Share

Chapter 4 (Fara dan Handuk Milikku)

Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah. 

Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham.  Mas Akram, mungkin aku memang belum mengenalmu dengan baik. Hati kecilku berkata  bahwa semua tak seburuk yang terlihat seperti sekarang.

____

Tak seperti janjinya untuk kembali ke rumah sakit, Mas Akram kembali menghilang dan tak menjenguk kami di rumah sakit setelah kepergiannya bersama Fara yang meninggalkan tanda tanya besar. Bahkan ini adalah hari kedua sejak kejadian itu. Namun, Mas Akram tak kunjung terlihat di hadapan kami. Selama dua hari itu mama mertua lah yang menjagaku. Tak banyak yang kami bahas, mungkin karena mama mertua hanya ingin menjaga mood-ku agar tetap baik. Namun, raut wajahnya tak bisa mendustaiku setiap kali aku menyebut nama Mas Akram. Kerap kali beliau berusaha mengalihkan pembicaraan, dan aku tak akan memaksa beliau untuk membahas putra sulungnya itu. 

“Apa 'gak sebaiknya kamu tetap di sini, Hafsa? Mama ingin kondisimu benar-benar pulih dulu, barulah kita kembali ke rumah,” ucap mama mertua sambil mengganti popok Zubair yang basah. Beruntung aku memiliki mertua seperti beliau. Jika saja sikap beliau sama seperti putri bungsunya, mungkin sudah sejak lama aku menyerah dan angkat kaki dari kediaman mereka. Saat kurasa bahwa kesehatanku mulai pulih, apa lagi yang kutunggu selain pulang ke tempat tinggal kami?

“Hafsa sudah merasa enakan, Ma. Lagi pula, Hafsa rindu masakan rumahan,” jawabku sekenanya. 

Kulihat mama mertua mengembuskan napas lesu dengan samar sambil menggendong Zubair yang kembali terlelap setelah popok dan pakaiannya sudah diganti. Beliau duduk di ujung brankar, “Mama bisa buatkan kamu masakan rumahan jika itu yang kamu mau, Nak.”

Aku tahu setulus apa mama mertuaku, tapi sikap beliau kali ini justru terpaksa membuatku menaruh kecurigaan. Beliau terkesan ingin mencegahku agar urung pulang ke rumah. Ada apa sebenarnya? Tiba-tiba saja aku memikirkan Fara dan suamiku. Apakah keberadaan mereka berdua di rumah ada hubungannya dengan sikap mama mertua yang seolah sedang menyembunyikan sesuatu? Aku tak ingin banyak berspekulasi sebelum mengetahui fakta sebenarnya dengan mata kepalaku sendiri. 

Tak lama, seorang dokter datang melakukan kunjungan. Mama mertua tak mampu berucap apa-apa lagi di saat dokter sendiri lah yang menyarankanku untuk pulang. Tak seharusnya berlama-lama berada di rumah sakit jika sudah tidak dibutuhkan, karena kondisi saat ini sedang tidak baik-baik saja, penyakit menular sedang mewabah sementara Zubair kecilku rentan terhadap paparan penyakit. 

“Kenapa, Ma?” tanyaku saat kunjungan dokter berakhir. Lamat-lamat kupandangi wajahnya yang murung saat beliau membereskan berbagai perlengkapan milik cucu lelakinya. Aku tahu, beliau sedang memikirkan sesuatu, dan aku tahu yakin  saat ini beliau belum siap untuk berbagi keluh kesah bersama menantunya ini. 

Mama mertua menggeleng, “Mama 'gak kenapa-napa. Mama cuma khawatir sama keadaanmu. Apa luka operasimu sudah benar-benar  kering?”

Ah, Mama mertua. Beliau tak pandai menutupi kegelisahan. Bukankah beberapa saat yang lalu dokter sudah menjelaskan panjang lebar pada kami. Meski lukaku masih rentan, tapi kondisiku sudah bisa dikatakan cukup baik. Tentu saja aku akan segera pulih dan bisa beraktifitas seperti biasanya. 

Aku berdiri meninggalkan brankar, kemudian mendekati wanita paruh baya itu, “Jangan khawatir, Ma. Justru akan lebih baik jika Hafsa dan Zubair pulang. Pasti Mas Akram sudah gelisah ingin ketemu sama Zubair. Kasian Mas Akram karena terlalu sibuk dengan perusahaan yang dia pimpin, dia jadi 'gak sempat ke sini.” 

Aku mencoba menampakkan senyum tulus, meski hati mengkhianati ucapanku sendiri. Bagaimana bisa suamiku tak menjenguk aku dan buah hatinya. Apakah dia sesibuk itu mengurus pekerjaan? Atau terlalu sibuk mengurus adik kesayangannya. Ah! Lagi-lagi Fara yang membuatku galau seperti ini. 

Mama mertua menggeleng samar, entah apa maksudnya. Kulihat beliau menghubungi seseorang melalui ponsel, tapi dari gestur yang beliau tunjukkan sepertinya orang yang sedang dihubungi tidak menerima panggilan mertuaku itu. 

“Pulang naik taksi, 'gak apa-apa? Atau gimana kalau kita nginap semalam lagi di sini?” tanya beliau sambil menoleh ke arahku. 

