Share

2. Awal Semuanya

~ Seberapa besar rencana kita, rencana Tuhanlah yang paling indah. Tak terlihat tapi bisa dirasakan bagi orang yang mau memahami-Nya~

                              ♤♤♤

Malam bertajuk bintang. Berhiaskan lampion yang kerlip-kerlip. Berdindingkan kaca menembus gedung-gedung dan bangunan yang menjulang tinggi. Teralun sendu dalam musik biola. Lilin-lilin bertaburan membentuk hati. Karpet merah terlampir diantaranya. Tampak di ujung sana seorang gadis memakai gaun berwarna merah. Berjalan dengan wajah teduhnya dan bahasa tubuhnya yang kalem. Senyum dibibirnya begitu manis. Tak salah Galang memilih pujaan hati seperti dia. Sambutan hangat berupa uluran tangan ia persembahkan untuk dia. Ia duduk dengan sangat anggun. Tak lupa Galang menyalakan lilin yang mempermanis meja makan mereka.

Dua pelayan datang membawa makanan dan minuman dengan sikap ramahnya. Mereka saling menatap. Tenggelam dalam alunan musik biola. Hati Galang berdebar-debar. Ia merasa kikuk dibuatnya.

"Terima kasih." Imaz mengawali pembicaraan.

"Untuk apa?" Galang senyum-senyum sendiri.

Imaz memutar bola matanya malas, "untuk suara buatan yang aku ucapkan ini."

"Oh...tidak perlu susah payah mengungkapkan itu. Karena sudah kewajibanku untuk membahagiakanmu."

Rasanya ingin muntah mendengar kata rayuan yang sudah basi itu.

"Mmm...Imaz." Galang merapikan rambutnya sebentar, "malam ini kita makan berdua. Bagaimana perasaanmu?"

"Biasa saja."

"Oh...biasa saja ya? Tidak merasakan hal aneh gitu dalam dirimu?"

"Iya aneh."

"Anehnya bagaimana?" Ia tampaknya terlalu percaya diri dengan jawaban Imaz.

"Kau orangnya romantis, pandai puisi,tapi kenapa Ayahmu kok teroris?"

Imaz membahas lain yang akan membuat malam makin serius.

Galang terdiam. Seperti enggan menjawab pertanyaannya.

"Bukan anaknya." Galang akhirnya menjawab dengan sinis.

"Pantas saja. Wajah dan karaktermu tak sama. Menurutmu, Ayahmu itu sifatnya bagaimana? Dan kenapa dia jadi seperti itu?"

Raut muka Galang tampak bosan dengan pembahasan malam ini. Ia harap makan malam bermadukan cinta malah meracuni segalanya.

"Kenapa kau diam? Malas membahas Ayahmu? Aku juga malas." Imaz kesal dibuatnya, "aku jadi korban Galang. Dia yang telah merusak suaraku dan menggantikannya dengan buatan tangannya. Dia sama saja mengganti ciptaan Tuhanku."

"Maaf." Bibir Galang bergetar.

"Untuk apa kau minta maaf." Kata Imaz dengan menunjukkan mata sinisnya.

"Aku tidak tau betul masa lalu Ayah. Yang penting Ayah mengadopsiku di Panti Asuhan saat aku berumur delapan tahun. Dulunya Ayah baik dan entah saat aku mengenalmu, Ayah jadi berubah."

"Sudah kuduga Ayahmu hanya pura-pura."

"Tapi tenang Imaz. Aku akan membawamu kabur dari sini. Kita akan pergi jauh dari Ayah."

"Kau yakin?"

"Demi kau, apapun ku lakukan."

"Kapan?"

"Saat pernikahan."

Imaz lega mendengar jawaban Galang. Ia berharap bisa mewujudkan keinginan orang tuanya untuk menyantri di pesantren. Melanjutkan hafalan kitabnya setelah hafal Alquran.

