Dia duduk di atas meja Pak Seno sambil melipat tangan di dada. Matanya menyorot tajam ke arahku, mirip sinar laser yang mampu menembus ke dalam jantung.
Ealah! Kukira dia udah masuk ke kandangnya eh ruangannya, nggak tahunya malah ada di sini. Sejak kapan dia nongkrong di meja itu? Ish ... nggak sopan banget, duduk kok di meja!
Kok aku nggak nyadar dia ada di belakang, ya? Berarti, dia lihat, dong, waktu aku ngupil tadi. Duh Gusti ... mau ditaruh di mana mukaku?
"Hmm!" Dia berdehem waktu melihatku menatapnya.
"Maaf, Pak," lirihku, setengah takut dan ragu.
Jantungku seakan berhenti berdetak waktu melihatnya bangkit dan berjalan ke arahku.
Aduh ... dia mau apa, ya? Apa dia mau menghukumku? Tolong Baim eh Nara, ya Allah!
"Kamu tahu ini jam kerja? Kenapa malah tidur, ha? Kamu mau dipecat?" cecarnya, dengan tangan masih bersedekap di dada.
Kalau dilihat dari dekat kaya gini, ternyata dia lebih tampan daripada dilihat dari jauh. Ya Allah, indahnya ciptaan-Mu. Bikin aku jadi gagal fokus.
"M-maaf, Pak, s-saya nggak sengaja," ucapku dengan menundukkan wajah. Agar masalah tak melebar, kuputuskan untuk meminta maaf saja biar dia cepat pergi.
Mungkin dia salah faham waktu melihatku memejamkan mata tadi. Dia mengira aku tertidur.
"Kamu bicara sama saya atau sama lantai?"
Yaelah! Ini orang mikir, nggak, sih? Masa lantai diajak ngobrol. Aku masih waras, Pak! Pastinya aku ngobrol sama dia lah. Pakai segala nanya.
Aku mendongak dan tatapan kami bertemu. Ekspresinya tetap sama, datar seperti triplek. Namun, kenapa pandangannya mengarah ke dadaku?
Huh! Dasar mesum! Lagi marah aja sempat-sempatnya melihat ke situ. Apa dia lagi ngira-ngira ukurannya?
Ish ... padahal malam itu dia sempat meninggalkan jejak kemerahan di sana. Jejak yang membuatku merutuk kesal karena tak hilang dalam beberapa hari.
"Kinara Ailani! Kamu dihukum! Datang ke ruangan saya, sekarang!"
Dia mengatakan itu sambil melangkah menuju ruangannya. Telunjuknya bergerak memberi isyarat agar aku mengikutinya. Kalau sudah begini tak ada yang bisa kulakukan lagi.
Aura hanya mengangkat bahu waktu tatapan kami bertemu. Terpaksa kuikuti langkah-langkah Pak Mahendra dengan tergesa-gesa. Tetap saja aku tertinggal di belakang walaupun sudah berlari-lari kecil.
Huh! Itu orang apa kereta ekspress, sih? Jalannya cepat amat!
Laki-laki berbadan jangkung itu berhenti tepat di depan pintu ruangannya. Dia menoleh ke belakang, seperti menungguku.
"Ck! Dasar lelet!" Mendengar ucapannya, aku kembali berlari kecil.
"Buruan! Jangan kaya putri Solo jalannya!"
Duh Gusti ... apa dia nggak lihat, aku sudah lari-lari kaya gini kok masih dibilang kaya putri Solo? Dasar! Nyebelin banget! Pengen tak hiih rasanya!
"Masuk!" titahnya waktu aku sudah sampai di depan pintu.
Aku pun memasuki ruangan dan dia segera menutup pintunya. Wangi pengharum ruangan segera menyeruak menyapa indra penciumanku.
Aduh ... aku mau diapain, ya? Jangan-jangan, dia mau ....
Ups! Aku mulai berpikiran mesum. Duh Gusti ... sepertinya otakku mulai konslet gara-gara dia.
"Kamu tahu apa kesalahanmu?" tanyanya sambil menatapku tajam.
Aduh ... meleleh hati ini melihat tatapannya. Jantungku nggak berhenti senam dari tadi.
"I-iya, Pak, maaf," kataku.
"Kinara Ailani. Kenapa kamu tidur waktu jam kerja? Apa di rumah kamu nggak tidur?"
"Maaf, Pak. Saya memang salah. Saya berjanji tak akan mengulanginya lagi."
