Share

12. Kehilangan

~Cinta hadir tanpa saling bertatap muka. Telah qobiltu tanpa tahu kau merasa kehilangan~

                                 ♤♤♤

Acara akad nikah yang disaksikan banyak mata ketulusan berakhir sempurna. Siapapun wanita pilihan Romo Kiyai dia yakin bakal mencintai sepenuhnya.

"Selamat ya Robet." Ucap Tuan Darwin berjabat tangan padanya. Robet membalas senyuman.

Di ruang kantor madrasah, Robet, Rasya, dan Saga berbincang-bincang lebih lama pada Tuan Darwin. Mereka berencana bekerja sama dengannya untuk mencari keberadaan Imaz. Namun, mata Rasya menerangkan keengganan.

"Katanya lebih baik ditugaskan pada polisi tapi kenapa Pak Darwin juga diikutkan?" Demikian perkataan Rasya dengan suara dingin meskipun ia tau ini akan terjadi.

"Sya, Pak Darwin ini sebagai saksi kuat supaya kita tahu jejak keberadaan Imaz." Robet mencoba mengklarifikasi.

Tuan Darwin mendesah, merebahkan punggung ke sofa dengan berlagak sok pahlawan, "sudah...sudah...kalau dia tidak menerima kesaksianku, pencarian Imaz aku pastikan gagal."

"Kau ini..." tangan Rasya menarik kerah bajunya. Amarah membuncah dalam dadanya, "kau kan yang telah mengirim Imaz kesini untuk menghancurkan pesantren. Iya kan?"

"Hentikan Sya." Robet membela.

"Robet, apakah mereka sahabatmu? Sahabat macam apa jika diam-diam menghianatimu."

"Maksudnya?"

"Tanyakan langsung pada dia."

Rasya langsung melepaskan cengkeramannya. 

Ia tertunduk tak bisa berkata apa-apa. Tuan Darwin tersenyum puas.

"Apa yang telah kau lakukan?" Robet menatap tajam Rasya. Berdiri tegak. Pistol menyembul dipinggangnya.

"Maafkan aku." Suaranya merendah, "aku yang telah...." ia mengendalikan emosi, "menyembunyikan Imaz."

Bagai pisau ditusuk ke dadanya. Sahabat yang selama ini dipercaya tiada keraguan malah menghapuskan kepercayaannya.

"Kenapa, apa masalahmu?" Air mata jelas sudah menjernihkan bola matanya.

"Ini salah faham Robet. Waktu itu aku..."

"Kau menculik Imaz disaat ia habis diserang." Sahut Tuan Darwin berdiri ditengah-tengah mereka. Membuat skenario palsu sehingga Rasya yang dipojokkan, "kau malah bersantai dengan pura-pura tidak tahu apa-apa."

"Ini tidak seperti yang kau bayangkan." Saga ikut membela, "ya memang kita dan Wafi yang menculik Imaz. Tujuannya karena ingin mengambil mesin yang ada dalam otaknya. Setelah kita periksa, ternyata mesin itu dibuat oleh tangan kriminal."

Tuan Darwin menatap mereka bergantian, "kalau memang tujuannya memeriksa kenapa sampai sekarang Imaz tidak dikembalikan kesini. Kenapa atau jangan-jangan kalian sendiri yang sengaja memperalat Imaz?"

Mulut neraka Tuan Darwin memang pantas ditindak lanjuti. Membuat hati Rasya memantik emosi, "jaga mulutmu ! Jangan memutar balikkan fakta."

Ia mendesah, "siapa yang memutar balikkan fakta? Sekarang aku tanya dimana kau sembunyikan Imaz?"

"Dia diculik Robet. Kita jadi ikut panik."

"Lihat kelakuan mereka Robet." Tuan Darwin menghampiri, "sudah menculik, memperalat Imaz, eh sekarang dibiarkan kabur."

"Robet, percayalah pada kami. Kami melakukan ini semua demi keselamatan pesantren." Rasya memohon sampai bertekuk lutut namun tatapan Robet menggambarkan tak ada kata permohonan maaf. 

