Share

Mati Aku!

Hari itu aku bangun lebih pagi dari biasanya. Semalam aku bisa tidur dengan lelap setelah melihat hasil yang ditampilkan oleh benda pipih yang kubeli di apotek kemarin. 

Gara-gara benda itu aku memekik kegirangan mirip orang menang lotre. Ah, bukan, lebih mirip kejatuhan bulan sepertinya. 

Tekadku sudah bulat seperti bola bekel putrinya ibu kontrakan. Mulai hari ini aku akan melupakan Pak Mahendra. Tak ada gunanya lagi berharap padanya setelah melihat kenyataan yang terjadi di depan mata. Dia tak bisa lepas dari Lidya! Mereka sudah mirip kucing garong dan buntutnya, tak bisa dipisahkan. 

Apalah aku yang hanya seorang Upik Abu bagi dirinya. Kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Atau bulan dan matahari. Sangat jauh dan tak mungkin bisa bertemu ataupun disatukan. Mungkin hanya bisa disatukan jika memakai aplikasi. Fotonya maksudku.

Kucoba menata hati yang telah porak-poranda diobrak-abrik oleh pesonanya. Sepertinya menghindar darinya adalah jalan yang terbaik untuk saat ini agar luka ini tak lagi menganga. Mungkin dengan berhenti memikirkannya maka hidupku akan jauh lebih tenang. Aku bisa bekerja dengan lancar dan maksimal. Apalagi kontrak kerja yang enam bulan lamanya akan segera habis.

Aku mulai dilanda rasa was-was. Merasa khawatir jika kontrak kerja tak diperpanjang lagi. Jika itu terjadi, mungkin nanti akan ada masalah dengan kuliahku.

Mungkin saja cita-citata eh cita-citaku selama ini harus terkubur dalam-dalam. Atau harapan untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada sekarang harus pupus saat itu juga.

Ah, memikirkan segala sesuatu yang belum pasti terkadang membuat nyaliku menciut. Merasa pesimis lebih dulu. Mirip tikus jika bertemu dengan kucing, inginnya cepat-cepat kabur. Atau mirip mak-emak bokek didatangi tukang kredit panci, ingin sembunyi di kolong bumi.

Yang bisa kulakukan hanyalah berdoa dalam hati mudah-mudahan saja kontrak kerjaku segera diperpanjang. Paling tidak sampai kuliahku selesai. Itu baru mantap namanya.

Kadang terlintas dalam pikiran untuk kembali ke kampung. Namun menjadi bagian dari kehidupan Ibu Sambung dan juga putrinya sangatlah menyiksa. Dia pasti akan berpikir jika sumpah serapahnya padaku akhirnya menjadi kenyataan. 

Mengingat perempuan yang selalu berkata kasar padaku itu membuat hati ini berdenyut nyeri. Senut-senut dan cekot-cekot seperti nenek-nenek kena asam urat. Sangat menyiksa jiwa raga. 

Tak dapat dipungkiri, dia telah berjasa membesarkanku dan menggantikan posisi Ibu kandung yang meninggal. Aku berhutang budi padanya. Aku tak tahu akan jadi apa diri ini jika hanya dibesarkan oleh Bapak sendirian.

Laki-laki penyebab kehadiranku di dunia itu terlalu sibuk bekerja mengurus sawah. Atau terkadang mencari ikan di sungai sekitar Waduk Cirata yang nantinya akan dijual buat menambah uang belanja. Hanya sesekali saja Bapak mencurahkan perhatian padaku.

Mengingat tentang almarhum Bapak membuat air mata ini menetes tanpa terasa. Aku sangat merindukannya. Aku juga merindukan sosok almarhumah Ibu walaupun tak pernah mengenalnya secara langsung. Kehadiranku ke dunia ini telah merenggut nyawanya.

Semenjak kecil aku hanya bisa menatap dan mengelus fotonya jika merasa sedih karena perlakuan Ibu tiriku. Berbicara padanya layaknya seorang anak mengadu pada ibunya. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk meredakan sakit hati.

Itulah sebabnya aku rela merantau ke kota, meninggalkan desa kelahiran yang banyak menyimpan kenangan. Aku ingin menjadi orang yang berhasil mendobrak kungkungan tradisi di kampung, dimana para perempuan menikah muda dan berpendidikan rendah. 

Aku menahan napas waktu melintasi ruangan Pak Mahendra. Tatapan lurus ke depan tanpa menengok. Tak mau menjadi baper seperti kemarin. Apa yang terjadi kemarin membuatku menyadari satu hal. Aku tak berhak mengharapkan dirinya. Lidya yang lebih berhak. 

