Share

11. Bismillah Jodoh

~Berdetak hati mengucap kalam penghulu. Tanpa sandaran kepercayaan masih tetap utuh meski tidak tahu siapa kekasih halalmu~

                                  ♤♤♤

Not found.

Kata itu jelas terpampang di monitor sistem mesin suara. Kecemasan menjalar di wajah Tuan Darwin.

"Ini pasti ada yang mengagalkan rencanaku." Tuan Darwin menggebrak meja kesal.

"Marvel, kerahkan semua bodyguard untuk menyerang pesantren dan cari dimana mereka menyembunyikan Imaz." Perintah Tuan Darwin tanpa bertele-tele.

"Baik Tuan."

                                   ***

Di ruang tamu, perbincangan terjadi lagi.

"Bagaimana perkembangan pencarian Imaz apakah sudah menunjukkan tanda-tanda keberadaannya?" Romo Kiyai nampak panik. 

Wajah dipenuhi warna pucat. Sejak kejadian hilangnya Imaz, beliau tak bisa tidur. Pikiran beliau tak menghapuskan segalanya apalagi mengenai pernikahan mereka dan sudah saatnya Ning Fiyyah mengetahui rahasia perjodohan mereka.

"Belum ada tanda-tanda Romo. Entah dimana mereka menyembunyikan Imaz."

"Robet, kalau Imaz sampai belum bisa ditemukan, pernikahanmu tetap dilaksanakan. Aku sudah menemukan tanggal yang pas. Aku mohon ya Robet. Aku sudah tidak kuat lagi."

"Romo jangan berkata seperti itu. Memangnya tanggal berapa? Dan nama calon istri saya siapa?"

"Tanggal 12 robiul awal. Namanya I'timadus Salik." Romo Kiyai memang sudah tau nama lengkap Imaz. 

Sejak kedekatan mereka mulai terjalin karena seringnya bertemu. Sengaja menyembunyikan nama lengkap karena perintah Mamad. Nama I'timadus Salik bukanlah sembarang nama. Ia memiliki arti orang yang berpegang teguh di jalan Allah. Siapapun yang akan tau nama itu niscaya ingin menjatuhkan hidupnya termasuk Tuan Darwin. Mamad tak ingin kehidupan Imaz semakin runyam demi orang lain.

"Subhanallah....nama yang indah." Robet memuji. Secara mengejutkan, Romo Kiyai tak sadarkan diri. Robet berteriak panik. 

Kesembilan putrinya menangis histeris. Menghampiri beliau. Rasya dan Saga turun tangan menangani beliau. Digotong bersama dan dibawa kekamar beliau.

Ketidakadaannya Imaz menambah suasana menjadi kalut.

DOOORRR !!!

Suara tembakan bersahutan. Pasukan bertopeng entah darimana menyerang. Robet dan Rasya segera keluar melihat situasi dari luar. Prajurit dan pasukan saling bertarung. Saatnya mereka ikut memperjuangkan pesantren. Robet diserang dua orang dengan pukulan menuju wajah. Tangkisan kedua tangan menjambak rambut mereka. Dengan teriakan kesal, ia lemparkan mereka dan jatuh lemas terkapar di tanah. 

Dua orang juga menyerang Rasya. Ia meluncur dari kedua kaki lawan dan menembak mereka bersamaan. Peluru masuk ke punggung mereka. Terkulai jatuh ke tanah. Penyerangan terus berlangsung tanpa tujuan. Senjata pistol menjadi alat bantuan. Saling menembak tiada henti. Insting seseorang dari belakang menodong pistol, menekannya dan beruntung peluru meluncur mengenai pasukan sendiri. Keputusan Robet merunduk adalah hal yang tepat. Instingnya tak diragukan lagi.

Semua pasukan tuntas dilawan. Hanya satu yang dipertahankan.

"Katakan siapa yang menyuruh kalian datang kesini?" Robet meremas kerah bajunya. 

Bara api kemarahan membakar wajahnya. Percikan darah dari lawan menempel di wajahnya.

Jawabannya hanya diam.

"Sekali lagi, katakan! Atau peluru masuk ke dahimu." Pistol langsung ditempelkan ke dahinya.

