Share

Misi Bertemu Cinta
Misi Bertemu Cinta
Penulis: Alvin NH+

1. Kehidupanku di Desa terpencil

~Kehidupan yang indah berawal dari banyaknya masalah maka bersyukur adalah kunci utamanya~

                                   ♤♤♤

"Ibu...tolong Imaz...tolong Imaz..." teriak Imaz menangis menjerit saat dua anak buah Tuan Darwin membelah lehernya. Darah mengalir membasahi bajunya yang dibiarkan menjadi noda. Mata Imaz menutup dengan sempurna.

Kedua anak buah Tuan Darwin adalah dokter spesialis bedah yang handal. Mereka mampu membedah organ tubuh manusia sampai ke dalam. Terlihat di dalam leher Imaz terdapat glotis. Suatu celah di antara kedua pita suara. Dan mereka memutus pita suara tersebut dengan cutter khusus ahli bedah. Setelah sempurna diputus, mereka menjahit lehernya. Yang satunya menusuk jarum khusus ke dalam lehernya secara perlahan. Yang satunya lagi, membersihkan darah yang berserakan di sela-sela leher dengan kapas secara perlahan.

"Tuan, apalagi sekarang ?" Tanya salah satu dari mereka.

"Kubur dia. Nanti dalam waktu 40 hari, bedah kuburan tersebut. Kau akan tau dia sudah mati."

"Lalu ?"

"Aku ciptakan dia sebagai laki-laki dengan tanganku sendiri...semua perempuan tidak bisa diandalkan. Lemah dan tak berguna !"

Tuan Darwin tertawa lepas. Puas atas perbuatan yang ia lakukan. Tapi, berkat Ibu dan Bapak yang disekap di belakang rumahnya, memberi taburan doa untuk Imaz setiap harinya, malaikat datang menyelamatkannya. Ya. Dia adalah Galang. Anak semata wayang Tuan Darwin.

"Pa, jangan siksa Imaz. Kasihan dia. Jika Papa beristri lagi, Papa akan tau kelembutan hati perempuan."

"Galang, jangan ikut campur urusan Papa. Sana, kau belajar besok ujian."

"Pa, Galang cinta sama Imaz. Tolong bebaskan dia. Papa tidak inginkan kehilangan Galang ? Meskipun Imaz kecil usianya. Tapi dewasa sifatnya. Seperti Ibu. Galang ingin kelembutan hati Ibu."

Galang membujuk Tuan Darwin. Bertekuk lutut di hadapannya.

"Galang janji setelah nikah nanti, Galang tidak akan ganggu Papa. Tapi plis Pa....kali ini saja Papa wujudkan keinginan Galang." Lanjutnya.

Meskipun Tuan Darwin berbuat jahat, ia tersentuh dengan ucapan Galang.

"Baiklah, bebaskan dia."

Sungguh bahagia hati Galang. Sejak kecil, ia sudah menaruh benih cinta terhadap Imaz. Tapi, bukan dia calon idamannya. Imaz menginginkan calon Imam yang selalu mengingatkan dia kepada Allah kapanpun dan dimanapun ia berada tak peduli tentang wajah maupun kasta. Doanya pun terbilang sederhana. Hanya allahumma a'tini zaujan sholihan. Itu sudah mengawali semuanya.

DOOORRR !!!

Suara tembakan pistol menyaringkan bunyinya. Imaz tersadar dari lamunannya. Bersamaan Imaz dan Ibu, mereka keluar dari rumah. Betapa kejam semua pemandangan itu. Alam semesta pasti jijik menyaksikannya. Tuan Darwin dan beberapa anak buahnya menyiksa keluarga Vania. Tetangga Imaz sekaligus sahabatnya. Apa salah mereka ? Mereka bekerja juga baik. Penghasilannya juga menjanjikan.

"Tuan, jangan siksa kami. Kami hanyalah orang miskin yang butuh uang. Menginginkan kebahagiaan." Ibu Vania memohon, bertekuk lutut di hadapan Tuan Darwin.

"Orang miskin menyusahkan. Tak berguna ! Lebih baik hidup di surga. Bukankah itu impian kalian?"

"Tak berguna !!!"

Tuan Darwin menekan pistol. Suara menggemakan alam semesta yang membuat burung-burung berterbangan. Peluru mendarat, merasuk kedalam otak Ayah Vania. Meracuni syaraf. Membaur dalam darah yang menghasilkan darah tersebut meletus keluar dari kepala. Ayah Vania terjatuh pingsan. Vania dan Ibunya berteriak histeris. Tuan Darwin tertawa lepas.

"Tuan, mayatnya dikubur dimana?"

Tanya salah satu bodyguard-nya.

"No...no...jangan dikubur. Aku akan menciptakan manusia terbaru dengan tanganku sendiri. Tapi..."

Tuan Darwin menghentikan perkataannya seraya berjalan dan berhenti di depan Vania.

"Perempuan harus dikubur hidup-hidup. Benar itu Vania?"

