Lyla sudah membersihkan dirinya setelah makan malam dengan Damian. Ia kemudian sengaja untuk turun ke bawah dan menuju dapur. Di sana ia melihat Alice sedang membenahi sendok dan garpu saat dirinya sampai. Alice pun sama seperti dirinya, ia telah berpakaian santai dengan gaun tidur panjang yang membalut tubuh mungilnya berpadu dengan sweater rajut yang tampak hangat. "Hai, Alice, pekerjaanmu belum selesai?" tanya Lyla. "Hai, Nona. Hanya tinggal sedikit saja. Aku hampir saja lupa untuk menyusun sendok dan garpu. Marie akan mengomeliku jika besok pekerjaanku belum beres. Apa ada yang Nona inginkan?" tanyanya. "Tak apa Alice, aku hanya ingin mengambil beberapa buah dan air mineral lagi untuk nanti malam," jawab Lyla. "Oke, Nona, biar kusiapkan ya. Tuan biasanya hanya menginginkan air mineral setelah makan malam. Tapi jika ia membutuhkan buah untuk pendamping, mungkin artinya ia akan berencana kelaparan nanti malam?" ucapnya seolah menganalisa. Lyla hanya tertawa dengan kepolosan Ali
Perlahan-lahan bibir lembab Lyla akhirnya mulai menyentuh permukaan bibir Damian. Awalnya gadis itu malu-malu dan hanya mengecup kecil bibir Damian. Beberapa kecupan kecilnya sebagai pembuka kemudian, akhirnya disambut Damian dengan lembut. Pria itu sendiri kemudian membuka mulutnya. Ia menarik Lyla dan mendekapnya ke dalam dada bidangnya. Merebahkan diri dan membiarkan Lyla berada di atas tubuh kerasnya. Damian membalas ciuman canggung istrinya itu dengan ciuman panas miliknya. Ia merengkuh rambut halus Lyla yang terurai di sekitarnya, menahan wajahnya agar gadis itu lebih mendekat dan melekat padanya. Seperti ingin menghisap Lyla, Damian terus melancarkan serangannya dengan lidah panasnya, menjelajahi setiap rongga mulut Lyla yang manis. Memagutnya dan mencecapnya seolah tak cukup dengan hanya menghisap dan merasakan lidah lembutnya. Dengan tekanan lembut, Damian akhirnya menggulingkan Lyla. Memerangkapnya di bawah panas tubuhnya sendiri. Lyla yang mulai mendesah membuatnya begit
Lyla sedikit tersentak saat ia merasakan sebuah kecupan di belakang tengkuknya. Ia segera membuka matanya dan mengerjap-ngerjapkannya beberapa kali. Lyla mendadak teringat semua kejadian semalam yang telah ia lalui ketika sebuah lengan kokoh melingkar disekitar pinggulnya. Benar, ia dan Damian telah menghabiskan malam pertama mereka. "Selamat pagi, Sayang ...," sapaan lembut dan serak khas Damian terdengar begitu manis ditelinganya. "Pa ... pagi," jawab Lyla lirih. Ia memutar tubuhnya dengan malu-malu untuk menghadap ke arah Damian. Dari dalam selimut, ia masih bisa merasakan kulit polosnya yang bersentuhan dengan milik pria itu. Ia seketika meremang dan tergelitik. Lyla bahkan tak menyadari keadaannya sendiri sampai mereka saling bersentuhan. "Kenapa? Kedinginan?" tanya Damian ketika merasakan bulu kuduk Lyla yang meremang. "Ti ... tidak, hanya saja ...." Lyla tak sanggup meneruskan ucapannya. Ia hanya menarik selimutnya perlahan-lahan. Damian tersenyum karena mengerti maksudn
Jake menatap Lyla dan Damian secara begantian dengan penuh selidik. Ia hampir terkena serangan jantung saat Damian meneleponnya dan memberitahukan tentang pernikahan rahasia mereka. Mereka bahkan hanya baru beberapa hari bertemu, bagaimana bisa melangsungkan pernikahan begitu saja?! "Kalian serius?" tanyanya lagi. Jake sudah menghembuskan napasnya berkali-kali dan menanyakan pertanyaan yang sama berulang-ulang. Ia masih tak dapat mencerna keadaan itu begitu saja. "Bukankah kau sudah tahu bahwa aku tertarik pada Lyla saat pertama kali bertemu dengannya?" ucap Damian dengan tenang. "Aku dan Lyla melakukan pernikahan ini karena kami memang ingin melakukannya." "Aku tahu. Tapi kukira bukan ketertarikan yang seperti itu! Ah, baiklah ... baiklah," balas Jake lagi. "Aku tahu kau terkejut, Jake. Mungkin keputusanku terlalu cepat? Belum lebih dari setahun yang lalu aku kehilangan Olivia, dan sekarang aku bahkan sudah menikah. Mungkin kau berpikir sesuatu tentang itu?" "Bukan masalah itu, D
