Share

Bagian 7. Mencuci Kain Darah

Sosok wanita berdaster. Yang membawa kain berlumuran darah itu terus saja mendekat, Egy dan Vano tentu melangkah mundur, masih mencoba untuk menjauh darinya.

Tetesan darah nampak berjatuhan seperti pakaian cuci yang belum diperas, menetes membuat jejak titik di atas jalanan aspal di setiap langkahnya.

Lalu ....

'Turuti permintaannya, maka aku akan melepaskanmu.' 

Bisikan serak dan samar, muncul begitu saja masuk ke dalam telinga Raizel. 

Dan sepertinya yang membisikannya itu adalah, Genderuwo yang ada di balik tubuhnya.

'Jadi ... Dia minta gue menuruti keinginan, si Hantu wanita ini?' batin Raizel.

"Gy ... Vano ... menyingkir!" seru Raizel.

Memerintahkan Egy, dan Vano untuk menghindar dari sosok wanita yang masih saja terus menghampiri.

Egy dan Vano mendengarkan perkataan Raizel, mereka yang awalnya terus berjalan mundur di hadapan Raizel, kini memilih menepi ke sisi jalan. 

Dan. Sosok wanita itu tentu saja masih mendekat ke arah Raizel.

Vano dan Egy sembari menyaksikan itu semua. Telah bersiap, jika sewaktu-waktu hantu wanita tersebut berusaha mencoba melukai Raizel, maka dengan sigap Egy dan Vano akan segera memukulnya.

Raizel menatap setiap gerak-gerik hantu wanita itu. Ia menelan ludahnya, berusaha mengontrol tubuhnya yang sedikit bergemetar. 

Hingga, sosok wanita tersebut menyodorkan kain putih yang berlumuran darah itu kepada Raizel, bahkan tepat di depan wajahnya.

Dengan cepat. Angin membantu aroma amis dari darah menerobos masuk kedalam pernapasannya, yang membuat Raizel ingin muntah.

"Hwluub!–" Raizel menahan keinginan muntahnya. 

Egy dan Vano yang diam memperhatikan adegan di depan mata mereka, terus saja masih bersiap. 

"Kamu mau aku melakukan apa?" tanya Raizel kepada sosok Hantu wanita yang tepat berada di hadapanya.

Hantu wanita tersebut kemudian menoleh kearah selokan panjang di pinggir jalan, selokan itu selebar 1 meter, dialiri air yang sedikit keruh seperti air sungai yang mengalir dengan lancar.

Sontak Egy, Vano, dan Raizel mengikuti gerakan kepala sosok si hantu wanita. 

Mereka ikut menoleh ke arah selokan tersebut. 

Bertanya-tanya, apa yang dia inginkan?

"Selokan ...? Kamu ingin aku kesana?" tanya Raizel menebak.

Hantu wanita itu lalu kembali menoleh kearah Raizel, mengisyaratkan bahwa tebakan Raizel benar. 

"Baik" jawab Raizel setuju.

Dan saat Raizel menjawab ia setuju untuk memenuhi keinginan hantu wanita itu, secara tiba-tiba. Sosok hitam berbulu yang sedari tadi terus saja mendekapnya, kini melonggarkan tangannya, dan perlahan melepaskan Raizel.

Hantu wanita itu, masih tetap dalam posisi mengulurkan kedua tangannya. Bersama kain putih yang penuh oleh darah, masih saja terus ia genggam. Lebih tepatnya, masih setia diulurkan pada Raizel.

Lalu, Raizel melirik ke arah Egy dan Vano yang diam tidak mengucapkan apapun, sedang fokus mengamati dirinya. 

"Ka-kamu ... ingin aku menyuci kain ini, di selokan itu?" tanya Raizel lagi.

Kepada hantu wanita yang berada di depannya.

Dengan posisi kedua tangan Raizel yang menyanggah dengan ragu, seakan siap menerima kain tersebut. 

Hantu wanita itu kemudian maju selangkah lebih dekat kepada Raizel, yang seolah memberikan isyarat jawaban 'iya'. 

"Haah ...!" pekik Vano dan Egy bersamaan.

Mereka berdua benar-benar tidak habis pikir, hantu wanita itu menginginkan temannya untuk mencuci kainnya? Yang bahkan darahnya begitu kental, melekat pada kain itu.

Di selokan air pinggir jalan, yang tepat berada di depan sepatu mereka.

Lalu, dengan ragu. Raizel menerima kain tersebut, bersamaan dengan darah yang terus saja menetes dari kain.

Saat kulit telapak tangan Raizel perlahan menyentuh kain, rasa dingin akan darah yang basah seakan menyetrum seluruh tubuhnya,  membuat Raizel hampir kehilangan kesadaran lagi. 

Darah membanjiri tangannya, saking banyaknya darah yang meresap pada kain. Membuatnya benar-benar seperti mengangkat kain cucian yang belum diperas sama sekali.

Kakinya melangkah ke arah Egy dan Vano, menuju selokan air yang memang kebetulan tepat didepan mata kaki kedua temannya itu.

Sambil berjongkok di depan kaki Egy dan Vano. Raizel mulai mencelupkan kain itu pada air yang mengalir di selokan.

Bau amis darah seketika menyebar ke udara, dan air yang dicelupi kain itu juga dengan cepat berubah menjadi merah. 

Raizel mengucek dan terus saja mencuci kain tersebut, namun noda darahnya masih saja belum hilang sepenuhnya.

Karena Egy dan Vano berdiri di depan Raizel yang sedang mencuci kain itu. Tentu ikut mencium bau amisnya, saking menyengatnya, mereka sampai menutupi hidung dengan tangan.

"Hwluueekk ...!" Terdengar Raizel sudah mulai muntah karena bau hanyir. Aroma menjijikan itu, membuatnya pusing namun ia tetap berusaha kuat menahan itu.

Sedangkan, mahluk astral si Genderuwo dan hantu wanita.

Masih mengamatinya dari jalan, tempat mereka tadi dikepung oleh kedua mahluk ghaib itu.

"Rai ... udah bersih belum?" tanya Egy dengan posisi tangan yang menghimpit hidungnya dengan jari, hingga suaranya terdengar seperti orang sedang flu.

"Belum ... gila, gue pengen muntah!" jawab Raizel.

"Cepet Rai, gue nggak kuat" keluh Vano.

"Iya sabar, apa lagi gue nih yang nyuci!" balas Raizel.

Malam sudah semakin larut, Egy melirik jam yang melingkar di tangannya. Menujukan pukul 10.44

sudah larut malam. Namun, mereka masih belum sampai rumah. 

Sialnya lagi, jalanan itu benar-benar sepi. Tidak ada satupun orang atau kendaraan yang lewat.

Ya, sudah biasa, jika sudah jam 10 malam, memang tidak ada  orang lagi yang lewat.

Akan tetapi, kendaraan bermotor dan mobil biasanya masih ada meskipun tidak seramai siang. 

Anehnya lagi, saat itu benar-benar tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Sungguh kebetulan.

Setelah Raizel berusaha agak lama akhirnya, ia menyelesaikan tugasnya. 

Kain itu kini berwarna putih, dan bersih.

Hanya saja masih ada aroma hanyir darah dari kain, tapi tidak sebau sebelumnya.

Raizel berjalan kembali memghampiri si Genderuwo dan hantu wanita, ia berniat memberikan kain yang telah ia cuci.

Akan tetapi, Raizel tiba-tiba ingin tahu dari mana darah yang begitu banyaknya, bisa menempel dikain ini? Maka ia berniat mencari tahu sedikit kenangan terakhir tentang darah siapa yang ada di kain tersebut.

Sebelum ia kembalikan kainnya, Raizel menyempatkan untuk menutup matanya.

Cuplikan kejadian yang samar dan tak berwarna, mengejutkan. 

Ia melihat seorang perempuan menangisi seorang anak gadis berumur 16 tahun. Yang tergeletak di lantai, dengan darah keluar dari leher dan pergelangan tangannya. 

Sepertinya anak itu bunuh diri, karena urat nadi yang ada dileher juga di tangan gadis itu, tergores sehingga menyebabkan darah yang keluar dari tubuhnya begitu banyak. Ditambah ia menggenggam satu kater/pisau kecil.

Seorang perempuan yang diduga adalah ibunya itu, mencoba menutupi darah yang keluar dari tangan si anak menggunakan kain putih.

Namun usahanya sia-sia. Karena  merasa frustasi anaknya meninggal, ia bunuh diri dengan menabrakan tubuhnya kesalah satu mobil yang melintas di jalan.

Cukup satu menit untuk Raizel melihat itu semua, saat dirinya membuka matanya. Raizel menyadari satu hal, yaitu.

Sosok perempuan yang  menangis di dalam cuplikan itu, diduga adalah si hantu wanita yang kini berada di hadapannya.

Dan juga, kain yang Raizel cuci tidak lain adalah. Kain yang hantu wanita gunakan untuk mengelap darah anaknya saat itu.

"In-ini ...," ucap Raizel, memberikan kain yang selesai ia cuci. 

Hantu wanita itu tentu menerimanya, dan setelah beberapa menit, dia beserta Genderuwo itu menghilang dalam sekejap.

Vano dan Egy yang melihat, sosok hantu wanita dan mahluk astral Genderuwo telah menghilang. Bergegas melompati selokan dan menghampiri Raizel.

"Huuufhh ... akhirnya selesai juga, momen menegangkan ini" kata Vano.

"Iya ... ayo pulang, ini udah semakin malem" ajak Raizel.

Raizel, Vano dan Egy. Terus berjalan kembali untuk pulang, mereka masih saja tidak menyangka bisa mengalami hal semacam itu. Sungguh pengalaman yang sial bagi mereka, termasuk bagi Raizel.

Raizel masih memikirkan tentang hantu wanita tadi, ia hanya berfikir. Hatinya merasa iba, dan ternyata si Genderuwo itulah yang  selalu menjadi teman si hantu wanita tadi setelah ia meninggal.

Singkat cerita, mereka telah sampai di depan rumah Vano. 

"Lo berdua mau nginep aja, nggak? Ini udah malem" tanya Vano menawaran menginap.

"Enggak, jangan lupa besok kita harus ketemu Di halte bus jam sembilan pagi" pesan Egy, menolak.

"Iya ... besok gue datang tepat waktu" balas Vano.

"Ya udah ... kita pulang dulu ya," pamit Raizel dan Egy berlalu pergi. 

"Lo berdua hati-hati! ...." 

Vano berteriak pada Raizel dan Egy. Yang sudah agak jauh dari depan rumahnya.

"Ok ...!" sahut Egy dengan nada keras supaya didengar oleh Vano.

Raizel dan Egy berjalan pulang berdua, keheningan malam seketika mengisi perjalanan mereka. 

Hingga Egy membuka pembicaraan.

"Rai ...," panggilnya sambil terus berjalan, tanpa menoleh kearah Raizel.

"Kenapa?" jawab Raizel menoleh ke arah Egy.

"Gue, baru kali ini ngelihat mahluk halus secara langsung. Dengan mata kepala gue sendiri, dan gue harap itu bener-bener yang terakhir kalinya," ungkap Egy bergindik ngeri.

"Ya ... semoga aja," Balas Raizel tersenyum tipis dengan mata yang fokus ke depan.

"Tapi. Lo sendiri pasti hampir setiap saat dan setiap waktu ngelihat yang kaya gituan, kan?" tanya Egy.

Mendengar pertanyaan Egy, Raizel terdiam dan menunduk. Mengarahkan pandangan matanya ke kaki bersepatunya, yang terus melangkah. 

"Lo tau Gy? Sebenernya, gue juga nggak mau ini semua, ini benar-benar nyiksa gue. Setiap hari gue harus nahan takut sendirian, harus selalu berpura-pura, seolah gue nggak ngelihat mereka" ungkap Raizel. 

Egy yang mendengar penyataan Raizel, kemudian menoleh dan melihat wajah Raizel dari samping. 

Nampak Bulu mata Raizel yang lebat dan panjang, menatap kearah bawah dengan lemas. 

Bisa dibayangkan jika menjadi Raizel, dia pasti selalu diselimuti rasa takut. 

Kemudian, Egy kembali fokus pada jalanan yang ada di depannya. 

"Gue ngerti ... gue bisa bayangin dan kalo gue jadi lo sehari aja, gue pasti nggak akan sekuat lo Rai" ujar Egy.

"Hahaha ....

Iya, gue percaya itu" balas Raizel terkekeh.

Tanpa disangka perbincangan mereka, sudah membuatnya sampai di depan Rumah Egy. 

"Lo masuk gih, gue mau langsung pulang" kata Raizel.

"Tapi, ini udah jam 12 malem. Lo masih mau maksain pulang? Nginep aja lagi di rumah gue, besok pagi baru balik" tawar Egy.

"Nggak Gy, gue belum beres-beres buat besok ... gue cabut dulu ya?" Tolak Raizel seraya berjalan pergi. 

"Lo, kalo ada apa-apa langsung kabarin gue, ya," kata Egy.

"Iya ...," sahut Raizel, tanpa menoleh ke arah Egy. 

Melihat Raizel yang nampak sudah jauh. 

Egy menutup pintu, lalu beranjak berjalan naik Ke kamarnya.

Kembali ke Raizel, Hanya diterangi oleh lampu yang ada disetiap 10 meter ia berjalan, ditambah suasana sunyi dan malam yang dingin. Raizel menyusuri lintasan tersebut sendiri dengan kepala yang menunduk.

Bersama dengan itu, sekelebat bayangan hitam, putih, ditambah sosok yang berterbangan di udara. Menjadi pemandangannya setiap hari.

Tanpa orang lain tau, hatinya merasa lelah, harus melihat semua itu sendiri sepanjang waktu.

Di saat lima menit lagi, ia hampir sampai divrumah. Ia berhenti, kepalanya mendongak kearah langit. Memandangi banyaknya bintang yang bersinar menemani satu Bulan. 

Tidak terasa, wajahnya yang tampan dan bulu matanya yang panjang, sudah basah oleh air mata.

"Lihat ... Bulan bahkan ditemani oleh Bintang.

Setiap Bulan bersinar, pasti selalu ada Bintang yang berada di sisinya.

Dia nggak perlu takut, untuk menghadapi malam sendiri. Di saat hari mulai pagi, Bintang akan pergi.

Lalu sunrise, Matahari pagi mengantikannya beberapa menit untuk menemani Bulan menghilang.

Hingga, hari berikutnya akan seperti itu ....

Beda dengan gue,"   Raizel kembali menundukan kepalanya. "Gue selalu ngelewatin ini semua sendiri, kenapa gue harus berbeda? Sial! Kenapa gue nggak kaya orang lain?"

Air matanya mulai mengalir deras membasahi pipinya, dan Raizel mengelapnya dengan punggung tangannya. 

Ingin sekali Raizel seperti orang lain, tidak perlu melihat hal yang memang tidak harus dilihat. Tidak harus dikekang rasa takut setiap harinya.

Ia berlutut di jalanan yang sepi, hanya ada suara terpaan angin yang menghembuskan setiap helai rambutnya. Bersama mahluk-mahluk gaib sialan yang terus saja berterbangan, bersekebat menyenggol Raizel.

Raizel sudah tidak kuat lagi menahan lelah pada hatinya, ia mulai menangis dalam diam. Air matanya terus saja mengalir, meskipun Raizel seorang laki-laki, bukan berarti ia tidak bisa menangis.

Setiap orang memiliki sisi lemah dan keluhan sendiri, dan di saat rasa lemah itu muncul tidak lagi bisa ditahan dengan rasa tegar, maka hanya air mata yang bisa menjawabnya. 

"Cu ... kenapa kamu menangis?" 

Tiba-tiba. Suara  Kakek-kakek, membuat tangisnya seketika berhenti.

Dengan rasa terkejut, ia bangun dari posisi berlututnya dan berbalik menghadap kearah suara itu berasal.

Kini tepat di depannya. Berdiri seorang kakek tua, berbaju dan berjenggot putih panjang, memakai tongkat. Tengah tersenyum manis padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status