Home / Rumah Tangga / Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar / Chapter 3 (Rahasia di Villa)

Share

Chapter 3 (Rahasia di Villa)

Author: Madam Assili
last update Huling Na-update: 2023-06-07 19:05:49

Malam itu juga aku melahirkan putra kami. Beruntung kami memiliki sopir yang  sangat cekatan membantuku dan mama mertua dengan mengantarkan kami ke rumah sakit.  Mas Akram datang menampakkan wajah tak bersalahnya di hadapanku tepat setelah tiga hari kelahiran Zubair. Aku pun seolah tak punya tenaga untuk mengajaknya berdebat. Aku masih terlalu lelah setelah melahirkan dengan jalan operasi caesar, karena ternyata air ketubanku sudah benar-benar kering sementara pembukaan pada  jalan lahir tak mengalami peningkatan sama sekali. 

“Maaf,” ucap suamiku saat mata kami saling berserobok. Aku bergeming, tak berminat untuk membahas kejadian malam itu. Suasana hatiku pun sedang tidak baik-baik saja. Aku berusaha agar tidak terserang baby blues seperti yang dikhawatirkan sebagian besar perempuan di dunia ini. Dengan tetap berpikiran positif, kucoba untuk mengendalikan diri ini. 

“Malam itu mas berenang di villa. Mas baru pulang menemani Fara ke acara pesta pernikahan sahabatnya tepat setelah kami tiba di sana.”

Kutajamkan pendengaranku dan menyimak apa yang sedang diceritakan oleh suamiku. Tentu saja aku penasaran atas apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rupanya perkiraanku tidak meleset, suara gemericik air yang terdengar malam itu berasal dari air kolam renang. Untuk apa suamiku berenang di saat larut malam seperti itu? 

“Mas sebenarnya dua hari ini demam, maaf kalau mas 'gak buru-buru pulang saat dengar kamu melahirkan.”

Jadi, dia sudah mendengar kabar kelahiran putranya tepat saat aku melahirkan? Luar biasa sekali, bahkan dia tidak sempat untuk sekedar menghubungiku melalui panggilan telepon sama sekali. 

“Iya, Mbak. Maaf ya. Malam itu aku dijebak sama teman-teman.” Tiba-tiba saja Fara bersuara dari depan pintu ruang perawatan di rumah sakit. Sejak kapan dia berada di sana? Sungguh aku tak menyadari kehadirannya. 

“Dijebak?” tanyaku sambil mengernyit. Kulemparkan pandangan ke arah suamiku. Dia tidak menyadari sama sekali bahwa aku sedang memandanginya untuk mendapatkan jawaban dari apa yang baru saja kudengar melalui mulut adik iparku. Kulihat Mas Akram menggeleng samar ke arah di mana Fara sedang berdiri, seolah memberikan isyarat agar perempuan itu tak meneruskan penjelasannya. Namun, sepertinya Fara tak mengindahkan isyarat dari Mas Akram. 

“Teman-teman memasukkan obat perang**** ke dalam minumanku, Mbak.”

Sepertinya aku mulai tertarik untuk tahu lebih jauh dengan perbincangan ini. Tak peduli jika apa yang akan kudengar nantinya akan menyakitkan. 

“Fara!” ucap suamiku menginterupsi. 

Perempuan itu mengembuskan napas kasar saat suamiku menghentikan ucapannya, “Mas kok ngebentak aku!” ucapnya dengan wajah kesal, sementara Mas Akram justru memalingkan wajah ke arahku dan mengabaikan kekesalan yang ditunjukkan oleh adiknya.

“Sudahlah, kamu istirahat saja. Fara baik-baik saja, jangan khawatir,” ucap Mas Akram seolah aku sangat cemas dengan keadaan adik kesayangannya itu. 

Suara tangisan bayi kami memecahkan keheningan yang berlangsung beberapa detik. Senyum bahagia tergambar jelas di wajah suamiku kala mendengar tangisan putra kami untuk pertama kali baginya. Dia berdiri menghampiri ranjang bayi yang berada di sisi brankar tempatku menjalani pemulihan pasca operasi. 

“Anak ayah kenapa? Haus?” ucapnya dengan lembut sambil membelai pipi chubby milik buah cinta kami menggunakan punggung jari telunjuknya. 

“Zubair?” Suamiku mengernyit saat melihat nama yang tertulis di ranjang bayi milik putra kami.

