Share

Bagian 08. Titik Biru

"Kakek? Kakek siapa?" tanya Raizel.

Namun yang ditanya tidak menjawab, dia justru balik bertanya.

"Cu ... Kenapa kamu menangis?"

"Nggak kenapa-napa, Kek." 

"Kakek tau jelas, kalau kamu menangis, kenapa?"

"Nggak kenapa-napa, Kek. Saya hanya merasa menderita," jawab Raizel memalingkan matanya ke samping, menyembunyikan manik matanya yang menahan tangis.

Lalu, kakek itu berkata.

"Cu ... kelebihanmu memang langka, dan kamu ditakdirkan untuk memilikinya.

Jangan sesekali kamu merasa takut, karena sampai kapanpun selama kamu masih hidup. Kamu akan tetap melihat mereka." 

Setelah Raizel mendengarnya, matanya membulat, menatap orang tua itu tanpa kedip, pikirnya kenapa Kakek ini bisa tahu apa yang sedang dialaminya? 

"Kakek tau apa yang saya alami? Dan, Kakek tau dari mana?" tanya Raizel penasaran.

"Kakek tahu. Jadi, mulai sekarang ....

Lawan rasa takutmu, biasakan dirimu untuk tidak takut setiap kamu melihatnya," pesan kakek tersebut. 

Raizel menunduk kembali dengan lemas, mencoba meresapi apa yang kakek itu bicarakan. 

"Kamu harus percaya, dirimu lebih kuat dari rasa takut yang menyiksamu." 

Raizel mulai mengangkat kepalanya.

"Tapi kek ... gimana caranya?"

Namun. Kakek itu sudah menghilang.

Ia mencari dan memanggil sosok orang tua itu, tapi. Tidak bisa menemukannya.

Raizel terdiam, mencoba untuk berfikir apakah yang ia lihat hanyalah sebatas imajinasi, atau memang nyata?

Entahlah, mau itu nyata atau bukan. Raizel rasa Kakek itu baik, ia menasehati dan memberinya semangat. 

Dia sedikit lebih tenang setelah bertemu dengan sosok Kakek itu. 

Raizel berjalan, meneruskan tujuannya untuk pulang. Meskipun masih banyak yang berseliweran di samping, di depan, atas, dan belakangnya, tidak tahu mengapa.

Tapi kini ia merasa tidak terlalu takut.

Walaupun masih seperti biasa, Raizel harus berusaha, untuk berpura-pura tidak melihat mereka semua.

Beberapa saat, ia sampai di rumah. 

Sarah dan David—Orang tua Raizel tentu saja sudah tidur, jadi yang membukakan pintu, adalah asisten rumah mereka, Isum.

"Den ... larut sekali pulangnya? tanya Isum.

"Iya, Bi," jawabnya, sambil berjalan masuk dan melewati Isum yang berada di samping pintu.

Isum menyadari jaket bagian tangan dan bahu, juga bulu mata Raizel yang basah, ditambah mata Raizel yang sedikit sembab. Sudah pasti Isum tahu Raizel menangis.

Lalu Isum sedikit berjalan cepat mengikuti Raizel yang akan naik ke kamarnya.

"Den ... Aden nangis ya? Kenapa?" Tanyanya dengan pancaran wajah sedih. 

Raizel membalik tubuhnya, menghadap Isum yang lebih pendek darinya.

Ya. Isum, selain  menjadi asisten rumah tangga mereka, dia juga adalah pengasuh Raizel dari kecil.

Raizel sendiri. Juga sudah menganggap Isum sebagai Ibu kedua dari  ibu kandungnya Sarah, Isum tau. Jika ia menangis, pasti akan menghapus airmatanya dengan baju dibagian bahu atau lengan.

Sudah menjadi kebiasaan, dan tidak mungkin Raizel menjawab tidak, karena pasti Isum akan tahu ia berbohong. 