Hatinya terlalu beku untuk bisa mencairkan suasana.

"Aku..." sikap Robet berubah menjadi dingin, "tidak percaya atau peduli siapapun. Aku akan mencari Imaz dengan usahaku sendiri."

Cukup hanya kata itu, terjawab semuanya. Tatapan dingin, kaki melemah, melangkah keluar menyisakan kekecewaan. 

Kedatangan Tuan Darwin dari awal tidak membawa kabar baik. Justru kesalahpahaman yang belum waktunya terungkap akhirnya terjadi juga disaat yang tidak tepat.

Rasya menatap emosi pada Tuan Darwin.

"Kenapa kau bisa tau kalau kita yang menculik Imaz?"

"Itu bukan urusanmu!" Jawab Tuan Darwin.

"Aku akan buktikan kalau kau juga terlibat dalam masalah ini."

"Oke. Aku tunggu." Tuan Darwin tersenyum licik.

Obat patah hati bagi Robet ialah mendatangi Romo Kiyai yang makin hari tubuhnya melemah. Warna kulit yang sudah coklat, keriput merajalela, dan uban hinggap merusak kemilau rambutnya. Usia beliau sekarang enam puluh lima tahun.

Robet mendekat, menatap beliau penuh kegelisahan, "Romo, saya merasa tidak pantas menjadi polisi. Sampai saat ini, saya belum menemukan keberadaan Imaz. Dan...parahnya yang menculik Imaz sahabat saya sendiri."

"Itulah kekurangan manusia yang kurang memahami." Suara beliau mulai berat, "percaya dengan apa yang ia lihat tapi sulit percaya apa yang ia rasakan. Aku memahami betul sifat kalian bertiga. Ingat Robet, jangan rusak persahabatan yang kalian bangun sejak kecil dengan kesalahpahaman."

"Pekerjaan jangan ditemani dengan emosi." Tutur kata beliau setepah beberapa saat terdiam, "biasakan mengerjakan sesuatu dengan tenang, sabar dan selalu berpikir positif."

Robet menunduk, meresapi petuah-petuah beliau agar tertanam dalam hati.

"Salatlah, kemudian berdoa agar tugasmu bisa lancar. Kesuksesan bisa tercapai dengan usaha, berdoa dan optimis. Ini bukan Robet yang aku kenal. Robet yang aku kenal, dia pekerja keras, semangat hingga melupakan kesehatannya."

Robet menatap beliau lagi. Energi motivasi menghantarkan semangat, "terima kasih Romo. Saya janji akan mengembalikan pesantren seperti sedia kala."

"Aku selalu mendoakanmu."

Robet meraih tangan beliau kemudian mencium tangan beliau sebagai simbol permohonan restu. Ia melangkah keluar membawa semangat menyisakan rahmat.

Seseorang tiba-tiba masuk ke kamar beliau. Ekspresi beliau sontak kaget pula takut dia hadir kembali menyimpan rasa iri. Tuan Darwin menatap beliau tersenyum puas.

Dia datang kembali.

Tuan Darwin adalah adik dari Romo Kiyai Abdul Musthofa. Itu bukanlah nama asli beliau. Untuk menutupi rasa kekesalan, beliau mengganti namanya dan nama beliau sesungguhnya adalah Darwis Van Houten.

"Bagaimana kabarmu kak?" Ia duduk di hadapan beliau dengan tidak beretika, berani menyilangkan kaki di atas.

"Kenapa kau ada disini?" Tatapan beliau penuh kebencian, "darimana kau tau tempat tinggalku? Apa jangan-jangan kau yang telah menyembunyikan Imaz dan meracuni pikiran Robet?"

Prasangka beliau bermunculan.

"Untuk menjengukmu. Dari hati. Kalau iya kenapa dan kalau tidak kenapa?"

"Dari dulu kau tidak pernah berubah."

"Berubah jadi apa, poweramgers?" Tuan Darwin tertawa dibuat-buat.

Romo Kiyai terpekur sebentar, "Ibu? Dimana Ibu? Apa yang kau lakukan pada Ibu?"

