Share

Galau

Paginya aku bangun kesiangan. Gara-gara semalam bermimpi tentang Pak Mahendra. Setelah terbangun jadi susah untuk kembali tidur padahal baru jam dua malam. Entah jam berapa aku tertidur lagi, rasanya baru saja terpejam tetapi hari sudah beranjak pagi. 

Aku berangkat dengan tergesa-gesa. Hanya mampir di tukang dagang depan pabrik untuk membeli sarapan dan langsung kubawa masuk ke kantor. Biarlah nanti makannya di dalam saja. 

Ketika melewati ruangan Pak Mahendra, aku tak tahan untuk tak menolehkan kepala. Kebetulan tirai di jendelanya terbuka. Jadi aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam. Apa yang terlihat disana membuat mata ini terbelalak.

Krak! 

Ada yang patah di dalam sini. Hatiku. Organ tubuhku yang satu itu terpotek-potek, hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu mustahil untuk disatukan lagi.

Di depan mata, Lidya sedang bergelayut manja di bahu Pak Mahendra. Sementara laki-laki tampan itu tersenyum ceria. Dia memegang tangan perempuan cantik itu dengan sebelah tangan, sementara sebelahnya lagi sibuk dengan laptopnya yang berpendar-pendar.

Ealah ... semalam aku udah memimpikannya, tetapi kenapa pagi ini dia menghancurkan mimpi-mimpiku? 

Aku berangkat kerja dengan semangat 2021. Sudah diupgrade, bukan semangat 45 lagi. Berharap nanti di tempat kerja akan bertemu dengan pujaan hati. Namun, apa yang terjadi? 

Semangatku langsung melempem persis kerupuk yang diceburin ke kuah soto. Jadi lembek dan nggak kriuk lagi. 

Sakit hati Dedek Emesh, Bang! 

Tak tahan melihat kemesraan mereka, aku pun langsung berlari menuju meja kerja. Lalu mengempaskan bokong di kursi dengan perasaan kesal dan tak menentu. Ingin rasanya aku berteriak tetapi takut disangka konser pagi. Akhirnya teriakanku hanya bergema di dalam hati.  

Suket teles kudanan sore 

Hatiku ngenes mikirke kowe

Pak Mahendra ... Anda tega!

Mungkin baginya aku hanyalah angin lalu. Atau juga persinggahan sementara. Bukan yang terakhir. Setelah selesai urusannya segera berangkat dan singgah lagi di tempat lain.

Mungkin dia tak merasa jika harus bertanggung jawab terhadap seorang gadis yang telah dia renggut kehormatannya. Makanya dia begitu tega dan masih menjalin hubungan dengan kekasihnya itu.

Lalu bayangan kejadian malam itu terlintas di kepalaku. Bagaimana dia menyentuhku yang berada dalam keadaan setengah sadar. 

Jangan-jangan ... dia benar-benar menganggapku sebagai Lidya. Jangan-jangan ... mereka memang sudah sering melakukan itu.

Aargh! Aku mengacak-acak rambut frustrasi. 

Jika benar itu yang terjadi, sepertinya tak ada yang bisa kuharapkan lagi. Sia-sia harapan itu tumbuh dan bertunas di hati jika dia langsung mencabutnya hingga ke akar-akarnya. 

"Nara, kamu kenapa?" tegur Aura.

Gadis cantik yang selalu tampil modis itu memandangku dengan sorot mata penuh selidik. Terpaksa diri ini berbohong dengan mengatakan jika aku sakit kepala. 

"Minum ini, nih, biar kepalanya ilang. Eh, sorry, maksud gue, biar sakit kepalanya ilang," katanya sambil nyengir dan mengulurkan sebutir obat padaku. 

"Makasih, Say," ucapku dengan perasaan yang campur aduk.

"Eh, lo udah sarapan belum? Sarapan dulu, baru minum obatnya," sarannya.

Kumakan sepotong kue lalu meminum obat yang diberikan oleh Aura. Aku tak mau dia jadi bertanya-tanya dan menjadi curiga nantinya. Ada sesak yang tiba-tiba menyeruak saat mengingat adegan tadi. 

