"Angga! Ibu bilang biar Dinda!"
Mas Angga mendesah pelan. Mendongak sekilas lalu tetap memunguti beling itu. Ayolah, drama apalagi ini. Sungguh memuakkan. Selera makanku hilang begitu saja. Ku raih tas kecilku dia kursi dan melenggang keluar.
"Wanita sialan! Kamu mau kemana?"
Aku mengibaskan tanganku tanpa menoleh.
"Dasar tidak punya sopan santun!"
Tak ku hiraukan teriakan ibu mertua. Biarkan saja dia mengomel-ngomel.
Ku ambil mobil yang paling bagus di garasi. Mengendarainya ke kantor. Hari ini, aku akan membuat pengumuman penting.****
Sampai di kantor, seperti dugaanku, para karyawan lama yang sudah mengenalku terkejut. Buru-buru menunduk hormat. Aku tersenyum tipis, mengangguk memberi balasan sapaan pada mereka. Melanjutkan langkah ke lift menuju lantai paling atas dimana ruang direktur berada.
Rupanya disana juga ku dapat euforia kehebohan mereka. Mungkin mereka juga bertanya-tanya, kenapa aku hanya datang sendirian, sementara mas Angga, selaku penggantiku belum datang.
Ku buka ruang ini, menghirup dalam-dalam udara di dalamnya, yang nyatanya malah membawa ingatanku di awal-awal mengenal mas Angga. Ku usir pikiran itu, tujuanku kesini bukan untuk nostalgia.
Ku hempaskan pantatku di kursi kebesaran. Bersandar dengan kepala mendongak dan mata terpejam. Menarik napas panjang lalu menghembuskannya kembali. Suara ketukan membuyarkan lamunanku.
"Masuk," jawabku, membenarkan posisi dudukku. Tak mungkin itu mas Angga, kalau dia, bisa saja langsung masuk tanpa perlu izin. Pintu terbuka dan menampilkan seorang wanita yang sangat ku kenali. Senyum sumringah tersungging di bibirku.
"Astaga, Della."
Ku peluk sahabatku ini. Dia juga membalas pelukanku.
"Ada kabar apa? Sampai turun langsung ke lapangan?" tanyanya usai melepas pelukan kita. Aku menggiringnya duduk di sofa terlebih dahulu. Della ini sahabat lamaku, sejak dari SMA malah. Yang menariknya kerja disini juga aku.
Ku hembuskan napas kasar.
"Ada masalah," jawabku singkat.
"Kenapa? Angga korupsi?"Aku menyipitkan mataku, tertawa kecil, menggelengkan kepala."Bukan. Kalaupun korupsi juga untuk apa. Orang kita juga tinggal bareng," ujarku. Della ikut tertawa."Lalu?"
"Ada masalah di rumah.""Mertua lo lagi?"Aku mengangguk. Aku memang kerap curhat dengan dia.
"Yup. Itu salah satunya, tapi ada hal lebih besar."
Ku hela napas pelan.
"Mas Angga nikah lagi. Dan sudah punya anak."
"What the..." Della memekik. "Gue baru tahu kemarin. Anak itu sudah berusia tiga tahun. Berarti sudah hampir empat tahun mas Angga nikah lagi.""Aish! Suami gila! Sudah diberi hati malah minta empedu.""Jantung, Del.""Eh, iya deh serah. Pasti mertua lo yang nyuruh kan?""Gue gak tahu. Yang pasti sekarang rumah rasanya seperti neraka," ucapku datar, padahal menahan gejolak sesak dalam dadaku. Della menepuk pundakku."Sabar ya, bertahan. Tapi bukan untuk melemah. Balas mereka. Tunjukkan bahwa tanpa lo mereka bukan apa-apa."
Aku mengangguk. Memang itu yang aku rencanakan.
"Good. Gue percaya, lo pasti bisa."
Aku tersenyum tipis.
"Kumpulkan karyawan, gih. Gue mau ngumumin sesuatu."
"Siap."Della beranjak keluar. Aku tersenyum tipis. Tepat Della membuka pintu, tepat itu juga mas Angga masuk. Dia menatap Della heran lalu beralih ke arahku.
"Kau belum mengungkap pada karyawan kan?"
"Untuk apa? Memang penting mengungkap masalah rumah tangga?" ucapku dan kembali duduk di kursi kebanggaan. Mas Angga menghela napas lega. Kulihat wajahnya berkeringat. Sepertinya dia tadi berlari terburu. Mungkin khawatir aku membuat kekacauan di kantor."Lalu, kenapa kamu ke kantor?"