“Mama yang ngasih nama. Buat sementara aja, Mas. Soalnya nunggu kamu tiga hari 'gak muncul-muncul.  Namanya boleh diganti kok.” Sengaja aku menyindir ketidakhadirannya selama tiga hari ini. Tak sekalipun kulihat perubahan di raut wajah suamiku. Itu artinya dia tidak keberatan dengan nama yang diberikan mama mertua kepada putraku. 

“Kesannya tua banget ya?” ketus Fara. 

“Maksudnya?” tanyaku kemudian. 

“Ya nama anakmu lah, Mba. Kesannya tua banget." 

“Ga masalah, selagi maknanya baik. Lagipula itu nama salah satu sahabat Nabi,” jawabku dengan santai. Percuma jika aku mendebat perempuan ini, yang ada nantinya aku yang akan disudutkan. Fara memutar kedua bola matanya. Tak sekalipun dia ingin menyentuh keponakan barunya. Perempuan itu tetap berdiri di muara pintu sambil memainkan kuku-kuku panjangnya yang dibalut pewarna. Dia memang pandai merawat tubuh meski usianya sudah kepala tiga, tapi masih terlihat seperti gadis usia dua puluhan. Sayangnya perempuan itu justru tak bisa merawat mulutnya untuk tidak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. 

“Mas, aku capek.” Fara mendekati suamiku dan menggenggam serta menarik-narik tangan pria itu.

“Sebentar, mas masih kangen sama anak mas,” jawab suamiku dengan lembut sambil mengacak puncak kepala adik kesayangannya. 

“Kalau gitu, aku pulang sendiri aja," ketus adik iparku. Tak sadarkah dia bahwa posisinya saat ini tak jauh lebih penting dari aku dan putraku bersama kakak kandungnya itu?

“Jangan, sebentar lagi mas selesai. Mas yang akan mengantar kamu pulang.”

Ya Allah, drama apa lagi ini. Setelah kejadian malam itu yang hingga saat ini masih membuatku penasaran, sekarang sikap Mas Akram terhadap adiknya  jauh lebih posesif dari pada sebelumnya.  Fara menghentakkan kaki dan berniat meninggalkan kami. 

“Fara! Dengarkan mas. Mas 'gak mau kamu dicelakakan orang lagi.”

Fara menghentikan langkahnya kemudian membalikkan tubuh, “Aku capek, mas. Rasanya tubuhku belum pulih setelah kejadian malam itu. Aku mau  pulang dan tidur,”

Aku mengamati perbincangan kedua orang itu seperti seorang penonton yang menyaksikan sebuah pertunjukan drama. Mereka nampak seperti pasangan kekasih yang sedang bertengkar. 

“Sebenarnya apa yang terjadi dengan kalian?” tanyaku penasaran. 

“Sudahlah, 'gak terjadi apa-apa. Aku hanya menjaga Fara dari tindakan iseng teman-temannya,” sangkal Mas Akram. Namun, sepertinya Fara sengaja berniat membocorkan rahasia malam itu. 

“Aku mabuk dan dijebak meminum obat perangsang, Mba. Mas Akram yang nyelamatin aku.”

Aku masih menyimak dengan terus memokuskan pandangan ke arah adik iparku, menunggu dia menyelesaikan ceritanya meski kudengar Akram berusaha untuk menghentikan ucapan adiknya. 

“Mas Akram menceburkan diri bersamaku ke dalam kolam renang. Katanya supaya reaksi obat itu lebih cepat hilang.”

Oh, begitu rupanya. Aku sedikit tenang mendengar pengakuan adik iparku. Menurutku, tindakan yang dilakukan Mas Akram merupakan keputusan tepat. Tak kubayangkan jika reaksi obat itu tetap memengaruhi akal sehat Fara sementara  hanya ada Mas Akram di sampingnya. Meskipun mereka berdua adalah saudara kandung, bisikan setan tentu akan memperkuat reaksi obat itu. 

“Di luar dugaan. Bukannya menyelamatkan, keputusan Mas Akram justru membuatku nyaris hipotermia karena suhu dingin. Mau 'gak mau Mas Akram membantuku ke kamar dan mengganti pakaian basahku dengan pakaian yang lebih hangat."

Sungguh! Aku tak ingin berpikiran yang bukan-bukan. Tapi penjelasan Fara membuatku terganggu. Aku benci dengan pikiranku sendiri. 

“Fara!  Ayo pulang." Mas Akram bergegas bangkit menghampiri adik kesayangannya. Sungguh aku penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Namun, aku memutuskan untuk seolah tak acuh dan tak terpengaruh dengan cerita Fara.

