Share

Bagian 6. Keberanian Yang Kuat

Raizel hanya diam melamun, menjadi sedikit tidak fokus setelah mendengar semua jawaban temannya.

Dia mengira, semua temannya akan pergi menjauh setelah tahu fakta diri Raizel yang seorang Indigo.

Hingga sampai, Egy memecah lamunannya. 

"Tapi ... perjalanan kita akan jauh, dan tempatnya di pedesaan, apa kalian yakin tetep mau  ikut?" tanya Egy.

Mengingat, temanya yang terbiasa hidup di kota, Egy hanya takut, mereka tidak akan betah saat tinggal di desa nanti.

"Nggak masalah kalo gue, gue juga udah sering mudik ke desa, ke tempat sodara gue di kampung dan ya, gue yakin. Desa tempat Bokap lo suasana, juga keadaannya nggak akan beda jauh, dari kampung sodara gue" tutur Cindy.

"Gue juga nggak masalah, gue tetep mau ikut. Mana bisa gue ngebiarin Raizel pergi jauh dan berusaha sendiri" ungkap Diva.

Egy, Vano, Caca dan Cindy tercengang mendengar pernyataan Diva.

Mereka dengan kompak menoleh kearah Diva, termasuk Raizel yang duduk tepat di sampingnya pun, ikut menatap gadis berambut hitam nan panjang itu.

Diva tertenggun. Matanya berkeliling memperhatikan wajah temannya satu persatu, ia mulai merasa aneh, kenapa tiba-tiba mereka memberikan tatapan terkejut padanya?

Kemudian ia mulai berfikir dan mencoba mengingat, apa yang barusan ia ucapkan satu menit lalu.

Tiga detik Diva merenung. Kemudian ....

Mata Diva melebar, ia baru sadar, akan apa yang sudah ia katakan. 

Dengan cepat Diva menoleh ke arah Raizel yang masih Diam menatap wajahnya. Cowok itu sedang menunggu penjelasan, apa maksud dari ungkapkan Diva sebelumnya. 

Mata dan mata saling memandang.

Seketika pipi Diva memerah, kepanikannya, yang tidak mau ditinggal pergi oleh Raizel, membuatnya lepas kendali, sampai mengatakan sebuah fakta yang merujuk bahwa ia sebenarnya khawatir pada Raizel. 

"Mak-mak-maksud gue ... gu-gue nggak bisa. Gitu, ngebiarin temen berusaha sendiri, memecahkan masalah yang serius kaya gini" ucap Diva berdalih dengan terbata-bata, mencoba memberikan penjelasan kepada semua temannya, termasuk kepada Raizel. 

Sungguh ia merasa malu, ingin sekali ia berlari, seperti anak kecil yang telah melakukan sebuah kesalahan yang konyol dan memalukan.

Berlari pergi, tanpa harus menjelaskan apapun.

Namun, dirinya bukanlah anak kecil. Ia tidak bisa melakukan hal tersebut.

Egy, Caca, Vano, dan Cindy kemudian tersenyum, yang seakan mengatakan, bahwa mereka tidak percaya pada alasan Diva. 

Ya ... Egy, Caca, Vano, dan Cindy memang sudah tahu. Jika Diva dan Raizel  saling mencintai dan menyukai.

Tetapi, entahlah, semua temannya juga tidak paham, tentang apa alasan yang membuat mereka tidak saling mengungkapkan perasaan. 

"Ekheem ... kembali ketopik."

Sela Caca untuk menyelamatkan Diva dari para penatap.

Mereka pun teralihkan karenanya.

"Jadi ... gimana, kalian masih tetep mau ikut apa enggak?" tanya Egy memperjelas keputusan. 

"Gue tetep ikut" kata Vano.

"Gue pasti ikut" tambah Cindy.

"Gue jelas ikut lah" imbuh Caca.

Di saat semuanya sudah memperjelas keputusan mereka, tinggallah Diva yang belum menjawab.

Lagi-lagi. Semua kepala temannya termasuk Raizel, menoleh ke arah Diva untuk kedua kalinya.

Menanti akan keputusannya, memastikan tetap akan ikut atau tidak.