"Ibuku sayang..." Tuan Darwin malah bernyanyi, "masih terus berjalan. Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah."

"Aku bertanya padamu!" Romo Kiyai membentak, dan akibatnya batuk tanpa henti menggerogoti tenggorokan.

"Ya ampun, kau sudah tua ternyata. Sadar diri, sudah waktunya mati. Tapi tenang aku pasti menyelamatkanmu." Kata Tuan Darwin, meraih air putih di atas meja. 

Tangan beliau antusias mendapatkannya namun dipermainkam dengan menjatuhkan air putihnya pada beliau.

"Uuppss..sengaja." dia tertawa puas, "tapi ini tidak sebanding dengan penderitaanku. Tunggu saja."

Hembusan napas dari mulut mendekat ke telinga beliau, "dalam seminggu ini, kau mati dengan sendirinya."

Tuan Darwin menjauh, mendesah. Kepalan tangan mengetat di hadapkan padanya. Ia mencoba menghantamnya. Namun, beliau tak kuat meraihnya. Dengan senyum liciknya, ia keluar.

Belum saatnya aku meniadakanmu.

Nanti disaat waktu yang tepat.

W******p masuk ke ponsel Robet.

Sebelum menginjakkan kaki ke kantor polisi, nyaris ia menyalakan mobilnya. Dihentikannya dan dibuka isi w******p-nya. Nomor tidak diketahui.

Assalamu'alaikum...

Nanti habis kegiatan setoran, temui aku di Taman Santri. Kau akan melihat semuanya.

I'timadus Salik.

Hati Robet antara percaya atau tidak. Istri pilihan Romo Kiyai telah siap bertatap muka dengannya.

Waktu akan menjawab semuanya.

***

Gorden jendela menari-nari terhembus angin. Romo Kiyai terkesiap bangun. Merinding bulu roma sempurna. Mata kesana kemari penuh kecemasan. Suara berderit keras merobek keheningan malam.

"Ssshhh...siapa?" Teriak Romo Kiyai panik.

Knop pintu perlahan terbuka. Sosok berjubah hitam membawa pisau belati. Mata beliau temaram akan semua perawakannya. 

Ia mendekat. Melayangkan pisau belati ke arah dadanya namun dihalau dengan usaha tangannya. Kekuatan sosok itu tak seperti laki-laki. Beliau menduga dia itu wanita.

"Siapa kau?" Suara berat beliau menahan serangan pisau yang ia layangkan.

Ia tak menjawab. Semakin ditanya semakin kuat ambisinya ingin melenyapkan beliau. Hoodie-nya terbuka. 

Dan sudah jelas semuanya. Wajah yang selama ini dirindukannya kembali menghadirkan kebencian. Apa tujuan dia membunuh beliau?

Pisau belati diangkat ke udara, kemudian dihujamkan ke dadanya. Tanpa suara tanpa mengelak, pisau belati itu tertancap penuh ke dada. Darah meluber mengalir di kasur berwarna biru. Tatapan beliau nanar menahan rasa sakit. Itu semua pasti halusinasi. Dia tutup kembali hoodie-nya, keluar membawa kemenangan.

Romo Kiyai merasa ada sesuatu yang janggal. Baginya adalah kemenangan bukan bagi beliau. Jemari beliau dipaksakan bergerak. Menarik meja. Terkapar buku di atasnya. Dadanya tiba-tiba sesak. Bukan saatnya untuk tiada. Beliau menyobek kertas menahan napas yang tertusuk perih. Tak ada bulpoin diatas meja, darahpun jadi alasan mengungkapkan segalanya. Semua harus tahu.

Namun, detak jantung beliau macet. Terhantam lalu lintas berduri. Semua telah berakhir.

Satu bulan belum ada kabar tentang Imaz. Ning Fiyyah merindukan kehadirannya. Ia bisa menganggap ada jika sering menatap lukisan wajahnya. Sembari menikmati angin malam dari dalam jendela pula bintang menyilaukan cahayanya. Suara hembusan napas keras seperti seseorang dikejar penculik terdengar jelas. Sosok berjubah hitam masuk dari jendela. Berdiri di hadapan Ning Fiyyah.