"Tuan, kau boleh bunuh aku. Tapi, jangan bunuh kedua orang tuaku."

Vania menjawab ketakutan.

"Vania, kau suka sapi?"

Kali ini, Tuan Darwin memberi pertanyaan dengan mendekatkan wajahnya. Vania memejamkan mata ketakutan.

"JAWWABB !!!" Tuan Darwin berteriak.

"I...iya..."

"Sebenarnya aku ingin menyembelih sapi. Tapi..." Tuan Darwin menghentikan ucapannya kala bodyguard-nya membawakan pisau tajam.

"Aku ingin menyembelihmu." Kata Tuan Darwin memamerkan pisau tajamnya yang bening seperti baru dibeli di hadapan Vania.

Ia menundukkan kepala ketakutan. Tuan Darwin tersenyum licik. Para Bodyguard-nya berlarian memegang kedua tangan dan kedua kaki Vania.

"Jangan bunuh anakku, Tuan. Jangan ! Bunuh aku saja, Tuan. Aku akan menuruti semua perintahmu asalkan, bebaskan anakku."

"Diam orang tua ! Nanti giliranmu."

Imaz tak sanggup melihat kekejaman itu. Vania adalah kepercayaan Imaz. Dia yang percaya jika Imaz bukanlah pencuri nasi tetangga. Dia yang percaya jika Imaz bukanlah pemakan harta orang dan dia yang percaya jika Imaz jujur saat melakukan kesalahan. Ini bukan saatnya diam di tempat. Imaz bergerak maju akan menghentikan penyembelihan Vania, tapi tangan lembut Ibu menahannya.

"Tuan Darwin masih untung sama kita. Jangan buat dia berubah pikiran." Nasihat Ibu.

Imaz hanya diam menyaksikannya bersama para tetangga yang diam di depan rumah.

"Lepaskan aku ! Ibu tolong Vania....tolong Vania..." Vania berteriak ketakutan. Kedua kaki dan tangan meronta-ronta ingin melepaskan diri. Para bodyguard-nya memegang erat. Apalah daya, kekuatan wanita tak sebanding dengan laki-laki. Vania hanya pasrah. Sebelum pisau mendarat dan merobek lehernya, ia tersenyum kepada Ibunya. Ibunya hanya bisa menangis. Tak bisa melakukan apa-apa karena kedua tangan dan kaki diikat tali. Lalu,tersenyum kepada Imaz. Dia pasti tidak percaya jika Imaz bukanlah penyelamat dalam hidupnya, pikir Imaz.

Tuan Darwin menunjukkan aksinya. Pisau ia daratkan di atas leher Vania. Ia hanya bisa diam dan memejamkan mata.

Tuan Darwin menggesek-gesekkan kulit lehernya sampai ke ulu nadinya. Vania berteriak histeris sambil melototkan matanya.

"Vania...." Ibunya berteriak. Menggulingkan tubuhnya dan meronta-ronta melihat anaknya disiksa.

Leher menyemprotkan darah dan mengalir di atas tanah. Mata Vania mendelik. Tubuhnya kejang-kejang. Para Bodyguard melemparkannya diatas tanah. Lambat laun, napasnya terhenti. Tubunhya kaku. Matanya mendelik tak berkedip. Ia sudah tiada. Tuan Darwin tertawa lepas. Tak sampai di situ, tangan Tuan Darwin masih belum puas. Darah Vania yang membekas pada pisau, ia luncurkan dan ia tancapkan ke perut Ibu Vania. Ibu Vania berteriak kesakitan. Matanya mendelik. Seketika itu, napasnya berhenti. Ia menyusul kepergian anaknya. Tuan Darwin tertawa lepas.

"Lalu, apa selanjutnya?" Tanya Bodyguard.

"Kumpulkan mayatnya lalu bakar mereka. Nanti, abunya buang ke tengah lautan agar polisi tidak bisa mengevakuasi kasus ini." Jawab Tuan Darwin dengan senyum liciknya.

"Tapi bukankah Tuan ingin menciptakannya kembali?"

"Tidak jadi. Produknya tidak bisa diandalkan. Sebab mereka punya penyakit keturunan. Produk rusak diservice lagi menjadi second. Aku tidak suka barang second. Tapi..."

Tuan Darwin melihat Imaz tersenyum licik.

"Ada yang baru dan bisa dimanfaatkan."

Para Bodyguard saling memandang dan mereka tau yang dituju Tuan Darwin adalah Imaz. Tuan Darwin menghampirinya.

"Apa kabar menantu?" Salam Tuan Darwin yang membuat Imaz muak mendengarnya. Ia memutar kedua bola matanya malas.

"Bagaimana perdana film-nya? Baguskah? Tetangga serta sahabatmu sudah tenang dialam sana. Apa katamu? Diterima disisi Allah? Mana Allah? Apa hebatnya Allah? Menciptakan manusia tak berguna seperti mereka?"

Tuan Darwin tersenyum licik. Bara api membakar hati Imaz dengan penistaan Tuhannya. Mata menyulutkan amarahnya. Dan....