"Iya, Bi. Tapi tolong, jangan bilang sama Bunnda dan Ayah, ya," ucap Raizel memohon.

"Iya, Den ...."

Isum yang lebih pendek dari Raizel, berusaha mengelus pundaknya. 

Ia tersenyum karena Raizel, berkata jujur.

Sarah dan David, sering meninggalkan Raizel divrumah, mereka meninggalkannya bukan untuk hal yang tidak penting, tapi mereka bekerja siang dan malam. Raizel tidak menyalahkan mereka, justru ia bersyukur. 

Setiap pulang kerja, yang pertama dicari dan ditanyakan oleh Sarah dan David adalah anaknya, Raizel.

Karena hal itu juga, jika Raizel menangis saat kecil, Yang sering menghiburnya dan menenangkannya adalah Isum.

Isum juga mempunyai anak laki-laki, ia seumuran dengan Raizel. Karena itu juga saat Isum jauh dari anaknya di kampung, ia menganggap Raizel seperti putranya.

Sarah dan David, tentu tidak keberatan dengan itu, mereka justru menjadi tenang jika tidak di rumah. Karena percaya, Isum bisa menjaga Raizel dengan baik. 

"Bi ....

Aku masuk dulu ya" pamit Raizel.

"Iya, Den." 

Raizel berjalan menaiki tangga ke kamar. Saat sudah di kamar, ia bantingkan tubuhnya ke kasur springbadnya dengan posisi terlentang. 

Dia memikirkan perkataan Kakek tadi yang ia temui. Karena dia, Raizel mulai merasa sedikit bisa menghiraukan rasa takutnya. 

Tubuhnya lemas karena kelelahan. Dan tanpa ia sadari, dia mulai terlelap dalam mimpi. 

Malam yang singkat sudah berlalu, sinar matahari mulai menyilaukan mata.

Raizel mulai menyadari bahwa hari sudah pagi, secara cepat ia teringat akan janjinya bersama teman-temannya, untuk saling berkumpul di depan halte bus. 

Tanpa pikir panjang, Raizel beranjak dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. 

Selesai mandi, ia bercermin untuk memakai crem wajah dan sunblok. Namun, yang begitu mengejutkannya ada titik kecil berwarna biru kristal yang terletak di antara kedua alisnya.

Ukurannya kecil, seperti tahi lalat. Sebenarnya tidak terlalu kecil, bila ada orang yang melihat wajahnya, maka ia pasti akan melihat tanda titik itu. 

Raizel, mencoba menghilangkannya dengan berusaha menggosok kasar.

Namun, titik itu tidak hilang.

Karena tidak ada waktu untuk mengurusi hal kecil seperti itu, ia langsung berkemas, memasukan beberapa pakaian, sabun, cream wajah, sunblok, lotion, dan parfum kedalam tasnya.

Raizel memang laki-laki, tapi remaja pria seumuran mereka juga memakai skincare untuk tetap menjaga kulit. Ya. Walau sedikit lebih baik dari pada tidak, bahkan tidak ada seperempatnya skincare milik Diva, Caca dan Cindy.

Ia berpakaian bersiap secepat mungkin. Jam menunjukan pukul 08.37, apakah ia akan sempat atau tidak, mungkin Raizel akan terlambat. 

Setelah semuanya siap, dia meraih tasnya dan berlari menuruni tangga untuk menemui orang tuanya.

"Ayah ... Bunda, aku berangkat dulu ya" pamit Raizel.

"Nak, uang sakunya udah ayah tranfer ke rekening kamu ya" kata David.

"Iya, Ayah, makasih." 

Lalu, Raizel meminum setengah jus jambu milik Sarah, yang ada di meja makan. 

"Pelan-pelan, Nak, buru-buru banget." ucap Sarah.

"Bun ... aku harus cepet-cepet! Temenku pasti udah pada nunggu" keluhnya.

"Ayo, Ayah sama Bunda anterin" tawar David. 

Tentu Raizel menerimanya, dari pada harus  menunggu taksi, mungkin itu akan bertambah lama. 

David dan Sarah pergi berjalan menuju  garasi, mendahului Raizel.

Saat itu Sarah dan David, akan pergi bekerja. Ya, mereka memang sekertaris dalam suatu perusahaan ternama.

Sembari menunggu ayahnya mengeluarkan mobil dari garasi,

Raizel masih diam duduk di ruang makan, ia berniat menghabiskan jus jambu milik Sarah, yang tadi sudah diminum setengah olehnya.

Tiba-tiba, satu tangan menyentuh pundak Raizel. Lumayan mengagetkan, dengan cepat ia menoleh ke arah tangan itu. Dan ternyata itu Isum.

"Bi ...," ucapnya heran, karena Isum menangis.

"Den ... Aden yakin mau pergi?" tanya Isum sambil menangis.

"Bibi tadi pagi nggak sengaja denger nyonya dan tuan ngobrol, kalo Aden mau pergi ke luar kota," jelasnya. 

"Iya, Bi, aku bakal pergi dulu. Nanti aku juga pulang lagi" jawab Raizel, mencoba menenangkan Isum.

Lalu, Isum memeluk Raizel. Ia berkata sangat khawatir dan pasti akan merindukannya.

Ia memintanya untuk tidak terlalu lama berada di luar kota, dan tentu Raizel mengiyakan. Akan tetapi, dia masih saja menangis. 

"Den, boleh Bibi cium kening Aden?" pintanya dengan penuh harap.

"Boleh, Bi" jawab Raizel tersenyum. 

Kemudian. Raizel sedikit membungkuk.

Isum dengan kedua tangannya meraih kepala Raizel, lalu mencium keningnya. 

Rasanya sama seperti Raizel kecil, menghangatkan hati. 

"Terimakasih, Den. Cepet pulang ya" pesannya. 

"Iya, Bi. Pasti, tolong titip ayah dan bunda ya, Bi.

Bibi juga jangan lupa jaga diri" balas Raizel berpesan.

"Pasti, Den." 

Setelah itu. Klakson mobil terdengar dari luar halaman depan, orang tua Raizel memberikan isyarat bahwa sudah waktunya untuk berangkat.

Raizel berpamitan kepada Isum, dan ia tersenyum dengan air matanya yang terus saja keluar. Isum tidak rela bahwa Raizel pergi, bersama ransel di belakang tubuhnya, dia melambaikan tangan kepada Isum sambil berjalan keluar. 

Secepat mungkin Raizel masuk kedalam mobil, dan duduk di kursi penumpang. Di belakang Ayah dan Bundanya.

Mobil pun melaju, meninggalkan halaman rumah Raizel.

"Habis pamitan sama Bi Isum ya?" tanya Sarah, sedikit menolehkan kepalanya pada Raizel.

"Iya, Bun." 

"Iya, Bi Isum juga pasti sedih banget, buat pertama kalinya ngeliat kamu pergi jauh" tutur David.

"Bunda juga sedih banget tau. Ditinggal kamu, jangan lama-lama ya"  imbuh Sarah.

"Iya, Bun. Nanti aku pasti bakal sering-sering telfon kok" jawab Raizel.

"Ini mau dianter kemana?" tanya David.

"Halte bus, depan toko buku. Yah."

"Ooh deket." 

**********

Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya sampai. Di sana sudah berkumpul semua teman-temannya, dengan wajah lega karena Raizel telah sampai. 

Juga. Ransel besar, di masing-masing punggung mereka. 

Di depan bus yang berhenti, terlihat satu orang kondektur bus menunggu di sana.

"Loh ... katanya cuma sama Egy, kok rame-rame?" tanya Sarah. Matanya melihat kumpulan teman-teman Raizel dari dalam mobil.

"Iya, Bun. Berubah rencana." ujarnya  sambil membuka pintu mobil dan keluar. 

Sarah membuka kaca mobil. 

"Rai, inget hati-hati dan jaga diri baik-baik, sering-sering  telfon ya" pesan Sarah. 

"Iya, Bun" jawab Raizel tersenyum.

"Aku pamit ya, Bun, Ayah ...." 

"Iya." Dengan tersenyum mereka menjawab satu kata. 

Raizel langsung berlari menghampiri teman-temannya dan masuk ke dalam bus. 

Saat sudah melihat anaknya masuk ke dalam bus, David kembali melajukan mobilnya menuju kantor seperti biasa bersama Sarah. 

"Ayah, tadi itu di bawah kening Rai apa ya?" tanya Sarah menoleh kearah suaminya yang fokus menyetir.

"Yang di antara kedua alisnya itu?" jawab David, balik bertanya.

"Iya, Yah yang warna biru, biru biru muda bening itu" jelas Sarah sedikit bingung untuk menjelaskan.

"Nggak tau bun, tapi cocok ya sama Rai. Mungkin tato remaja zaman sekarang." 

"Bisa jadi ya, Yah."

******

Di dalam bus. Raizel duduk bersampingan dengan Vano. 

Caca dengan Egy, dan Cindy dengan Diva.

Bus pun berjalan, Raizel berharap semoga perjalanan ini akan lancar, dan membuahkan hasil.

"Rai. Gila lo, kita pikir tadi lo nggak akan dateng," ucap Vano yang duduk di sebelahnya.

"Sorry, gue tadi bangunnya telat."

"Tapi lo sempet mandi nggak?" tanya Vano lagi sedikit tersenyum ejek.

"Mandi lah! Ngaco nggak mandi" seru Raizel, dan Vano pun tertawa. 

Tidak lama setelah mereka mengobrol datang seorang kondektur berseragam khusus, menghampiri Egy untuk menarik pembayaran, dan Egy membayarnya dengan uang skitar 350 ribu.

'Hah! Mahal banget ongkos bus satu orang 350 ribu, ngelebihin ongkos taksi' batin Raizel terheran. 

Lalu, setelah kondektur itu memberikan kertas tanda pembayaran pada Egy, ia pergi begitu saja melewatinya dan Vano.

Karena Raizel dan Vano penasaran, mereka memutuskan untuk bertanya langsung pada Egy yang duduk di kursi sebrang, tepat di samping mereka berdua duduk.

"Gy. Kok kita nggak disuruh bayar?" tanya Vano.

"Hehe ... tenang, ongkos berangkat gue yang bayar" jawabnya tersenyum percaya diri. 

Namun, Egy tercengang melihat tanda biru di antara alis Raizel.

"Eh ... Rai, sejak kapan lo punya tato?" tanya Egy menatapnya.

Karena itu juga, Vano, Diva, Cindy, Caca, menoleh kearah wajah Raizel dari tempat duduk mereka.

"Di mana?" tanya Vano yang tidak menemukan tato apapun di tangan Raizel.

"Di sini" jawab Egy, mengusap bawah kening di antara kedua alisnya. 

"Ohh ... ini, gue juga nggak tau kena apa. Biarin aja lah, asal nggak sakit" jawab Raizel simpel.

"Kok gue tadi nggak sadar ya lo ada tato?" ujar Vano.

"Udah udah, duduk yang bener"

dalih Raizel.

Mereka, kembali duduk dengan benar di kursi masing-masing.

Raizel terfokuskan pada pemandangan di luar kaca bus, yang ada tepat di sebelah kirinya.

Seketika. Raizel teringat oleh sosok Kakek berjanggut dan berbaju putih, ia hanya berasumsi.

Kemungkinan setelah bertemu dengannya, muncul tanda aneh ini, juga ia mengingat kedua orangtuanya dan Isum.

Raizel sedikit merindukan mereka.

Ia harap, dia akan cepat menyelesaikan urusan ini dan kembali bertemu mereka semua.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Vanesha Store
keren banget... bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status