Jawabannya tetap sama ; diam.

Kesal hati percuma meladeni. 

Teriakan Robet menjadi-jadi. Tembakan keras ditekan ke dahi tanpa ampun. Darah mengucur ke tanah dan pistol di lemparkan sampai pecah. Tiada lagi kata aman di pesantren. Sudah saatnya pesantren butuh perlindungan. Termasuk pesantren benang biru.

Keadaan pesantren tenang beberapa saat. Pasukan lawan sudah ditangani pihak berwajib. Robet beserta prajurit tetap dalam tahap pencarian. Sekarang tidak sendirian, kepolisian siap bertanggung jawab. Mereka melakukan pencarian dari arah hutan belakang taman santri. Tempat kejadian awal mula Imaz datang ke pesantren.

Di kamar Romo Kiyai...

"Ayah, jangan terlalu banyak berpikir. Kita yakin, Imaz pasti bisa ditemukan." Ning Fiyyah menenangkan.

Terbaring lemah di atas ranjang, wajah pucat pasi. Kesembilan putri beliau setia mendampingi.

"Sebegitu pentingkah Imaz di mata ayah sehingga jatuh pingsan seperti ini?" Kata Ning Shita menyinggung perasaan Romo Kiyai. 

Ning Fiyyah memberi peringatan dengan melototkan matanya. Dari kesembilan putri beliau, yang paling tidak bisa mengontrol perkataannya adalah Ning Shita.

"Sangat penting." Suara Romo Kiyai merendah, "kalian tidak tau, suatu saat nanti, dia yang akan menjadi perempuan sejati. Perempuan yang disebutkan dalam Alquran. Sebagai penghargaan, ayah ingin menjodohkannya."

"Ayah menjodohkan Imaz?" Ning Fiyyah terkejut.

"Iya tolong rahasiakan pernikahan Imaz. Dia pasti aman menjadi istri Robet."

Kesembilan putri beliau seketika itu diam membisu. Tak ada ungkapan kata apapun mendengar ucapan Romo Kiyai.

"Ayah mohon jangan sampai Robet tahu. Kalau sampai tahu, Imaz bisa celaka."

"Tapi kenapa ayah pernikahan mereka harus disembunyikan?" Ning Dija bersuara karena heran.

"Ayah ingin sebelum umur ayah habis, ayah bisa melihat mereka menikah walau tanpa kehadiran mempelai putri. Nanti, saat Imaz sudah ditemukan, biarkan mereka menikah resmi di rumah Robet. Kalian harus tau, kunci utama kejadian semua ini adalah Imaz."

"Mereka menginginkan Imaz." Romo Kiyai terlalu menekan suaranya, akibatnya beliau terbatuk. Ning Dija mengambilkan air minum dari meja. Air tersedot sedikit. Tenggorokan terhanyut tenang.

Pencarian belum berakhir. Mobil tetap melaju mengikuti lokasi kejadian Imaz tersesat. Robet tak lupa petunjuk denah yang Imaz pegang masih disimpan.

"Robet, sebenarnya kita mau kemana?" Rasya yang duduk disampingnya penasaran karena tanpa berkata apapun ia memutuskan pendapat sendiri.

"Nanti kau akan tau sendiri." Robet menjawab dengan angkuh. 

Mereka hanya bisa patuh pada sang polisi. Kenangan melihat senja di tepi laut bak kekasih sungguhan menjadi bukti utama. 

Pertemuan pertama membawa senjata kebenaran. Turun mobil Robet membisu, berjalan naik ke kapal veri sebab saat itu Imaz datang menyeberang laut. Rasya beserta para prajurit saling memandang tak mengerti. Mereka hanya bisa mematuhi sang polisi.

Kapal layar siap dijalankan. Hembusan angin menyibak wajah, mengajak rambut menari-nari. Kapal merambah ke tengah lautan.

Sampai di penghujung, mereka menemukan sebuah desa yang memiliki tumbuhan asri. Tanahnya tandus. Udaranya sejuk walaupun terik matahari menyengat. Para nelayan juga giat mengais banyak ikan.

"Pak, numpang tanya." Robet menghampiri para nelayan untuk tanda bukti.