Jam berdentang menunjukkan pukul 21.00 malam. Artinya, acara inti dimainkan oleh Galang. Seorang pelayan membawakan gitar. Rupanya Galang juga pandai memainkan gitar. Galang membetulkan tempat duduknya agar posisinya nyaman dan sang pujaan hati makin terkesan. Ia mulai bernyanyi sambil memainkan gitar. Menghayati lirik lagu pop yang ia nyanyikan.

Tepukan nyaring dan senyuman Imaz mengembang dipipi. Untuk pertama kalinya, melihat ia sebahagia ini. Kebahagiaannya menghantarkan sampai ke ujung nadi.

                               ***

Sepertiga malam menyambut hangat kedatangan Imaz. Sementara, ia tinggal sehari semalam dirumah Galang. Sudah kewajibannya melaksanakan salat tahajud. Tak lupa ia berwudhu di kamar mandi yang satu ruangan dengan kamarnya. Membasuh muka terasa menyegarkan dan menenteramkan hati.

Keluar kamar mandi, ia melihat sekeliling hanya ada ranjang, televisi, dan Almari berisi pakaian. Tak ada mukenah sama sekali.

Imaz duduk diranjang memikirkan hal itu. Mungkin dengan mencari-cari di Almari pakaian, ia menemukan sesuatu. Imaz berjuang mengobrak-abrik Almari. Anehnya, Almari itu berisi pakaian wanita.

Ternyata benar adanya. Didalam Almari terdapat mukenah. Ia ambil mukenahnya. Didapati mukenah membungkus sebuah Alquran berukuran kecil. Ia yakin pasti Alquran itu diperuntukkan bagi penghafal Alquran. Makin malam makin penasaran. Imaz membuka Alquran. Sesuatu jatuh dari dalam Alquran. Ternyata sebuah surat. Imaz mengambilnya dan membuka isi surat tersebut.

Dear perempuan sesat...

Engkau manusia terhormat,

tapi aku tak terpikat.

Engkau bisa keramat, tapi aku

Sudah skakmat.

Darah yang tersemat, takkan

Ku rawat.

Cintamu tak menunjukkan

Tekad.

Keangkuhan, ketidakadilanmu

Membuat rasa dendam yang

Membulat.

Tak ada ampunan bagimu

Meskipun sudah tobat.

Aku takkan bahagia jika ajalmu

Mendekat.

Karena dirimulah aku menjadi

Bejat.

Salam

Orang terdekat

Imaz tertohok membaca isi suratnya.

"Siapa yang menulis surat ini? Untuk siapa? Apakah ini alasan Tuan Darwin menjadi seperti itu? Ini menjadi bukti kuat untuk menyadarkan Tuan Darwin." Imaz bergumam heran.

Ia lipat kembali dan ia simpan di dalam saku bajunya.

                                 ***

Pagi-pagi sekali, Imaz, Galang dan Tuan Darwin beranjak pergi dan mampir ke rumah Imaz untuk melamarnya.

Tiba di pelataran, mereka keluar. Seisi desa terkejut dibuatnya ketika melihat Imaz bersanding dengan Galang. Diikuti Para Bodyguard, Tuan Darwin mengetuk pintu. Betapa terkejut serta bahagia Ibu dan Bapak melihat Imaz pulang kembali. Mereka berpelukan setelah seharian merasakan rindu yang berkepanjangan. Pelukan mereka lepaskan saat melihat Imaz datang bersama Tuan Darwin.

"Ada yang kami bicarakan." Sahut Galang.

Ibu dan Bapak mempersilahkan mereka masuk ke ruang tamu. Tuan Darwin melihat isi rumah Imaz yang kumuh. Tak terawat. Dari kamar yang berlapiskan kasur tua. Kamar mandi tak ada pintunya. Dapur tak memakai kompor. Apalagi ruang tamu terpaksa duduk lesehan tanpa sofa. Raut muka Tuan Darwin terlihat jijik melihatnya.

"Jadi begini Bu." Galang mengawali pembicaraan, "kedatangan kami disini ingin melamar anak Ibu. Kemarin kami sudah berbincang-bincang lebih dalam bahwa kami ingin membawa hubungan ini ke yang lebih serius."

