Share

Dya dan Sayna

Hari Jumat yang entah kenapa Danish tunggu-tunggu, bukan karena kedatangan Pramudya ya, hanya saja Jumat berarti hari terakhir dari seluruh kegiatannya. Danish akan bekerja dengan semangat serta ke kampus lebih awal dibanding hari-hari biasa karena Jumat adalah hari terakhir tiap minggunya untuk menyambut Sabtu yang berharga.

Saat ini dia tengah menyetir dengan panggilan video menyala dari seseorang yang begitu dicintainya, Sayna. Gadis itu punya waktu senggang sebelum masuk ke kelas tutorial pukul dua siang, jadi mereka berbincang selama Danish di perjalanan pulang.

“Nish, cakep banget pake baju koko habis Jumatan,” goda Sayna sambil mengedip-ngedipkan mata, melihat kekasihnya mengenakan setelan putih berkancing dengan kerah rendah. “Jadi pengen—”

“Pengen apa?” potong Danish segera, tahu Sayna akan mengatakan yang bukan-bukan, mengganggu konsentrasinya berkendara.

“Pengen ketemu lah, pengen peluk, pengen cium, terus...”

“Kok nggak diterusin?” Danish terkekeh, fokusnya masih ke kemudi tapi telinganya awas mendengarkan Sayna. “Jam berapa selesai kelasnya?”

“Uh... jangan tanya.” Sayna membuat suara yang manja. “Nanti gue nggak fokus belajarnya, nungguin lo datang sekarang.”

“Geer, siapa yang mau ke sana sekarang? Besok aja, jadwal pacaran kita kan hari Sabtu, malam minggu.”

Sayna tertawa renyah. Sepertinya dia sedang di tempat yang sepi, tidak ada siapa-siapa di dekatnya. “Minggu lalu kita cuma ketemu sebentar,” rujuknya pada tragedi kurang menyenangkan waktu itu. “Gue pengen ganti yang belum sempat gue kasih, Nish.”

Danish merona malu. “Sabar ya, hari ini gue mau nugas dulu.”

Sayna mengangguk setuju. “Lo tahu nggak, Nish, trigonometri?”

“Hm?” Danish mengernyitkan dahi. “Sin, cos, tangen?”

Sayna mengangguk. “Tahu apa artinya?”

Kenapa Sayna tiba-tiba memberinya soal matematika? Dia tidak ingat ya pacarnya kurang cerdas dan pelupa?

“Sin, cos, tangen itu artinya, sini ke kos, gue kangen. Hahaha.”

“Dih, ngelawak!” Danish tergelak, dia lega seketika karena terbebas dari soal matematika. “Nggak lucu, Sayna.”

“Nggak lucu tapi ketawa.” Sayna tersenyum di seberang sana, dan senyumnya sangat cantik, membuat Danish makin tergila-gila. “Gue tunggu pokoknya, ya? Ada yang mau gue mintain tolong juga.”

“Apa?” tanya Danish peka.

“Jadi volunteer buat bahan praktikum gue mau nggak, Nish?”

“Ngapain memang?”

“Minta sperma.” Sayna berbisik pelan, dia tersenyum malu, wajahnya merona. “Mau, ya? Nanti gue bantu.”

Danish ingin tersedak, tapi dia tidak bisa. “Gi...gimana caranya?” Sayna jelas tahu, Danish tidak mahir memakai karet pengaman, tapi benda itu yang tampaknya paling masuk akal untuk menampung cairannya.

“Gampang, nanti gue cari cara. Mau, ya? Ya? Ya? Ya?”

Sebenarnya, untuk Sayna apa sih yang tidak?

“Hm, oke.” Danish memutuskan untuk memberi kekasihnya bantuan, daripada Sayna minta ke Gio, itu kan bahaya. Danish tidak sanggup membayangkannya.

“Mau nugas ke mana? Di rumah apa ke ruang belajar?”

“Ke kafe sih, udah ditungguin sama Pramudya.”

“Dya?” Sayna tidak percaya pada pendengarannya. Danish terang-terangan—di depan hidungnya, akan bertemu dengan Pramudya?

