malam itu. Suasana hatiku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku berusaha agar tidak terserang baby blues seperti yang dikhawatirkan sebagian besar perempuan di dunia ini. Dengan tetap berpikiran positif, kucoba untuk mengendalikan diri ini.
“Malam itu mas berenang di villa. Mas baru pulang menemani Fara ke acara pesta pernikahan sahabatnya tepat setelah kami tiba di sana.”
Kutajamkan pendengaranku dan menyimak apa yang sedang diceritakan oleh suamiku. Tentu saja aku penasaran atas apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rupanya perkiraanku tidak meleset, suara gemericik air yang terdengar malam itu berasal dari air kolam renang. Untuk apa suamiku berenang di saat larut malam seperti itu?
“Mas sebenarnya dua hari ini demam, maaf kalau mas 'gak buru-buru pulang saat dengar kamu melahirkan.”
Jadi, dia sudah mendengar kabar kelahiran putranya tepat saat aku melahirkan? Luar biasa sekali, bahkan dia tidak sempat untuk sekedar menghubungiku melalui panggilan telepon sama sekali.
“Iya, Mbak. Maaf ya. Malam itu aku dijebak sama teman-teman.” Tiba-tiba saja Fara bersuara dari depan pintu ruang perawatan di rumah sakit. Sejak kapan dia berada di sana? Sungguh aku tak menyadari kehadirannya.
“Dijebak?” tanyaku sambil mengernyit. Kulemparkan pandangan ke arah suamiku. Dia tidak menyadari sama sekali bahwa aku sedang memandanginya untuk mendapatkan jawaban dari apa yang baru saja kudengar melalui mulut adik iparku. Kulihat Mas Akram menggeleng samar ke arah di mana Fara sedang berdiri, seolah memberikan isyarat agar perempuan itu tak meneruskan penjelasannya. Namun, sepertinya Fara tak mengindahkan isyarat dari Mas Akram.
“Teman-teman memasukkan obat perang**** ke dalam minumanku, Mbak.”
Sepertinya aku mulai tertarik untuk tahu lebih jauh dengan perbincangan ini. Tak peduli jika apa yang akan kudengar nantinya akan menyakitkan.
“Fara!” ucap suamiku menginterupsi.
Perempuan itu mengembuskan napas kasar saat suamiku menghentikan ucapannya, “Mas kok ngebentak aku!” ucapnya dengan wajah kesal, sementara Mas Akram justru memalingkan wajah ke arahku dan mengabaikan kekesalan yang ditunjukkan oleh adiknya.
“Sudahlah, kamu istirahat saja. Fara baik-baik saja, jangan khawatir,” ucap Mas Akram seolah aku sangat cemas dengan keadaan adik kesayangannya itu.
Suara tangisan bayi kami memecahkan keheningan yang berlangsung beberapa detik. Senyum bahagia tergambar jelas di wajah suamiku kala mendengar tangisan putra kami untuk pertama kali baginya. Dia berdiri menghampiri ranjang bayi yang berada di sisi brankar tempatku menjalani pemulihan pasca operasi.
“Anak ayah kenapa? Haus?” ucapnya dengan lembut sambil membelai pipi chubby milik buah cinta kami menggunakan punggung jari telunjuknya.
“Zubair?” Suamiku mengernyit saat melihat nama yang tertulis di ranjang bayi milik putra kami.
“Mama yang ngasih nama. Buat sementara aja, Mas. Soalnya nunggu kamu tiga hari 'gak muncul-muncul. Namanya boleh diganti kok.” Sengaja aku menyindir ketidakhadirannya selama tiga hari ini. Tak sekalipun kulihat perubahan di raut wajah suamiku. Itu artinya dia tidak keberatan dengan nama yang diberikan mama mertua kepada putraku.
“Kesannya tua banget ya?” ketus Fara.
“Maksudnya?” tanyaku kemudian.
“Ya nama anakmu lah, Mba. Kesannya tua banget."