"Imaz benarkah itu?" Ibu tak percaya.

"Iya Bu."

"Imaz, kau bisa bicara?"

"Iya Bu. Ini semua berkat Galang. Hadiah terindah yang tak pernah aku dapatkan selama ini."

Jantung Galang berdetak kencang mendengar kata itu. Untuk pertama kalinya, mendengar kata manis dari Imaz. Ia jadi tersipu malu dibuatnya. Sementara Imaz hanya bisa memuntahkan angin.

"Ya allah, terima kasih nak Galang. Pasti mahal ya? Nanti pasti kami ganti."

"Tak perlu Bu. Bukankah kami nanti akan menjadi Calon Besan?"

Imaz memuntahkan angin kedua kalinya. Ibu melihat responnya.

Dering telepon berbunyi dari arah Tuan Darwin. Ia mengangkat ponselnya.

"Sekarang? Ya aku segera kesana." Kata Tuan Darwin berbicara dengan Klien-nya. Tuan Darwin memang seorang Ketua Agen bernama Darkill. Agen yang bertugas membunuh perempuan dan dijadikannya laki-laki. Hampir itu terjadi pada Imaz.

"Oke. Kalian berbincang lebih lama. Aku ada urusan." Pamit Tuan Darwin.

Ia keluar meninggalkan rumah. Para tetangga yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka, tersigap bersembunyi di balik tembok.

Mobil melaju kencang. Mereka berkumpul lagi di balik pintu.

"Wah, Imaz beruntung sekali ya menjadi bagian dari keluarga Tuan Darwin." Kata Ibu yang memakai daster.

"Iya, apalagi dapat suami tampan, mapan, menyenangkan seperti Galang." Ibu yang masih memakai roll terpesona dengan perangai Galang.

"Wah, sebentar lagi ada pesta. Pasti ada makanan yang enak. Jarang-jarang ada makanan enak. Ya gimana? Tiap hari makan tahu tempe terus." Sahut Ibu yang memiliki tompel besar di jidatnya seperti India.

"Huuu....dasar rakus." Mereka bersahutan memukul kepala Ibu bertompel besar.

Setelah sekian menit, mereka kembali ke rumah masing-masing. Masih dalam perbincangan, kesempatan emas Imaz mengungkapkan yang sebenarnya. Namun sebelum mengungkapkan, ibu sudah dulu bertanya.

"Memangnya sejak kapan kalian saling mencintai?"

"Sejak kami mengenal apa itu rasa nyaman." Alih-alih Galang menatap Imaz dengan sok manisnya. Imaz membuang muka amit-amit.

"Dan ini juga kesempatan." Imaz mengalihkan pembicaraan seakan-akan sudah enggan dengan pembahasan Galang, "nanti, saat acara pernikahan, kita kabur dari sini Bu. Galang siap  untuk merencanakan semua ini."

"Ya Allah Galang, terima kasih." Ibu terharu, "kalau bisa bawa kami jauh-jauh dari Tuan Darwin."

"Siap Ibu camer." Galang menunjukkan gaya hormatnya.

"Eh, lu ngatain Ibuku unta?"

"Calon mertua."

Imaz menyeringai. Galang tertawa. Ibu dan Bapak tersenyum mendengus.

Alat pendingin dinyalakan. Musim kemarau masih mewabah di penjuru kota termasuk di pelosok Desa. Secangkir teh disiapkan oleh para pelayan untuk menghangatkan pikiran Tuan Darwin dan Para Koleganya. Rapat diselenggarakan tepat pukul sepuluh pagi. Terpampang ukiran besar DK menempel dinding dan Tuan Darwin membelakangi. Mengawali rapat, Tuan Darwin menyeruput tehnya sebentar.

"Tuan, sepertinya ada agen lain yang mengincar agen kami. Agen itu berbahaya. Bisa-bisa mereka menusuk kami dari belakang." Kata Mario memberanikan diri untuk mengawali pembicaraan.