“Iya, Dya.” Dia dengan santainya mengemudi mobil dan tidak tampak merasa bersalah pada Sayna. “Dia jauh-jauh terbang dari Surabaya, seenggaknya gue temuin sebentar, kan? Paling ngajak makan.”

Sayna tergamam, dia ingin bilang tidak boleh, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat. Sayna ingat, dulu Danish pernah ada di posisi ini, saat dia akan pergi ke suatu tempat dan Gio orang yang akan menemaninya. Danish jauh, dia ingin melarang, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, pun tidak bisa membantunya.

“Kok diem, kenapa?” tanya Danish peka.

“Kenapa Dya, Nish?” tanya Sayna pelan. Kenapa tidak mengerjakan tugas dengan teman kampusnya? Sayna sekarang sudah tidak apa-apa kalau Danish pergi kerja kelompok ke rumah Lianka, atau siapa pun itu namanya, asal jangan Pramudya.

“Ya, karena Dya yang ngajak gue main hari ini,” jawab Danish dengan tampang polosnya. “Kalau lo di sini, pasti lo yang gue ajak pergi.”

Demi Tuhan, Sayna pernah bilang begitu pada Danish saat dia ingin jajan seblak dengan Giovani ke Banjaran, jauh dari kosan.

“Ya udah,” ucap Sayna pelan. “Jangan pulang malam-malam, ya? Sampai ketemu besok.”

Danish tersenyum tipis. “Sampai ketemu, Sayang...”

Panggilan itu terputus, Danish meneruskan perjalanannya ke tempat Dya yang sedang menunggu sejak dua jam lalu. Sebuah kafe bergaya Prancis dengan nama Anyelir di kawasan Kebayoran, dari luar Danish sudah melihat Pramudya dengan gelas jus, kue-kue kering dan buku di tangan. Dia memang gemar membaca, Dya kuliah jurusan sastra.

“Gue cuma telat dua jam,” sapa Danish kali pertama mereka bertatap muka. “Maksudnya, lo baru shareloc dua jam yang lalu dan gue udah di sini sekarang.” Danish mengeluarkan laptop dari tas dan berencana untuk mengerjakan tugas.

Biasanya Danish baru datang 5 hingga 8 jam kemudian atau tidak datang sama sekali, membiarkan gadis itu menunggunya sendirian hingga lumutan.

Ekor matanya melirik Pramudya, gadis itu kembali fokus membaca bukunya. Hanya saja, beberapa menit kemudian segelas es karamel kopi terhidang di sisi kiri Danish. Pramudya sudah cukup mengenalnya hingga tahu apa minuman yang Danish suka.

“Tugas kuliah?” tanya gadis itu, suaranya baru terdengar sejak beberapa menit yang lalu, walau matanya masih fokus ke buku.

Benar, dia memang tidak menunggu Danish datang. Danish hanya bahan iseng-isengnya, yang dia jatah tiap hari Jumat saja, tanpa diperlakukan istimewa.

“Iyalah, gue gini-gini sibuk, Dya. Lo kayaknya nggak pernah nugas, ya? Kelihatan enjoy banget kuliahnya.”

“Hm, yang paling sibuk memang cuma anak kedokteran sama manajemen aja, gue kuliah modal rebahan tahu-tahu lulus jadi sarjana.”

Kenapa itu terdengar sarkas, ya?

“Lo tiap hari sibuk ngebagi waktu dan jatah pacaran, makanya gue bilang gitu.” Danish merasa Pramudya tersinggung, entah kenapa, padahal biasanya dia tidak apa-apa. “Semua cowok lo orang luar kota?”

“Nggak semua,” jawabnya. Dia tetap membaca.

“Yang waktu itu? Gumelar,” tanya Danish pelan.

“Orang Sambikerep, tapi nugas di Sidoarjo.”

Danish membulatkan mulutnya, Sidoarjo ke Surabaya tidak begitu jauh sepertinya. “Terus yang lain di mana?”

“Surabaya.” Pramudya menutup buku yang dia baca, lalu meletakkannya di atas meja. “Cuma lo yang di Jakarta, yang paling jauh dan yang paling gue suka.”

