Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya.
Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan.
Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.
Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya menghindar darinya adalah jalan yang terbaik untuk saat ini agar luka ini tak lagi menganga. Mungkin dengan berhenti memikirkannya maka hidupku akan jauh lebih tenang. Aku bisa bekerja dengan lancar dan maksimal. Apalagi kontrak kerja yang enam bulan lamanya akan segera habis.
Aku mulai dilanda rasa was-was. Merasa khawatir jika kontrak kerja tak diperpanjang lagi. Jika itu terjadi, mungkin nanti akan ada masalah dengan kuliahku.
Mungkin saja cita-citata eh cita-citaku selama ini harus terkubur dalam-dalam. Atau harapan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada sekarang harus pupus saat itu juga.
Ah, memikirkan segala sesuatu yang belum pasti terkadang membuat nyaliku menciut. Merasa pesimis lebih dulu. Mirip tikus jika bertemu dengan kucing, inginnya cepat-cepat kabur. Atau mirip mak-emak bokek didatangi tukang kredit panci, ingin sembunyi di kolong bumi.
Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dalam hati mudah-mudahan saja kontrak kerjaku segera diperpanjang. Paling tidak sampai kuliahku selesai. Itu baru mantap namanya.
Kadang terlintas dalam pikiran untuk kembali ke kampung. Namun menjadi bagian dari kehidupan Ibu Sambung dan juga putrinya sangatlah menyiksa. Dia pasti akan berpikir jika sumpah serapahnya padaku akhirnya menjadi kenyataan.
Mengingat perempuan yang selalu berkata kasar padaku itu membuat hati ini berdenyut nyeri. Senut-senut dan cekot-cekot seperti nenek-nenek kena asam urat. Sangat menyiksa jiwa raga.
Tak dapat dipungkiri, dia telah berjasa membesarkanku dan menggantikan posisi Ibu kandung yang meninggal. Aku berhutang budi padanya. Aku tak tahu akan jadi apa diri ini jika hanya dibesarkan oleh Bapak sendirian.
Laki-laki penyebab kehadiranku di dunia itu terlalu sibuk bekerja mengurus sawah. Atau terkadang mencari ikan di sungai sekitar Waduk Cirata yang nantinya akan dijual buat menambah uang belanja. Hanya sesekali saja Bapak mencurahkan perhatian padaku.
Mengingat tentang almarhum Bapak membuat air mata ini menetes tanpa terasa. Aku sangat merindukannya. Aku juga merindukan sosok almarhumah Ibu walaupun tak pernah mengenalnya secara langsung. Kehadiranku ke dunia ini telah merenggut nyawanya.
Semenjak kecil aku hanya bisa menatap dan mengelus fotonya jika merasa sedih karena perlakuan Ibu tiriku. Berbicara padanya layaknya seorang anak mengadu pada ibunya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk meredakan sakit hati.
Itulah sebabnya aku rela merantau ke kota, meninggalkan desa kelahiran yang banyak menyimpan kenangan. Aku ingin menjadi orang yang berhasil mendobrak kungkungan tradisi di kampung, dimana para perempuan menikah muda dan berpendidikan rendah.
Aku menahan napas waktu melintasi ruangan Pak Mahendra. Tatapan lurus ke depan tanpa menengok. Tak mau menjadi baper seperti kemarin. Apa yang terjadi kemarin membuatku menyadari satu hal. Aku tak berhak mengharapkan dirinya. Lidya yang lebih berhak.
Aku tak mau merebut laki-laki itu dari kekasihnya karena mempunyai prinsip jika apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai. Jika aku merebut kekasih orang, maka suatu saat pasti karma datang padaku.
Biarlah diriku yang mengalah. Yang terjadi malam itu dengan laki-laki bertubuh jangkung itu adalah kelalaianku sendiri. Aku tak bisa menyalahkannya begitu saja.
Hanya satu harapanku, semoga saja suatu saat diri ini akan menemukan seorang laki-laki yang baik. Yang mau menerimaku apa adanya tanpa mempermasalahkan permata yang hilang.
***
"Nara, kok lo kaya kurang semangat gitu. Lo sakit?" tanya Aura waktu aku baru saja mendaratkan bokong di kursi.
"Nggak kok, aku nggak apa-apa," sahutku cepat.
"Masih sakit kepala?" Gadis itu kembali bertanya, sambil merapikan berkas di mejanya.
"Obat yang kamu kasih manjur banget. Sakit kepalaku langsung hilang kemarin. Thanks, ya," Aku menimpali.
"Masa? Bagus, deh kalau gitu. Berarti bisa beresin kerjaan kemarin, deh." Aura terlihat berseri-seri.
Kami memang mendapatkan tugas untuk menelusuri jenis aksesories subcon alias sebagai pengganti yang digunakan dalam produksi. Harusnya semua menggunakan aksesories yang asli tetapi karena permintaan dari pihak produksi, kami terpaksa mengorder barang subcon.
Kami serempak menoleh waktu panggilan Pak Seno mengusik perbincangan. Kami berempat disuruh menghampirinya.
"Kita semua dalam masalah. Hati-hati saja, nanti kalau kalian mau order barang, harus minta tanda tangan dulu dari manager produksi. Kita cari aman saja. Kemarin, orang produksi cuci tangan. Kita yang kena getahnya. Makanya, tanda tangan itu senjata kita jika ada masalah," beber Pak Seno.
Kami hanya menganggukkan kepala dan terus menyimak penjelasannya. Rupanya masalah kemarin di sample room berbuntut panjang. Orang produksi tak mau disalahkan dan akhirnya melempar kesalahan pada team kami sebagai pemesan barang. Padahal kami hanya menjalankan tugas dari mereka.
