"A... Aquila?" Alena membeo. Banyak sekali pertanyaan yang bersarang di kepalanya, tapi rasa pening yang kini tengah menghantam kepalanya tanpa ampun membuat ia memutuskan untuk tetap diam saja.
"Katanya kau mendadak pingsan saat menghadiri pesta minum teh kerajaan?" Cowok aneh ini memeluknya semakin erat. "Huhuhu! Aku pikir seseorang telah meracunimu!" Cowok itu mengguncangkan bahu Alena, membuat rasa pusingnya menjadi dua kali lipat.
"Sebenarnya bagaimana kau bisa pingsan?" Orang ini terus berbicara tanpa henti, Alena memegangi kepalanya yang berdenyut parah.
"Argh—" Alena menekan pelipisnya, ia benar-benar merasa pusing.
"Aquila?!" Sosok di depannya menatap khawatir, "tabib! Aku akan memanggil tabib!"
Alena buru-buru menahan lengan orang itu, "nggak perlu," ujarnya dengan suara lemah, "aku mau istirahat aja,"
Alena menarik selimutnya hingga menutupi kepala, berharap manusia cerewet di depannya segera pergi.
Alena yakin ia sedang bermimpi, tapi mengapa rasa sakit di kepalanya terasa begitu nyata? Entah, yang jelas, Alena tahu kalau ia berusaha terlelap, ia bisa saja bangun dari mimpi aneh ini.
***
Berkedip.
Alena melambai-lambaikan tangannya persis di depan wajah. Bagaimana ini? Bagaimana caranya bangun dari mimpi ini?
Cewek itu mengedarkan pandangannya, ruangan ini, tidak, kamar ini benar-benar besar dan megah.
Ranjang empuk yang sedang ia gunakan ini seperti dihiasi ornamen emas di bagian pinggirnya.
Lantainya juga terlihat mewah, Alena juga merasa kagum dengan lampu gantung yang berada di langit-langit. Bagaimana seseorang bisa sekaya ini?
Alena bangkit, matanya menyapu ruangan, kamar ini bahkan lebih besar dari rumahnya dulu!
Langkahnya terhenti, saat sesuatu hal menarik perhatiannya. Tubuh Alena membeku! Ia tak bisa mempercayai objek yang tengah dilihatnya saat ini.
Sebuah cermin ... Namun yang membuatnya mematung adalah pantulan dirinya di cermin ini.
Rambut panjang bergelombang berwarna kuning pucat, bola mata berwarna merah darah, dan kulit yang sangat putih, begitu putih sehingga terlihat nyaris pucat.
Alena refleks menutup mulutnya. Otaknya merespon dengan lambat tentang segala hal ini.
Alena mundur beberapa langkah. Kini ia bisa melihat dengan jelas dress hitam yang melekat pada tubuhnya.
Tunggu ... Rambut pirang, mata merah, dan kulit pucat, itu semua adalah narasi yang mendeskripsikan tentang penampilan Aquila pada novel Cinta Sejati.
Lalu Alena teringat sesuatu, tadi ada laki-laki yang memanggilnya dengan sebutan 'Aquila'.
Alena tersenyum miris, ini benar-benar mimpi yang aneh.
Tangannya terangkat, menampar pipinya sendiri.
Sakit.
Jadi ... Apakah ini bukan mimpi?
"AAAAAAAAAAAAAAAA!!!"
***
"Nona? Nona!" Salah satu dayang berlari kecil, memasuki kamar Aquila dengan tergesa-gesa, ia merasa panik saat mendengar teriakan dari dalam.
Dayang itu mendekati Aquila yang jatuh tertunduk, berusaha membopong tubuh wanita itu.
Aquila menatap lemah, ia benar-benar terlihat linglung.
Pintu kamar terbuka lagi, kini datang lelaki yang tadi, bersama kedua orang yang memiliki rupa yang mirip dengannya.
"Putriku!" Salah satu orang yang dibawa itu mendekat, Aquila memperhatikannya dengan saksama. Pria paruh baya, berambut pirang, dan terlihat beberapa kerutan di wajahnya. Aquila langsung menyimpulkan, itu adalah ayahnya.
