Share

Bagian 4. Kejujuran Raizel.

4. Kejujuran Raizel.

Egy dan Fani sudah selesai membersihkan kekacauan yang dibuat Ega, di saat itu juga, Egy menyadari bahwa Raizel tidak ada di ruangan bersama mereka. 

Egy yang menyadari itu, lantas Ia bertanya pada Ibunya. Bahwa Ibunya—Fani, melihat Raizel atau tidak? Tapi jusru Fani baru saja sadar jikalau Raizel tidak ada di sana bersama mereka. 

Fani mengatakan pada Egy, Ia akan mencari Raizel, tapi Egy menjawab bahwa dirinya saja yang akan mencarinya sendiri.

"Jangan mah, biar Egy aja yang nyari" ucap Egy.

"Oh, ya udah. Kalo gitu, Mamah masuk kamar dulu ... masih jam dua malam, Mamah pengen lanjut tidur" pungkas Fani berlalu pergi Ke kamarnya. 

Egy hanya diam menatap Ibunya, yang berjalan masuk ke dalam kamar. 

"Kemana tuh anak? ngilang gitu aja" cibir Egy "coba gue cek ke halaman belakang, barangkali dia ada di sana."

Alasan Egy berinisiatif untuk mencari Raizel ke halaman belakang rumahnya, bukan karena Ia melihat Raizel ketika pergi secara diam-diam, meninggalkan ruangan saat dia dan Ibunya membereskan keributan Ega di ruang tamu.

Melainkan, karena Egy sudah curiga sejak lama, bahwa Raizel adalah seorang Indigo.

Banyak alasan untuk Egy curiga, dari kebiasaan Raizel saat berkumpul bersama, yang tiba-tiba menghilang begitu saja. Lalu, dari sikap anehnya yang tiba-tiba berubah layaknya sedang ketakutan.

Entah takut apa, Egy saja tidak paham.

Setelah itu Egy berjalan santai menuju halaman belakang untuk mencari Raizel.

Saat Egy sudah sampai di ambang pintu, Egy melihat Raizel tengah diam berdiri melamun di bawah pohon bunga kertas.

"Tuh, 'kan bener. Dia di sini, Rai–]" seru Egy, yang tiba-tiba menjeda. "Eh tunggu. Ngapain dia disitu?" Lanjutnya lirih.

Karena Egy penasaran, Ia sengaja menunda niatnya untuk lansung memanggil atau menemui Raizel.

Egy memilih diam sembari melipatkan kedua tangan diatas perutnya, lalu bersandar di teras samping pintu memperhatikan Raizel dalam diam.

"Gue harus tahu kebenarannya tentang Ega, hal ini benar-benar ganjil ...," gumam Raizel, 

"dan kenapa Ega dipukuli? Kenapa juga ada bekas luka putung rokok di pundaknya?" Lanjutnya.

Karena Raizel tidak tahu, dirinya diperhatikan oleh Egy. Ia sengaja tidak mengecilkan intonasinya saat bergumam, yang menyebabkan semuanya didengar jelas oleh Egy.

Kata-kata Raizel sungguh membuat Egy benar-benar syok.

"Apa! ... Raizel bilang tentang Ega? Apa maksudnya dengan Ega dipukuli?"

Tangannya yang semula dilipat di atas perutnya, kini sudah tidak lagi.

"Siapa yang dipukuli? Ega? Dan Siapa juga yang kena putung rokok?" Kini giliran Egy yang bertanya- tanya.

Egy mengerutkan keningnya, mencoba lebih fokus untuk memperhatikan Raizel dengan jelas.

"Udah lah! Pikir nanti aja, gue harus masuk sebelum Egy nemuin gue di sini" kata Raizel.

Namun, Raizel tidak tahu bahwa Egy sudah memperhatikannya dari tadi, dan juga semua yang dikatakannya telah didengar oleh Egy. 

Raizel membalik tubuhnya, berniat untuk masuk. Tetapi kala itu juga, Ia tercengang karena melihat sosok remaja.

Diam menyender pada pintu, yang ternyata itu adalah ... Egy.

Mata dan mata saling bertemu.

Egy memandang Raizel dengan pandangan datar. Sedangkan Raizel memandang Egy dengan terkesiap.

"Eg-Egy ... lo ngapain di sini?" tanya Raizel cemas bahwa Egy akan tahu Rahasianya. 

"Harusnya gue yang nanya .... Ngapain lo di sini?" balas Egy.