Danish terbatuk, dia tersedak napasnya sendiri. Di hadapannya Pramudya tersenyum miring, mirip dengan kuntilanak di film Pee Mak. Menyeramkan sekali.

“Ka-kata Anya, lo sakit waktu itu.” Danish ingat tujuan awalnya menemui Pramudya hari ini. Selain memberi Sayna pelajaran, dia juga perlu mendengar penjelasan. “Waktu baru balik dari Bandung,” sambungnya.

“Ah, itu.” Pramudya tersenyum kecil. “Cuma jetlag biasa.”

“Dibawa ke UGD?” Danish tak langsung percaya.

“Lo tahu lah ibu gue,” ucapnya. “Suka melebih-lebihkan.”

Benar, apa yang dikatakan Pramudya memang kenyataan. Bahkan gadis itu harus terbang ke Singapura atau Jepang demi melakukan vaksin, padahal di Indonesia pun sudah ada. Papsmear dan vaksin HPV banyak tersedia di dokter kandungan biasa. Ibu angkatnya sangat berlebihan pada kesehatan.

“Syukur kalau lo nggak kenapa-kenapa.” Kali ini Danish tidak mau terlalu jahat, dia ingin Pramudya tahu kalau dirinya lega. “Sebelum ke sini tadi, gue bilang sama Sayna kalau kita mau ketemu.”

Tapi dia tidak bilang alasannya, bahwa Danish merasa bersalah pada Pramudya.

“Dia nggak nanya apa-apa atau pun marah kayak biasanya.” Danish menyambung obrolan karena Dya diam saja. “Mungkin ini ada kaitannya sama kejadian minggu lalu waktu dia dicium sama katingnya itu.”

Pramudya mengangkat bahu.

Baginya bahkan tidak masalah jika Danish sama sekali tidak datang, seperti waktu itu.

“Lo nugas apa?”

“Akuntansi. Bikin laporan keuangan jasa.”

“Laundry Melia.”

Danish terkikik, saran Pramudya boleh juga. Itu terdengar brilian. “Dya,” panggilnya. “Kalau tugas gue bisa disalin dari laporan keuangan beneran sih gue cuma tinggal copas aja. Sekarang main, yuk! Gue mau berterima kasih karena minggu lalu lo udah baik dan nemenin gue di Bandung.”

Pramudya mengangguk setuju.

“Dya,” panggil Danish sekali lagi dan gadis itu berhenti. “Jumat lalu... gue datang.” Entah kenapa Danish tiba-tiba ingin mengatakan kejujurannya, karena dia tidak bisa mengucap maaf pada Pramudya. “Gue lihat lo dari luar terus gue pergi, langsung ke Bandung malamnya.”

Dya tidak menjawab apa-apa.

“Sekarang... kita bisa temenan, kan?” tanya Danish memastikan. Tidak ada salahnya memperbaiki hubungan.

“Boleh, tapi temenannya sampai nikah, ya?”

“Dasar gila.” Danish tertawa. “Serius, Dya...”

“Gue serius,” ucapnya sambil menatap Danish lurus-lurus.

“Kesempatan lo sangat tipis untuk itu.” Danish melipat tangan di dada. “Hampir nggak ada malah, pesona lo ketutup sama Sayna.”

Mereka berdua tertawa.

“Ya udah kalau gitu.” Pramudya tidak ambil pusing, mungkin sebenarnya dia tidak benar-benar suka pada Danish, hanya ingin dekat saja.

“Lo bahkan nggak punya potensi buat gue jadiin orang kedua, Dya.”

“Gue juga nggak mau jadi yang kedua,” sanggah gadis itu buru-buru. “Gue mau jadi yang pertama dan satu-satunya, tapi ini belum saatnya.”

“Pede banget gila!” Danish terkekeh mendengarnya. “Yang pertama dan satu-satunya buat gue cuma Sayna.”

“Nggak papa. Buat gue, lo yang kelima.”

Itu karena Danish dijatah tiap Jumat saja? Wah, kenapa harga dirinya sangat terluka, ya? “Tapi meskipun urutan kelima dalam jadwal mingguan, gue tetep yang paling lo suka, kan?”

