Apa aku tidak salah dengar? Mereka tidur bersama? Tidur dalam artian sebenarnya atau sesuatu yang tak seharusnya, yang membuatku gusar seperti ini. Mas Akram, apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian berdua. Entah apa yang aku alami saat ini, semuanya dirasa tak masuk akal. Bagaimana mungkin Mas Akram memiliki hubungan khusus bersama adiknya kandungnya sendiri. Tapi, mengapa bisa sikap Mas Akram terhadap perempuan itu seolah menyiratkan kedekatan lebih dari sekedar hubungan sedarah.
Suara-suara perdebatan mereka tak lagi mampu kudengar, Entah karena aku sudah tak fokus lagi, atau mungkin saat ini mereka sudah pergi. Baiklah, yang utama saat ini adalah pulih dari pasca melahirkanku. Setelah ini aku akan melakukan sesuatu yang semestinya harus kulakukan. Aku tak bisa memutuskan apapun dengan terburu-buru, karena aku tahu bahwa kondisiku tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Aku masih syok dengan apa yang aku dengar, dan mungkin saja aku hanya salah paham. Mas Akram, mungkin aku memang belum mengenalmu dengan baik. Hati kecilku berkata bahwa semua tak seburuk yang terlihat seperti sekarang.
____
Tak seperti janjinya untuk kembali ke rumah sakit, Mas Akram kembali menghilang dan tak menjenguk kami di rumah sakit setelah kepergiannya bersama Fara yang meninggalkan tanda tanya besar. Bahkan ini adalah hari kedua sejak kejadian itu. Namun, Mas Akram tak kunjung terlihat di hadapan kami. Selama dua hari itu mama mertua lah yang menjagaku. Tak banyak yang kami bahas, mungkin karena mama mertua hanya ingin menjaga mood-ku agar tetap baik. Namun, raut wajahnya tak bisa mendustaiku setiap kali aku menyebut nama Mas Akram. Kerap kali beliau berusaha mengalihkan pembicaraan, dan aku tak akan memaksa beliau untuk membahas putra sulungnya itu.
“Apa 'gak sebaiknya kamu tetap di sini, Hafsa? Mama ingin kondisimu benar-benar pulih dulu, barulah kita kembali ke rumah,” ucap mama mertua sambil mengganti popok Zubair yang basah. Beruntung aku memiliki mertua seperti beliau. Jika saja sikap beliau sama seperti putri bungsunya, mungkin sudah sejak lama aku menyerah dan angkat kaki dari kediaman mereka. Saat kurasa bahwa kesehatanku mulai pulih, apa lagi yang kutunggu selain pulang ke tempat tinggal kami?
“Hafsa sudah merasa enakan, Ma. Lagi pula, Hafsa rindu masakan rumahan,” jawabku sekenanya.
Kulihat mama mertua mengembuskan napas lesu dengan samar sambil menggendong Zubair yang kembali terlelap setelah popok dan pakaiannya sudah diganti. Beliau duduk di ujung brankar, “Mama bisa buatkan kamu masakan rumahan jika itu yang kamu mau, Nak.”
Aku tahu setulus apa mama mertuaku, tapi sikap beliau kali ini justru terpaksa membuatku menaruh kecurigaan. Beliau terkesan ingin mencegahku agar urung pulang ke rumah. Ada apa sebenarnya? Tiba-tiba saja aku memikirkan Fara dan suamiku. Apakah keberadaan mereka berdua di rumah ada hubungannya dengan sikap mama mertua yang seolah sedang menyembunyikan sesuatu? Aku tak ingin banyak berspekulasi sebelum mengetahui fakta sebenarnya dengan mata kepalaku sendiri.
Tak lama, seorang dokter datang melakukan kunjungan. Mama mertua tak mampu berucap apa-apa lagi di saat dokter sendiri lah yang menyarankanku untuk pulang. Tak seharusnya berlama-lama berada di rumah sakit jika sudah tidak dibutuhkan, karena kondisi saat ini sedang tidak baik-baik saja, penyakit menular sedang mewabah sementara Zubair kecilku rentan terhadap paparan penyakit.