"Putriku, Aquila, kau sudah sadar, sayang?" Dan perempuan disampingnya ini pasti ibunya.
"Saya telah menyelidiki semuanya, dan bisa dipastikan tidak ada racun atau sejenisnya dalam minuman Aquila saat pesta." Dan laki-laki yang tengah bicara ini pasti adalah kakak dari Aquila.
Wajah yang tampan, rambut pirang, dan bola mata gelap. Persis seperti yang dideskripsikan dalam novel. Aquila ingat jelas siapa orang ini, ia adalah Alaster de Charles. Salah satu karakter yang ia tidak suka karena selalu menuruti keinginan sang adik meskipun hal itu buruk.
"Apa kau sudah periksa makanannya juga?" Andres de Charles, sang ayah bertanya.
"Sudah, ayah."
"Kalau begitu, bagaimana dengan tamu-tamu lainnya, apakah ada kemungkinan kalau mereka pelakunya?" Kini giliran sang ibu yang bertanya.
"Kata dokter yang memeriksa, tidak ada racun dalam tubuh Aquila." Alaster menjelaskan. "Mungkin ia hanya kelelahan."
Aquila hanya menatap tanpa kedip, menyaksikan perdebatan keluarga dengan bahasa super baku di hadapannya hanya membuatnya semakin pusing.
"Apa kau yakin sudah memeriksanya dengan benar?" Aretha, sang ibu bertanya lagi.
Alaster mendengus, ia lalu mendekat ke Aquila, menangkup wajah cewek itu dengan tangannya. "Lihat ini! Dia baik-baik saja!" Alaster menunjukkan wajah mulus adiknya itu.
Melihat itu membuat Andres menghela napas lega, "kalau begitu, akan lebih baik kalau kita memberikan waktu untuk Aquila beristirahat, sepertinya ia masih harus memulihkan diri."
Aquila tersenyum lega, ia setuju. Ayo, tinggalkan dirinya sendiri!
"Aku sependapat." Aretha mengelus pucuk kepala putrinya.
Aquila mengangguk-angguk setuju, ia butuh waktu sendiri untuk mencerna semua ini.
"Tunggu, sepertinya kita masih harus memanggil dokter untuk memeriksa keadaannya." Alaster, si sulung tidak sependapat.
Mendengar pernyataan itu membuat Aquila mendengus. Orang ini menyebalkan sekali.
Aquila mengulas senyum palsu, "aku tidak apa-apa, kakak. Hanya butuh istirahat saja." Ia mendorong tubuh kakaknya itu ke arah pintu.
"Kau yakin?"
Aquila nyaris kehilangan kesabaran, susah sekali meyakinkan kakaknya ini.
"Aku sangat yakin!"
Aquila mengembuskan napas lega saat telah berhasil mengeluarkan orang-orang tadi dari ruangannya. Bahunya merosot, ia bersandar pada pintu yang tertutup.
"Nona?"
Oh, ia lupa, masih ada bibi disini.
"Mau saya siapkan air hangat untuk mandi?" Dayang itu menawarkan.
Aquila menatap dengan mata berbinar. Memang, ini yang ia butuhkan! Setelah sekian banyak kejutan-kejutan serta hal yang memberatkan, akhirnya ia akan merelaksasi tubuhnya.
"Tolong, ya, bi." Aquila melempar senyum.
Tiba-tiba ia merenung lagi ... Jadi, apakah memang ini akhirnya?
Sekarang ... Ia adalah Aquila Sapphire de Charles, karakter penjahat dalam sebuah novel, bukan lagi Alena Resha, mahasiswi yang kecerdasannya dimanfaatkan teman-temannya?
Takdir memang lucu.
***
"Honey, kamu percaya, 'kan sama aku? Sabar sedikit lagi, ya? Kamu tau 'kan aku cuma sayang sama kamu?"
Aquila tersentak, air mata mengalir lagi dari pipinya.