Lyla sedang menatap wanita cantik yang ada di hadapannya dengan sedikit menyelidik. Wanita bernama Felicia itu terlihat begitu bersinar. Kulit bersih dan cerahnya sangat menyilaukan. Rambut hitam sebahu miliknya yang begitu indah, tampak sangat serasi dengan mata coklatnya. Untuk sejenak Lyla hampir lupa berkedip karena terlalu terlena menatap Felicia. Ia kemudian mengontrol kembali arah pandangnya dengan sedikit kikuk. Menurutnya, Felicia adalah wanita yang cantik dan sangat menarik. "Kau pasti asisten baru yang diceritakan itu bukan?" tanya Felicia dengan tersenyum manis yang tampak begitu ramah. Lyla sejenak merasa kelu. Entah mengapa, ia bahkan tak dapat membalas ucapan Felicia. Gerak-gerik wanita itu sungguh terlihat sangat berkelas. Ia terlihat begitu anggun hanya dari cara jalannya saja. "Ya," jawab Lyla akhirnya. Beruntung suaranya masih dapat terdengar karena ia berhasil menyembunyikan kegugupannya. Aura Felicia yang kuat seolah menunjukkan bahwa ia adalah wanita yang memi
"Kau kenapa?" tanya Allen ketika ia melihat Lyla begitu kusut."Tak apa," jawab Lyla tak bersemangat."Kau bertengkar dengan Damian?" tanyanya dengan wajah ceria."Bagaimana bisa kau menanyakan itu dengan wajah yang begitu cerah?!""Itu karena aku telah memiliki mobilku sendiri!" ucapnya girang. Lyla hanya memutar kedua bola matanya."Jangan terlalu bersemangat. Apa kau bahkan tak sedikit pun memikirkan perkataan orang-orang? Apa kau tetap akan baik-baik saja jika ada yang memandangmu dengan sebelah mata?" tanya Lyla sambil mendesah masam."Mengapa kau bertanya? Apa ada yang telah mengusikmu? Siapa? Biar aku yang berhadapan dengannya. Kau bukanlah pencuri atau semacamnya. Memangnya apa yang kau khawatirkan?" jawab Allen santai."Kau bisa berkata seperti itu sekarang. Apa kau tak ingat apa saja yang telah kau katakan padaku saat pertama kali tahu aku menikah dengan Damian?" ucap Lyla.Allen meringis kecil sebelum berkata lagi, "
Damian menghampiri Lyla yang masih juga berfokus pada pekerjaannya. Ia menyentuh pundak Lyla perlahan dari belakang. Lyla sedikit tersentak karena kedatangan Damian yang tiba-tiba. "Damian, kau mengejutkanku. Di mana Ben? Apa kau berjalan sendirian?" ucapnya kemudian berdiri untuk menyambut Damian. Lyla kemudian membimbing Damian untuk duduk di pinggir ranjang. Ia menatap Damian sekilas sambil tersenyum simpul sebelum dirinya ikut duduk di sebelahnya. "Apa yang kau tertawakan?" tanya Damian. "Kau melihatnya? Aku hanya sedang memperhatikan penampilanmu saja. Sekarang kau tak mengenakan kacamata hitammu lagi sesering sebelumnya dan terlihat lebih kasual," jawab Lyla. "Itu karena aku tak ingin ada benda yang menghalangi visualisasiku terhadapmu. Dan jika di dalam ruangan, sepertinya tak masalah bagiku jika tak !engenakan kacamata. Apa penampilanku menakutimu?" tanya Damian lagi. "Oh, Damian ... " Lyla menghela napasnya. Ia merasa seketika diserang oleh perasaan tak nyaman saat Damia
"Apa kau yakin?" tanya Damian lagi. "Ya, tak apa-apa. Apa kau khawatir? Aku bersama Allen, tak ada yang perlu kau khawatirkan. Walau ia mungkin tampak ceroboh, tapi ia cukup memiliki kemampuan yang bagus dalam bela diri. Ia dapat melindungiku dengan bekal tiga medali kejuaraan yang pernah diraihnya," jawab Lyla. Damian tersenyum simpul, "Oke, aku akan menyertakan Ben bersamamu." "No, biarkan Ben di sini. Kau memerlukannya untuk berada di sampingmu. Dan ingat, jangan menyentuh makanan atau minuman apapun yang mencurigakan sebelum aku kembali," ucap Lyla lagi. " Hari ini rencananya ia akan menemui bibinya untuk sekadar berkunjung dan melihat keadaannya. Setelahnya, ia akan menemani Allen untuk melihat lokasi pabrik kecil yang dimaksud Damian yang kebetulan lokasinya tak terlalu jauh dari rumah bibinya. "Jangan terlalu lama atau aku akan kelaparan sembari menunggumu pulang," goda Damian. "Jangan khawatir, aku tak akan lama," Lyla mendaratkan ciuman kecil di atas bibir Damian dengan