“Kenapa, Ma?” tanyaku saat kunjungan dokter berakhir. Lamat-lamat kupandangi wajahnya yang murung saat beliau membereskan berbagai perlengkapan milik cucu lelakinya. Aku tahu, beliau sedang memikirkan sesuatu, dan aku tahu yakin saat ini beliau belum siap untuk berbagi keluh kesah bersama menantunya ini.
Mama mertua menggeleng, “Mama 'gak kenapa-napa. Mama cuma khawatir sama keadaanmu. Apa luka operasimu sudah benar-benar kering?”
Ah, Mama mertua. Beliau tak pandai menutupi kegelisahan. Bukankah beberapa saat yang lalu dokter sudah menjelaskan panjang lebar pada kami. Meski lukaku masih rentan, tapi kondisiku sudah bisa dikatakan cukup baik. Tentu saja aku akan segera pulih dan bisa beraktifitas seperti biasanya.
Aku berdiri meninggalkan brankar, kemudian mendekati wanita paruh baya itu, “Jangan khawatir, Ma. Justru akan lebih baik jika Hafsa dan Zubair pulang. Pasti Mas Akram sudah gelisah ingin ketemu sama Zubair. Kasian Mas Akram karena terlalu sibuk dengan perusahaan yang dia pimpin, dia jadi 'gak sempat ke sini.”
Aku mencoba menampakkan senyum tulus, meski hati mengkhianati ucapanku sendiri. Bagaimana bisa suamiku tak menjenguk aku dan buah hatinya. Apakah dia sesibuk itu mengurus pekerjaan? Atau terlalu sibuk mengurus adik kesayangannya. Ah! Lagi-lagi Fara yang membuatku galau seperti ini.
Mama mertua menggeleng samar, entah apa maksudnya. Kulihat beliau menghubungi seseorang melalui ponsel, tapi dari gestur yang beliau tunjukkan sepertinya orang yang sedang dihubungi tidak menerima panggilan mertuaku itu.
“Pulang naik taksi, 'gak apa-apa? Atau gimana kalau kita nginap semalam lagi di sini?” tanya beliau sambil menoleh ke arahku.
Belum sempat aku menjawab, beliau kembali bersuara, “Ponsel Akram 'gak bisa dihubungi. Mungkin kehabisan daya. Sopir di rumah juga lagi ijin pulang kampung, katanya ibunya sakit.”
Mama mertua terlihat masih menggenggam ponsel beliau, sepertinya wanita dengan wajah gelisah itu berusaha menghubungi seseorang, mungkin putrinya. Namun, hal sama terjadi. Tak seorang pun menjawab panggilannya.
“Ma, 'gak masalah pulang naik taksi. Mama jangan panik gitu, dong," godaku. Memang benar, tak ada masalah jika harus pulang dengan menggunakan jasa taksi. Apalagi di jaman yang serba mudah seperti ini, menggunakan aplikasi taksi online adalah langkah yang akan aku lakukan.
Mama mertua tersenyum kecut, sementara aku mulai melakukan pemesanan taksi online, ada pun sisa biaya perawatan di rumah sakit sudah diselesaikan dengan mengirimkan tagihan pada kartu kredit suamiku dipotong deposit yang menggunakan uang tabunganku sendiri saat pertama kali tiba di rumah sakit ini.
Melalui chatt aplikasi, kuminta sopir taksi untuk membantu kami mengangkat barang bawaan yang berada di dalam kamar perawatan, tentunya beliau akan kuhadiahi uang tip atas pelayanan ekstra ini. Putraku yang tampan masih setia dengan mimpinya sendiri di dalam gendongan sang nenek. Sementara aku berjalan kaki menuju lobby bersisian dengan mama mertuaku tanpa menggunakan kursi roda. Tubuhku sudah mulai pulih meski belum bisa menggendong Zubair dalam waktu lama.
Hening menyelimuti perjalanan kami. Mama tak berucap apa-apa selama berada di dalam taksi. Hanya sesekali mengecupi pipi cucunya yang terkadang senyum meski sedang terlelap. Bagiku lebih baik begitu, daripada percakapan kami berakhir dengan nama-nama yang ingin kami hindari untuk dibahas--Fara dan Mas Akram meski dalam kepala ini terus memikirkan dua nama itu,
Tiba di halaman rumah, atmosfer berbeda yang kembali kurasakan. Entah dapat dorongan dari mana, aku ingin segera masuk ke dalam rumah dengan tujuan kamar pribadiku. Sopir yang membawa kami kembali membantu mengangkat barang-barang hingga ke ambang pintu. Kutinggalkan Mama mertua yang masih menggendong Zubair di ruang tamu. Tujuanku sama seperti yang aku pikirkan tadi, kamar pribadiku.