Tatapan mata Fara nampak protes saat pergelangan tangannya dicengkram oleh Mas Akram yang berusaha membawanya ke luar ruangan. 

“Mas nanti akan ke sini lagi,” ucap suamiku. 

Ucapannya tak kuiyakan sama sekali. Toh, meski aku memintanya untuk tetap bertahan di sini, keputusan selalu ada di tangannya. Kedua kakak beradik itu melangkah menjauh. Namun, masih bisa kudengar perdebatan di antara mereka bedua. 

“Kenapa sih, Mas? Apa yang salah sama penjelasanku.” 

Samar kudengar Fara berbicara pada suamiku. Aku kembali menajamkan pendengaran. Beruntung Zubair sudah tak menangis lagi. Bayi lucu itu memang tak terlalu rewel. 

Kudengar Mas Akram membalas ucapannya dengan kalimat bisikan yang sulit kuterjemahkan. 

“Loh, apa salahnya dia tau kalau Mas malam itu tidur denganku, lagi pula saat itu cuma Mas yang bisa meredakan penderitaanku. Untung saja bukan laki-laki lain yang berhasil meniduriku, 'kan!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 49 (Memergoki)

    Lelah, tapi seolah beban besar di dadaku seperti lenyap setelahnya. Aku hanya ingin menetralkan degup jantung dengan memejamkan mata. Namun, sepertinya aku kebablasan. Aku terlelap. Terlalu dalam, hingga saat aku tersadar tak kudapati lagi Hafsaku di sisi tubuh ini. Ah, pasti dia sudah pergi. Bukankah dia sudah meminta izinku tadi. Kupikir dia akan membatalkan janji temu itu. Kuregangkan tubuh dan menyentuh permukaan seprei bekas tubuh istriku. Jika dulu biasanya aku ingin segera mengganti seprei sisa percintaan kami, kali ini aku justru membiarkannya begitu saja. Entah mengapa bahkan bekas keringat istriku saja aku enggan kehilangan. Bagaimana jika aku benar-benar kehilangan sosoknya secara utuh?Hari ini aku bertekad untuk mempertahankan hubungan sakral pernikahan kami. Aku ingin memantaskan diri untuk mendampinginya. Aku tak boleh kehilangan Hafsaku hanya karena kebodohanku sendiri.Tanpa banyak membuang waktu, aku bersegera membersihkan diri. Tujuanku setelah ini adalah menjemput

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 48 (Kau Masih Istriku)

    AkramSepekan setelah kematian mama, aku mencoba untuk kembali bangkit. Hari ini adalah hari pertamaku kembali bekerja. Sejak kejadian nahas itu, aku seolah kehilangan semangat hidup. Namun, Hafsa tak henti-hentinya menyemangatiku. Kutanamkan tekad untuk memberi jarak pada Hafsa agar dia sadar bahwa melanjutkan rumah tangga ini bukanlah keputusan bijak baginya. Kupikir inilah yang terbaik. Saat ini kami tinggal di unit apartemen milikku yang lokasinya sedikit lebih jauh dari perusahaan yang kupimpin. Lokasi ini searah dengan kediaman Ustadz Faisal--laki-laki yang entah mengapa membuatku tak suka meski kuakui jika sikapnya begitu santun. Hafsa yang tidak peka atas apa yang aku rasakan justru seolah menabur garam di atas luka. Kedekatannya bersama Ustadz Faisal seakan memperburuk rasa cemburuku. Padahal tadinya aku ingin melepaskan Hafsa demi kebaikannya. Aku bahkan berencana menceraikannya setelah empat puluh hari kematian mama. "Mas, mau ke kantor pagi ini?" Pertanyaan yang sebenar

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 47 (Salah Paham)

    "Lo lama banget, abis ngapain aja sih sama Si Bos?" ucap Via memberengut setelah menyerubut sedotan terakhir lemon tea-nya. Aku tak mungkin menceritakan kejadian yang baru saja kualami di rumah. Bagaimana pun juga ini adalah kisah rumah tanggaku yang harus kujaga dari orang luar. Sedikit banyak aku mulai menulusuri link-link sosial media untuk memperdalam agama. Sebagian orang meremehkan caraku yang belajar tanpa duduk langsung di majlis ilmu. Gelar santri online dadakan kerap dijadikan gunjingan dari mereka yang merasa lebih berilmu. Padahal, aku punya alasan untuk itu, yang tentunya tidak menyalahi usahaku akhir-akhir ini. "Lo pernah denger gak hadis riwayat Muslim dan Abu Dawud?" ucapku tersenyum. "Feeling gue, lo bakal ngasih tausiyah buat calon pengantin deh." Via terkekeh sebelum melipat bibirnya ke dalam."Exactly!" seruku sambil terkekeh. "Ya walau pun rumah tangga gue bukan contoh yang baik, setidaknya ucapan gue bisa jadi nasihat buat gue sendiri dan lo yang sebentar la