“Ga masalah, selagi maknanya baik. Lagipula itu nama salah satu sahabat Nabi,” jawabku dengan santai. Percuma jika aku mendebat perempuan ini, yang ada nantinya aku yang akan disudutkan. Fara memutar kedua bola matanya. Tak sekalipun dia ingin menyentuh keponakan barunya. Perempuan itu tetap berdiri di muara pintu sambil memainkan kuku-kuku panjangnya yang dibalut pewarna. Dia memang pandai merawat tubuh meski usianya sudah kepala tiga, tapi masih terlihat seperti gadis usia dua puluhan. Sayangnya perempuan itu justru tak bisa merawat mulutnya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan.
“Mas, aku capek.” Fara mendekati suamiku dan menggenggam serta menarik-narik tangan pria itu.
“Sebentar, mas masih kangen sama anak mas,” jawab suamiku dengan lembut sambil mengacak puncak kepala adik kesayangannya.
“Kalau gitu, aku pulang sendiri aja," ketus adik iparku. Tak sadarkah dia bahwa posisinya saat ini tak jauh lebih penting dari aku dan putraku bersama kakak kandungnya itu?
“Jangan, sebentar lagi mas selesai. Mas yang akan mengantar kamu pulang.”
Ya Allah, drama apa lagi ini. Setelah kejadian malam itu yang hingga saat ini masih membuatku penasaran, sekarang sikap Mas Akram terhadap adiknya jauh lebih posesif dari pada sebelumnya. Fara menghentakkan kaki dan berniat meninggalkan kami.
“Fara! Dengarkan mas. Mas 'gak mau kamu dicelakakan orang lagi.”
Fara menghentikan langkahnya kemudian membalikkan tubuh, “Aku capek, mas. Rasanya tubuhku belum pulih setelah kejadian malam itu. Aku mau pulang dan tidur,”
Aku mengamati perbincangan kedua orang itu seperti seorang penonton yang menyaksikan sebuah pertunjukan drama. Mereka nampak seperti pasangan kekasih yang sedang bertengkar.
“Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian?” tanyaku penasaran.
“Sudahlah, 'gak terjadi apa-apa. Aku hanya menjaga Fara dari tindakan iseng teman-temannya,” sangkal Mas Akram. Namun, sepertinya Fara sengaja berniat membocorkan rahasia malam itu.
“Aku mabuk dan dijebak meminum obat perangsang, Mba. Mas Akram yang nyelamatin aku.”
Aku masih menyimak dengan terus memokuskan pandangan ke arah adik iparku, menunggu dia menyelesaikan ceritanya meski kudengar Akram berusaha untuk menghentikan ucapan adiknya.
“Mas Akram menceburkan diri bersamaku ke dalam kolam renang. Katanya supaya reaksi obat itu lebih cepat hilang.”
Oh, begitu rupanya. Aku sedikit tenang mendengar pengakuan adik iparku. Menurutku, tindakan yang dilakukan Mas Akram merupakan keputusan tepat. Tak kubayangkan jika reaksi obat itu tetap memengaruhi akal sehat Fara sementara hanya ada Mas Akram di sampingnya. Meskipun mereka berdua adalah saudara kandung, bisikan setan tentu akan memperkuat reaksi obat itu.
“Di luar dugaan. Bukannya menyelamatkan, keputusan Mas Akram justru membuatku nyaris hipotermia karena suhu dingin. Mau 'gak mau Mas Akram membantuku ke kamar dan mengganti pakaian basahku dengan pakaian yang lebih hangat."
Sungguh! Aku tak ingin berpikiran yang bukan-bukan. Tapi penjelasan Fara membuatku terganggu. Aku benci dengan pikiranku sendiri.
“Fara! Ayo pulang." Mas Akram bergegas bangkit menghampiri adik kesayangannya. Sungguh aku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Namun, aku memutuskan untuk seolah tak acuh dan tak terpengaruh dengan cerita Fara.
Tatapan mata Fara nampak protes saat pergelangan tangannya dicengkram oleh Mas Akram yang berusaha membawanya ke luar ruangan.
“Mas nanti akan ke sini lagi,” ucap suamiku.