"Kau siapa?" Ning Fiyyah berubah menjadi pucat karena ketakutan.

Dibuka hoodienya, tangan Ning Fiyyah membungkam mulutnya terkejut. Tanpa  ia cari, Imaz sudah di depan matanya. Wajahnya pucat. Tangan berlumuran darah. Bola matanya tenggelam dalam kornea. Ia jatuh pingsan. Apapun sudah dilakukan Ning Fiyyah untuk menyadarkannya sampai nekad ia berdiri, duduk di sebelahnya. Sebetulnya bisa dilakukan setiap hari tanpa kursi roda tapi ada resiko tersendiri. Mudah capek juga mudah kambuh.

Tinggal waktu untuk menyadarkannya. Sampai tengah malam Ning Fiyyah tetap menunggu. Pengorbanannya telah berhasil. Mata Imaz terbuka. Bangun sambil menatap Ning Fiyyah.

Ning Fiyyah langsung memeluknya. Air mata jatuh dari pelupuk matanya. "Aku merindukanmu. Kemana saja kau selama ini? Kau lihat..." Ning Fiyyah melepas pelukan. Menunjukkan bros kupu-kupu melekat dikiri hijabnya. 

"Aku tidak pernah melepaskan hadiahmu."

"Ning," Imaz menatapnya memohon, "tolong rahasiakan kedatanganku. Aku punya rencana sendiri untuk menyelamatkan pesantren Benang Biru."

"Aku mengkhawatirkanmu jika kau merencanakannya sendiri. Ada suami yang membantumu. Iya Imaz, Robet sah menjadi suamimu."

"Aku sudah tau semuanya."

"Imaz, ceritakan selama ini kau bersembunyi dimana? Kita semua mencemaskanmu. Termasuk Robet."

"Aku tidak bisa menceritakannya sekarang."

"Terus..." Ning Fiyyah menatap tangan Imaz berlumuran darah, "apa yang terjadi dengan tanganmu?"

Imaz menatap tangannya dalam-dalam. Raut muka terkejut baru sadar darah mewarnai tangannya. Entah itu warna sebab kecelakaan kecil atau mencelakai peristiwa besar. Rasa pusing melukai kepalanya secara tiba-tiba. Bayangan tatapan mata rindu itu menimbulkan tanda tanya.

Ia mengerang kesakitan menahan kepalanya.

"Kau baik-baik saja?" Ning Fiyyah bertanya. 

Imaz melirik jam kecil membalut pergelangan tangan, menunjukkan arah jarum pendek pukul 01.00 malam. Jam segitu prajurit pesantren akan menutup gerbang. Sebelum itu terjadi, Imaz tanpa pamit buru-buru keluar dari jendela. Jangan sampai rencana yang sudah dijaga, hilang semua dan gagal total. Tidak mau itu akan terjadi. Ning Fiyyah kehilangan sahabatnya lagi.

Wujud cinta akan berhadapan, bertatapan muka dengannya. Keabsahan dalam bahtera rumah tangga telah direstui dan disaksikan sang Ilahi. Pesan pagi tadi, akan menguak siapa jodoh yang akan diterimanya.

Ia datang ke Taman Santri tidak membawa apa-apa. Tapi membawa kepercayaan dan mulai menanam benih cinta tuk disirami kasih sayang pada bidadari surga agar bunga tetap berbuah menetapkan hubungan mereka.

Sinar gelap dari biasan kemilau malam, hembusan hutan suram menutupi keelokan seorang gadis berdiri berhadapan jauh dengannya. Hati sang pujaan hati berdesir saat melangkahkan kaki mendekatinya. Lampu dari arah samping atasnya berpendar menerangi wajahnya. Irma bertatapan muka dengan senyum manis menemukan separuh hatinya.

"Irma?" Robet terbelalak.

"Iya Gus. Saya adalah istrimu." Kata Irma bersikap manis dihadapannya.

                                     ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status