Kalau nangis guling-guling sambil koprol diizinkan, ingin rasanya kulakukan itu. Tapi, aku nggak mau dianggap pasien RSJ yang belum sembuh dan kabur. Takut dicyduk dinsos dan dibawa ke pengasingan.

Oh, tidaak, jangan sampai itu terjadi!

Huembuskan napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Lewat hidung tentu saja. 

Tapi, kok, ada yang bau, ya? 

Ealah ... sepertinya aku kelepasan!

"Nara, lu buang gas, ya?" tuduh Aura.

Aku hanya bisa nyengir sambil mengangkat kedua jari membentuk huruf V. "Maaf," cicitku.

"Huh! Kebiasaan!" Gadis bawel itu mendengkus lalu menutup hidung. 

Aku hanya bisa mengelus dada yang tak begitu rata. Yang penting dadaku sendiri, bukan dada Syahroni, ye kan? 

Sepertinya pilihanku hanya ada dua. Bertahan mengharapkan Pak Mahendra sadar atau melupakannya. Buatku dua-duanya sama-sama menyakitkan.

Aku tak boleh lemah. Aku wanita kuat. Aku anak Indonesia yang sehat, riang dan gembira. Semangat! 

***

Sepulang kerja kusempatkan untuk mampir ke apotik. Harus kutuntaskan apa yang menjadi penyebab kegelisahan beberapa hari ini. Sengaja mempercepat langkah kaki, ingin segera sampai di kontrakan. Agar bisa cepat-cepat menggunakan alat yang baru saja kubeli. Rasa penasaran ini telah sampai ke ubun-ubun.

Jantungku bertalu-talu, dag dig dug tak keruan. Serasa ingin meloncat dari tempatnya saat akhirnya sampai di kontrakan dan langsung menjalankan rencana. 

Sedetik, dua detik, tiga detik ....

Aaargh! Aku tak sabar lagi.

Satu detik menunggu bagaikan satu tahun lamanya. Aku bagai berdiri di atas bom yang bisa meledak kapan saja. Aku melonjak kegirangan, saat akhirnya alat itu hanya menunjukkan satu garis. 

Alhamdulillah! Ya Tuhan, terima kasih! 

Aku merasa lega. Bebanku yang berton-ton seperti menguap begitu saja. Hanya karena sebuah benda pipih kecil ini. 

Baiklah! Sekarang saatnya berjuang untuk mengenyahkan segala harapan dan mimpi yang bercokol di hati selama ini. Mengharapkan Pak Mahendra sama saja seperti pungguk merindukan bulan. Sia-sia. 

Malam itu aku bisa tidur dengan tenang. Tak ada lagi beban yang mengekang. Hanya perlu mengikhlaskan segala yang terjadi. Biarlah diri ini mengalah. Mundur alon-alon adalah jalan ninja yang kutempuh. 

Tak ada lagi yang patut untuk di perjuangkan. Daripada sakit hati lebih baik sakit gigi. Itu kata anggota barisan sakit hati, lho! 

***

Mulai pagi hari itu, fokusku hanya bekerja dan bekerja. Tak pernah lagi kupikirkan dia yang disana. Daripada konsentrasi buyar dan aku dimarahi oleh atasan. Bisa jadi berbuntut pemecatan. 

Aku tak siap jadi pengangguran. Pengangguran itu menyakitkan. Aku tak mau jadi bahan tertawaan oleh Ibu dan juga saudara tiriku. Selama ini mereka selalu menghina dan merendahkan diri ini.

Lalu terlintas kenangan pahit itu saat aku berpamitan ke kota untuk bekerja. Mereka menatap sinis padaku dan tersenyum mengejek. 

"Moal aya nu narima maneh jadi karyawan, Nar. Maneh bakalan balik kadieu deui ceuk urang mah," kata ibu sambungku.

(Nggak bakalan ada yang mau nerima kamu jadi bekerja jadi karyawan mah)

Ingin rasanya kubuktikan jika kata-kata yang dia ucapkan itu juga tak terbukti. Buktinya aku bisa diterima bekerja di sini, walaupun harus berakhir seperti ini. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status