Ucapannya tak kuiyakan sama sekali. Toh, meski aku memintanya untuk tetap bertahan di sini, keputusan selalu ada di tangannya. Kedua kakak beradik itu melangkah menjauh. Namun, masih bisa kudengar perdebatan di antara mereka bedua.
“Kenapa sih, Mas? Apa yang salah sama penjelasanku.”
Samar kudengar Fara berbicara pada suamiku. Aku kembali menajamkan pendengaran. Beruntung Zubair sudah tak menangis lagi. Bayi lucu itu memang tak terlalu rewel.
Kudengar Mas Akram membalas ucapannya dengan kalimat bisikan yang sulit kuterjemahkan.
“Loh, apa salahnya dia tau kalau Mas malam itu tidur denganku, lagi pula saat itu cuma Mas yang bisa meredakan penderitaanku. Untung saja bukan laki-laki lain yang berhasil meniduriku, 'kan!”
Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah. Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham. Mas Akram, mungkin
Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya. “Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar. Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain. “Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara. “Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulak
“Mas, dia mau bunuh aku.” Kulihat tubuh gemetar Fara yang basah dengan keringat dingin. Air mata lalos membasahi kedua pipinya, sementara Mas Akram terlihat panik sambil mendekap perempuan itu. Baiklah, kurasa segala penjelasan Mas Akram beberapa saat yang lalu memang memiliki korelasi dengan apa yang aku saksikan sekarang. Rasa kasihan tumbuh di hati kecil untuk saudari iparku. Namun, bukan berarti aku harus percaya sepenuhnya begitu saja. “Hafsa, bolehkah--” ucap Mas Akram dengan tatapan memohon setelah adik kesayangannya nampak sedikit tenang. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia akan menemani Fara tidur lagi hingga esok pagi. Meski aku tak rela, sisi kemanusiaanku masih bersedia untuk memaklumi. “Silakan aja, Mas. Tapi besok kita harus lanjutkan pembicaraan kita,” pintaku sambil membereskan sisa pecahan kaca. Beruntung jendela kamar Fara memiliki sistem security tambahan berupa krey aluminium, sehingga meski kacanya pecah tapi ada alternatif lain untuk menutup jendela. Seb
Aku tak ingin melakukan sesuatu dengan gegabah, meski dadaku sudah dipenuhi oleh rasa amarah yang membuncah. Aku akan bersikap elegan kali ini untuk menghadapi masalah di depan mataku. Jika memang ada sesuatu di antara Mas Akram dan Fara, maka aku tak akan segan-segan membuat mereka membayar segala apa pun yang sudah mereka perbuat di belakangku. Tunggu saja, Mas. Suatu saat kau akan menyesal karena sudah melakukan hal ini kepadaku. “Thanks ya, Via. Mas Akram memang bilang ke gue kalau dia ada meeting bareng adik ipar gue. Kasian juga kalau adiknya itu 'gak ada kegiatan samasekali. Bantu dia ya selama kerja bareng lo,” pintaku pada Via seolah-olah aku tak terganggu samasekali atas kenyataan yang baru saja dikatakan oleh mantan partner kerjaku itu, justru meminta Via untuk bisa membantu Fara dalam pekerjaan. Agar tak kentara, aku mencoba membahas hal-hal lain bersama Via. Daripada gelagatku diketahui olehnya. Aku tak ingin masalah rumah tanggaku terendus banyak orang. Kuakhiri pangg