"Gu-gue di sini habis telfonan sama nyokap?" kilah Raizel, berbohong.

"Nyokap lo telfon?" tanya Egy dengan wajah datarnya, karena Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Raizel adalah kebohongan.

"Iy-yaa" jawab Raizel gugup.

Egy diam tidak bertanya lagi.

Bola mata Egy terus saja meninjau mata Raizel, Raizel sangat berharap saat itu Egy tidak tahu apapun,

termasuk tidak mendengar apapun yang dikatakannya tadi.

Akan tetapi, harapan Raizel sia-sia. Karena Egy sudah mengetahuinya tepat sebelum dia membalikan tubuhnya.

Egy terperangah pada baju Raizel yang kotor, tepat di bagian dada. Hal itu membuat penasarannya terus bertambah.

Lalu Egy bertanya lagi.

"Terus, itu baju lo kenapa kotor?"

"Hah? ... oh, ini?" Raizel mencubit bagian bajunya yang kotor.

"Tadi ... tadi kena tanah." Lanjutnya

Raizel benar-benar tidak menyadari kalau baju warna hitam yang dipakainya ternyata kotor, dan Ia tahu pasti penyebab kotornya, adalah telapak tangan Ega.

Jantungnya berdegup kencang, Raizel sungguh tidak menyangka. Egy, temannya sejak kecil yang sifatnya selalu lucu, konyol, selalu mencairkan suasana menjadi tawa.

Ternyata memiliki sifat datar dan tegas.

Kini Egy yang ada dihadapannya, tidaklah sama dengan Egy yang dikenal Raizel sebelumnya.

"Huuuuuffhh ...," Egy menghela panjang nafasnya.

"Ayo masuk Rai ... udah malem, ikut gue ke kamar." Sambungnya.

"O-ok ...," balas Raizel tegang.

Tidak jauh dari mereka, tepatnya Di atas atap rumah Egy.

Sosok menyeramkan seorang anak perempuan, dengan rambut yang potongan acak, baju putih kusut dan kumal, kulit pucat, kantung mata yang hitam dan tubuh penuh luka itu adalah Ega.

Tengah menyaksikan Egy dan Raizel sedari awal hingga Mereka memasuki Rumah, Ega masih tetap Diam mengamati kedua Remaja itu.

Mereka kembali berjalan menyusuri tangga menuju kamar, tapi saat itu Egy sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. 

Padahal, biasanya Egy selalu berisik, meskipun dalam kondisi berjalan pun Ia akan tetap mengeluarkan suara, seperti menyanyi kecil atau bercerita tentang hal yang baru saja dialaminya. 

Raizel memandangi pungung Egy, dirinya yang mamang, hanya menebak-nebak apakah Egy tahu atau tidak rahasia yang dijaganya dari dulu. 

Sesampainya di depan pintu, Egy membuka pintu kamarnya,

Lalu ia menyuruh Raizel untuk duduk dikasurnya.

"Rai ... sini lo duduk."

Raizel pun duduk menuruti Egy.

"Bantu gue pasangin plester."

Egy berjalan meraih kotak P3K yang disimpan di atas lemari bajunya.

Di dalam kotak itu, sudah jelas ada perlengkapan kesehatan pribadinya.

Namun Ia hanya mengambil beberapa plester untuk menutupi lukanya.

"Ayo bantuin pasang." Pintanya pada Raizel sembari memberikan plester yang baru saja dia ambil.

Pecahan kaca dan vas yang dibersihkannya tadi, membuat banyak sekali goresan luka di tangan Egy.

"Banyak banget goresan luka di tangan lo, Gy" tanya Raizel, sedikit linu melihatnya.

"Iya makanya bantu pasangin plesternya, cepet!" timpal Egy.

Lantas Raizel pun membantu memasangkan plester untuk menutupi luka Egy. 

Egy masih berusaha menahan diri untuk tidak bertanya, tentang perkataan Raizel yang Ia dengar Di halaman belakang rumah barusan.

Tetapi, Egy yang sudah tidak tahan lagi membendung rasa keingintahuan, memutuskan tetap bertanya pada Raizel.

"Rai ...?" Panggil Egy, sembari menatap wajah Raizel.

"Hemm ...." Raizel menjawab dengan berdeham tanpa melihat pada Egy, dirinya sedang fokus menutupi luka pada tangan Egy.

"Ngomong-ngomong nyokap lo barusan telfon nanyain apa?" 

Egy sengaja memancing Raizel, Ia ingin tahu bagaimana Raizel akan menjawab semua pertanyaan yang sudah dirancangnya.

Dengan tangannya yang masih memasang plester di jari Egy, Raizel menjawab.

"Nanyain kenapa nggak pulang?" Dalih Raizel.

Egy benar-benar gemas kepada Raizel, sungguh Egy mengakui bahwa Raizel tidak pandai berbohong.

Karena, bisa-bisanya Raizel mengatakan bertelpon dengan Ibunya, sedangkan ponselnya saja, terpampang jelas di atas meja samping kasur Egy sedari tadi.

"Terus ... kenapa baju lo kotor?" Egy sengaja menanyakan hal yang sama seperti sebelumnya.

"Gue, 'kan udah bilang ini kena tanah." Namun, jawaban Raizel juga tetap sama.

"Kenapa bisa kena tanah"? Egy terus saja memberikan pertanyaan, sampai Raizel kebingungan untuk menjelaskannya lagi.

"Tadi karena gue gabut pas telfonan, gue mainan tanah yang ada di pot gantung bunga anggrek nyokap lo" jawab Raizel searangnya.

Ketika Raizel selesai membantu Egy memasang plester. Ketika itu juga kesabaran Egy sudah habis, dia tidak bisa lagi, untuk menunda-nunda pertanyaan yang memang ingin dia tanyakan pada Raizel.

"Rai ... lo bohong kan?" tanya Egy memulai pertanyaan serius.

Kini Raizel benar-benar terperanjat oleh pertanyaan Egy yang perlahan membuktikan bahwa temannya itu tahu dirinya berbohong .

Mata Raizel, memandang nanar wajah Egy.

"Maksud lo?" Raizel berbalik mengetes pertanyaan Egy, harapnya Egy salah bertanya.

"Iya ... semua yang lo omongin ke gue semuanya bohong, 'kan?"

"Gue nggak bohong apa-apa Gy," jawab Raizel ragu.

"Rai ... gue tau lo bohong." Mantap Egy. 

Membuat Raizel semakin resah, bingung bagaimana Iagi harus menjawab.

"Jawab Rai!" Tegas Egy.

"Enggak Gy ... Gue ngg- ]"

Belum selesai Raizel menjawab, dengan cepat Egy memotongnya.

"Udah gue bilang! Gue tau lo bohong Rai!! ....

Lo ke halaman belakang rumah Gue ...," Egy tidak meneruskan kata-katanya sejenak.

"Bukan untuk telfonan sama nyokap lo kan?" Lanjutnya.

"Gue beneran telfonan sam–" 

"BOHONG!!" Bantah Egy dengan keras.

"Lo masih mau bilang kalo lo telfonan? Telfonan sama apa Rai? Hp siapa? Sedangkan Hp lo jelas-jelas ada di meja kamar gue! Dari tadi!" seru Egy menekan kata 'Dari Tadi'.

Sambil menunjuk ke arah meja, yang di mana, di atas meja tersebut, memang benar adanya, ponsel Raizel tergeletak di sana.

Mata Raizel terarah kepada telunjuk Egy yang menunjuk satu handphone di atas meja samping kasur, dan Benar itu memang Handphone miliknya. 

'Sial' batin Raizel.

"Rai ... Gue udah tau, lo bohong. sebelum lo pingsan di jalan juga, gue sering liat lo bertingkah aneh seakan lo nglihat sesuatu, tapi gue nggak ada alesan kuat buat nanya ke lo kaya gini" kata Egy.

Raizel terdiam tak berkutik, hatinya sungguh bingung dan resah. 

Rahasia bahwa dirinya seorang Indigo.

Rahasia yang sejak lama ia tutup rapat, sudah mulai diketahui temannya. 

"Dan ... yang ngedorong gue tadi di sini sebelumnya ... itu sebenernya bukan lo juga, 'kan?" tanya Egy semakin menyudutkan.

"Gy ... dengerin gue dulu." Sela Raizel.

"Lo yang harusnya ngedengerin gue ngomong Rai!" Tekan Egy.

Raizel terdiam, mengalah.

"Rai ... gue tanya sama lo, dan gue minta lo jujur!" Desak Egy.

"Lo ....

 Indigo, 'kan?" tanya Egy dengan serius.

Deg!

Benar saja, rahasianya diketahui Egy.

"Eeumb ... gue ...," jawab Raizel bingung.

"Jawab jujur Rai! ... gue pengen Lo jujur!" Egy memaksa.

"Gy ... gue nggak ma-"

"Nggak mau, gue ngejauhin lo? 

Lo nggak mau, bikin gue takut? 

Lo nggak mau, gue, dan yang lain ngejauhin lo?

Karena lo berbeda!?

Iya ...?" Tebak Egy, dan yang semuanya memang benar.

Mata Raizel sama sekali tidak bisa teralihkan oleh Egy, telinganya bersiap untuk mendengarkan kata-kata berikutnya dari mulut Egy.

"Nggak akan Rai!!" lajut Egy mantap.

"Gue dan yang lain nggak akan pernah ngajuhin lo, kita temen, dari kecil, hal kaya gini nggak akan bisa mutusin pertemanan kita" Jelas Egy meyakinkan Raizel.

Raizel tercengang mendengar perkataan Egy, hatinya yang panik. Kini sedikit tenang.

"Lo yakin?" tanya Raizel, berharap apa yang dikatakan Egy nyata.

"Gue yakin! Dan sangat yakin! yang lain juga nggak akan pernah ngejauhin lo karena hal kaya gini" ucap Egy mempertegas.

"Rai ... sampe kapanpun kita adalah teman, bahkan gue udah nganggep lo dan Vano sodara gue." aku Egy.

Raizel tersenyum mendengar semua kata-kata Egy, Ia sungguh bersyukur memiliki teman seperti Egy.

"Makasih Gy, gue sebenernya nggak mau bohongin lo dan yang lain, gue cuma nggak mau lo semua ngejauhin gue karena hal ini" ungkap Raizel.

"Bro ... lo berfikir terlalu jauh, kita nggak mungkin ngelakuin hal yang konyol kaya gitu."

Suasana yang mulanya menegangkan bagi Raizel, kini semua berakhir seperti biasa, layaknya tidak ada berdebatan sebelumnya.

Karena kejujuran itu lebih baik daripada harus terus berbohong.

Egy merasa tenang, karena dugaannya tentang Raizel yang seorang Indigo memang benar adanya, dan sebaliknya.

Raizel merasa lega, seakan beban dalam hidupnya menghilang sebagian, karena kejujuran dan respon Egy sama sekali tidak seperti yang dipikirkannya sejak dulu.

Tetapi, di dalam momen itu juga. Egy merasa harus tetap bertanya pada Raizel soal Ega. 

"Rai ... gue boleh nanya satu hal lagi nggak? kalo boleh, gue pengen lo jujur lagi."

"Hemb ...." Raizel menjawab dengan berdeham, yang memberi arti iya kepada Egy. 

"Apa yang lo lihat di rumah ini?" tanya Egy serius. 

"Hemb ... kalo gue jujur, takut lo nggak percaya."

"Gue percaya!!" jawab Egy dengan yakin, "boleh gue nebak?" 

"Hem" Lagi-lagi Raizel menjawab dengan berdeham.

"Apa ... lo ... ngelihat ... Ega?"

Raizel mengernyitkan keningnya,

Ia hanya heran kenapa tebakan Egy benar, apa Egy memang tahu tentang Ega yang sebenarnya?

"Kenapa lo tau?" ungkap Raizel, yang secara langsung membenarkan tebakan Egy.

"Jadi! ... bener elo ngelihat Ega?" seru Egy.

"Iy-iyaa" jwab Raizel.

"Seriuuss!? ... Rai ...?"

Mendengar Raizel menjawab Iya, Egy yang mulanya duduk, sontak lansung berdiri. Harapan Egy untuk tahu penyebab adiknya meninggal, kini sedikit demi sedikit akan terkuak, dengan bantuan Raizel.

"Rai!" Egy mencengkram kedua lengan Raizel.

"Gy ... kenapa?" tanya Raizel heran menahan sakitnya cengkraman Egy.

"Tolong ... bantu gue, buat nyari tau kenapa Ega bisa meninggal!!" seru Egy penuh ambisi. 

"Apa?! Lo bilang apa barusan?"

Kini justru permintaan Egy, tidak bisa langsung dicerna oleh otak Raizel.

Soal kenangan Ega yang buruk.

Permintaan Egy untuk mencari tahu penyebab Ega meninggal. 

Apa maksudnya ini semua?

Memang Raizel juga menginginkan kebenaran tentang Ega, tapi Ia tidak menyangka bahwa Egy yang berperan sebagai kakak kandung Ega, tidak mengetahui dengan pasti kenapa adiknya bisa meninggal.

Semua ini, benar-benar menjadi susunan puzzle bagi Raizel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status