"Memang apa yang terjadi? Kenapa mereka tau identitas kami?" Tuan Darwin memainkan dagunya berpikir.

"Itu Tuan, ikan-ikan yang tiap harinya dicari dilaut, tiba-tiba ludes. Kasihan kan Para Nelayan jadi susah payah mencarinya lagi."

"Apalagi salah satu dari Bodyguard Tuan terbunuh. Kami menemukan benda tajam keluar dari mata dan mulutnya." Sahut Ken menambahkan.

"Aku yakin mereka penjahat kelas atas sehingga mereka bisa saja menyamar untuk menghancurkan agen kami." Dugaan Mario.

Rapat yang posisi duduknya melingkar makin dibahas secara dalam makin runyam.

"Kalian taukan, besok acara pernikahan Galang dengan Imaz? Tugas kalian lebih berat. Jaga mereka jangan sampai lengah. Jaga semua ruangan dan jaga luar rumah." Ide Tuan Darwin.

"Tapi Tuan, kenapa di dalam rumah harus dijaga? Bukankah kami hanya perlu menjaga luarnya saja?" Ken mengelak.

"Dasar bodoh! Kalian harus tau, orang dalam bisa selicik orang luar. Lihat saja besok. Permainan akan dimulai. Seorang penghianat dan seorang teroris sudah berani melawan aku. Mereka tidak tau siapa aku yang sebenarnya. Darwin Van Haouten. Memiliki sifat seperti hewan."

"Memang Tuan Darwin panutan bagi para hewan." Mario meledek.

"Apa kau bilang?" Tuan Darwin mulai terbakar emosinya.

"E...e...kami hewan Tuan."

"Menjadi hewan itu menyenangkan. Berbuat semaunya tanpa memedulikan orang lain."

"Hidup hewan !" Mario berteriak heboh.

"Nggak lucu." Yang lain menggerutu.

                                 ***

Pagi-pagi sekali, Bapak sudah rapi. Mendapat pengumuman kalau ikan-ikan banyak yang ludes, Bapak sebagai Ketua Para Nelayan harus mengkordinir anggotanya untuk lembur dan ikan-ikan tersebut disimpan di rumah Tuan Darwin. Itu juga atas perintahnya.

"Sudah ya Bapak kerja." Bapak hanya sarapan seteguk teh manis sudah main pergi.

"Pak aku ikut." Imaz menahan.

Bapak berhenti dimuka pintu, balik badan dan berkata, "kau jaga dirumah saja sama Ibu. Nanti kau kecapekan apalagi kurang tiga hari kau sudah ke pelaminan."

"Ku mohon Pak. Kali ini saja sambil sarapan." Imaz memohon sambil menunjukkan rantang makanannya.

"Demi kau, baiklah."

"Horeee....aku sayang Bapak."

Ombak berderu menyapu angin. Laut biru memeluk pasir dengan yakin. Burung-burung bertengger di dahan  lalu mengepakkan sayap terbang tinggi menembus awan. Perahu-perahu mulai di dayungkan. Para Nelayan melampirkan jarik ke laut dalam untuk meraup ikan lebih banyak. Tugas kali ini Bapak mengerahkan banyak jarik dan hebatnya hasil buatan sendiri.

"Pak, Bapak dari kecil cita-citanya memang jadi Nelayan?"

Imaz dan Bapak duduk di tepi Laut menikmati pemandangan laut serta mendinginkan kedua kaki dari ombakan laut di tengah musim kemarau yang tak kunjung reda.

"Bapak tidak punya cita-cita." Bapak menjawab dengan mengambil lauk ikan lele yang masih dirantang.

"Lha terus bagaimana bisa sesukses ini kalau Bapak tidak punya cita-cita?" Imaz sudah melahap makanannya.

"Bapak selalu berdoa. Apapun nanti pekerjaan Bapak, yang penting halal. Meskipun hanya Nelayan."

"Jadi Nelayan sudah hebat kok Pak."

"Memangnya cita-citanya Imaz mau jadi apa?"