Tak lama ponselku berdering. Kulihat nama Mas Akram yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, kuterima panggilannya dengan mengucap salam, seolah semuanya berjalan normal. “Zubair di mana? Mas kangen,” ucapnya. Aku berdecih pelan. Sepertinya ada yang salah dengan Mas Akram, mengapa baru sekarang dia tunjukkan perhatian terhadap putranya. Kemana saja dia dua hari terakhir ini hingga tak punya waktu hanya sekedar berkirim pesan padaku. “Lagi tidur, Mas. Mau lihat?” Ku-tap icon video agar Mas Akram bisa menyaksikan Zubair yang sedang terlelap di sampingku. Namun, dia abaikan saja. Beberapa detik berlalu, sepertinya Mas Akram tidak memiliki topik untuk dibahas. Mengapa hubungan rumah tangga kami terasa kaku seperti ini? Pikiranku terlempar ke masa lalu, saat Mas Akram berusaha mengejarkau saat aku masih menjadi sekretarisnya. Mas Akram selalu membebaniku pekerjaan-pekerjaan yang tak masuk akal sehingga aku harus memutuskan untuk lembur nyaris setiap hari agar aku bisa terus bersa
Meski ucapan mama mertua sempat mengganggu pikiranku, tapi aku jauh lebih penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Mas Akram bersama Fara. Dari mana mereka mendapatkan voucher menginap dalam rangka bulan madu. Apakah mereka mempublikasikan sebagai pasangan suami istri yang baru saja menikah. Tak mungkin, 'kan jika voucher itu didapat begitu saja. Apa Mas Akram sudah kehilangan akal sehat jika hal itu benar dia lakukan. Tak lama, Zubair menggeliat gelisah, rupanya popok putraku itu basah. Fokusku teralihkan sesaat. Kubersihkan tubuh mungil putra kesayanganku dan kuabaikan sejenak masalah yang sedang menerpa rumah tanggaku. Mungkin pikiran ini tak sepenuhnya mampu mengenyahkan kegelisahan yang ada, meski aku sibuk membersihkan Zubair, tapi Mas Akram dan Fara terus berlarian di dalam kepalaku. Ah! Kalian berdua membuatku benar-benar tak bisa tenang barang sejenak. Kususui Zubair yang terlihat lapar setelah sadar dari tidurnya, bersamaan dengan pikiranku yang terus berada di tem
“Hafsa, kok diem aja?” Larut dalam pemikiranku sendiri, tanpa sadar kuabaikan ucapan suamiku untuk beberapa saat. Aku mengerjap, “Bukan ‘gak mau, Mas. Tapi kayaknya terlalu mendadak. Aku ’gak punya persiapan apa-apa. Bukannya Mas juga gak lama di sana. Nanti juga kita ketemu di Jakarta, Mas.”Jujur, sebenarnya bukan itu alasannya. Aku masih belum bisa percaya bahwa ajakan Mas Akram murni karena dia memang merindukanku. Bisa saja ini adalah rencananya bersama Farha untuk menyingkirkanku. Tiba-tiba aku bergidik ngeri membayangkan kekejaman yang akan mereka lakukan terhadapku demi memuluskan hubungan mereka. “Mas takut ‘gak bisa ketemu kamu lagi, Sayang. Kamu mau ’kan nyusul mas ke sini?” Ucapan Mas Akram membuatku merasa ada sesuatu yang aneh. Apa seperti ini cara Mas Akram meluluhkanku dengan permohonannya, atau mungkinkah ini sebuah jebakan. “Berangkat aja, Hafsa. Stok asi kamu di lemari pendingin ‘kan masih melimpah. Kalau cuma beberapa hari, ’gak apa-apa Zubair mama yang urus. L
Sepanjang perjalanan hanya ada kecemasan yang kurasakan. Air mata yang sekuat tenaga kutahan agar tak terus mengalir, justru membuat kepalaku terasa seolah menghantam benda keras berkali-kali. Sakit … Namun, lebih sakit saat diriku membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada suamiku. Sikap anehnya yang dia tunjukkan tadi malam mungkinkah sebuah firasat bahwa dia akan pergi. Tidak! Hubunganku dengan Mas Akram memang sedang diterpa badai. Namun, bukan berarti aku tak merasakan apa-apa saat dia mengalami musibah ini. Bagaimanapun juga aku pernah mencintainya, dan mungkin rasa itu masih ada untuknya. Setelah mendapatkan panggilan telepon dari rumah sakit tadi, aku langsung menemui ibu mertua di dalam kamar. Beruntung aku memiliki ibu mertua yang begitu pengertian, sehingga beliau langsung mengambil alih Zubair tanpa aku minta. “Ini yang mama khawatirkan sejak dulu,” ucap mama mertua dengan wajah sendu. Aku tahu beliau khawatir dengan keadaan putra sulungnya, tapi beliau