Share

4. Nata Alfathan.

Terpaksa, Misha langsung pamit pada wali kelasnya saat itu dengan alasan lagi tidak enak badan. Misha misuh-misuh sembari mengemasi peralatan sekolah untuk dimasukkan ke ransel. Dasar Dewa Asmara yang tak sabaran! Dirinya jadi harus membohongi orang tua yang sudah tulus memberikan ilmu yang bermanfaat selama ini.

Maafkan Misha, Bu Guru. Perasaan bersalah menyeruak masuk ke relung hati membuatnya mengembuskan napas panjang. Baiklah mari tahan sebentar saja, setelah mendengarkan usulan dari Dewa Asmara, gadis itu akan langsung menghajarnya habis-habisan.

Tempat janjian yang dimaksud Dewa Asmara adalah cafe khusus tempat biasanya para dewa yang mengelola sistem di Bumi Pertiwi berkumpul untuk mendiskusikan berbagai hal, lebih tepatnya kedua orang itu bukan berkumpul di ruang utama yang jadi tempat paling sakral, melainkan di ruangan bawah tanah yang terbilang tertutup—pilihan yang kurang tepat.

"Pengap, Dew!" serunya menyengau, berakhir nasalisasi. Lain kali, Misha yang harus duluan memilih tempat janjian selanjutnya nanti dan tidak membiarkan Dewa Asmara yang menetapkan sedikit pun.

"Siapa suruh lo nggak bawa masker waktu perjalanan? I mean, at least biar napas lo buat sementara nggak bakal bengek sampe selesai." Dewa Asmara menjawab acuh tak acuh membuat Misha melotot dongkol.

Dia menyodorkan satu lembar kertas ke arah Misha yang menutup hidung karena debu-debu yang menyesakkan paru-paru berharga miliknya. Dewa Asmara yang melihat itu melengos, menjentikkan jari yang dengan ajaib memunculkan gelembung transparan yang terdapat cadangan oksigen yang melimpah ruah.

"Dari tadi kek! Lo mau bikin gue mati perlahan?" Misha sesegera mungkin meraup udara sebanyak yang dia bisa, lantas baru merilekskan badannya ke sandaran kursi.

"Niatnya, sih, begitu, tapi nggak jadi." Dewa Asmara menggedikkan bahu cuek membuat Misha mencebik, merasa kesal bukan kepalang.

Misha mengalihkan atensi ke sekitar, gelembung yang dibuat Dewa Asmara sepertinya dapat bertahan lama. Tak gampang pecah saat disentuh, dewa, kan, memang selalu bisa melakukan segalanya, termasuk menciptakan gelembung berwarna bening ini.

Mungkin hal kecil semacam ini bukanlah apa-apa baginya.

Misha meraih selembar kertas yang disodorkan Dewa Asmara, kemudian membacanya dengan saksama. Tidak berselang lama, gadis berbadan ideal tersebut mengembalikannya. Berkata dengan nada yang terkesan sedikit menyindir, "Seriusan ini mau dijadiin tempat rekomendasi, Dewa?"

Anggukan singkat didapatnya.

"Jadi maksudnya gue mau ditugaskan buat menjelajahi tempat yang ada di dalam sini, betul?" Tatapan Misha sekarang seolah ingin menerkamnya hidup-hidup.

"Correct. Misha gue ternyata pintar sekali," timpal Dewa Asmara enteng dan wajahnya nampak tenang, aura menakutkan dari Misha sama sekali tak mampu menggoyahkan imannya.

"Dasar psikopat," umpatnya jengkel. Coba pikirkan, bagaimana mungkin Dewa Asmara berniat membuangnya ke tempat-tempat laknat bagai neraka seperti ini? Dufan, bioskop, diskotik, dan sejenisnya tak ada yang terlewat di kertas pemberian lelaki suci itu.

Dewa itu mau memperbudaknya? Ini, kan, tempat-tempat yang dipenuhi para pasangan yang dimabuk asmara di akhir pekan—menjadi nomor kesekian yang dibenci Misha!

"Dewa yang setampan ini lo katain psikopat? Mata lo buram?" Dewa mendengkus kasar, lalu menyeringai lebar. Ya, itu sedikit melukai egonya, tetapi tak masalah asal Misha mengikuti perintahnya.

"Dih, narsis betul. Mentang-mentang dewa." Faktanya Dewa Asmara tidak terpengaruh cibiran yang diutarakan  oleh Misha. Yaitu karena dia sendiri tercipta dari separuh unsur cahaya dan cinta abadi yang merupakan pelengkap elemen kekuatannya.

"Gue nggak mau ada penolakan, percuma. Lo siap-siap gue kirim, Sha." Nada bicara Dewa Asmara terdengar dingin, manifestasi merajuk. Laki-laki yang kepalanya terdapat perhiasan emas murni itu diam membisu sambil menjentikkan jari sekali lagi.

"Tunggu! Gue belum selesai ngo—" Dewa Asmara menatap Misha, sorot mata yang tajam bagai belati yang menusuk organ vital membuat gadis itu meringis.

"Bawel." Misha dibuat kelabakan menggapai satu lembar kertas tadi dan sebuah pulpen di genggaman. Dewa Asmara langsung membuatnya berteleportasi ke destinasi pertama yang gadis itu wajib kunjungi.