"Iy-iya jelas, gue juga ikut" kata Diva masih tetap menjawab dengan  terbata-bata. 

"Ok. Besok kita ketemu Di halte bus depan toko buku, ya. Jam 09.00 pagi," ucap Egy.

Merekapun mengiyakan. 

Setelah selesai berunding. Tiba-tiba, hujan sedikit demi sedikit mulai turun bergemeletak membasahi atap kafe.

Egy, Caca, Cindy, dan Vano. Sibuk dengan kemesraan.

Sedangkan Diva, ia hanya menatap ke arah kaca, yang memperhatikan air hujan terus mengalir turun dari ujung atap di luar kaca.

Ia masih saja meratapi kelakuannya yang  menurutnya sendiri, sangat memalukan.

'Bodoh bodoh bodoh ... Diva! lo bodoh banget! Kenapa lo keceplosan, cuma gara-gara khawatir sama cowok yang lo suka' cemohnya di dalam hati.

Raizel yang duduk di samping Diva, sedang fokus memainkan ponsel, ibu jarinya sibuk menggeser beranda sosial media pribadinya.

Namun, tanpa Diva sadari. 

Sesekali Raizel juga sempat melirik Diva yang terus saja diam merenung.

Raizel tersenyum tipis mengingat pernyataan Diva tadi, yang tidak sengaja membeberkan sedikit isi hatinya. 

Kalau ia sebenarnya khawatir padanya.

Ketidak sengajaan Diva membuat hati seorang Raizel senang. Ia merasa bahagia, cewek yang disukainya ternyata bisa cemas juga terhadapnya.

Lalu. Raizel berinisiatif untuk mengirimi Diva pesan W******p, agar Diva tidak terus saja diam melamun.

Kliing ...!!

Terdengar bunyi nyaring suara kotak masuk yang berasal dari ponsel Diva, membuatnya tersadar dari ratapan kesalahan.

Diva meraih Handponenya, kemudian membuka pesan WA dari Raizel.

Raizel

("Kenapa lo diem aja?")

Diva yang sudah melihat isi pesan Raizel, secara otomatis, menggigit bibir bawahnya.

Hatinya berbunga, hanya karena menerima pesan dari pengisi hati secara pribadi.

Padahal, ia tengah duduk tepat di sampingnya. 

Siapa sangka, Raizel masih saja sempat mengirimnya pesan.

Secepatnya Diva membalas pesan tersebut.

________________________________________

Diva.

("Bingung😁")

Raizel

("Gue juga bingung mau ngomongin apa")

Diva.

("Kok malah ikutan bingung, Rai")

Raizel

("Bingung lah, mau ngobrol sama siapa? Sedangkan lo aja diem dari tadi")

  Diva.

("Ya, udah. Sekarang nggak.

Mau ngobrolin apa?")

_________________________________________

Vano dan Cindy sibuk bersuap-suapan Milkshake.

Caca, fokus mengelus-elus luka plester, di telapak dan jari tangan Egy. 

Sedangkan Raizel dan Diva, sibuk mengobrol dan bercanda di dalam pesan W******p.

Karena  keseruan itu, membuat sedikit tenggorokan Raizel dan Diva mulai terasa kering.

Mereka berdua, berniat untuk meminum Milkshake yang sudah lama didiamkan di atas meja.

Tepat di hadapan mereka.

Tanpa melihat mana gelas mereka yang sebenarnya, Langsung saja. Raizel dan Diva menggapai satu gelas, yang mereka yakini adalah miliknya.

Karena Raizel dan Diva mencoba menggapai satu gelas yang sama, tanpa disengaja, menyebabkan tangan mereka saling bertumpuk dan menempel satu sama lain. 

Raizel berhasil menggenggam gelas, sedangkan tangan Diva justru malah menggenggam punggung telapak tangan Raizel.

Membuat kedua remaja itu tersentak, kemudian dengan cepat saling menoleh kearah satu sama lain. 

Diva memandang mata Raizel dan Raizel memandang mata Diva. 

Diam tanpa kata, tanpa mengucapkan apapun.

Setelah menyadari, akan apa yang sedang ia lakukan.

Secara cepat, Diva menarik tanggannya yang sedari tadi terus saja menggenggam punggung tangan Raizel. 

"Ekhem ... maaf, gue nggak lihat" ucapnya sambil menunduk . 

"Oh, iya ... nggak pa-pa" balas Raizel, kemudian meminum Milkshake favoritnya menggunakan sedotan. 

Lagi dan terus lagi, hatinya benar-benar bahagia. Bisa bersentuhan secara langsung bersama pria yang ia sukai, membuatnya ingin pingsan dimabuk cinta. 

Begitupun Raizel, ia justru berharap Diva menyentuhnya lebih lama lagi. 

Namun, Raizel yang sudah ahli menyembunyikan perasaan, terlihat seperti tidak menunjukan reaksi apapun. 

Tidak terasa, waktu terus berjalan maju.

Langit yang tadinya berwarna orange kini telah berubah berwarna hitam. 

Sudah pukul 19.26 malam, tapi hujan masih belum saja berhenti.

Guyuran hujan pada malam itu, menciptakan suasana nyaman pada setiap pribadi, termasuk Raizel. 

Kenyamanan Di kafe itu membuat matanya mengantuk. 

Pasalnya, ia tidak cukup tidur saat di rumah Egy maupun di rumahnya sendiri.

Sekitar pukul 21.13

Suara hujan kala itu sudah tidak terdengar lagi.

Karena hujan telah reda, Raizel dan temannya memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan mereka di kafe itu, dan berniat bertemu kembali esok pagi.

Di halte bus depan toko buku, sesuai kesepakatan bersama.

Yah seperti biasanya.

Mereka pulang  berlawanan arah.

Raizel, Egy, dan Vano harus pulang berpisah dari kekasih hatinya.

Saat berjalan pulang, ketika mereka asik mengobrolkan beberapa hal, kala itu juga. Mereka bertiga telah sampai pada satu pohon Belimbing, di sebrang jalan.

Mata Raizel melihat sosok perempuan berambut panjang berbaju putih, rambutnya menutupi semua keseluruhan wajahnya.

Tengah diam berdiri melayang.

Akan tetapi, setelah melewati pohon tersebut tiba-tiba, ada batu yang jatuh menimpa kepala Vano. Entah dari mana asalnya dan siapa yang melemparnya. 

"Aduh ... sakit banget!" Rintih Vano seraya memegang bagian kepalanya, tepat di bekas batu itu mendarat. 

Dalam posisi kaki mereka yang masih tetap berjalan, Raizel bertanya.

"Kenapa ...?" 

"Nggak tau nih, kayaknya ada yang jatuh ke kepala gue barusan," jawabnya.

"Perasaan lo kali, kejatuhan apa coba? Orang nggak ada apa-apa di atas kepala kita. Pohon juga nggak ada." Sangkal Egy.

Jalanan yang mereka lewati memang tidak ada pohon lagi, selain pohon belimbing dan pohon kecil penghias sisi jalanan.

Lalu, sambil terus berjalan. Vano yang merasa bahwa itu bukan sekedar perasaannya, terdiam memikirkan apa yang barusan menimpa ubun-ubunnya.

Raizel memutar kepalanya.

Ke depan, ke belakang, ke kanan, dan ke kiri.

Dia mencoba mencari, apakah memang ada orang yang sengaja melempar batu ke arah Vano.

Namun hasilnya nihil.

Ia sama sekali tidak melihat apapun. 

Tidak lama setelah Vano, satu batu kerikil juga menjatuhi kepala Raizel. 

"Eh!" ucapnya berhenti menahan langkah, kemudian menyentuh bagian kepalanya yang sakit, karena batu.

Bersamaan dengan itu, batu kerikil yang diduga menghantam kepalanya. Terjatuh menggelinding tepat di depan sepatunya.

Raizel memungut batu kerikil tersebut, Vano dan Egy yang tadinya berjalan bersamanya, tentu ikut terhenti mengamati Raizel.

"Rai ... kenapa?"

Kini Vano yang berganti bertanya.

"Kepala gue juga ada yang nipuk, nih" ungkapnya, sambil menunjukan satu  batu kerikil yang ia ambil, kepada Egy dan Vano.

"Berarti tadi itu emang bener!

bukan cuma perasaan gue aja, buktinya ... lo juga kena" ujar Vano

Egy merasa. Ini seperti ada seseorang yang sengaja melempar batu kerikil pada kedua temannya itu, ia juga memutar kepalanya mengamati ke arah sekeliling mereka. Namun, Egy juga tidak menemukan apapun.

Mereka memutuskan untuk malanjutkan perjalanan pulang, mencoba menghiraukan apa yang telah terjadi.

Tapi, lagi-lagi indra penciuman Raizel menangkap aroma yang pernah ia kenal sebelumnya. 

Ya, aroma busuk, Raizel merasa pernah merasakan aroma khas itu.

Jika orang lain mencium, mungkin bukan aroma busuk yang terhirup, melainkan aroma singkong bakar.

Mata Raizel yang memperhatikan kaki bersepatunya melangkah bersampingan dengan Egy dan Vano. 

Terus berusaha mengingat, bau dari aroma apa yang menusuk hidungnya.

Tiba-tiba, Raizel berhenti.

Matanya membelalak  dalam diam, Egy dan Vano untuk kesekian kalinya ikut berhenti. 

Vano mengangkat sebelah alisnya lalu bertanya  kepada Raizel. 

"Rai ... kenapa lagi?" celetuk Vano.

"Bentar bentar ...," jawab Raizel.

Raizel sudah mulai mengingat asal dari aroma busuk apa yang mengikuti mereka bertiga.

Ternyata, bau busuk yang mengganggu indra penciumannya setelah melewati pohon belimbing, berasal dari sosok mahluk hitam bertanduk dan berbulu yang sering disebut 'Genderuwo'.

Menyadari bahwa yang menganggunya adalah sosok yang kemarin membuatnya tidak sadarkan diri, Raizel sama sekali tidak berniat untuk menoleh lagi ke arah belakang.

Dia tetap berjalan santai bersama Egy dan Vano, bersikap netral tanpa memperlihatkan dirinya yang tengah menahan merinding.

Genderuwo itu mengerti, bahwa Raizel sebenarnya sudah mengetahui akan kedatangannya, dan merasa kesal karena diacuhkan.

Tiba-tiba. 

Grebb!

Tangannya yang berbulu hitam dan tebal melingkar memeluk tubuh Raizel, dari belakang. 

Raizel kembali berhenti.

Bisa dibayangkan, bagaimana rasa takutnya. 

Dipeluk oleh mahluk astral memang fenomena pengalaman yang langka.

Raizel bernafas terengah-engah, karena syok.

"Hah ... hah ... haah!"  

Jantungnya seperti akan berhenti berdetak.

Seketika bulu kuduknya semua bergindik.

Baru kali ini, ia mengalami dipeluk oleh Genderuwo.  

"Van ... Gy ...!"

Niat Raizel memanggil Egy dan Vano adalah untuk berpura-pura meminta tolong, supaya mereka bisa menariknya dari pelukan si Genderuwo.

Vano dan Egy yang telat menyadari Raizel terhenti, kemudian membalik tubuh mereka ke arah Raizel. 

"Loh Rai, lo kenapa berhenti la-]"

Setelah mereka berbalik, Egy tidak mampu meneruskan ucapannya. 

Mata kedua remaja itu terbuka lebar.

Mulutnya sedikit menganga.

Karena terkejut mendapati Sosok hitam di belakang Raizel.

Raizel yang masih diam dalam dekapan Genderuwo tersebut, menyaksikan respon kedua temannya itu. 

Seakan seperti mereka bisa melihat sosok mahluk yang ada di belakang tubuhnya. 

"Rrr-rraii ...." Panggil Egy bergemetar.

"Ra-ra-raai ... itt-it-ittuu ya-yang mel-melluk lo, Apa'aann?" tanya Vano dengan takut, dan terbata-bata, sembari menunjuk ke arah Raizel. 

Oh, ternyata Genderuwo ini sengaja memperlihatkan wujud aslinya kepada Egy dan Vano.

Dengan sengaja, supaya membuat wujudnya tidak hanya bisa oleh dilihat Raizel, tapi agar bisa dilihat juga oleh Vano dan Egy.

Mata Egy dan Vano terus saja menatap fokus kearah genderuwo yang masih memeluk Raizel, bagi mereka. Itulah pertama kalinya bisa melihat mahluk halus secara langsung. 

Dengan posisi tubuhnya yang masih dalam dekapan mahluk astral itu.

Raizel berusaha melawan rasa takut. 

Karena, jika dia terus saja terlena akan perasaan takutnya, maka dia pastikan tidak akan bisa membantu Egy menemukan kebenaran tentang Ega.

Kemudian, Raizel mengesampingkan wajahnya. Mencoba melirik  paras si Genderuwo, meskipun ia sudah melakukan hal itu, matanya hanya bisa melihat setengah wajah dari si mahluk hitam tersebut.

Raizel memberanikan diri, untuk bertanya kepada Genderuwo yang terus diam di belakang tubuhnya.

"Apa maumu? Apa kamu ingin aku?"

Raizel mengira, mahluk tersebut  tidak akan menjawab, seperti ia bertanya pada Ega malam itu. 

Akan tetapi, ternyata sang mahluk astral ini, justru memberikan jawabannya.

"Grrrrrrrrrr." Si genderuwo menjawab dengan menggeram yang memberikan jawab iya padanya.

"Kalo gitu, kamu cukup bawa aku." kata Raizel "dan biarkan temanku pulang." Lanjutnya memberikan penawaran.

Vano dan Egy mendengar ucapan Raizel, mereka yang semulanya takut. Kini berubah marah.

Mereka berdua tidak setuju, pada keputusan Raizel. 

"Lo ngomong apa Rai!?" seru Egy.

"Iya ... maksud lo apa? lo nawarin dia buat bawa lo pergi, terus ngebiarin kita pulang? Gue nggak setuju!" bantah Vano.

Mendengar perkataan Egy Dan Vano, itu membuat Raizel panik, ia khawatir jika mereka telah menyinggung sosok mahluk hitam berbulu, yang masih memeluk tubuhnya.

"Guys. Tolong, kalian pulang ... gue janji, setelah lo berdua sampe rumah ... gue juga pasti pulang."  Pinta Raizel memohon.

"Nggak!" hardik Egy "lo gila? gue nggak akan ngebiarin dia bawa lo!" tambahnya.

Sedangkan Vano. Ia menatap tajam Raizel, memberikan arti bahwa ia setuju dengan perkataan Egy.

Tiba-tiba, angin berhembus lumayan kencang. 

Tidak lama setelahnya, datanglah dari arah yang berbeda, tepatnya di belakang Vano dan Egy, muncul sosok wanita memakai daster penuh darah, membawa kain merah yang sepertinya warna merah itu juga adalah darah. Berjalan mendekati Vano dan Egy. 

'Sial ... sekarang apa lagi ini!' umpat Raizel didalam hati.

"Hey! Van! Gy! Awas di belakang kalian!" teriak Raizel.

Egy dan Vano yang awalnya tidak menyadari kehadiran sosok wanita tersebut, setelah Raizel berteriak memberikan peringatan,

Dengan cepat, mereka menoleh ke arah belakang. 

Kini posisi mereka seakan seperti sedang dikepung. Vano dan Egy bisa saja lari untuk menyelamatkan diri, tapi tidak dengan Raizel.

Karena itulah. Meskipun tubuh mereka sudah memberikan sinyal takut, tapi hati mereka membisikan, 'Harus tetap berani'.

Berlari dan meninggalkan Raizel, itu sangat tidak mungkin bagi mereka berdua.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
cerita ini lebih tepat digolongkan dalam genre tersendiri, BKN misteri tapi juga BKN horor, melainkan misteri-semi horror
goodnovel comment avatar
Vincent Situmorang
cerita ini bersinggungan erat dgn horor, maka cerita ini bukan murni cerita misteri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status