“—Kita jalanin rencana kedua,” potong Cassian, tenang tapi tegas.
Ada keheningan singkat sebelum Papa Vincent berdiri. Ia mengambil jasnya yang tergantung di belakang kursi.
“Papa mau percayakan ini ke cara yang damai dulu, Ian. Kita dateng bukan buat cari musuh. Tapi juga nggak akan pulang tanpa kepastian.”
Cassian ikut berdiri. “Aku ngerti, Pah.”
Papa Vincent menatap Cassian, menepuk bahunya pelan. “Kamu udah lebih dari sekadar menantu. Terima kasih udah jagain anak-anak Papa.”
“Ini bukan apa-apa dibanding yang udah Papa lakuin buat keluargaku. Dan sejak menikah dengan Sera, aku juga udah jadi anak Papa.”
Papa Vincent hanya tersenyum kecil, walau wajahnya masih tegang. “Ayo. Kita berangkat sebelum Papa berubah pikiran dan pengin langsung nyeret Nicholas sendiri.”
Cassian mengangguk, lalu mengikuti langkah Papa Vincent keluar dari ruang keluarga.
Mob
“Kak Rora bikin rencana apa lagi buat ngelindungin psikopat itu?”Pertanyaan itu menusuk seperti sembilu. Tanpa basa-basi. Tadinya Adelia ingin berbicara tentang kekhawatiran keluarga mereka pada Aurora. ingin membujuk perempuan itu untuk memberi kabar pada orang tuanya. tapi saat mendengar pembicaraan Aurora dengan seseorang di telfon, Adelia merasa kecewa dan marah pada adik dari kakak iparnya ini.Aurora tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tapi ekspresinya tetap tenang. Seolah ia sudah mengantisipasi pertanyaan semacam itu sejak lama.“Gue gak ngelindungin dia, Del.” Tapi bohong. Mana bisa Aurora membiarkan cinta pertamanya menderita di penjara?“Kakak masih percaya dia bisa sembuh. Itu sama aja.”“Del—”“Dia nyakitin Kak Ave. Kakak tau itu, kan? Dan dia... nyakitin Bang Ian juga.” Suara Adelia mulai bergetar, meskipun wajahnya tetap dingin. &ldquo
Nicholas didorong masuk dengan paksa di ruang kerja Papi Bayu. Ruangan itu terasa lebih dingin dari biasanya. Aroma kayu tua dan cerutu menggantung di udara.Papi Bayu berdiri membelakangi jendela, tangan di balik punggung. Ia tak menoleh saat mendengar langkah masuk."Keluar semua," ucapnya, pelan tapi tajam.Rey dan anak buahnya mengangguk, meninggalkan ruangan. Pintu ditutup rapat.Nicholas berdiri kaku, napasnya masih berat. “Papi mau apa sekarang? Mau ikut-ikutan ngehajar aku kayak mereka?”Papi Bayu perlahan berbalik. Sorot matanya tajam, tapi bukan kemarahan yang terpancar, melainkan kekecewaan yang mendalam.“Papi udah tahan. Berkali-kali.” Suaranya nyaris berbisik, tapi tajam seperti belati. “Tapi kali ini… kamu benar-benar sudah melewati batas.”Nicholas mencibir. “Jadi papi percaya mereka? Bukannya anak kandung sendiri?”“Pap percaya bukti.”&l
“—Kita jalanin rencana kedua,” potong Cassian, tenang tapi tegas.Ada keheningan singkat sebelum Papa Vincent berdiri. Ia mengambil jasnya yang tergantung di belakang kursi.“Papa mau percayakan ini ke cara yang damai dulu, Ian. Kita dateng bukan buat cari musuh. Tapi juga nggak akan pulang tanpa kepastian.”Cassian ikut berdiri. “Aku ngerti, Pah.”Papa Vincent menatap Cassian, menepuk bahunya pelan. “Kamu udah lebih dari sekadar menantu. Terima kasih udah jagain anak-anak Papa.”“Ini bukan apa-apa dibanding yang udah Papa lakuin buat keluargaku. Dan sejak menikah dengan Sera, aku juga udah jadi anak Papa.”Papa Vincent hanya tersenyum kecil, walau wajahnya masih tegang. “Ayo. Kita berangkat sebelum Papa berubah pikiran dan pengin langsung nyeret Nicholas sendiri.”Cassian mengangguk, lalu mengikuti langkah Papa Vincent keluar dari ruang keluarga.Mob