"Iya dek?" Salah satu nelayan menghentikan pekerjaannya. Kapal diparkirkan ke tepi laut.

"Bapak kenal gadis yang bernama Imaz?"

Bapak nelayan itu diam sejenak. Wajahnya nampak menyembunyikan sesuatu. "Eh, iya dek. Kenal." Gaya bicaranya agak ketakutan. Robet bisa menangkap semua ekspresinya.

"Dia sudah lama menghilang. Padahal kasihan, dia wanita satu-satunya di desa ini."

"Wanita satu-satunya?" Robet mengedikkan alis heran.

"Iya dek. Dia wanita yang tangguh. Banyak yang ingin mendapatkannya."

"Wanita yang tangguh? Ingin mendapatkannya?" Robet terus menggali informasi tentang Imaz dengan memberikan beberapa pertanyaan.

"Iya dek. Dia titisan raden patah. Pak kepala desa juga ingin mencarinya."

"Siapa nama kepala desanya?" Robet tersenyum puas. Akhirnya bisa mendapatkan bukti kuat seorang Imaz.

"Darwin Van Houten."

"Kalau begitu, sekalian saja besok Pak Darwin aku undang di acara pernikahanku. Tolong beritau dia ya? Aku juga ingin mengobrol banyak."

"Dimana acaranya?"

"Di pesantren Benang Biru."

Puas hati Robet menginterogasi. Ia kembali ke tepi laut. Para prajurit mengikut di belakangnya.

"Oh ya, dimana Rasya?" Robet mengedarkan ke selasar latar laut baru sadar Rasya menghilang begitu saja. 

"Katanya dia ke toilet sebentar." Wafi menjawab.

"Oh ya sudah kita tunggu di kapal."

                               ***

Pernikahan digelar sederhana. Tanpa ada dekorasi pelaminan. Cukup ijab kabul mereka resmi menjadi suami istri. Masjid tempat paling sakral atas keabsahan mereka dengan direstui sang pencipta ilahi. Yang hadir hanyalah keluarga dan kerabat sementara para santri hanya bisa menyaksikan lewat layar lebar. 

Romo Kiyai sebagai saksi duduk di samping mempelai putri. Orang tua Robet duduk di samping mempelai putra. Kesembilan putri Romo Kiyai mendampingi beliau. Dan yang duduk di belakang Robet adalah Tuan Darwin. 

Dia tersenyum puas bisa hadir mengamati pesantren Benag Biru. Tak ada Imaz membawa keberuntungan bisa datang langsung kesini.

"Sudah siap? Dimana mempelai putri?" Penghulu siap memberi ijab kabul.

"Dia tidak hadir. Ketidakhadiran mempelai putri tidak menjadi masalah gagalnya akad nikah." Romo Kiyai terpaksa berbohong.

"Tidak hadir kenapa Romo?" Sahut Robet.

"Dia ingin mengkhatamkan hafalan alfiyah terlebih dahulu sebelum menampakkan diri di hadapan calon suami."

"Baiklah kalau begitu. Langsung saja." Kata penghulu, mengulurkan tangan kanannya. 

Mereka berjabat tangan. Pengucapan ijab kabul berlangsung menebarkan hati apalagi dikalangan santri yang berteriak histeris menyaksikannya. Seisi ruangan masjid makin berdebar bisa secara langsung hadir menyaksikan acara yang sakral ini.

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur...." Robet mengontrol debaran hatinya, "haalan." Robet menghentakkan tangan penghulu.

"Alhamdulillah..." penghulu mengucapkan doa. Seisi ruangan dan para santri mengamini, "barokallahu lakuma wa baroka alaikuma wa jama alaina kuma fi khoir..."

Tepat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1440 H, Briptu. H. Robithus Sabilillah dengan I'timadus Salik resmi menjadi suami istri. 

Cinta bukanlah soal hadir ataupun tidak adanya wujud mereka melainkan hati yang bisa mengubah rasa cinta itu menjadi ada.

Keluarga besar Romo Kiyai sangat yakin mereka pasti dipertemukan ketika rasa itu saling bertatap muka. Menjalin keharmonisan yang datang melalui bahtera rumah tangga.

Bismillah, semoga mereka berjodoh.

                             ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status