Belum sempat aku menjawab, beliau kembali bersuara, “Ponsel Akram 'gak bisa dihubungi. Mungkin kehabisan daya. Sopir di rumah juga lagi ijin pulang kampung, katanya ibunya sakit.”

Mama mertua terlihat masih menggenggam ponsel beliau, sepertinya wanita dengan wajah gelisah itu berusaha menghubungi seseorang, mungkin putrinya. Namun, hal sama terjadi. Tak seorang pun menjawab panggilannya. 

“Ma, 'gak masalah pulang naik taksi. Mama jangan panik gitu, dong," godaku. Memang benar, tak ada masalah jika harus pulang dengan menggunakan jasa taksi. Apalagi di jaman yang serba mudah seperti ini, menggunakan aplikasi taksi online adalah langkah yang akan aku lakukan. 

Mama mertua tersenyum kecut, sementara aku mulai melakukan pemesanan taksi online, ada pun sisa  biaya perawatan di  rumah sakit sudah diselesaikan dengan mengirimkan tagihan pada kartu kredit suamiku dipotong deposit yang menggunakan uang tabunganku sendiri saat pertama kali tiba di rumah sakit ini.  

Melalui chatt aplikasi, kuminta sopir taksi untuk membantu kami mengangkat barang bawaan yang berada di dalam kamar perawatan, tentunya beliau akan kuhadiahi uang tip atas pelayanan ekstra ini. Putraku yang tampan masih setia dengan mimpinya sendiri di dalam gendongan sang nenek. Sementara aku berjalan kaki menuju lobby bersisian dengan mama mertuaku tanpa menggunakan kursi roda. Tubuhku sudah mulai pulih meski belum bisa menggendong Zubair dalam waktu lama. 

Hening menyelimuti perjalanan kami. Mama tak berucap apa-apa selama berada di dalam taksi. Hanya sesekali mengecupi pipi cucunya yang terkadang senyum meski sedang terlelap. Bagiku lebih baik begitu, daripada percakapan kami berakhir dengan nama-nama yang ingin kami hindari untuk dibahas--Fara dan Mas Akram meski dalam kepala ini terus memikirkan dua nama itu,

Tiba di halaman rumah, atmosfer berbeda yang kembali kurasakan. Entah dapat dorongan dari mana, aku ingin segera masuk ke dalam rumah dengan tujuan kamar pribadiku. Sopir yang membawa kami kembali membantu mengangkat barang-barang hingga ke ambang pintu. Kutinggalkan Mama mertua yang masih menggendong Zubair di ruang tamu. Tujuanku sama seperti yang aku pikirkan tadi, kamar pribadiku. 

Degup jantungku bertalu dengan cepat. Entah karena gugup akan bertemu dengan suamiku atau mungkin rasa itu hadir karena ada Fara tinggal di rumah ini. Segera kutapaki anak-anak tangga yang menghubungkan ruang tamu menuju lantai dua, di mana kamarku berada. Aku tahu jika mama mertua mencoba memperingatkanku untuk tidak menaiki anak tangga, beliau bahkan sempat berpesan saat berada di rumah sakit tadi bahwa beliau ingin aku dan Zubair menempati kamar yang diperuntukkan bagi tamu yang berada di lantai bawah untuk sementara waktu hingga aku benar-benar pulih. Namun, kuabaikan perkataannya. 

Hingga saat aku tiba di depan kamar, kubuka pintu  ruang pribadiku itu perlahan. Mataku membola menyaksikan sesuatu di hadapanku. 

“Maaf, Mba … Kamar mandimu aku pinjam sebentar,” ucap Fara mengedipkan salah satu matanya dan berlalu dengan kondisi tubuhnya yang hanya dibalut handuk sebatas dada hingga paha. Dia melewatiku begitu saja tanpa beban menuju ke arah kamarnya, menyisakan pertanyaan di dalam kepalaku. Kuedarkan pandangan ke sekitar kamar. Kulihat pakaian adik iparku lengkap dengan dalamannya tergeletak begitu saja di atas sofa di muara ranjangku. Dadaku bergemuruh saat melihat ada pakaian dalam Mas Akram juga berada di tempat yang sama. Tak hanya itu, seprai tempat tidurku pun terlihat berantakan dengan beberapa bantal guling yang jatuh ke lantai.

Oh! Adakah sesuatu yang terjadi di sini saat aku tak berada di rumah? 

“Mas,” ucapku setengah berbisik saat membuka kamar mandi. Kulihat mas Akram dengan rambut basah sedang bercermin di dalam sana menggunakan handuk senada dengan yang dikenakan Fara tadi. Tentu saja handuk yang dikenakan perempuan itu adalah milikku. Sementara Mas Akram membalut tubuhnya dengan handuk hanya sebatas bawah pusar.  

“Sebentar, Fara … Mas belum selesai. Nanti mas nyusul ke tempat tidur,” ucapnya sangat lembut dengan tetap fokus menatap cermin sambil mengoleskan krim pelembab ke permukaan kulit wajahnya. 

Rupanya Mas Akram tak menyadari bahwa aku lah yang memanggil. ‘Mas, katakan bahwa aku terlalu berlebihan jika menganggap kau telah mengkhianati pernikahan kita,’ teriakku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status