Pramudya tertawa, dia kalah berdebat rupanya.

“Oke deh, lo yang kedua setelah Sayna. Tapi kita temenan, ya?” Danish menjulurkan sebelah tangan, mengajak gadis itu bersamalan. “Eh, kita saudaraan juga, Dya.”

“Gue mau jadi yang kedua, asal yang pertamanya Bu Melia, gimana?”

“Ngelunjak lo lama-lama.”

Mereka keluar dari tempat itu setelah Dya membayar bill tagihan. Danish tidak pernah mengeluarkan uang saat dia sedang bersama Pramudya, karena... mereka dapat jatah jajan dari orang yang sama. Arya Ranajaya—kakak iparnya, memberi Danish 30 juta sebulan secara cuma-cuma, rata dengan jatah Pradnya dan Pramudya. Tetapi dua gadis itu masih punya banyak sumber dana lainnya. Yang terbanyak dari ayah kandung mereka, seorang keturunan keraton Cirebon dengan kekayaan melimpah hasil tambang batubara.

Jadi 30 juta jatah dari Arya rasanya seperti recehan saja.

“Ke rumah aja, yuk! Mama pengen ketemu sama lo juga, udah lama.”

Pramudya setuju, mobil Danish melaju di jalanan Jakarta yang ramai siang itu. Dya memang sudah lama tidak berjumpa dengan Melia, Anya yang lebih sering ke Jakarta untuk membagikan oleh-oleh tiap dia kembali dari plesiran.

Diam-diam Pramudya melirik pemuda di sebelahnya, tampak lebih kalem dengan kemeja putih berkerah rendah dan dua kancing atas terbuka. Dia pasti baru pulang dari rumah ibadah.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu? Mau gue colok, ya? Heran, nggak ada bosennya,” komentar Danish kejam, seperti biasa.

“Gue nggak bosen, kan lo ganteng.”

Danish memutar mata, dia sudah malas mendengar alasan Pramudya.

“Habis jumatan, ya?” tanyanya. Danish melirik sedikit. “Gue pengen salim aja bawaannya liat cowok pake baju koko.”

“Sinting!” Danish mengumpat sambil tergelak kecil. “Tapi mendingan sih, Sayna liat gue pake baju koko langsung horny.”

Pramudya tertawa keras, dia kaget sekali mendengar kalimat Danish barusan.

“Lo ya, ibadah sama maksiat balance, sama-sama jalan.”

Danish mencebikkan bibir. “Nggak papa, biar Rakib – Atid sama-sama kerja, nggak ada yang makan gaji buta.”

“Lo berdosa banget, Nish!”

“Bodo amat, yang penting gue nggak solimi.”

Tidak ada yang bersuara saat Danish membelokkan mobilnya ke tempat pengisian bahan bakar. Kebetulan kartu Dya yang tempo hari itu masih tersimpan utuh, dia harus membantu gadis itu menghabiskan isinya untuk biaya akomodasi seperti ini.

“Nih.” Bahkan belum apa-apa, Dya sudah mengeluarkan kartu yang lainnya, kali ini berwarna merah. Tapi Danish mengacungkan kartu birunya ke udara. “Masih ada isinya, ya? Habisin semua, Nish, terus buang kartunya.”

Si Rovi bisa meledak kalau diisi bahan bakar sampai 3 juta.

“Nanti ke hotel sebentar.” Dya meminta sesuatu, tidak biasanya. “Gue mau ganti pembalut.”

“Lagi haid?” tanya Danish kaget. Sejak dia pacaran dengan Sayna selama dua tahun, mendadak Danish sangat respek pada wanita datang bulan. Dia ngeri membayangkan track record-nya dengan Sayna. “Dya, nggak sakit?”

Kenapa Pramudya tidak marah-marah seperti Sayna, ya?

“Ya, sakit. Tapi ya udah, emangnya harus gimana? Tiap bulan juga dapet.”

Tidak ada suara di sana. Hotel Singosari masih 3 kilometer dari sini, sementara rumah Danish sekitar 9 kilometer, masih jauh sekali ditambah kemacetan yang menguji kesabaran. Pramudya dan Danish diam untuk waktu yang lama, tidak ada obrolan lagi di sana, sampai akhirnya ponsel Danish berdering dan dia langsung bersemangat begitu melihat siapa pemanggilnya.