Aku tak mau merebut laki-laki itu dari kekasihnya karena mempunyai prinsip jika apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai. Jika aku merebut kekasih orang, maka suatu saat pasti karma datang padaku. 

Biarlah diriku yang mengalah. Yang terjadi malam itu dengan laki-laki bertubuh jangkung itu adalah kelalaianku sendiri. Aku tak bisa menyalahkannya begitu saja. 

Hanya satu harapanku, semoga saja suatu saat diri ini akan menemukan seorang laki-laki yang baik. Yang mau menerimaku apa adanya tanpa mempermasalahkan permata yang hilang. 

***

"Nara, kok lo kaya kurang semangat gitu. Lo sakit?" tanya Aura waktu aku baru saja mendaratkan bokong di kursi.  

"Nggak kok, aku nggak apa-apa," sahutku cepat. 

"Masih sakit kepala?" Gadis itu kembali bertanya, sambil merapikan berkas di mejanya.

"Obat yang kamu kasih manjur banget. Sakit kepalaku langsung hilang kemarin. Thanks, ya," Aku menimpali. 

"Masa? Bagus, deh kalau gitu. Berarti bisa beresin kerjaan kemarin, deh." Aura terlihat berseri-seri. 

Kami memang mendapatkan tugas untuk menelusuri jenis aksesories subcon alias sebagai pengganti yang digunakan dalam produksi. Harusnya semua menggunakan aksesories yang asli tetapi karena permintaan dari pihak produksi, kami terpaksa mengorder barang subcon.

Kami serempak menoleh waktu panggilan Pak Seno mengusik perbincangan. Kami berempat disuruh menghampirinya. 

"Kita semua dalam masalah. Hati-hati saja, nanti kalau kalian mau order barang, harus minta tanda tangan dulu dari manager produksi. Kita cari aman saja. Kemarin, orang produksi cuci tangan. Kita yang kena getahnya. Makanya, tanda tangan itu senjata kita jika ada masalah," beber Pak Seno. 

Kami hanya menganggukkan kepala dan terus menyimak penjelasannya. Rupanya masalah kemarin di sample room berbuntut panjang. Orang produksi tak mau disalahkan dan akhirnya melempar kesalahan pada team kami sebagai pemesan barang. Padahal kami hanya menjalankan tugas dari mereka. 

***

Rencanaku untuk menghindari  Pak Mahendra ternyata tak berjalan mulus. Laki-laki tampan itu malah keluar dari ruangannya. Dia malah berjalan-jalan mengelilingi kubikel demi kubikel yang ada di kantor. 

Walaupun hanya berjalan-jalan dan mengamati dari jauh, tetapi jantungku serasa melompat-lompat dari tempatnya. Aku jadi salah tingkah dan gugup waktu melihatnya melintasi team purchasing. 

Apa sekarang ada gempa? Aku merasa seluruh tubuhku bergetar. Atau ini efek dari kehadiran laki-laki perampas harga diriku itu? 

Duh Gusti ... kenapa si Raja Tega itu malah jalan-jalan keluar ruangan? Percuma aku mencoba move on, kalau dia malah mendekat.

Apa mungkin dia mengenaliku? Atau malah dia sedang mencari keberadaan gadis yang telah bermalam dengannya? 

Kubetulkan posisi kaca mata tebal yang membuatku dijuluki Upik Abu. Waktu kejadian itu, aku memang tak memakai kaca mata. Aura yang mengubah penampilanku dan memberikan softlens untuk dipakai. 

Aku mulai berasumsi jika dia tak mengenaliku karena kacamata ini. Baiklah. Berarti dia tak salah. Mungkin aku yang terlalu sibuk menyalahkannya, padahal penyebabnya adalah aku sendiri.

Aku mendongak, mencoba memeriksa keberadaannya. Barangkali dia sudah kembali memasuki ruangannya. Aku tersenyum lega saat menyadari dia tak terlihat batang hidungnya. 

Entah mengapa, sepertinya aku masih bisa mencium harum parfum yang dia pakai. Aroma yang ditinggalkannya di ranjang waktu itu. Aroma yang membius seluruh persendian dan mengantarkanku pada kenangan itu.

Kuhirup wangi itu dalam-dalam sambil memejamkan mata. Baru kusadari jika aroma itu membuatku kecanduan. Ingin rasanya memeluk pemilik aroma itu dan menghirupnya langsung dari tubuhnya. 

"Hei, kamu mengantuk?" Sebuah teguran menyentakkan lamunan, mengembalikan kesadaranku. 

Demi aksesoris segudang! Apa aku nggak salah dengar? Itu kan suaranya ....

Mati aku!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status