***
Rencanaku untuk menghindari Pak Mahendra ternyata tak berjalan mulus. Laki-laki tampan itu malah keluar dari ruangannya. Dia malah berjalan-jalan mengelilingi kubikel demi kubikel yang ada di kantor.
Walaupun hanya berjalan-jalan dan mengamati dari jauh, tetapi jantungku serasa melompat-lompat dari tempatnya. Aku jadi salah tingkah dan gugup waktu melihatnya melintasi team purchasing.
Apa sekarang ada gempa? Aku merasa seluruh tubuhku bergetar. Atau ini efek dari kehadiran laki-laki perampas harga diriku itu?
Duh Gusti ... kenapa si Raja Tega itu malah jalan-jalan keluar ruangan? Percuma aku mencoba move on, kalau dia malah mendekat.
Apa mungkin dia mengenaliku? Atau malah dia sedang mencari keberadaan gadis yang telah bermalam dengannya?
Kubetulkan posisi kaca mata tebal yang membuatku dijuluki Upik Abu. Waktu kejadian itu, aku memang tak memakai kaca mata. Aura yang mengubah penampilanku dan memberikan softlens untuk dipakai.
Aku mulai berasumsi jika dia tak mengenaliku karena kacamata ini. Baiklah. Berarti dia tak salah. Mungkin aku yang terlalu sibuk menyalahkannya, padahal penyebabnya adalah aku sendiri.
Aku mendongak, mencoba memeriksa keberadaannya. Barangkali dia sudah kembali memasuki ruangannya. Aku tersenyum lega saat menyadari dia tak terlihat batang hidungnya.
Entah mengapa, sepertinya aku masih bisa mencium harum parfum yang dia pakai. Aroma yang ditinggalkannya di ranjang waktu itu. Aroma yang membius seluruh persendian dan mengantarkanku pada kenangan itu.
Kuhirup wangi itu dalam-dalam sambil memejamkan mata. Baru kusadari jika aroma itu membuatku kecanduan. Ingin rasanya memeluk pemilik aroma itu dan menghirupnya langsung dari tubuhnya.
"Hei, kamu mengantuk?" Sebuah teguran menyentakkan lamunan, mengembalikan kesadaranku.
Demi aksesoris segudang! Apa aku nggak salah dengar? Itu kan suaranya ....
Mati aku!
***
Sontak kubuka mata dan menoleh ke asal suara di belakangku. Mata ini langsung melotot waktu melihat siapa yang ada di sana. Pak Mahendra!Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya."Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!"Kamu tahu in
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Sambil menunggu Asep membuatkan teh manis, aku mengintip dari jendela kaca pantry. Ingin tahu apakah Pak Mahendra mengejarku. Namun tak terlihat siapa pun di lorong. Mungkin dia sedang mengganti bajunya sambil merutuk kesal. Aku tertawa geli membayangkan wajah marahnya tadi.Memang enak, balas dikerjain?"Hei, dipanggilin malah senyam-senyum sendiri!"Gerutuan Asep membuyarkan lamunanku. Kuterima minuman yang diangsurkannya lalu bergegas meninggalkan pantry setelah mengucapkan terima kasih.Sewaktu melewati ruangan Pak Mahendra kusempatkan untuk menengok. Gordennya ternyata tertutup. Rencana mau ngintip dia pun gagal.Mungkin saja dia merasa kalau sudah menjahiliku, makanya dia tidak protes atau mengejar waktu aku membalasnya. Kemarin juga dia diam saja waktu kuisi dengan asal biodata di bukunya.Berarti memang impas dong, kita. Score-nya sama, 2-2. Aih, udah kaya pertandingan bola aja.
Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tidur. Berkali-kali kucoba memejamkan mata tetapi bayangan Pak Mahendra yang datang dan terus membayangi. Mengusik dan mengobrak-abrik pikiranku.Semula kupikir dia diam karena memaklumi kekesalan yang kurasakan. Namun semakin kutelusuri, ada kemungkinan lain yang mengganggu pikiran.Mungkin saja diamnya laki-laki tampan itu pertanda jika dia benar-benar tak peduli padaku. Jika iya, itu berarti aku harus mengubur dalam-dalam segala harapan padanya. Berarti dia memang benar-benar tak mengingatku sebagai perempuan yang telah dia renggut kehormatannya di malam itu.Terkadang aku ingin menanyakan padanya secara langsung mengenai kejadian itu. Namun, aku takut dia menyangkal atau malah menuduhku mengarang cerita untuk memerasnya.Jika diperkarakan dengan hukum pasti juga tak akan bisa karena tak ada bukti dan saksi. Lagipula berhadapan dengan hukum sama saja dengan bersiap-siap mengge
Ketika memasuki lobi kantor, resepsionis memperhatikan tanpa berani berkomentar apa pun karena ada Pak Mahendra di sampingku. Setelah menempelkan jari pada mesin absen aku pun segera menuju ke meja kerja.Semenjak memasuki lobi tak sepatah kata pun keluar dari bibir si Bos. Aku dan dia bagai kedua orang yang saling tak mengenal, sama-sama diam. Mungkin dia menjaga image-nya di depan karyawan yang lainnya.Mungkinkah sebenarnya dia mengingat dan mengenaliku sebagai gadis yang dia renggut kehormatannya malam itu. Bisa saja dia merasa derajat kami tidak sama. Dia bos, sedangkan aku karyawan biasa. Maka dari itu dia tak mau bertanggung jawab dan berpura-pura tak kenal denganku.Sepertinya kemungkinan ini yang paling mendekati kebenarannya. Perhatiannya kepadaku tak seperti perhatiannya kepada karyawan lain.Maksudku sikapnya kepadaku sangat berbeda layaknya terhadap karyawan yang lain. Di depan mereka dia terkesan angkuh dan di