“Say?”

“Dosennya nggak ada!” Suara gadis itu terdengar riang di ujung sana. “Ke sini sekarang, bisa? Gue siapin yang spesial.”

“Yang spesial?” Danish tidak bisa menahan senyumnya. “Kayak Indomie pake telor dua, ya?”

“Iya, telor dua kayak punya—”

“Oke, cukup.” Dia buru-buru menghentikan pacarnya mengoceh, sebab ada Pramudya di sebelahnya, Danish agak segan. “Gue ke sana sekarang,” ucapnya segera.

“Gue tunggu, ya? Jangan ganti baju dulu, pengen peluk dan ketemu cowok gue pake baju yang tadi. Yang masih ada bau asem-asemnya.”

Danish merona, susah payah dia mengulum senyumnya. “Siap-siap, ya. Gue langsung ke sana.”

“Gue bakal pakai parfum yang paling lo suka, jangan lama-lama di jalannya, ya!”

Sambungan terputus bersamaan dengan Danish yang menepikan mobilnya ke sisi kiri. Orang di sebelahnya ahli sekali menjadi tuli dan seolah tidak mendengar apa-apa, Danish sudah biasa. Jadi jangan merasa tidak enak padanya.

“Turun, Dya.” Pemuda itu bicara karena Dya tidak mengerti kode sederhana. “Gue harus puter balik, tol di belakang, mau ke Bandung sekarang.”

Dya melongo untuk sesaat, ini bahkan belum sampai di hotel milik keluarganya. Dia melirik GPS dan melihat masih 2,7 kilometer lagi ke hotel Singosari dari tempat mereka sekarang.

“Mau gue bantu bukain pintu?” tanya Danish basa-basi, agar Dya segera mengerti.

“Nggak usah, gue turun sendiri.” Pramudya mengemas tas dan barang bawaannya. “Jangan check-in di hotel Bapak,” ujarnya seraya menyerahkan kartu merah pada Danish dengan maksud meminta pemuda itu membayar sewa hotel yang lain saja.

Danish berdecak. “Gue juga ngerti kali, Dya. Nggak bakal gue maksiat di hotel keluarga. Udah buruan, turun sana!”

Kendati Danish tidak menerima kartunya, Pramudya meletakkan benda itu di kursi penumpang lalu dia keluar dan melihat Danish memutar arah untuk menuju tol ke Bandung. Sekarang dia bingung sendiri karena tidak punya uang tunai, berdiri kepanasan di tepi jalan untuk meminta bantuan Mas Edwas atau mengunduh aplikasi transportasi yang biasa dipakai orang-orang.

Ditinggalkan Danish bukan kali pertama untuknya, diminta tiba-tiba turun seperti sekarang juga bukan kali ini saja, Pramudya sudah hafal tabiatnya.

Terdengar bodoh memang, tapi dia pernah diperlakukan lebih parah, jadi ini tidak ada apa-apanya. Belum seberapa.

Hari Jumat adalah hari yang didedikasikannya untuk Danish, pemuda yang dia suka. Tak peduli Danish akan datang atau tidak, senang atau marah, Pramudya tidak mengubah keputusan. Dya tetap pergi, tiap selesai kelas, terbang dari Surabaya ke Jakarta menunggu Danish, walau kadang pemuda itu tidak datang.

Baginya tak masalah Danish sekadar muncul beberapa detik menampakkan batang hidung, asal mereka bertemu, Pramudya lega dan bisa kembali pulang.

Namun jika Danish tidak datang seperti waktu itu, dia akan menunggu, di tempat yang sama sejak kali terakhir dia mengirimkan lokasinya pada Danish agar mudah ditemui. Dya menunggu sampai lewat tengah malam, sampai hari Jumat benar-benar habis, karena hari setelahnya bukan lagi untuk Danish.

Dya menyukainya, sebanyak itu, tapi kenapa Danish seolah tidak percaya? Memangnya cara Dya menunjukkan rasa sukanya tidak kelihatan, ya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status