Kenapa lagi-lagi ia teringat akan peristiwa memilukan itu? Tangannya memercikkan air dari dalam bak. Ternyata mandi air hangat tidak benar-benar membuatnya merasa relaks.
Giginya bergemelutuk, takdir memang sebercanda itu. Baru beberapa jam yang lalu ia memergoki kekasihnya, lalu ia tertabrak mobil sialan saat berlari. Dan kini, ia tengah berada di dalam bak, berendam dengan air hangat di dalam dunia yang benar-benar tidak ia pahami.
Ia memijat pelipisnya. Berusaha merunutkan semua kejadian yang telah berlaku. Dirinya tertabrak, lalu saat membuka mata ia kini sudah berada di dalam tubuh Aquila Sapphire, karakter penjahat dalam novel terakhir yang dibacanya. Karakter yang begitu ia benci.
"Bener-bener nggak masuk akal!" Gumamnya pelan.
"Aku nggak mau jadi Aquila..." Lirihnya. Kalau boleh memilih, tentu saja akan jauh lebih baik kalau ia menjadi Zeline Jane Aideos alias si pemeran utama wanita. Zeline adalah karakter favoritnya, cantik dan baik, tidak seperti Aquila.
Atau, paling tidak, menjadi pemeran figuran pun jauh lebih baik, ia jadi bisa menikmati alur serta menjadi saksi kisah cinta Zeline dan putra mahkota yang begitu menyentuh.
Tapi kenapa ia harus menjadi Aquila Sapphire?!
Karakter penjahat yang berakhir tragis dalam genggaman putra mahkota.
Tunggu ... Akhir yang tragis?
Sialan. Sekujur tubuh Aquila merinding, ia ingat adegan terakhir yang ia baca, saat putra mahkota memenggal kepalanya.
Itu memang salah satu adegan favoritnya, tapi kini ia tak mau hal itu terjadi!
Aquila tidak ingin mati konyol ... Untuk yang kedua kalinya.
Kali ini, ia ingin bisa bertahan hidup.
Kalau dirinya sebisa mungkin menjauhi kedua Protagonis, nyawanya akan aman, 'kan?
Aquila tersenyum senang. Ia telah menemukan tujuan hidup yang baru.
Yakni menjauhi putra mahkota dan putri Zeline, lalu secara diam-diam mendukung hubungan mereka!
Senyum Aquila semakin mengembang, apapun yang terjadi, Pangeran Zero dan Putri Zeline harus bersatu!
***
Aquila selalu berpikir bagaimana caranya ia bisa kembali ke dunianya, atau bagaimana caranya ia bisa pergi dari sini.
"Tapi kalau dipikir-pikir itu percuma."
Ya, setelah mengingat-ingat lagi, nasibnya di kehidupan sebelumnya begitu memilukan. Jadi untuk apa ia kembali?
Aquila kini tengah duduk di salah satu kursi, di tangannya ada sebuah pena dan tinta. Ia sebenarnya merasa sedikit kesulitan karena di kehidupan sebelumnya ia lebih terbiasa mengetik.
Senyuman mengembang di wajahnya, ia menatap hasil tulisannya. Ternyata ia hanya menuliskan cara untuk bertahan hidup di dunia ini.
Yakni menjauhi kedua protagonis lalu mendukung hubungan mereka.
"Nona, ini saya bawakan makanan." Salah satu dayang— yang telah diketahui bernama Ahn datang dengan berbagai macam makanan.
Ada sepotong kue, jelly, cokelat, serta segelas minuman tersaji di atas meja.
Senyum Aquila semakin merekah, ini adalah alasan lainnya mengapa ia lebih memilih dunia ini.
"Terimakasih, Ahn." Aquila menjawab.
Ahn buru-buru mengangguk, semenjak Aquila sadar dari pingsan, Ahn merasa sikap nonanya itu berubah, jadi jauh lebih lembut. Tidak seperti Aquila sebelumnya yang kasar dan tidak sabaran.