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 46 (Terkuak)

    Aku kembali ke kamar setelah tadi menempatkan Zubair di dalam playfence-nya. Aku beruntung karena putraku bukanlah balita yang rewel dan mudah sekali menyesuaikan keadaan. Rupanya dia tertidur karena kelelahan bermain sendiri. Rasa iba mendera hatiku saat melihat wajah lugunya yang terlelap. Nak, semoga dosa ayahmu tidak diwariskan padamu. Semoga Allah menjagamu, memeliharamu dari kemaksiatan seperti yang sedang dilakukan ayahmu. Kuketikkan pesan pada Via melalui ponselku, "Vi ... Gue ga bisa on time. Zubair ketiduran, gue gak tega langsung bangunin. Tunggu bentar lagi ya. Lo ga papa nunggu 'kan?" Saat itu juga Via yang terlihat online membalas pesanku dengan persetujuannya. Walau hatiku masih bergemuruh, aku masih bisa mengembangkan senyum saat menerima pesan Via dan saat mataku menyorotkan pandangan ke arah Zubair. "Kamu belum berangkat, kan? Zubair tidur, 'kan? Ayo!" Mas Akram tiba-tiba saja muncul, menarik tanganku ke luar kamar dan mambawaku mengikutiya ke dalam kamar milikn

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 45 (Rencana Pernikahan)

    "Assalamu'alaykum Via?" ucapku saat tiba-tiba mantan rekan kerjaku menghubungi. Akhir-akhir ini dia kerap menanyakan kabarku dan Zubair. Kurasa tak ada salahnya jika aku memiliki teman dekat, bukan? Apalagi Via selalu memberikan masukan positif padaku. Dia pun mengerti batasan di antara kami. Komunikasi kami tak melulu tentang masalah hidupku karena Via mengerti kapasitasnya sebagai seorang teman yang tak harus tahu segalanya. Aku pun berusaha untuk menghindari menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi padanya. "Lo kenapa Sa?" tanyanya di dalam panggilan telepon. "Apaan?" Aku terkekeh, tak ingin Via curiga. Ya, mungkin saja nada suaraku membuatnya sedikit heran. Aku berdehem, " Gue blm sempat minum habis sarapan dan udah buru-buru nerima panggilan dari lo," kilahku lagi. "Napas lo, Sa. Napas lo! Lo habis ngapain sama Pak Bos?" goda Via. Kuembuskan napas dengan menjauhkan wajah dari ponsel, agar Via tak semakin curiga. Jantungku berdenyut perih untuk kesekian kalinya. Andai saja

  • Mimpi Buruk di Kamar Adik Ipar   CHAPTER 44 (Perempuan di Unit Apartemen)

    HafsaDi sinilah kami sekarang, salah satu apartemen mewah milik almarhum papa mertua. Tempat yang sementara ini dapat menaungi kami setelah kejadian nahas yang menimpa rumah utama Mas Akram. Mas Akram pernah mengatakan padaku bahwa dia akan segera membangun kembali hunian di atas tanah yang yang terbakar agar memorinya tentang kedua orang tuanya tetap terjaga.Aku pun menyetujui semua keputusan Mas Akram, meski aku khawatir jika ingatan tentang Fara bisa saja terus menghantui pikitran kami. Namun, akhir-akhir ini Mas akram tak sekali pun membahas tentang wanita itu. Apa dia sudah melupakannya?Kupikir setelah kejadian ini suamiku bisa sedikit berubah sikapnya. Jujur saja aku bisa sangat mudah memaafkan kejadian yang telah berlalu, asalkan Mas Akramku mau berubah dan memulai hubungan kami dari awal dengan kesungguhan untuk berubah. Nyatanya tidak!Dia bahkan meminta kamar terpisah denganku dan Zubair dalam rentang waktu yang tak bisa ditentukan!"Mas ingin menenangkan diri," ucapnya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status