Kelopak matanya terbuka setengah. Manik Misha sontak membulat kaget ketika menyadari sudah berpijak di taman SMA Merpati Biru. Pupil hitam itu menekuri secarik kertas dan taman itu secara bergilir, dadanya berdebar skeptis.

Brengsek, brengsek, brengsek! Apakah dia mencoba untuk bermain-main atau mengelabuinya? Misha menggeram keras. Urat-urat di leher sampai menonjol serta dadanya pun ikut kembang-kempis karena sudah membendung rasa berang. Hormon datang bulannya berkecamuk tidak keruan.

"Si Dewa Asmara benar-benar kurang ajar! Lihat aja gue nanti bakal kasih surat resign jadi cupid. Sialan." Amarah Misha hampir tidak terkontrol kalau saja seandainya tak ada orang yang menegurnya.

"Dewa Asmara? Lo salah satu cupid yang terpilih? Bukannya makhluk mitologi itu cuman mitos belaka? Mana buktinya?" Misha seketika membatu saat derap langkah terdengar dari arah belakang, amarah seolah padam guna dipakai mengumpulkan keberanian agar bisa menoleh, mengecek kehadiran sosok yang tidak diundang.

"Coba lo ceritain yang lo tau sedetail mungkin kalo saran gue, deh." Hantu ganteng! Eh, bukan hantu rupanya.

Misha berjengit menemukan manusia di taman yang sepi kecuali saat jam istirahat. Bulu di tengkuk rasanya meremang tatkala cowok itu berbisik di dekat telinga Misha. Kok, sensasinya terasa mendadak seperti film-film horor yang pernah ditontonnya? Huwaaa!

Nata Alfathan, cowok most wanted yang banyak digandrungi cewek-cewek kini dikabari tengah dekat dengan seorang gadis yang sama-sama idaman, Karin Theona.

Tidak sedikit murid yang menjodoh-jodohkan kedua insan itu karena mereka berdua katanya serasi sebab Nata dan Karin tak pernah absen menduduki peringkat atas pararel. Yah, pasangan anak manusia yang menakjubkan, tetapi justru Misha tidak pernah menemukan nama mereka di catatan Dewa Asmara.

Misha berusaha menggali ingatan yang dimiliki. Apakah mungkin nama mereka berdua terdaftar di kamus salah satu cupid lain yang menjadi anak buah Dewa Asmara? Sesuatu yang agak mengherankan. Akan tetapi, karena ini menyangkut rahasia bahwa ada populasi cupid—entah generasi tua atau muda yang tersebar ke seluruh dunia dalam bahaya.

Misha meneguk saliva dengan kasar, keselamatan mereka semua ada di tangannya. Apa yang harus dirinya dilakukan? Jujur saja atau kembali berdalih karena ini mempertaruhkan gelar dan nyawa para cupid sekalian?

"G-gue lupa tadi gue ngomong apa," jawab Misha mengulas senyum kikuk. Cowok bernama Nata itu menatapnya datar. Oh, tidak-tidak. Gadis manis itu memohon, asan tak asan jikalau juru selamat muncul di situasi krisis ini.

"Oh, begitu?"

Misha menahan napas, takut-takut karena suaranya seperti tak yakin atas alibinya.

"Oke, gue cukup tau." Memasukkan tangan ke saku celana, Nata berbalik setelah melirik Misha yang dibanjiri keringat dingin sekilas. Apanya yang cukup tahu? Apakah cowok bak artis itu tak percaya?

"Gue mau bikin kesepakatan. Wait!" Dasarnya Misha yang tidak pandai berbohong langsung berlari kocar-kacir untuk mencegat langkah lebar Nata yang ringan. Membentangkan kedua tangan, deru napas gadis itu  memburu.

Nata bungkam saat dicerca berbagai pertanyaan dari Misha, enggan untuk membeberkan apa yang dia dengar selama gadis itu sibuk bergumam.

"Please, answer me! Ayo, kasih tau gue segala info yang lo tau dari tadi, Nat." Misha sudah menggigit jempol resah di hadapan Nata, memperlihatkan sisi lemahnya.

"Shit, gue aslinya udah capek ngeliat cewek-cewek yanG kebanyakan pikirannya dangkal."

Pikiran dangkal apa maksudnya?

Cuih!

Misha termangu sejenak, tak dapat berkutik saat Nata meludahi sepatunya.

"Jangan merendahkan diri lo sendiri. Gue nggak butuh diikutin sama elo. Urusan gue dan lo cukup sampe sini." Misha menggigit bibir, bola mata yang diwariskan papanya berkaca-kaca. Masalahnya bukan itu, tahu? Bisa-bisanya Nata menyangkal!

"Nggak jelas. Orang gue minta tolong rahasiakan apa pun yang lo denger." Suara Misha bergetar setiap kata yang terlontar dari bibir tipisnya, bulir hangat nyaris berjatuhan kalau dirinya tak cepat menyekanya.

"Lo yang nggak jelas, Gadis Aneh. Gue cuman kebetulan lewat terus iseng nanya! Jangan asal nuduh gue yang enggak-enggak!" sergah Nata nyaring membela diri, menyorot nyalang kepadanya.

Ukh, betapa malunya Misha berlagak jadi penguasa di tempat yang bukan wilayahnya. Mengusap batang hidung yang memerah akibat menangis, gadis itu mencekal pergelangan tangan Nata yang bebas.

"Pokoknya lo harus tanggung jawab!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status