"Memang masalah? Ini kan kantorku.""Tapi, aku...""Mas, inget ya, aku tidak pernah menyerahkan hak pemilik perusahaan ke kamu. Kamu inget kan? Atau sudah lupa ingatan?" "Iya, aku tahu, Din. Semua ini milikmu. Maksudku, kenapa kamu tiba-tiba pengen megang perusahaan lagi?"Aku tersenyum miring."Memang masalah? Lagipula untuk apa di rumah kalau hanya bertemu para benalu.""Din, ibu bukan benalu," sambarnya."Aku tidak bilang itu ibu.""Tapi kamu...""Sudahlah, Mas. Intinya aku tidak bilang itu ibu loh. Jangan tersinggung gitulah. Selama ini kapan sih aku bersuara keras di depan ibu. Tapi ya kamu bayanginlah, terus-terusan dihina gimana rasanya? Hm?"Mas Angga diam saja. Kamu mau bela ibumu gimana lagi, mas?
"Ah, Del. Sudah?" Ku lihat Della malah mematung di depan pintu. Dia tersenyum tipis, mengangguk.
"Beres."
Aku mengangkat jempol rampingku. Beranjak dari kursi diikuti mas Angga.
"Katamu tidak akan mengatakan masalah kita. Tapi kenapa kamu mengumpulkan karyawan?"
Aku berbalik. Menatapnya dengan tangan bersidekap.
"Untuk apalagi? Tentu saja memberi pengumuman pada merekalah. Bawa aku sekarang direkturnya," ucapku memberi penekanan pada kata terakhir.
"Lalu, aku?"
"Tentu saja kembali ke posisi awalmu.""Kepala bagian gudang?"Aku mengangguk. Melanjutkan langkah.
"Din, ayolah. Setidaknya jangan kepala gudang. Sekretarismu saja ya?"
Aku tersenyum tipis, menggeleng. Kau yang membuatku melakukan ini, mas. Masih untung tidak ku turunkan jabatanmu jadi office boy.
"Din!"
Zul dan Della rencananya akan tinggal sendiri. Sekarang, mereka masih bulan madu sambil menikmati Winter di Osaka. Setelah pulang, mereka tinggal di apartemen. Zul tengah menyiapkan rumah yang akan mereka tinggali nanti. Della sendiri, kembali bekerja di perusahaan Dinda. Tentu saja setelah Dinda memintanya dengan teramat. Lagipula, potensi Della di perusahaan memang besar. Jadi, tak bukan hanya atas dasar persahabatan semata. Zul juga sudah menceritakan sesuatu yang membuatnya mengganjal dulu. Tentang dia yang pernah tertarik ape Niswah. Awalnya Zul tidak mau cerita, karena takut Della cemburu. Tapi wanita itu memaksanya. Daripada memicu perang dunia di tengah pernikahan seumur jagung mereka, Zul mengalah. Della sempat kaget dan cemburu, tapi Zul berhasil meyakinkan bahwa itu hanya perasaan lewat. Cintanya pada Della lebih besar dan segalanya. Della masih cemburu, tapi dia percaya Zul. Zul sudah membuktikan bahwa perasaan pria itu sudah sepenuhnya tertuju padanya.Hari ini, mereka m
Niswah dan Arjun yang merencanakannya. Sepasang suami istri itu tidak tahan melihat hubungan dingin dua manusia dewasa itu. Satunya terlalu tinggi ego, dan satunya yang cenderung pasrah. Dan sangat kebetulan, bertepatan dengan itu, Zul mendapat promosi. Masa mutasinya dipercepat. Dia kembali mengabdi di kantor pusat. Kinerjanya memang bagus. Hanya sempat lalai karena patah hatinya.Sebenarnya, Zul mau berpamitan pada Della. Tapi Niswah melarangnya. Wanita yang sempat singgah di hatinya itu bilang, Zul harus tegas. Sesekali Della harus disentil egonya. Dengan cara menjauhinya. Seolah Zul sudah menyerah pada perasaannya. Awalnya Zul tidak setuju. Dia takut, Della justru semakin jauh darinya. Tapi Niswah juga tak kalah memaksa. Bagaimanapun juga, dia sesama wanita. Dia tahu, apa yang ditakutkan oleh kaum wanita keras kepala. Dia cinta, hanya saja ego tinggi mengalahkan perasaannya sendiri. Niswah bahkan berani menjamin, akan menebusnya seandainya rencananya gagal. Karena Niswah juga yak