"Oh iya, nona, ini ada surat." Ahn menyerahkan sepucuk surat yang terlihat mewah, setelah Aquila menerima surat itu, Ahn segera pamit keluar kamar.
Aquila menatap dengan saksama surat tersebut, ada cap kerajaan disana. Alisnya menyatu, ini surat resmi?
Tanpa basa-basi, Aquila segera melenyapkan rasa penasarannya dengan membuka surat itu.
...
Apa?
Yang Mulia Putra Mahkota mengundangnya untuk acara minum teh di kerajaan?
Dan ... Hanya berdua?
Tidak. Aquila tidak tahu apa tujuan Putra Mahkota, yang jelas, perasaannya mendadak jadi tidak enak.
Ekhm, halo semua! Aku Alet selaku author dari cerita yang berjudul ‘Miss Villain and The Protagonist’ sekarang lagi ngerasa seneng karena akhirnya aku bisa tamatin cerita ini! Nggak kerasa udah hampir dua tahun lamanya semenjak pertama kali aku publish cerita MVATP di pertengahan 2021. Sejak saat itu, aku bener-bener ngerasa seperti di rollercoaster, ada kalanya aku semangat & excited banget buat publish, tapi beberapa hari setelahnya aku langsung kena writer block. Ada masanya aku ngerasa seneng sama hasil tulisanku sendiri, tapi nggak lama setelahnya aku jadi ngerasa nggak pede lagi. Setelah semua perasaan campur aduk itu, akhirnya aku bisa ngebawa cerita MVATP hingga ke bagian akhir. Semoga kalian suka, ya, sama endingnya! * Jujur, aku deg-degan banget sebelum publish bagian akhir, aku mikir apakah endingnya memuaskan? Atau apakah kalian bakal suka? Tapi aku udah ngelakuin yang terbaik, aku berharap banget para pembaca bakal suka. Rasanya waktu tuh berjalan cepet banget, seinge
“Selamat atas penobatanmu, Yang Mulia.” Aquila tersenyum, menatap Revel yang terlihat kikuk.“Hanya ada kita berdua di sini, tolong panggil aku dengan nama saja, seperti biasa.”“Anda tahu sendiri kan, hal itu sudah tidak bisa lagi saya lakukan.”Benar. Dengan tingginya posisi Revel saat ini, bisa dianggap seperti penghinaan jika orang lain mendengar Aquila memanggilnya langsung dengan nama.“Padahal anda pasti sedang sibuk-sibuknya, tapi anda masih bisa meluangkan waktu untuk saya. Saya merasa terhormat.” Tutur Aquila.“Saya yang justru merasa tidak enak karena tiba-tiba memanggil anda ke sini.”Aquila menyadari kalau Revel tiba-tiba mengubah gaya bicaranya menjadi lebih formal. “Saya tidak enak jika membuang waktu anda lebih banyak lagi, apa ada hal yang anda ingin saya sampaikan sehingga memanggil saya ke istana?”Revel menatap Aquila, terdengar helaan napas darinya. “Aku tidak akan basa-basi lagi. Aku butuh bantuanmu.”“Apa?”“Seperti yang kau tahu, aku benar-benar disibukkan kare
Detik demi detik berlalu, berubah menjadi menit, jam, hari, minggu, waktu terus berjalan, setelah malam yang panjang itu entah kenapa waktu jadi terasa begitu cepat.Revel bekerja keras, dibantu dengan Duke Charles, Marquis Varen, dan beberapa bangsawan berpengaruh lainnya, mereka kembali membenahi tatanan kepemerintahan. Suasana di istana perlahan-lahan kembali seperti semula.Waktu berlalu, musim pun berganti, banyak hal yang terjadi, banyak hal yang dilewati.Revel telah resmi diangkat sebagai kaisar berikutnya, upacara pengesahan diadakan, meski ada beberapa pihak yang menentang, keputusan kuil tidak dapat diganggu gugat. Kebenaran terungkap, mengenai putra mahkota terdahulu yang dilupakan, semua tindakan keji kaisar sebelumnya pun terbongkar.Beberapa kebijakan diubah, termasuk penghapusan total mengenai subjek venatici, hal-hal yang berkaitan mengenai sihir pun dilegalkan asal dengan kuantitas yang wajar. Pembangunan sekolah sihir dilakukan pada banyak titik yang nantinya akan m