Kini di dalam kamar hotel tersisa Aurora dan Nicholas. Tadi, Hans sudah membantu membawa Nicholas kembali ke ranjang. Pria itu masih tak sadarkan diri, napasnya lambat namun teratur, sementara tubuhnya dipenuhi memar dan darah kering di sudut bibirnya.Aurora duduk di sisi ranjang dengan baskom air hangat dan kain bersih. Tangannya gemetar saat ia memeras kain itu dan mulai mengusap lembut pelipis Nicholas yang lebam.“Apa sih sebenernya yang kamu cari?” bisiknya nyaris tak terdengar.Meskipun baru saja mengetahui segalanya, rasa cintanya yang sangat dalam itu tidak bisa membiarkannya mengacuhkan suaminya. Tak tega rasanya meninggalkan sang suami dalam keadaan tidak baik-baik saja.Tangan Aurora bergerak ke dada Nicholas yang penuh luka pukulan. Perlahan, ia membersihkannya dengan kain basah.“Kamu tahu gak?” ucapnya lirih, “aku bisa saja ninggalin kamu detik ini juga. Tapi kenapa hatiku tetap milih buat tinggal?”Nicholas bergeming.Aurora menunduk. Air matanya akhirnya jatuh, satu p
“Lo… sialan!”BUG.Cassian menghantamkan kepalan tangannya tepat ke wajah Nicholas. Aurora menjerit tertahan.Cassian menarik tubuh Nicholas ke bawah tempat tidur, memukul pria itu membabi buta untuk meluapkan kemarahannya. Bahkan Nicholas tidak sempat menghindar, apalagi melawan.“Berani-beraninya lo rencanain itu, breng**k!”“Bang, stop!” Aurora meraih Cassian, menarik kerah bajunya dengan panik. Tapi Cassian tak bergeming. Nafasnya menggebu, seperti binatang buas yang baru saja mencium darah.“Bang, please! Jangan kayak gini!” suara Aurora pecah. “Lo bisa bunuh dia!”Cassian tetap menghantam. Sekali. Dua kali. Sampai buku jarinya memerah, dan Nicholas terbatuk keras, tubuhnya meringkuk dalam usaha melindungi diri.Aurora mengguncang bahu Cassian, air matanya meluruh deras. Ia sungguh tidak tega melihat suaminya dipukuli seperti ini. “Kita udah sepakat gak ada lagi yang kayak gini, Bang.”Tanpa repot membalas ucapan Aurora, Cassian bergeming. Baginya, meluapkan emosinya dengan mengh
Cassian mengerjap pelan. Dunia masih terasa buram dan samar. Suara detak jam digital dan dengungan AC menyambutnya lebih dulu sebelum kesadarannya utuh kembali. Ia menemukan dirinya berada di dalam kamar hotelnya bersama sang istri.Tangannya bergerak refleks ke pelipis, memijat pelan bagian yang terasa berdenyut. Setelahnya, ia mulai bangun dan mengedarkan pandangannya. Aveline tak tampak di mana pun, membuatnya mulai mencari-cari dengan memanggil namanya."Sayang… Sera... sayang.." Suaranya serak dan lemah, khas baru terbangun.Langkah kaki mendekat. Tak lama, sosok perempuan muncul dari balik tembok—dengan perut besar, rambut disanggul seadanya, dan tangan kiri menopang punggung bawah."Apa sih, teriak-teriak?" ucapnya sambil berdiri dengan gaya berkacak pinggang.Cassian memandangi sosok itu dalam diam beberapa detik, seperti masih meyakinkan diri bahwa pandangannya tidak sedang menipunya.Wajah Aveline polos tanpa riasan. Napasnya tampak sedikit berat. Gerakannya lamban, khas ibu