"Jangan pergi...."Jantung Della terasa berdegup kencang. Dia juga tidak ingin pergi. Tapi, keadaan sudah berbeda. Zul sudah bertunangan dengan wanitanya. Harusnya dia tak ada disini. Ini acara pentingnya.Della melepas pelukan Zul darinya. Menghindarkan wajahnya dari pandangan Zul."Pergilah," ucapnya lirih. Menahan isakan yang sebentar lagi kembali pecah."Kenapa? Kau tidak suka aku mendatangimu?" ucap Zul tanpa penekanan.Della menggeleng. Dia tidak berani menatap pandang Zul. Dia takut perasaannya semakin hancur saat sadar pria itu tidak bisa dia harapkan lagi."Kembalilah. Itu acaramu. Tak seharusnya kamu malah disini."Zul mengerutkan dahinya. Mencerna perkataan Della."Acaraku? Ini acara ki ..." Zul menghentikan ucapannya. Berdehem kecil. Lantas menarik tangan Della. Memaksa mengikuti langkah lebarnya."Zul, lepas. Kau mau membawaku kemana?" tolak Della. Zul bergeming. Dia justru mengeratkan genggamannya. Tak akan membiarkan wanita ini kabur lagi."Niatmu datang kesini untuk me
Perjalanan ke kota cukup menyita waktu. Terutama karena Della hanya menggunakan angkutan umum. Dari satu bis ke bis yang lain. Pikirannya kacau. Dia tak bisa berfikir jernih lagi. Di pikirannya hanya satu. Dia tak mau terlambat. Berharap perjodohan itu belum dilaksanakan.Sepanjang jalan Della menangis. Membuat penumpang lain melihatnya heran. Penampilannya lebih mirip gadis yang kabur dari rumah. Karena dia membawa ransel ukuran sedang untuk pakaiannya. Tak ada yang menanyainya, sungkan terlebih dahulu.Jika dipikir, Della seperti tak punya malu. Dulu, dia yang menarik ulur perasaan Zul. Sampai pria itu hanya bisa memendam lukanya dalam senyum perjuangan. Memang, Della berhak marah karena Zul yang dulu. Tapi, bukankah Zul sudah meminta maaf? Bukan hanya sekali dua kali. Bahkan sering. Zul juga menunjukkan tekad yang kuat. Bahwa dia serius dengan lamarannya untuk menikahi dirinya. Tapi egonya terlalu besar untuk memaafkan Zul. Membiarkan pria itu tersiksa dengan perasaannya. Sekarang,
Della tidak tahu, entah sampai kapan dia bisa bertahan dengan hubungan aneh ini. Dia cemburu setiap kali melihat kedekatan Zul dan Ika. Tapi dia sendiri sadar diri, yang juga dekat dengan Kevin. Egonya memang keterlaluan besarnya. Dan, ternyata itu tidak hanya berlaku untuk Ika semata. Nyatanya Della juga cemburu saat Zul dekat dengan para mahasiswi itu. Dia kesal hanya dengan melihat Zul tertawa renyah pada mereka. "Wow! Bang Zul keren!"Della mendecak. Hanya karena Zul mengangkat dua galon isi penuh secara bersamaan. Para mahasiswi itu tampak kagum. Padahal, wajar saja Zul kuat. Dia polisi yang terlatih secara fisik dan mentalnya.Della malas berada di situ. Beringsut ke belakang. Duduk di kursi kayu dekat kolam ikan. Melempar kerikil ke kolam. Yang langsung disambut para ikan, karena mengira itu makanan yang diberikan pada mereka. Yah, tipuan yang menyebalkan bagi kaum ikan."Kau tidak bermaksud membunuh mereka kan?"Della tersentak. Spontan menoleh. Kembali membuang wajah saat t
Sungguh menarik perhatian. Itulah yang Niswah dan Arjun pikirkan melihat kejadian ganjil tadi pagi. Bagaimana bisa, Della dan Zul yang mereka kenal sebagai sepasang kekasih, tapi malah berangkat kerjanya dengan pasangan yang berbeda?"Lihat kan tadi?"Arjun mengangguk. Mereka sedang menghabiskan waktu berdua. Tidak ada yang protes. Ya kali mereka mau mendemo dosen sendiri. Taruhannya nilai, uy. Yah, meskipun Arjun juga tidak akan melakukan hal selicik itu."Aneh deh. Masak kalau cuma alesan tempat kerja yang beda, mereka berangkatnya pisah sih? Mana yang dibonceng lawan jenis lagi.""Perempuan tadi bukan polisi, Nis. Dari seragamnya dia karyawan biasa.""Iya, maksudku itulah, pokoknya. Aneh aja gitu. Apa, mereka lagi ada masalah ya? dilihat juga, bang Zul sama mbak Della kayak lagi jaga jarak kan?""Mereka emang lagi ada masalah. Cuma, aku kira sudah baikan. Ternyata belum toh.""Ih, jadi pengen deketin mereka lagi loh. Mereka kan pasangan serasi. Pacaran juga udah lama. Sayang kalau