Imaz terdiam. Mengunyah makanan menjadi terhenti.

"Kau tidak lulus." Kata Bapak bercanda.

"Iya Pak. Imaz nyerah. Kalau begitu, Imaz cita-citanya ingin jadi..."

"Penghafal Alquran?" Belum sempat Imaz menjawab, Bapak sudah bisa menebaknya.

"Tak hanya itu Pak. Imaz ingin mengamalkan isi kandungan ayat Alqurannya yaitu menjadi Perempuan dalam Alquran. Perempuan itu hebat lo Pak."

"Iya, seperti Ibumu."

"Bisa menjadi dua profesi. Istri suami dan Ibu bagi anak-anak. Maka dari itu, ada surah yang khusus menjelaskan tentang perempuan. Dalam surah An-nisa dan Al-maidah. Lima ciri Perempuan dalam Alquran. Salat lima waktu, puasa fardu, taat pada suami, menjaga harta suami, dan menjaga kesuciannya untuk suami."

"Kalau begitu, taatlah pada Galang. Saat nanti kau sudah menikah Imaz, ketaatanmu tidak pada Ibu dan Bapak lagi tapi pada suami. Jangan membantah perkataan suami apalagi nusyuz."

"Bapak..." air mata Imaz meleleh.

Bapak dan Imaz saling berpelukan.

                               ***

Janur kuning melengkung di depan rumah Tuan Darwin. Para tamu datang membawa bungkusan sebagai hadiah pernikahan Imaz dan Galang. Karena acara dijaga dengan ketat, para tamu diperiksa dari atas sampai ke bawah. Hingga hadiahpun dua penjaga yang wajib membuka. Takut diberi hadiah yang membahayakan.

Dekorasi didesain dengan tangan kreatif. Setelah tempat pemeriksaan, para tamu undangan melewati terowongan kecil bertebaran macam-macam bunga dan di sanalah sang penjaga memberikan sekuntum mawar merah. Melewati terowongan, mereka mendapatkan kartu nomor kursi dari penjaga. Kursi dan meja tertata bak restoran. Mejanya dipermanis dengan kehadiran lilin dan buah yang masih segar. Di depan terdapat sebuah pelaminan bak istana kerajaan. Dua kursi panjang empuk. Sedikit bunga yang dipajang untuk mempermanis ukiran dinding keraton.

Di samping pelaminan, terdapat panggung dengan berbagai alat musik, antara lain; piano, drum, gitar, gendang, seruling, sexofon, dan lain-lain. Sambil menunggu kehadiran kedua mempelai, para tamu undangan menikmati hidangan dengan alunan musik yang syahdu dan mengesankan.

Imaz dibuat deg-degan. Bercermin dengan tegang bukan karena sebentar lagi menjadi Istri Galang melainkan taktik mengalihkan perhatian seisi ruangan agar bisa kabur dari Desa. Tampilan Imaz sekarang bak putri raja bersanding dengan pangeran. Gaun berwarna putih bermotif melati. Jilbab dipermanis mahkota. Make up terlihat natural. Bukan main Imaz begitu cantik.

"Ibu, Imaz takut. Apa yang akan Galang lakukan nanti supaya bisa kabur dari sini?" Cemas Imaz yang gaya bicaranya tidak bisa dilebarkan mulutnya.

"Kalau bicara biasa saja. Kayak nggak pernah dandan saja. Tidak seperti Ibumu." Potong Bapak.

"Kan Imaz tidak suka dandan."

"Sudah....sudah...." Ibu menenangkan, "Imaz berdoa saja semoga rencana kita berhasil."

"Tuan...Tuan..." teriak suara pria kesakitan dari tempat acara.

Imaz, Ibu, dan Bapak dibuat terkejut.

Seisi ruangan heboh dengan kedatangan pria tertusuk pisau di perutnya. Dia berjalan merayap kesakitan ingin menghampiri Tuan Darwin yang tadinya berbincang-bincang dengan temannya dibuat heran atas kedatangannya. Dia mencoba melepas pisau di perutnya sangat sulit dikarenakan pisau itu panjang sampai menembus ke belakang.

Para tamu undangan ngeri melihatnya. Satu tarikan satu hembusan napas. Lalu berteriak sejadi-jadinya. Para tamu undangan langsung menutup telinga dengan tangannya dan merapatkan kedua matanya. Daripada makin runyam,Tuan Darwin menghampirinya. Berjongkok didepannya.

"Kau....siapa?" Tanya Tuan Darwin seakan-akan tau itu hanyalah sandiwara.

"Tu...Tuan. Dia ingin membunuhku. Dia bilang dia membunuh atas perintahmu." Jawab pria itu menahan rasa sakit.

"Aku bilang, kau siapa? Dari Agen mana?"

"Aku dijebak Tuan."

"Hey, aku tidak mengenalmu. Memangnya aku ini mudah dibodohhkan dengan rencanamu?"

"Aku dituduh Tuan."

"Aku bilang, KAU SIAPA??" Tuan Darwin berteriak emosi.

Ia langsung mencabut pisau itu dengan keras. Pria itu melototkan mata dan ternyata meninggal ketika Tuan Darwin mengecek pernapasan lewat lubang hidungnya. Para tamu undangan tercengang melihat adegan itu.

"Semua Bodyguard !" Teriak Tuan Darwin, "kerahkan semua anggota untuk memeriksa apa yang terjadi didalam rumahku. Cek keuangan, barang berharga, dan manusia tak dikenal. Cepat, laksanakan !!!"

"Baik, Tuan." Jawab serempak. Para Bodyguard berlarian dari arah yang berbeda-beda kedalam rumah. Mengecek setiap ruangan. Ditengah kekacauan, Galang mengunci ruang make up. Mengajak Imaz dan orang tuanya segera kabur.

"Lewat mana?" Imaz sudah panik. Ia menyincing gaunnya yang terlalu lebar.

Knop pintu tiba-tiba bergerak.

Para Bodyguard hendak mengecek ruang make up.

"Pintu terkunci." Teriaknya panik.

Satu persatu mereka keluar dari jendela. Pertama Bapak yang keluar. Disusul Ibu lalu Galang. Terakhir Imaz. Saking ribetnya memakai gaun, terpaksa ia menyincingnya sebetis. Galang menggenggam kedua tangannya erat. Imaz naik jendela, turun dan jatuh dalam pelukannya.

Mereka saling menatap sebentar lalu berlari secepatnya. Mobil rupanya sudah dipersiapkan Galang di belakang rumah. Mereka kelabakan ingin segera naik mobil. Betapa terkejutnya Galang melihat Tuan Darwin duduk di kursi pengemudi. Imaz, Ibu, dan Bapak juga ikut terkejut.

"Hay, mau kemana?" Tanya Tuan Darwin dengan senyum liciknya.

Imaz semakin benci. Ia menggertakan giginya kesal.

"Mau mencoba menghianatiku?" Lanjutnya, "kau pikir aku tidak tau rencanamu? Tepat pukul sembilan pagi, kami datang ke rumah calon menantu dan aku mendengarkan semuanya."

Tuan Darwin membuka pintu mobil. Berdiri berhadapan dengan Galang. Imaz, Ibu, dan Bapak bersembunyi di belakangnya.

"Dan kau tau apa akibatnya?"

Galang menatap Tuan Darwin penuh tanya.

"Satu...dua...ti..."

DOOORRR !!!

Galang terjatuh. Mata melotot. Darah meluber dari lubang perutnya. Tuan Darwin mengambil bom kecil yang terselip di sabuk celananya. Lalu menyerahkan pada Imaz yang raut mukanya dipenuhi ketidakpercayaan. Ia tatap terus bom kecil itu lalu ia remas dan dibuang dengan penuh kekesalan.

"Kau jahat Darwin. Kau jahat ! Apa maumu? Kenapa kau selalu membuat keluargaku menderita. Kenapa tidak sekalian kau bunuh kami, hah?" Emosi Imaz meluap-luap. Ibu dan Bapak menepuk bahunya menenangkan.

"Menderita? Kapan aku membuatmu menderita? Galang mencintaimu, ingin menikahimu, aku restui. Galang ingin kau bisa bicara, aku buatkan mesin. Namanya penghianat tetap penghianat."

"Penjahat tetap penjahat! Kau yang buat aku jadi bisu. Aku sudah tidak tahan. Tidak tahan!!!"

Imaz membuka pintu mobil belakang. Mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pistol. Ya. Ekspektasi Imaz membunuh Tuan Darwin semakin bulat. Tak peduli kalau efeknya dia yang menjadi terdakwa. Imaz menodongkan pisau di hadapan Tuan Darwin.

"Jangan Imaz. Kendalikan emosimu." Imaz tak menghiraukan nasehat dari Bapak. Tatapan matanya penuh dendam. Tapi ekspresi Tuan Darwin sangat santai.

"Kau mau membunuhku?"

Pertanyaannya seolah-olah meledek keberanian Imaz, "silahkan. Itu sudah makanan sehari-hariku."

"Ckkk...makananmu daging. Minumanmu darah."

"Imaz...imaz...aku kasihan dengan wajahmu yang cantik. Bodymu seksi. Dihari pernikahan kau sudah jadi janda. Apakah ini tanda kau menembak pada calon mertuamu jadi calon suamimu?"

"Calon suami? Sampai kiamatpun, aku tidak sudi menikah denganmu."

"Tidak perlu membohongi perasaanmu. Hari ini aku akan memberimu mahar."

Tuan Darwin mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Suatu benda kecil hitam tengahnya berwarna merah. Gerak gerik Tuan Darwin tidak mudah dibaca. Bahkan, polisi saja terhipnotis atas karya-karyanya.

"Aku akan menekan tombol ini." Kata Tuan Darwin mengangkat alat tombol itu, "dalam hitungan ketiga, entah Ibumu, Bapakmu, atau kau yang akan celaka."

"Satu..."

Imaz, Ibu, dan Bapak bergantian menatap.

"Dua..."

Raut wajah mereka panik.

"Ti....ga..." Tuan Darwin menekan tombolnya.

Pistol Imaz jatuh tiba-tiba. Matanya buram. Kepalanya berputar-putar, seakan-akan dunia runtuh merobohkannya. Ia memegang kepalanya kesakitan. Imaz berputar-putar mencari pegangan untuk menahan rasa sakit.

"Kenapa Imaz? Katanya mau menembakku? Padahal aku sudah ingin menjawab iya."

Dua bodyguard membawakan kursi untuk Tuan Darwin dan menyaksikan  Imaz berputar-putar kesakitan.

Sudah tak tahan, Imaz terjatuh. Meronta-ronta memegang kepalanya sambil berteriak kesakitan.

"Tuan...bebaskan Imaz. Kami akan menuruti semua perintahmu. Kami janji." Ibu dan Bapak memohon bersimpuh.

Tuan Darwin berjalan menghampiri Imaz yang masih meronta-ronta.

"Oke. Tapi ada syaratnya."

"Apapun syaratnya, kami akan melaksanakannya."

Tuan Darwin menekan off. Imaz terhenti. Napasnya terengah-engah. Ibu membantu membangunkannya. Imaz sekuat tenaga mengontrol pandangannya.

"Baiklah." Tuan Darwin mengeluarkan secarik kertas berisi peta dan ia serahkan pada Imaz, "karena kau telah menghianatiku, kau sekarang resmi jadi kolegaku. Dan ini target pertamamu. Taklukan Pesantren Benang Biru. Ingat! Sekali lagi kau menghianatiku, kau akan merasakan rasa sakit seperti itu lebih parah. Kapanpunn dan dimanapun aku bisa memantaumu karena mesin suara canggihmu itu."

Tuan Darwin menepuk bahu Imaz tersenyum licik.

                                 ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status