Degup jantungku bertalu dengan cepat. Entah karena gugup akan bertemu dengan suamiku atau mungkin rasa itu hadir karena ada Fara tinggal di rumah ini. Segera kutapaki anak-anak tangga yang menghubungkan ruang tamu menuju lantai dua, di mana kamarku berada. Aku tahu jika mama mertua mencoba memperingatkanku untuk tidak menaiki anak tangga, beliau bahkan sempat berpesan saat berada di rumah sakit tadi bahwa beliau ingin aku dan Zubair menempati kamar yang diperuntukkan bagi tamu yang berada di lantai bawah untuk sementara waktu hingga aku benar-benar pulih. Namun, kuabaikan perkataannya.
Hingga saat aku tiba di depan kamar, kubuka pintu ruang pribadiku itu perlahan. Mataku membola menyaksikan sesuatu di hadapanku.
“Maaf, Mba … Kamar mandimu aku pinjam sebentar,” ucap Fara mengedipkan salah satu matanya dan berlalu dengan kondisi tubuhnya yang hanya dibalut handuk sebatas dada hingga paha. Dia melewatiku begitu saja tanpa beban menuju ke arah kamarnya, menyisakan pertanyaan di dalam kepalaku. Kuedarkan pandangan ke sekitar kamar. Kulihat pakaian adik iparku lengkap dengan dalamannya tergeletak begitu saja di atas sofa di muara ranjangku. Dadaku bergemuruh saat melihat ada pakaian dalam Mas Akram juga berada di tempat yang sama. Tak hanya itu, seprai tempat tidurku pun terlihat berantakan dengan beberapa bantal guling yang jatuh ke lantai.
Oh! Adakah sesuatu yang terjadi di sini saat aku tak berada di rumah?
“Mas,” ucapku setengah berbisik saat membuka kamar mandi. Kulihat mas Akram dengan rambut basah sedang bercermin di dalam sana menggunakan handuk senada dengan yang dikenakan Fara tadi. Tentu saja handuk yang dikenakan perempuan itu adalah milikku. Sementara Mas Akram membalut tubuhnya dengan handuk hanya sebatas bawah pusar.
“Sebentar, Fara … Mas belum selesai. Nanti mas nyusul ke tempat tidur,” ucapnya sangat lembut dengan tetap fokus menatap cermin sambil mengoleskan krim pelembab ke permukaan kulit wajahnya.
Rupanya Mas Akram tak menyadari bahwa aku lah yang memanggil. ‘Mas, katakan bahwa aku terlalu berlebihan jika menganggap kau telah mengkhianati pernikahan kita,’ teriakku dalam hati.