"Hmm ...." Dia manggut-manggut mendengar ucapanku. Lalu dia menarik bangku dan mendudukinya. "Duduk!" titahnya lagi.
Kutarik bangku di depan meja hingga posisi kami sekarang berhadapan dengannya. Demi apa aku bisa duduk berhadapan dengan presdir tampan ini. Ini anugerah apa musibah?
"Kinara Ailani. Hmm ... nama yang bagus. Tapi sayang, orangnya biasa saja," gumamnya, sambil mencari sesuatu di laci mejanya.
Dia ini mau memuji apa menghina, sih? Udah melambung diriku dipuji, eh, malah langsung diempas sampai nyungsep! T-e-r-l-a-l-u!
"Bapak kok tahu nama saya?" tanyaku penasaran.
Bukannya menjawab, dia malah menatap ke dadaku. Terang saja aku jadi salah tingkah karenanya. Kualihkan pandangan, pura-pura menatap rak buku di sudut ruangan.
Ya Tuhan, apa salah dan dosaku, hingga punya bos semesum ini.
"Di dadamu ... ada name tag-nya," ucapnya, dengan senyum dikulum.
Gubrak! Rasanya aku mau pingsan saja. Pantesan dia dari tadi melihat ke situ. Ternyata dia membaca apa yang tertulis di sana untuk mengetahui namaku.
Sebenarnya, yang mesum itu aku atau dia? Ya ampun ... geura tobat, Nara!
Wajahku menghangat karenanya. Mungkin juga sudah memerah seperti udang rebus dicocol saos. Ah, benar-benar memalukan!
Laki-laki yang duduk di hadapanku itu mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah buku dan alat tulisnya. Dia menyodorkan benda itu kepadaku. "Tulis di sini!" tunjuknya.
"Maaf, Pak. Nulis apa, ya?" tanyaku, sambil meraih buku dan pulpennya.
"Surat Keterangan Tidak Mengulangi Perbuatan."
Dia mendikte dan menyuruhku menuliskannya di buku. Lalu meluncurlah kata demi kata dari bibir merahnya dan dengan sigap aku menulisnya. Setelah selesai, dia meminta bukunya.
"Tulisanmu bagus juga," pujinya, yang seketika itu juga membuatku melayang ke awan. Untung masih ingat balik lagi.
Kali ini dia beneran memuji, nggak bikin nyungsep lagi.
"Terima kasih, Pak," sahutku dengan perasaan bangga, mirip prajurit menang perang. Pokoknya kaya gitu, deh.
"Jangan senang dulu! Hukumanmu belum selesai!"
Apa? Aku nggak salah dengar? Auto tepuk jidat. Lalu mengelus dada yang tak rata. Dadaku sendiri, ya! Noted!
"Tulis di buku itu, kalimat 'Aku cinta Pak Mahendra yang tampan'. Ingat, hitung sampai jumlahnya seratus kali, baru kamu berikan padaku."
Demi buku satu rak! Ava-avaan ini? Nggak lucu, tau, Pak! Sebenarnya, dia itu haus pujian atau gimana?
Apa maksudnya aku disuruh nulis kalimat itu? Dia pengen banget aku bilang I love you atau gimana? Boleh, nggak, kalau kalimatnya kuganti jadi 'Pak Mahendra cinta Kinara yang cantik?'
"Kenapa? Kamu keberatan?" tanyanya waktu melihatku mengelus dada.
"Nggak Pak. Nggak keberatan, kok," sahutku sambil tersenyum masam, semasam jeruk yang masih hijau.
"Ya sudah. Kalau kamu keberatan, tambahin nulisnya. Jadi 150 kali."
Dia mengatakan itu sambil tersenyum smirk. Sebenarnya dia mau memperingan atau memperberat hukumanku? Kenapa malah ditambahin, bukannya dikurangin?
Ealah ... mimpi apa aku semalam? Kenapa hari ini aku apes banget?
Ingin rasanya melempar buku ini ke wajah tampan itu saking gemasnya. Tapi aku masih nggak punya nyali, takut dipecat.
Dasar si Raja Tega! Laki-laki tidak berperikemanusiaan! Tega-teganya dia mengerjaiku. Jangan-jangan dia cuma cari perhatian padaku karena cinta.
Mungkin dia sebenarnya ingin sekali bilang 'aku mencintaimu, Nara', tetapi dia gengsi.
Huh! Dasar presdir nyebelin! Untung ganteng!
Padahal kalau cinta bilang, Bos! Jangan ngerjain orang kaya gini!
***
Mau tak mau kuturuti perintah Pak Mahendra. Tangan ini mendadak pegal karenanya. Dalam hati merutuk kesal karena merasa dipermainkan. Sengaja kupasang wajah cemberut waktu menulis. Biar dia tahu jika aku sedang kesal.Jika dia menganggapku sebagai karyawan bar-bar, masa bodoh. Aku tak peduli. Kalau begini caranya, aku tak takut lagi untuk dipecat. Daripada setiap hari makan hati.Mending kalau hati ayam, memang enak itu. Apalagi kalau dimasak barengan goreng kentang dan ditambah petai. Mantap. Auto bayangin makanan, nih. Mendadak lapar jadinya.Laki-laki usil itu berdiri lalu berjalan mondar-mandir mirip setrikaan. Mengawasiku, mungkin takut kabur sebelum tugas selesai. Atau takut aku minta tolong orang lain untuk menulisnya.Aku terkejut waktu mendengarnya mengunci pintu. Kenapa harus dikunci? Dia mau apa?"Kamu capek? tanyanya waktu melihatku menggeleng-gelengkan kepala dan juga mengibas-ngibaskan tanga
Sambil menahan malu, aku pun turun dari tempat tidur itu. Pak Mahendra bangun dan duduk di tepi ranjang. Wajahnya merah padam, pertanda amarah melingkupinya. Setengah hatiku merasa bersalah karena telah bermain-main dengan tempat tidurnya. Setengahnya lagi, aku merasa senang, berhasil membangunkan seekor gorila eh, maksudku Pak Mahendra. Awas, jangan dibilangin julukanku untuknya, ya! "Maaf Pak, saya cuma mau bangunin Bapak," ucapku setenang mungkin. "Itu namanya bukan bangunin, tapi bikin syok. Memang nggak bisa pakai cara lain, apa? Dasar!" Dia menggerutu dengan raut kesal. "Tadi sudah saya goyang-goyangin bahu Bapak, saya udah tarik-tarik tangannya juga, tapi nggak bangun. Saya nggak punya cara lain, Pak. Masa saya harus ambil air segayung terus guyurin muka Bapak? Kan nggak sopan, ya? Kayak ibu tiri saya kalau bangunin aja." "Kamu udah kayak anak kecil aja, main lompat-lompat. Gimana kalau ran
Lagi-lagi kukeluarkan jurus andalan. Menghitung kancing baju. Ciyaaat ...hiyat ... hadezig!Isi, jangan, isi, jangan, isi ....Lho? Kok kancingku jadi lima? Padahal tadi enam. Ke mana yang satunya?Astaga! Ternyata kancingku yang paling atas terbuka. Aku tak menyadari entah sejak kapan itu terjadi. Mungkin waktu menarik-narik tangan gorila tadi. Atau pas lompat-lompat di kasur.Dalam hati merasa khawatir Pak Mahendra sempat melihatnya. Tadi dia sempat membuatku terdesak ke di tembok. Lalu dia sempat berbisik jahil waktu jarak kami sangat dekat. Mungkin dia berpikir jika aku sengaja menggodanya, maka dia tak memberitahuku.Duh Gusti ... kenapa ini harus terjadi?Kugelengkan kepala mengusir pikiran yang berkeliaran ke mana-mana. Kembali perhatian kualihkan ke buku di hadapan. Kolom tentang ukuran belum kuisi juga.Akhirnya kuputuskan untuk mengisi kolom itu belakangan saja. Mengisi yang lainny
Aku melangkah dengan tergesa-gesa sambil menutupi kepala dengan tas sandang agar tak terkena hujan. Aku rela berbasah-basahan karena berpikir jika bos tampan itu akan menawariku masuk ke dalam mobilnya. Lagi pula waktu yang tersisa semakin mepet sementara mobil pesanan belum juga datang."Bapak manggil saya?" tanyaku ketika sudah berada di dekat jendela mobil yang terbuka."Di depan itu mobil pesananmu, bukan? Bilangin sama sopirnya, suruh mundur! Saya mau lewat dulu," titahnya dengan suara tegas, pertanda tak bisa dibantah.Bibirku langsung maju beberapa centi. Kesal! Kuentakkan kaki, berjalan cepat ke arah mobil yang ada di depan.Sialan! Dia mengerjaiku lagi! Padahal kan dia bisa nyuruh sopirnya turun. Kenapa mesti aku lagi? Dasar!"Kenapa kesal? Kamu pikir, saya mau nawarin kamu naik mobil ini?" serunya.Rupanya dia menyadari kekesalanku. Tanpa menoleh kulanjutkan langkah dengan tak menghirauka
Sambil menunggu Asep membuatkan teh manis, aku mengintip dari jendela kaca pantry. Ingin tahu apakah Pak Mahendra mengejarku. Namun tak terlihat siapa pun di lorong. Mungkin dia sedang mengganti bajunya sambil merutuk kesal. Aku tertawa geli membayangkan wajah marahnya tadi.Memang enak, balas dikerjain?"Hei, dipanggilin malah senyam-senyum sendiri!"Gerutuan Asep membuyarkan lamunanku. Kuterima minuman yang diangsurkannya lalu bergegas meninggalkan pantry setelah mengucapkan terima kasih.Sewaktu melewati ruangan Pak Mahendra kusempatkan untuk menengok. Gordennya ternyata tertutup. Rencana mau ngintip dia pun gagal.Mungkin saja dia merasa kalau sudah menjahiliku, makanya dia tidak protes atau mengejar waktu aku membalasnya. Kemarin juga dia diam saja waktu kuisi dengan asal biodata di bukunya.Berarti memang impas dong, kita. Score-nya sama, 2-2. Aih, udah kaya pertandingan bola aja.
Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tidur. Berkali-kali kucoba memejamkan mata tetapi bayangan Pak Mahendra yang datang dan terus membayangi. Mengusik dan mengobrak-abrik pikiranku.Semula kupikir dia diam karena memaklumi kekesalan yang kurasakan. Namun semakin kutelusuri, ada kemungkinan lain yang mengganggu pikiran.Mungkin saja diamnya laki-laki tampan itu pertanda jika dia benar-benar tak peduli padaku. Jika iya, itu berarti aku harus mengubur dalam-dalam segala harapan padanya. Berarti dia memang benar-benar tak mengingatku sebagai perempuan yang telah dia renggut kehormatannya di malam itu.Terkadang aku ingin menanyakan padanya secara langsung mengenai kejadian itu. Namun, aku takut dia menyangkal atau malah menuduhku mengarang cerita untuk memerasnya.Jika diperkarakan dengan hukum pasti juga tak akan bisa karena tak ada bukti dan saksi. Lagipula berhadapan dengan hukum sama saja dengan bersiap-siap mengge
Ketika memasuki lobi kantor, resepsionis memperhatikan tanpa berani berkomentar apa pun karena ada Pak Mahendra di sampingku. Setelah menempelkan jari pada mesin absen aku pun segera menuju ke meja kerja.Semenjak memasuki lobi tak sepatah kata pun keluar dari bibir si Bos. Aku dan dia bagai kedua orang yang saling tak mengenal, sama-sama diam. Mungkin dia menjaga image-nya di depan karyawan yang lainnya.Mungkinkah sebenarnya dia mengingat dan mengenaliku sebagai gadis yang dia renggut kehormatannya malam itu. Bisa saja dia merasa derajat kami tidak sama. Dia bos, sedangkan aku karyawan biasa. Maka dari itu dia tak mau bertanggung jawab dan berpura-pura tak kenal denganku.Sepertinya kemungkinan ini yang paling mendekati kebenarannya. Perhatiannya kepadaku tak seperti perhatiannya kepada karyawan lain.Maksudku sikapnya kepadaku sangat berbeda layaknya terhadap karyawan yang lain. Di depan mereka dia terkesan angkuh dan di
Kerempongan Pak Mahendra semakin menjadi saat bakso pesananku datang. Pesanannya sendiri baru dibuat karena dia datang belakangan. Kububuhkan saus, kecap, dan sambal sesuai seleraku lalu mengaduknya."Itu enak, nggak?" tanyanya sambil menunjuk mangkok bakso punyaku.Aku pun langsung menyendok bakso yang paling kecil berikut kuahnya. "Enak, kok, Pak. Seperti biasanya," jawabku jujur.Memang rasanya seperti biasanya tak ada yang berubah. Kuletakkan lagi sendok di mangkuk lalu menyeruput teh botol di meja. Haus, Gaes!Terkejut. Itu yang kualami saat tiba-tiba saja Pak Mahendra mengambil mangkuk punyaku lalu dengan santainya menyuapkan bakso ke mulutnya.Sendok itu kan bekasku tadi. Dia tanpa sungkan memakainya. Entah dia sadar atau tidak.Si Bos Sengklek meleletkan lidah. "Pedas! Nggak enak! Kamu mau meracuni saya?"Dia mengatakan itu sambil kembali menyodorkan mangkuk ke hadapanku.Ealah ...