“Mustahil!” Kaisar Lius menarik rambutnya sendiri, rasanya ia telah menjadi gila, ia sulit membedakan mana yang mimpi mana yang bukan. “INI PASTI MIMPI! HAHAHA AKU PASTI SEDANG BERMIMPI!” ia menyeringai, tanda keterkejutan dan keputusasaannya. Ini mimpi yang begitu buruk, seseorang tolong bangunkan dirinya! “Ini bukan mimpi, Yang Mulia.” Muncul seseorang memasuki ruangannya. Secara dramatis, dari balik bayangan, perlahan Kaisar Lius mampu melihat wajahnya yang disinari cahaya bulan. “Salam saya, Yang Mulia.” Pria itu menyapa dengan senyum manis di wajahnya. R- Revel?! “DASAR ANAK TIDAK TAHU DIRI!” Kaisar Lius berteriak, meluapkan segala emosinya. Bagaimana bisa Revel masih bisa tersenyum manis di saat seperti ini?! Ah, tidak, itu merupakan senyum ejekan! Senyum yang mentertawakan posisinya saat ini. “Ah? Bagaimana menurut anda mengenai kejutan yang telah saya siapkan sepenuh hati seperti ini?” Tanya Revel, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “KAU PASTI SUDAH GILA!” “Sa
“Revel, Revel!” Seruan yang berasal dari Mike berhasil membuyarkan ingatan Revel atas masa kelamnya. “Kemarilah! Tuan Michael terluka parah!” Huh? Revel, diikuti yang lainnya bergegas menghampiri Mike dan Baron Michael yang terbaring lemah dengan luka yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya jauh lebih buruk dari yang Revel pikirkan, sepertinya pria itu terkena tebasan senjata yang telah dilumuri racun, terlihat jelas dari bekas luka beserta warna kulit yang berubah kehijauan. “Michael, bertahanlah!” Seru Revel, yang bergerak cepat mengikatkan kain dengan erat agar racunnya tidak cepat menyebar. “Bertahanlah, aku akan segera mencarikan penawar.” “Berhenti.” Ketika Revel hendak bangkit, Baron Michael menggenggam tangannya. “Tidak perlu.” “A- apa?” Alis Revel bertaut, ia jelas tak mengerti mengapa Baron Michael menahannya. “Percuma saja, racunnya sudah menyebar sejak tadi.” “Apa yang kau bicarakan?! Kenapa kau menyerah seperti itu?!” Seru Revel, perasaannya kini tak menentu, kalimat y
“Sebelumnya kau mengatakan kalau otak mereka telah dicuci dan mereka menjadikan kaisar sebagai dewa mereka, kan?” Xander bertanya, memastikan. Muncul sebuah ide gila di kepalanya. “Bagaimana jika cara tercepat untuk menghabisi mereka dalam satu entakan adalah dengan membunuh kaisar terlebih dahulu?” Bagi Xander, ini merupakan ide gila yang patut dicoba. Subjek Venatici menganggap kaisar sebagai dewa mereka, bagaimana jika Xander membunuh ‘dewa’ yang selalu ingin mereka lindungi itu? Pasti mereka akan merasakan perasaan putus asa yang begitu mendalam akibat gagal melindungi dewa. Setelah mendapat pukulan keras itu, seharusnya mereka melemah, kan? Tidak, tidak, lebih baik lagi jika mereka melakukan bunuh diri massal akibat perasaan bersalah yang mendalam. Seringaian menyeramkan mendadak timbul pada wajah Xander. Ia akan merealisasikan ide gila itu. Kesimpulannya, ia akan membunuh Kaisar terlebih dahulu. Revel yang mendengarnya seketika menoleh. “Itu… benar-benar ide nekat yang laya