Hening sesaat karena aku enggan merespon ucapan Mas Akram. Aku terperanjat atas apa yang aku lihat dan yang kudengar. Menilai atas apa yang baru saja terjadi, aku semakin yakin suamiku dan Fara memiliki hubungan yang tak selayaknya.“Hafsa,” ucap Mas Akram dengan wajah menegang. Tatapannya menelisik ke bagian belakang tubuhku seolah mencari sesuatu. Di luar dugaanku, bukannya mas Akram mencoba untuk menjelaskan kepadaku, dia justru bergegas melangkah melewati tubuhku yang berdiri kaku di hadapannya. “Fara … Fara di mana?” tanyanya dengan gusar. Demi Allah, apa yang terjadi pada suamiku? Bukannya merasa bersalah, dia justru mengabaikanku seperti ini dan mengkhawatirkan wanita lain. “Mas!” panggilku dengan suara keras. Mas Akram yang masih berada di ambang pintu tiba-tiba menghentikan langkah, dia urung menuju kamar Fara. “Kok kamu teriak sama suamimu begitu?” ketus Mas Akram tak setuju dengan reaksiku. Memang, selama ini aku selalu bersikap lembut padanya. Hal itu semata-mata kulak
“Mas, dia mau bunuh aku.” Kulihat tubuh gemetar Fara yang basah dengan keringat dingin. Air mata lalos membasahi kedua pipinya, sementara Mas Akram terlihat panik sambil mendekap perempuan itu. Baiklah, kurasa segala penjelasan Mas Akram beberapa saat yang lalu memang memiliki korelasi dengan apa yang aku saksikan sekarang. Rasa kasihan tumbuh di hati kecil untuk saudari iparku. Namun, bukan berarti aku harus percaya sepenuhnya begitu saja. “Hafsa, bolehkah--” ucap Mas Akram dengan tatapan memohon setelah adik kesayangannya nampak sedikit tenang. Aku tahu apa yang dia maksud. Pasti dia akan menemani Fara tidur lagi hingga esok pagi. Meski aku tak rela, sisi kemanusiaanku masih bersedia untuk memaklumi. “Silakan aja, Mas. Tapi besok kita harus lanjutkan pembicaraan kita,” pintaku sambil membereskan sisa pecahan kaca. Beruntung jendela kamar Fara memiliki sistem security tambahan berupa krey aluminium, sehingga meski kacanya pecah tapi ada alternatif lain untuk menutup jendela. Seb
Aku tak ingin melakukan sesuatu dengan gegabah, meski dadaku sudah dipenuhi oleh rasa amarah yang membuncah. Aku akan bersikap elegan kali ini untuk menghadapi masalah di depan mataku. Jika memang ada sesuatu di antara Mas Akram dan Fara, maka aku tak akan segan-segan membuat mereka membayar segala apa pun yang sudah mereka perbuat di belakangku. Tunggu saja, Mas. Suatu saat kau akan menyesal karena sudah melakukan hal ini kepadaku. “Thanks ya, Via. Mas Akram memang bilang ke gue kalau dia ada meeting bareng adik ipar gue. Kasian juga kalau adiknya itu 'gak ada kegiatan samasekali. Bantu dia ya selama kerja bareng lo,” pintaku pada Via seolah-olah aku tak terganggu samasekali atas kenyataan yang baru saja dikatakan oleh mantan partner kerjaku itu, justru meminta Via untuk bisa membantu Fara dalam pekerjaan. Agar tak kentara, aku mencoba membahas hal-hal lain bersama Via. Daripada gelagatku diketahui olehnya. Aku tak ingin masalah rumah tanggaku terendus banyak orang. Kuakhiri pangg
Tak lama ponselku berdering. Kulihat nama Mas Akram yang tertera di layar. Tanpa berpikir panjang, kuterima panggilannya dengan mengucap salam, seolah semuanya berjalan normal. “Zubair di mana? Mas kangen,” ucapnya. Aku berdecih pelan. Sepertinya ada yang salah dengan Mas Akram, mengapa baru sekarang dia tunjukkan perhatian terhadap putranya. Kemana saja dia dua hari terakhir ini hingga tak punya waktu hanya sekedar berkirim pesan padaku. “Lagi tidur, Mas. Mau lihat?” Ku-tap icon video agar Mas Akram bisa menyaksikan Zubair yang sedang terlelap di sampingku. Namun, dia abaikan saja. Beberapa detik berlalu, sepertinya Mas Akram tidak memiliki topik untuk dibahas. Mengapa hubungan rumah tangga kami terasa kaku seperti ini? Pikiranku terlempar ke masa lalu, saat Mas Akram berusaha mengejarkau saat aku masih menjadi sekretarisnya. Mas Akram selalu membebaniku pekerjaan-pekerjaan yang tak masuk akal sehingga aku harus memutuskan untuk lembur nyaris setiap hari agar aku bisa terus bersa
Meski ucapan mama mertua sempat mengganggu pikiranku, tapi aku jauh lebih penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh Mas Akram bersama Fara. Dari mana mereka mendapatkan voucher menginap dalam rangka bulan madu. Apakah mereka mempublikasikan sebagai pasangan suami istri yang baru saja menikah. Tak mungkin, 'kan jika voucher itu didapat begitu saja. Apa Mas Akram sudah kehilangan akal sehat jika hal itu benar dia lakukan. Tak lama, Zubair menggeliat gelisah, rupanya popok putraku itu basah. Fokusku teralihkan sesaat. Kubersihkan tubuh mungil putra kesayanganku dan kuabaikan sejenak masalah yang sedang menerpa rumah tanggaku. Mungkin pikiran ini tak sepenuhnya mampu mengenyahkan kegelisahan yang ada, meski aku sibuk membersihkan Zubair, tapi Mas Akram dan Fara terus berlarian di dalam kepalaku. Ah! Kalian berdua membuatku benar-benar tak bisa tenang barang sejenak. Kususui Zubair yang terlihat lapar setelah sadar dari tidurnya, bersamaan dengan pikiranku yang terus berada di tem
“Hafsa, kok diem aja?” Larut dalam pemikiranku sendiri, tanpa sadar kuabaikan ucapan suamiku untuk beberapa saat. Aku mengerjap, “Bukan ‘gak mau, Mas. Tapi kayaknya terlalu mendadak. Aku ’gak punya persiapan apa-apa. Bukannya Mas juga gak lama di sana. Nanti juga kita ketemu di Jakarta, Mas.”Jujur, sebenarnya bukan itu alasannya. Aku masih belum bisa percaya bahwa ajakan Mas Akram murni karena dia memang merindukanku. Bisa saja ini adalah rencananya bersama Farha untuk menyingkirkanku. Tiba-tiba aku bergidik ngeri membayangkan kekejaman yang akan mereka lakukan terhadapku demi memuluskan hubungan mereka. “Mas takut ‘gak bisa ketemu kamu lagi, Sayang. Kamu mau ’kan nyusul mas ke sini?” Ucapan Mas Akram membuatku merasa ada sesuatu yang aneh. Apa seperti ini cara Mas Akram meluluhkanku dengan permohonannya, atau mungkinkah ini sebuah jebakan. “Berangkat aja, Hafsa. Stok asi kamu di lemari pendingin ‘kan masih melimpah. Kalau cuma beberapa hari, ’gak apa-apa Zubair mama yang urus. L
Sepanjang perjalanan hanya ada kecemasan yang kurasakan. Air mata yang sekuat tenaga kutahan agar tak terus mengalir, justru membuat kepalaku terasa seolah menghantam benda keras berkali-kali. Sakit … Namun, lebih sakit saat diriku membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada suamiku. Sikap anehnya yang dia tunjukkan tadi malam mungkinkah sebuah firasat bahwa dia akan pergi. Tidak! Hubunganku dengan Mas Akram memang sedang diterpa badai. Namun, bukan berarti aku tak merasakan apa-apa saat dia mengalami musibah ini. Bagaimanapun juga aku pernah mencintainya, dan mungkin rasa itu masih ada untuknya. Setelah mendapatkan panggilan telepon dari rumah sakit tadi, aku langsung menemui ibu mertua di dalam kamar. Beruntung aku memiliki ibu mertua yang begitu pengertian, sehingga beliau langsung mengambil alih Zubair tanpa aku minta. “Ini yang mama khawatirkan sejak dulu,” ucap mama mertua dengan wajah sendu. Aku tahu beliau khawatir dengan keadaan putra sulungnya, tapi beliau
Kuusap kepalanya dengan lembut. Di saat yang bersamaan, luruh sudah kekesalan yang aku pendam selama ini. Cinta dan rasa kasihan yang menjadi alasannya. Alasan yang membuatku mudah melupakan luka yang sudah dia torehkan. Kubisikkan kata-kata menenangkan di telinganya, untuk meyakinkan agar aku akan selalu berada di sisinya hingga dia mampu melewati semua ini. Kulantunkan kalam-kalam suci saat matanya kembali tertutup. Napasnya yang teratur menunjukkan bahwa dia kembali tertidur. Denyut jantung dan kadar oksigen dalam darah yang bisa kulihat melalui monitor menunjukkan angka yang berubah-ubah sepanjang waktu, tapi masih dalam kategori mendekati stabil, Sedikit lebih baik dari pertama kali aku tiba di sini. Perawat yang berjaga mengamatiku cukup intens sambil memerhatikan layar monitor di sisi brankar suamiku.“Sepertinya ada peningkatan kondisi Bapak sejak Ibu datang,” ucapnya tersenyum. Aku pun membalas dengan senyum tipis dan terus melanjutkan murojahku sambil menatap wajah pucat s