PLAAAKKK!!!

Imaz menampar pipi Tuan Darwin. Ibu dan para tetangga tak menyangka dengan keberanian Imaz. Bukannya marah, Tuan Darwin malah tertawa.

"Aduh, sakit menantu. Kenapa kau menamparku?" Gaya Tuan Darwin meledek Imaz.

Imaz berbicara dengan bahasa isyarat. Ibu sebagai juru bicaranya, menerjemahkan perkataannya pada Tuan Darwin, "bagaimana rasanya saat Imaz menamparmu?"

"Hambar."

Imaz berbicara lagi dengan bahasa isyarat. Ibu menerjemahkan lagi pada Tuan Darwin, "berarti kau tidak merasakan keberadaan Tuhan. Kata Imaz, saat dia menamparmu, apakah kau terpikirkan kalau dia menamparmu?"

"Tidak mau tau."

Imaz menjawab dengan bahasa isyarat. Ibu menerjemahkan lagi, "kata Imaz, kau egois. Kau tidak memedulikan rasa tamparannya dan takdir Allah yang sewaktu-waktu akan menghancurkan kehidupanmu."

"Hey, dengar Imaz. Kalau bukan karena Galang, kau sudah ku jadikan manekin. Selain cantik, kau juga seksi." Tuan Darwin melihat body language Imaz dengan mata jelalatnya.

"Bodyguard !" Teriak Tuan Darwin. Para Bodyguard berlarian dan memegang kedua tangan Imaz dengan erat.

"Tuan, kau bawa kemana Imaz?" Ibu panik melihat para Bodyguard menyeret paksa Imaz. Imaz meronta-ronta tidak mau. Telinga Tuan Darwin tak mau mendengarkan. Ia berlalu lalang pergi. Bersamaan dengan itu, Imaz menyaksikan pembakaran mayat keluarga Vania tepat di depan matanya. Kenangan, senyuman, kepercayaan dan jasad Vania terurai menjadi abu.

"Untukmu Vania, kau sahabat lebih dari selamanya." Dalam hati Imaz mencoba mengikhlaskan.

                                  ***

Turun dari mobil. Imaz, Tuan Darwin dan Para Bodyguard masuk ke dalam rumah. Desain struktur penggambaran rumah sangat unik. Terdapat dua ruang tamu yang berbeda. Satu sisi bertemakan hotel bintang lima. Satu sisi lagi bertemakan kerajaan dengan singgahsana terukir nama Tuan Darwin. Menaiki tangga mereka masuk kelorong berjajaran Para Bodyguard menjaga setiap ruangannya masing-masing. Tuan Darwin masuk ke ruang pengoperasian.

"Imaz, kau tidur sana. Tenangkan pikiranmu." Tuan Darwin mempersilahkan. Imaz terbata-bata duduk. Lalu rebahan diatas ranjang. Sebentar melihat Imaz diam terpaku, Tuan Darwin dan Para Bodyguard meninggalkannya.

Dua Dokter tiba-tiba datang menghampiri Imaz. Mereka menyuntikkan obat ibus. Kedua matanya buram seketika. Serasa kantuk menembus matanya yang membuat ia langsung terpejam. Dua Dokter memakai sarung tangan. Mulai beraksi menservice Imaz.

Jarum jam berjalan. Matahari tergelincir tepat berada dalam bayangan suatu benda. Kilauan cahaya menembus jendela. Membias ke wajah Imaz. Masuk kepori-pori. Mengakibatkan matanya terbuka. Tepat di depannya, Tuan Darwin duduk sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Selamat siang." Sambutan pertama Tuan Darwin untuk menyadarkan Imaz. Ia masih linglung setelah beberapa jam obat bius mengancamnya.

"Kau baca tulisan yang ada didepanmu." Tuan Darwin menunjuk pada seseorang membawa tulisan yang dipahat dengan kreatif. Tulisan itu bertuliskan 'selamat datang di duniaku.'

"Baca dengan keras. Jangan dalam hati."

Imaz menelan ludah.

"Selamat datang di duniaku." Suara Imaz terdengar dalam telinganya. Ia tak percaya suaranya bisa kembali. Ia meraba lehernya seakan-akan itu mustahil.

"Itu suara buatan."sorong Tuan Darwin. Imaz menatapnya tak mengerti.

"Anggotaku membuat mesin suara agar kau bisa leluasa untuk berbicara. Mereka mendesain dengan kelebihan dan kelebihan itu bisa terhubung pada telinga dan matamu. Telinga bisa mendengar jarak jauh. Mata bisa melihat identitas seseorang secara detail. Ini semua aku lakukan karena Galang. Dia sangat mencintaimu."

"Nanti..." Tuan Darwin mendekatkan bibirnya pada telinga Imaz, "malam kau makan malam di lantai sebelas. Di sanalah, ungkapkan perasaaanmu."

Tuan Darwin menepuk bahu Imaz. Lalu, melenggang keluar dari ruangan. Imaz diam terpekur.

                                ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status