~Kehadiranmu mungkin buatku merasa tenang. Tapi, kehadiranku justru buatmu merasa aman~
***
Gawat!Imaz berdecak dalam hati. Kalau sampai ibu Robet mengecek satu persatu yang ada di kamar, bisa-bisa mati kutu!"Memangnya aneh bagaimana Bet?" Ibunya butuh penjelasan. Justru ibunya berpikir yang aneh malah Robet. Semenjak dia kehilangan penglihatannya, merasakan hal-hal berbau mistis. Jangan-jangan Robet berubah menjadi indigo?
"Tadi ada getaran bumi. Barusan ibu ngetuk pintu, tapi ada juga yang membangunkanku," kata Robet dengan jelas.
Imaz terkejut, menganga.
"Masak sih, Bet? Ibu tidak merasakan apa-apa. Ya kan yah?" Ibunya melempar pertanyaan pada ayah.
~Rindu itu berat. Nanti kamu gak akan kuat. Kalau salah sasaran, awas nanti tersesat~ ***Pagi hari itu, menjadi pagi yang sudah tidak ada lagi infus. Tidak ada lagi makan bubur. Tidak ada lagi oksigen. Tidak ada lagi bau obat. Yang ada koper. Udara segar. Dan Irma masih dalam genggamannya. Bersama dengan ayah Arman, mereka keluar dari kamar. Disambut pihak polisi yang siap mengikat kedua tangannya dengan borgol. Ayah Arman langsung menatapnya nanar."Pak, apakah tidak bisa mereka tinggal sebentar di rumahku. Sampai benar-benar pulih?" Ayah Arman memohon di hadapan mereka.Mereka saling menatap. Salah satu menghela napas dan menjawab, "maaf pak, kami tidak bisa. Sesuai kebijakan, jika tersangka sudah d
~Satu-satunya dia yang aku cinta juga satu-satunya dia yang telah buat aku terluka. Definisi yang mahrom berasa halal~ ***"Siapa yang lagi rindu?" Robet mengelak.Imaz mengetik, "sudahlah Gus, kalau kau rindu bilang saja.""Hey, kenapa kau tiba-tiba bangun?"Imaz mengetik, "heran saja Gus. Kenapa kau sempat-sempatnya salat tahajud?"Robet tersenyum, "karena waktu inilah yang bisa membuat aku tenang ketika berdialog dengan Allah."Imaz yang tengah duduk di belakangnya tertegun mendengarnya. Apa yang ia katakan sama dengan apa yang Imaz pikirkan. Sepertiga malam adalah waktu terbaik untuk menangkan hati dan leluasa
~Masa lalu adalah masa indah. Masa sekarang adalah masa iddah. Harapan masa depanku adalah berawal iddah menjadi mawaddah. Aku hanya ingin sakinah bersamamu~ ***Imaz mengetik, "nasi bungkus itu tadi buat aku kan?"Robet terpekur. Ia telah meninggalkan nasi bungkusnya di mobil."Haduh! Aku lupa Cha. Nasinya ketinggalan di mobil. Maafkan aku. Kau benar-benar lapar?"Imaz mencari sesuatu di youtube. Kemudian ia tekan play. Seketika itu, suara bayi menangis dengan volume paling tinggi dari youtube, membuat Robet terperanjat."Hey, kenapa kau menyalakan alarm?" Dengan muka masam. Imaz menahan senyum.Imaz mematikan youtube-nya. Ia menget
~Hati pernah menyimpan rasa cinta. Hati juga pernah tergores luka. Kedua rasa yang tak bisa dilupakan begitu saja~ ***Air mata Imaz meleleh. Ia tak kuasa melihat seseorang yang ia cintai, mengatakan kalau dirinya secepat itu mendapat pengganti.Robet terus memanggil cemas. Tak biasanya Icha diam begitu saja ketika diajak berbicara. Telinga terngiang-ngiang suaranya, imaz pun berlari ke kamar mandi. Membuka kran air. Agar ia tak mendengar Imaz memanggilnya.Ia larut dalam tangisannya."Icha? Kok diam?"Robet makin panik. Ia mendengar suara kran dari kamar mandi tiba-tiba. Ia berpikir dan yakin kalau Icha berada di kamar mandi siapa lagi kalau yang ada di kamar
~Air mata meleleh kala melihat kau menghilang dariku. Darahku mendidih kala melihat kau terluka bukan karena aku. Menangislah! Karena Allah tak pernah melarang itu~ ***"Abah, mau jodohkan Robet dengan siapa?" Gus Fatih penasaran."Siapa lagi kalau dengan Hilda?" Kata romo kiyai Usman dengan yakin.Robet sudah menduga. Siapa lagi kalau bukan Hilda? Irma juga di penjara bersama Arman. Bahkan, ayahnya tidak memedulikan keadaannya.Ning Fiyyah yang mendengar itu, tak ada harapan lagi untuk memenuhi amanah romo kiyai mempertemukan cinta Robet dan Imaz."Wah, sepertinya cocok. Kapan bah mereka taarufan?" Timpal Gus Fatih."Hilda sekarang semester delapan. Doakan
~Tanpa perlu kau meminta, dengan perasaan yang penuh cinta, aku rela mengepakkan sayap untuk membuktikannya~ ***Dinginnya angin malam menelisik tubuh dan ketegangan di antara mereka. Ning Fiyyah memicingkan mata untuk memastikan apakah benar yang ada di depannya adalah manusia. Dia mendekat. Lampu dari atas kepala Imaz berpendar menunjukkan cahaya kebenaran. Hati berdesir kala melihat realitanya. Tanpa susah payah ia mencari, Imaz datang sendiri dengan kerendahan hati. "Imaz?" Imaz tersenyum tipis. Menahan terpaan deras hujan yang membuat bibirnya bergetar menggigil. Saling merindukan, di balik hujan yang membutuhkan kehangatan, mereka berpelukan. "Iya, Ning. Aku tahu kau pasti memahami isi hatiku. Kau akan membuktikannya dengan cara Ning sendiri.""Aku senang bisa bertemu denganmu lagi."Saking senangnya mereka bertemu, baju yang ia kenakan basah, kotor terkena masker hitam. Ni
~ Bekas peluru masih terasa. Darah ia korbankan. Bukti apa lagi agar dia percaya bahwa aku terlalu mencintaimu? Aku memang terlalu mencintaimu meski kau buta mata dan hati.~ ***Bagai disayat-sayat. Pedihnya hati melihat Robet disiksa di depan banyak orang yang ditutup matanya seperti ia yang tak bisa melihat. Di ikat pada kayu. Di tatap tajam oleh musuh. Terlebih peluru siap melaju. Pria misteri itu memantik peluru. Imaz tak siap melihat Robet tiada. Lebih baik dia tidak punya hubungan dengannya daripada ia harus kehilangan dia selamanya. "Gus....." teriak Imaz.Dan Dooorrrr!!!Peluru justru menancap ke dada Imaz. Darah meledak ke wajah Robet. Napasnya terhenti dan terjatuh tak sadarkan diri. "Imaz...." gumam Ning Fiyyah kaget. Ia langsung menghampirinya. Menangis melihat keaadan Imaz yang bersimbah darah. "Hey! Siapa yang kau tembak?" Tanya Robet heran kenapa saat p
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak